Kelembagaan DAS

Nurheni Wijayanto

INSENTIF PENGUSAHAAN HUTAN RAKYAT

Oleh : Nurheni Wijayanto, Lektor Kepala Agroforetsry, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor

I. PENDAHULUAN

Salah satu karakteristik dari hutan rakyat adalah memiliki jangka waktu pertumbuhan relatif lama. Sifat pertumbuhan hutan rakyat yang relatif lama tersebut menyebabkan masyarakat yang berpenghasilan rendah kurang responsif untuk mengembangkan hutan rakyat secara murni swadaya. Masalah yang mungkin dihadapi dalam membangun hutan rakyat adalah resiko dalam pertumbuhan dan resiko dalam pemasaran hasil. Rotasi pertumbuhan yang panjang menimbulkan ketidakpastian dalam melakukan investasi karena adanya resiko pasar dan resiko fisiologi tegakan hutan yang mempengaruhi pengembalian dana investasi tersebut. Hal ini memperkaya karakteristik dalam usaha pembangunan hutan, yaitu putaran dana yang lambat. Ketidakpastian dalam pertumbuhan sering menimbulkan masalah dalam mendapatkan kredit perbankan serta persyaratannya.

Campur tangan pemerintah dalam pengusahaan hutan rakyat dapat memberikan dampak positif terhadap produktivitas hutan serta kualitas lingkungan. Campur tangan tersebut dapat pula menimbulkan dampak negatif apabila kebijakan pemerintah akan membebani pemilik hutan yang menyebabkan berkurangnya keuntungan bagi pemilik hutan serta mengurangi minat pemilik untuk mengelola hutan dan pada akhirnya mereka megalihkan penggunaan hutan untuk tujuan lain. Oleh karena itu, pengaturan pengusahaan hutan rakyat beserta program pembangunannya harus dapat menyediakan insentif untuk memperkaya pengusahaan hutan rakyat serta memberikan keuntungan bagi pemilik hutan.

Berdasarkan hasil pengamatan selama ini, keberhasilan pelaksanaan kegiatan kehutanan di lapangan, dipengaruhi oleh berbagai hal dan tidak hanya tergantung pada tersedianya faktor teknis, namun juga tergantung antara lain oleh faktor ekonomi, institusi dan faktor sosial, sehingga selain diperlukan perencanaan yang matang berdasarkan kondisi dan potensi serta rencana pengembangannya, juga diperlukan kesamaan persepsi dan komitmen dari banyak pihak (masyarakat dan sektor terkait), dana yang besar dan tepat waktu, infrastruktur ekonomi serta sistem insentif yang perlu dikembangkan untuk mendukung kegiatan pengusahaan hutan rakyat. Faktor-faktor tersebut selama ini sulit terlaksana secara simultan dan mengakibatkan berbagai kegagalan dalam pelaksanaan di tingkat lapangan. Hal tersebut merupakan tantangan dalam pengembangan pengusahaan hutan rakyat depan guna meningkatkan kualitas, keterpaduan dan keberhasilan kegiatan pengusahaan hutan rakyat.

Kegiatan pengusahaan hutan rakyat melibatkan banyak aktor yang berperan, baik birokrat, LSM, ilmuwan maupun masyarakat sebagai ujung tombak. Keberhasilan kegiatan ini akan ditentukan oleh peran masing-masing aktor tersebut, dan guna memberikan dorongan serta rangsangan kepada semua aktor maka diperlukan insentif dalam pengusahaan hutan rakyat ini.

Penyelenggaraan pembangunan, termasuk pengusahaan hutan rakyat, diharapkan dapat mewujudkan efisiensi alokasi pemanfaatan sumberdaya hutan dan lahan. Namun demikian, tidaklah mustahil bahwa pilihan-pilihan masyarakat hanya akan mendorong pemanfaatan sumberdaya hutan dan lahan tanpa memperhatikan aspek-aspek pelestariannya. Hal ini dapat terjadi apabila masyarakat tidak memperoleh insentif yang memadai dalam upaya pelestarian sumberdaya tersebut. Oleh karena itu, pelaksanaan pengusahaan hutan rakyat perlu menyertakan pendekatan sistem insentif/disinsentif, khususnya guna menjamin tercapainya tujuan pengusahaan hutan rakyat, baik di tingkat masyarakat yang terlibat langsung dalam aktivitas tersebut, maupun di tingkat kebijakan yang melibatkan berbagai instansi pemerintah.

