Kelembagaan DAS

Artikel Aksi Kolektif

Aksi kolektif dan reformasi parpol

Oleh: Sunny Tanuwidjaja

Sumber:  http://www.csis.or.id/Kompas, June 9, 2008

Salah satu institusi kunci kesuksesan untuk konsolidasi demokrasi adalah partai politik yang mau dan mampu merepresentasikan konstituennya. Tetapi, seperti yang sudah sering dibicarakan, partai-partai politik di Indonesia mengalami krisis legitimasi, misalnya terlihat dalam survei Transparency International yang lalu, yang menunjukkan bahwa berdasarkan persepsi responden, parpol di Indonesia merupakan salah satu yang terkorup di dunia, atau terlihat juga dengan kencangnya tuntutan untuk calon independen dalam pilkada maupun tuntutan untuk dibentuknya parpol lokal.

Meski reformasi parpol sangat penting untuk demokrasi, sulit rasanya menunggu inisiatif dari parpol sendiri. Perlu ada suatu usaha yang eksternal dari parpol untuk mendorong reformasi parpol. Kita sebagai rakyat Indonesia sebagai pemilih dalam pemilu bisa mengambil dan memainkan peranan ini jika kita bisa menyelesaikan problema aksi kolektif kita bersama. Apa itu problema aksi kolektif? Mancur Olson di tahun 1965 menulis tentang teori problema aksi kolektif”. Sampai hari ini, teori Olson banyak digunakan di berbagai bidang studi, termasuk politik dan ekonomi.

Olson berangkat dari observasi dia bahwa di dalam penyediaan public goods (barang publik), besar insentif buat seseorang untuk menjadi free rider (penunggang). Kecenderungan free ride karena sifat dari barang publik yang non-excludable, dan nonrival. Artinya, seseorang tidak dapat mencegah orang lain untuk menikmatinya, dan konsumsi seseorang tidak akan mengurangi persediaan dari barang publik tersebut. Oleh karena itu, barang publik selalu undersupply karena orang sering kali menghindar untuk memberikan kontribusi dalam penyediaannya karena sifat barang publik yang mengizinkan seseorang yang tidak memberikan kontribusi dalam penyediaannya untuk tetap dapat menikmati barang itu. Misalkan udara yang bersih sebagai salah satu contoh barang publik. Udara akan lebih bersih jika semua orang ikut serta menjaga kualitas udara. Tetapi, kebanyakan orang akan enggan melakukan hal-hal yang bisa membantu menjaga kualitas udara yang bersih karena mereka akan berpikir, buat apa saya berusaha menjaga kebersihan kualitas udara mengingat usaha saya sendiri tidak akan mengubah kualitas udara, dan jika orang-orang lain akan menjaganya, saya toh akan tetap dapat menikmati udara yang bersih. Kecenderungan untuk free ride inilah yang menjadi sumber problema aksi kolektif.

Dalam mendorong reformasi parpol, pemilih secara kolektif dapat berpartisipasi secara aktif dan efektif jika jumlah free rider dapat ditekan seminimal mungkin. Menggunakan ide Olson, barang publik di sini adalah parpol yang mau dan mampu merepresentasikan kepentingan konstituennya. Kecenderungan untuk free ride di kalangan pemilih sangat besar karena kebanyakan pemilih akan berpikir bahwa apa pun pilihan atau tindakan politik mereka, jika orang-orang lain memberikan kontribusi dalam mendorong reformasi parpol, ia tetap akan menerima hasilnya.

Beberapa contoh aksi free ride misalnya pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya; yang sudah makin terlihat dengan menurunnya voters turnout di dalam pilkada; atau memilih tanpa mengerti program parpol dan kemampuan sang calon. Kecenderungan seperti ini banyak terjadi karena untuk datang ke TPS ataupun mempelajari kinerja parpol maupun kapasitas calon diperlukan sumber daya yang cukup signifikan. Masalahnya, tindakan-tindakan seperti di atas tidak akan mendorong parpol untuk memperbaiki kinerjanya atau melakukan reformasi internal. Jika pemilih berani melakukan investasi untuk datang ke TPS dan memilih, untuk mempelajari kinerja para wakil, dan menolak wakil yang tidak bekerja dengan baik dan memilih calon yang betul-betul berkualitas; parpol akan terdorong untuk memperbaiki kinerja dan melakukan reformasi internal guna mendukung perbaikan kinerja tersebut.

Salah satu cara untuk memecahkan problema aksi kolektif ini adalah lewat pemberian kompensasi atau upah yang selektif. Selektif di sini berarti kompensasi atau upah hanya diberikan kepada orang yang memberikan kontribusi dalam penyediaan barang publik itu. Meski belum tentu mudah dalam pembuatannya, mekanisme ini diharapkan dapat memberikan insentif buat orang- orang untuk berkontribusi dalam penyediaan barang publik. Pemberian kompensasi atau upah yang selektif akan lebih menggiurkan dan mudah dalam koordinasinya jika jumlah partisipan dalam penyediaan barang publik terbatas atau terbagi dalam kelompok-kelompok kecil.

Berdasarkan ide ini, dalam usaha mendorong parpol melakukan reformasi internal, ada baiknya jika dibentuk kelompok- kelompok masyarakat dengan kepentingan yang unik, yang mempunyai ukuran yang tidak terlalu besar, untuk memudahkan koordinasi dan meningkatkan jumlah kompensasi/upah yang diterima per individu anggota. Kelompok-kelompok ini akan dengan mudah mengoordinasi aksi politik mereka, memberikan pendidikan politik buat anggotanya, maupun memberikan kompensasi buat anggotanya untuk partisipasi demi kemajuan demokrasi di Indonesia.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.