Kelembagaan DAS

Ahmad Erani Yustika

Anatomi Kelembagaan Sektor Pertanian

Oleh: Ahmad Erani Yustika
Direktur Eksekutif ECORIST (The Economic Reform Institute), dosen Unibraw, Malang

Sumber: Suara Pembaruan, 09 Desember 2005

(Suara Pembaruan) – Berita basi untuk kesekian kalinya muncul lagi. Hasil sementara Survei Pendapatan Petani yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mengabarkan dalam lima tahun terakhir lahan pertanian yang dikonversi untuk kepentingan lain mencapai 25.000 hektare.

Data lainnya, sebanyak 60 persen petani mengatakan kondisi ekonomi rumah tangganya tidak berubah dibandingkan setahun sebelumnya. Bahkan, 14-26 persen responden mengaku keadaan ekonomi rumah tangganya menurun.

Sedangkan penelitian yang saya lakukan sendiri pada tahun 2000 menunjukkan, petani yang memiliki lahan di bawah satu hektare (merupakan mayoritas petani di Indonesia), sekitar 80 persen pendapatan rumah tangganya berasal dari kegiatan non-pertanian (non-farm).

Lalu, penelitian saya pada tahun 2003/2004 (kasus petani tebu di Jawa Timur) mewartakan 50 persen dari total biaya yang dikeluarkan petani berwujud biaya transaksi, sisanya adalah biaya produksi.

Model Jepang dan AS

Menyikapi data-data di atas, sebetulnya yang luput dilakukan pemerintah adalah melihat persoalan sektor pertanian dari perspektif ekonomi kelembagaan. Selama ini pemerintah menguliti masalah di sektor pertanian hanya dari pendekatan ekonomi konvensional, yang tentu saja sudah usang dan kurang relevan.

Analisis ekonomi kelembagaan ini intinya melihat persoalan dari ‘aturan main’ (rules of the game), baik pada level makro (institutional environment) maupun mikro (institutional arrangement) (Kherallah dan Kirsten, 2001).

Pada level makro, fokus kajian ekonomi kelembagaan adalah mendesain seperangkat aturan ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang menjadi basis kegiatan produksi, distribusi, dan pertukaran. Sedangkan pada tingkat mikro, konsentrasi ekonomi kelembagaan adalah membuat kesepakatan yang sejajar antar-pelaku ekonomi sehingga mereka bisa melakukan kerjasama maupun kompetisi.

Jika pada tingkat makro peran pemerintah yang lebih banyak, pada tingkat mikro porsi pelaku ekonomi itu sendiri yang dominan. Untuk itu, mestinya pada tingkat makro peran pemerintah adalah mendesain regulasi yang memberi insentif pelaku ekonomi bergelut di sektor pertanian, atau setidaknya membuat nyaman individu yang sudah tinggal di dalamnya.

Kasus Jepang dan AS mengilustrasikan dengan baik kecanggihan pemerintahnya menyusun kelembagaan di sektor pertanian. Hayami dan Ruttan (1985) menjelaskan karakteristik faktor produksi sektor pertanian di Jepang dan AS sangat berbeda. Di Jepang, jumlah tenaga kerja melimpah tetapi lahannya terbatas. Sebaliknya, di AS lahannya luas, namun tenaga kerjanya langka.

Dengan karakteristik itu, kebijakan kelembagaan pemerintah Jepang diarahkan untuk mengembangkan teknologi biologis, seperti bibit dan pupuk, sehingga hemat lahan dan intensif pekerja. Sementara pemerintah AS menyusun kebijakan dengan mengutamakan penemuan teknologi mekanik yang hemat pekerja. Hasilnya, sektor pertanian di kedua negara tersebut berjaya. Di AS produktivitas tenaga kerjanya lebih besar 10,2 kali dibandingkan Jepang, sebaliknya di Jepang produktivitas lahan/hektare lebih besar 10,5 kali ketimbang AS.