II. INSENTIF

A. Pengertian Insentif

Insentif adalah semua bentuk dorongan spesifik atau rangsangan/ stimulus, yang umumnya berasal dari faktor eksternal (pemerintah, LSM, swasta dan lain-lain), yang dirancang dan diimplementasikan untuk mempengaruhi atau memotivasi masyarakat, baik secara individu maupun kelompok untuk bertindak atau mengadopsi teknik dan metode baru yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi.

Dalam hal ini, insentif adalah salah satu atau kombinasi dari beberapa hal-hal berikut :

  1. Pembayaran atau pemberian konsesi untuk merangsang output (keluaran).
  2. Dorongan atau faktor yang dapat memotivasi dilakukannya suatu tindakan.
  3. Isyarat yang positif (insentif), yaitu bersifat meningkatkan motivasi dan mengindikasikan suatu kegiatan atau isyarat negatif (disinsentif) yang bersifat menghambat.

Menurut Ostrom et al. (1993) dalam Fakultas Kehutanan IPB (2001) insentif/disinsentif bukan hanya sekedar penghargaan atau hukuman, tetapi menyangkut perubahan positif atau negatif pada hasil (outcomes) yang dalam pandangan individu akan dapat dihasilkan dari suatu tindakan yang dilakukan berdasarkan kaidah atau aturan tertentu baik dalam konteks fisik maupun sosial. Menurut sifatnya, tipe-tipe insentif dapat dikelompokkan menjadi :

  1. Insentif langsung: dapat diberikan dalam bentuk uang tunai, seperti upah, hibah, subsidi dan pinjaman lunak; dalam bentuk barang seperti bantuan pangan, sarana pertanian, ternak atau bibit pohon; atau dalam bentuk kombinasi antara keduanya.
  2. Insentif tak langsung: dapat berupa pengaturan fiskal atau bentuk pengaturan seperti insentif pajak, jaminan harga input/output, pengaturan penguasaan/pemilikan lahan. Dalam konteks ini termasuk pelayanan seperti, penyuluhan, bantuan teknis, penggunaan alat-alat pertanian, pemasaran, penyimpanan, pendidikan dan pelatihan, pelayanan sosial, penggunaan organisasi komunitas dan desentralisasi pengambilan keputusan.

Insentif tak langsung dapat berupa insentif variabel (variable incentives) atau insentif pemungkin (enabling incentives). Insentif variabel dapat dikelompokkan menjadi insentif sektoral dan insentif ekonomi makro (Gambar 1). Selanjutnya contoh-contoh insentif tak langsung dapat dilihat pada Tabel 1. Insentif akan secara efektif mempengaruhi hasil (outcomes) bila diterapkan dalam suatu kelembagaan yang mapan dan kondusif terhadap pencapaian tujuan.

0g1

0t1

B. Penerapan Insentif

Menurut hubungannya dengan luaran yang diharapkan, insentif dapat dikelompokkan menjadi empat kategori sebagaimana dapat dilihat dalam Gambar 2.

0g2

Berdasarkan tinjauan normatif yang didasarkan atas kajian dari berbagai sumber Sanders dan Cahlil (1990) dalam Fakultas Kehutanan IPB (2001) menyajikan berbagai karakteristik yang mempengaruhi berjalan atau tidaknya suatu insentif, baik dalam konteks insentif langsung maupun tidak langsung (lihat Tabel 2). Tabulasi berbagai karakteristik tersebut akan membantu pengambil keputusan dalam menentukan apakah di suatu wilayah tertentu ada bentuk insentif langsung yang perlu diadopsi atau prioritasnya justru pada perbaikan prakondisi (insentif tak langsung) yang diperlukan agar suatu bentuk insentif langsung dapat diimplementasikan secara efektif dan efisien.

0t2

Mengacu pada Tabel 2. tersebut di atas dan beberapa kerangka konsep sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan seberapa jauh penerapan sistim atau mekanisme sistim insentif tersebut dapat atau tidak mencapai tujuannya, yaitu dengan membandingkan dan atau analisis tabulasi silang. Melalui tabulasi silang tersebut maka kita dapat mengambil keputusan tentang berhasil atau tidaknya penerapan sistim insentif yang digunakan, yaitu sebagai berikut :

  1. Apabila insentif yang ditawarkan mendapat respon positif dari masyarakat (kondusif), maka pendekatan insentif langsung memiliki peluang keberhasilan tinggi.
  2. Sebaliknya bila insentif yang ditawarkan mendapatkan respon negatif dan atau tidak mendapatkan respon dari masyarakat (tidak kondusif), maka pendekatan insentif langsung memiliki peluang gagal besar.
  3. Apabila lebih dari satu karakteristik tidak kondusif ditemukan, pengaruhnya cenderung berlipat ganda.
  4. Agregasi karakteristik tidak kondusif tersebut berakibat pada semakin tidak realitasnya implementasi konsep pembayaran kembali pinjaman ke pemerintah. Hibah dan pendanaan pada akhirnya lebih banyak digunakan dalam bentuk bantuan.
  5. Tidak peduli apakah sumber dana berasal dari sumber internal atau eksternal, alokasi dana lebih baik digunakan untuk memperbaiki karakteristik tidak kondusif, misalnya : pengembangan kebijakan, perencanaan terpadu, evaluasi program maupun pengembangan sikap positif pengguna lahan.

Terdapat beberapa alasan, mengapa pendekatan sistim insentif seringkali mengalami kegagalan atau tidak kondusif, yaitu :

  1. Komunitas pemakai sering hanya dapat diidentifikasi secara geografis dan umumnya tidak memiliki identitas kelompok ataupun struktur kewenangan operasional yang jelas.
  2. Manfaat yang tertunda umumnya dinikmati oleh pihak tertentu.
  3. Perubahan yang terjadi pada sumber daya umumnya sulit diketahui dan diukur, sehingga manfaat dari investasi tidak jelas.
  4. Keterkaitan atau saling-ketergantungan antar pemakai sumber daya dianggap lemah.

III. ASPEK EKONOMI HUTAN RAKYAT

Darusman dan Wijayanto (2007) menyatakan berdasarkan atas data dan informasi hasil-hasil penelitian, menunjukkan bahwa pengusahaan hutan rakyat :

  1. Layak secara finansial (BCR, NPV, IRR, PBP, dan BEP), sehingga investasi dalam usaha Hutan Rakyat menguntungkan.
  2. Harus menerapkan sistem agroforestri dalam penggunaan lahannya, agar petani mampu segera melunasi kredit usaha yang diterimanya.
  3. Memiliki peluang untuk menangkap pendanaan dengan sistem bagi hasil, yang berasal dari individu atau dari lembaga keuangan syariah.
  4. Pendanaan dalam bentuk insentif dari pemerintah kepada petani/ kelompok tani masih diperlukan untuk pemberdayaan petani dalam aspek teknologi, budgeting, pemasaran (akses/kejelasan pemasaran) dan kelembagaan.
  5. Pendanaan untuk usaha hutan rakyat dengan skim kredit komersial (12%) telah memberikan keuntungan yang layak kepada petani. Untuk meringankan pihak petani dan pihak sumber pinjaman, sebaiknya dana investasi difokuskan ke pendanaan tahun pertama.

Selanjutnya dapat mengandalkan penerimaan bersih tahunannya. Selanjutnya, Darusman dan Wijayanto (2007) menyimpulkan dalam tulisannya, bahwa :

  1. Usaha hutan rakyat dengan sistem agroforestri memberikan kesempatan kepada para petani memperoleh pendapatan sejak awal waktu mereka mengusahakan Hutan Rakyat, sehingga mereka berkemampuan untuk segera mengembalikan pinjaman.
  2. Usaha hutan rakyat yang layak secara finasial, seharusnya menarik investor baik individu atau lembaga keuangan untuk berpartisipasi dalam pengembangan usaha ini.
  3. Pendanaan untuk usaha hutan rakyat dapat memanfaatkan skim kredit komersial.
  4. Pendanaan dari pemerintah dalam bentuk insentif, sebaiknya diprioritaskan antara lain untuk (a) regulasi tentang usaha hutan rakyat yang memberikan keadilan bagi semua pelaku ekonomi yang terlibat terutama kepada petani/produsen, (b) subsidi tentang infrastruktur publik yang diperlukan untuk kelancaran proses produksi dan distribusi, (c) kemudahan memperoleh sarana produksi, serta (d) aspek teknologi, budgeting, pemasaran (akses/ kejelasan pemasaran) dan kelembagaan.
  5. Sistem pendanaan yang tidak akuntabel dan transparan untuk program pengembangan usaha hutan rakyat, seharusnya dihindari, agar semua pihak selamat dunia akhirat.

IV. MEKANISME INSENTIF PENGUSAHAAN HUTAN RAKYAT

A. Forum Koordinasi

Pengusahaan hutan rakyat antara lain bertujuan untuk mempertahankan manfaat ekologi dan sosial ekonomi masyarakat. Tujuan ini dapat tercapai apabila seluruh para pihak mau mengorbankan ego-ego individual dan sektoral, sehingga kegiatan pengusahaan hutan rakyat harus dilihat sebagai suatu sistem dan manfaat ekonomi akan dapat dinikmati dalam waktu yang panjang. Oleh karena itu, maka diperlukan adanya Forum Koordinasi Lintas Sektoral, baik Pemerintahan, Dunia Usaha maupun Masyarakat. Forum koordinasi ini akan berfungsi sebagai :

  1. Media komunikasi bagi seluruh pihak yang terkait agar dapat disepakati visi dan misi pengusahaan hutan rakyat.
  2. Menyatukan rencana-rencana para pihak sehingga dapat disusun rencana pengusahaan hutan rakyat yang terpadu.
  3. Mengembangkan kesamaan kriteria dan indikator keberhasilan pengusahaan hutan rakyat.
  4. Memberikan pelayanan terpadu.
  5. Melaksanakan audit untuk seluruh program yang dijalankan bersama.

Forum koordinasi ini harus mempunyai kredibilitas dan semua para pihak mempunyai rasa memiliki, sehingga program-program yang dijalankan bersama adalah merupakan program bersama untuk mencapai satu tujuan. Dengan demikian maka program-program yang dijalankan merupakan suatu bentuk insentif pemberdayaan yang secara nyata akan menentukan keberhasilan pengusahaan hutan rakyat.

B. Insentif di Tingkat Masyarakat

Contoh bentuk insentif di tingkat masyarakat: jika karakteristik yang dapat dilihat di lokasi pengusahaan hutan rakyat adalah banyaknya petani penggarap yang tidak mempunyai lahan, maka diduga kuat petani Pengembangan Hutan Rakyat Mendukung Kelestarian Produksi Kayu Rakyat 15 penggarap mengharapkan adanya kondisi pemungkin (enabling condition) bagi hubungan kerjasama sebagai berikut:

  1. Perjanjian kerjasama ditandatangani oleh pemilik, penggarap, Pemerintah Desa, Pemerintah Kecamatan, Dinas Kehutanan dan Kepolisian;
  2. Pemilik tanah harus mengizinkan untuk menanam pohon dan buahbuahan kepada penggarap;
  3. Ada aturan tertulis dan jelas tentang hak dan kewajiban, termasuk sistem bagi hasil;
  4. PERDA yang mendukung kemantapan tata guna lahan yang melindungi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat desa;
  5. Penyuluhan yang tepat dan berlanjut baik tentang aspek teknis maupun manajemen, ekonomi, sosial-budaya.

Hasil kajian Fakultas Kehutanan (2001) dalam pengembangan sistem insentif Rehabilitasi Lahan (RL)/Penghijauan, antara lain:

  1. Efektifitas bekerjanya insentif langsung seperti adanya dana murah, penyediaan bibit dan pupuk dalam pelaksanaan RL/Penghijauan sangat tergantung pada kondisi insentif tidak langsung yang ada di masyarakat. Apabila kondisi insentif tidak langsung ini tidak mendukung, maka adanya insentif langsung hanya akan menjadikan berlangsungnya proyek jangka pendek tanpa ada dukungan masyarakat.
  2. Kinerja RL/Penghijauan di lapangan masih didasarkan oleh bekerjanya kelembagaan (pusat dan daerah) yang belum mampu memperhatikan lemahnya insentif tak langsung khususnya mengenai insentif pemungkin sebagai hambatan utama pelaksanaan RL/Penghijauan. Insentif langsung berupa dana murah dipandang sebagai aktor utama, sehingga informasi tentang kondisi masyarakat yang berkaitan dengan insentif pemungkin belum menjadi dasar penetapan substansi program dan proyek RL/Penghijauan.
0t3

Berdasarkan atas harapan pihak-pihak terkait melalui proses PRA dan LFA, dapat dipetakan sesuai batasan di atas dan disajikan pada Tabel 3. Berbagai bentuk insentif tersebut merupakan pilihan-pilihan yang implementasinya sangat dipengaruhi kondisi spesifik lokasi, baik kondisi biofisik maupun sosial-budaya (Fakultas Kehutanan IPB, 2001). Dari kasus di Tabel 3. dapat juga diketahui bahwa pengembangan sistem insentif cenderung sangat spesifik tapak, oleh karena itu diperlukan panduan yang dapat digunakan oleh Pemerintah Kabupaten dan berbagai pihak terkait lainnya untuk mengembangkan insentif yang dapat diimplementasikan kepada masyarakat.

V. KESIMPULAN

  1. Insentif pengusahaan hutan rakyat harus dapat diterapkan secara praktis, dan dapat diterima oleh kelompok-kelompok yang tepat. Oleh karena itu, memerlukan pertimbangan secara hati-hati terutama dalam hubungannya dengan pertimbangan keadilan, efisiensi dan keberlanjutan.
  2. Insentif pengusahaan hutan rakyat harus bersifat spesifik tapak dan lokasi.
  3. Insentif pegusahaan hutan rakyat sebaiknya dirancang untuk: (1) menciptakan dorongan-dorongan ekonomi atau insentif positif untuk meningkatkan kualitas hutan dan masyarakatnya, (2) tidak menghargai tindakan-tindakan merusak sumberdaya hutan rakyat dengan menerapkan “hukuman” dan disinsentif, dan (3) mengatasi tekanan ekonomi yang mendorong perilaku merusak sumberdaya hutan rakyat.
  4. Insentif dalam bentuk pendanaan dari pemerintah, sebaiknya diprioritaskan antara lain untuk (a) regulasi tentang usaha hutan rakyat yang memberikan keadilan bagi semua pelaku ekonomi yang terlibat terutama kepada petani/produsen, (b) subsidi tentang infrastruktur publik yang diperlukan untuk kelancaran proses produksi dan distribusi, (c) kemudahan memperoleh sarana produksi, serta (d) aspek teknologi, budgeting, pemasaran (akses/kejelasan pemasaran) dan kelembagaan.
  5. Insentif akan secara efektif mempengaruhi hasil (outcomes) bila diterapkan dalam suatu kelembagaan yang mapan dan kondusif terhadap pencapaian tujuan.

DAFTAR PUSTAKA

Fakultas Kehutanan IPB. 2001. Pengembangan Kebijakan sistem insentif rehabilitasi hutan dan lahan. Bogor.

Darusman, D dan Wijayanto, N. 2007. Aspek ekonomi hutan rakyat (skim pendanaan). Makalah disampaikan pada Studium General dalam Pekan Hutan Rakyat II di Balai Penelitian Kehutanan Ciamis, tanggal 30 Oktober 2007.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.