Di Indonesia, kondisinya setiap saat lahan sektor pertanian terus berkurang karena insentif laba di sektor tersebut semakin menurun. Atau, pelaku sektor pertanian sendiri yang lari karena mengalami kerugian setiap kali panen. Itu berarti, pemerintah memberi insentif kebijakan yang lebih besar di sektor industri/jasa dibandingkan di sektor pertanian.

Sedangkan berkaitan dengan kebijakan internal di sektor pertanian, sudah sejak 20 tahun terakhir ini, khususnya di Jawa, ciri sektor pertanian tidak lagi mudah dikenali. Di satu sisi, lahan semakin menyempit (seperti kasus Jepang), tetapi tenaga kerjanya juga kian langka (mirip kasus AS).

Dengan karakteristik tersebut, tidak cukup pemerintah melakukan kebijakan intensifikasi, tetapi juga harus diimbangi dengan penemuan teknologi baru (yang hemat pekerja) yang bisa dijangkau oleh petani. Di luar itu, jelas pemerintah harus berpikir untuk mendesain kelembagaan produksi kolektif agar satuan luas lahan menjadi lebih luas sehingga skala usahanya layak.

“Structure of Power”

Aspek lainnya yang tidak diurus adalah kesepakatan kelembagaan antara petani dengan pelaku ekonomi lainnya, misalnya koperasi, pedagang, tengkulak, asosiasi, maupun industri hilir. Sekadar contoh, petani tebu harus berinteraksi dengan pabrik gula agar tebunya bisa digiling.

Dalam proses interaksi tersebut ada banyak pemain yang harus dilewati, seperti koperasi, asosiasi petani tebu (APTR), tengkulak, dan pabrik gula. Faktanya, proporsi pendapatan yang diterima petani jauh dari laik dibandingkan ongkos yang telah dikeluarkan.

Sebaliknya, pelaku ekonomi lainnya yang tidak memberi nilai tambah malah menikmati jatah yang menggiurkan. Akibatnya, walaupun produksi pertanian meningkat (seperti diungkapkan bekas Menteri Pertanian Bungaran Saragih), tetap saja pendapatan petani rendah.

Kesepakatan kelembagaan (institutional arrangements) di tingkat mikro yang tidak efisien inilah yang menjadi sumber tingginya biaya transaksi (high transaction costs).

Biaya transaksi tersebut bisa didefinisikan sebagai ongkos yang muncul untuk mencari informasi, melakukan negosiasi, membikin kontrak, dan menegakkannya (law enforcement). Untuk petani tebu, dalam penelitian saya, sekurangnya terdapat 20 variabel biaya transaksi, misalnya biaya bunga kredit, marjin bunga, biaya oportunitas antre giling, iuran koperasi/APTR, pajak lahan dan desa, pembuatan kontrak, potongan keamanan, dan masih banyak lagi.

Celakanya, seluruh beban itu ditanggung oleh petani karena posisi tawarnya yang rendah. Dalam kasus antre giling, misalnya, seharusnya biaya oportunitas dibebankan kepada pabrik gula karena mereka yang mengatur jadwal tebang. Dengan deskripsi itu, pada level mikro masalah yang terjadi sesungguhnya amat rumit, namun pemerintah kurang berupaya menanganinya secara benar.

Kalaupun ada kebijakan, selalu yang diutak-atik adalah biaya produksi. Tentu saja kebijakan ini perlu, tapi jelas tidak memadai untuk menangani persoalan kelembagaan yang pelik tersebut.

Oleh karena itu, dalam jangka panjang pemerintah perlu memahami dan mendalami struktur persoalan sektor pertanian sampai di tingkat mikro, sehingga diperoleh informasi yang akurat untuk mendesain kebijakan. Pada titik ini, pemerintah perlu membuka diri terhadap pendekatan baru sehingga memperoleh deskripsi yang lebih tajam.

Jika pendekatan lama yang digunakan, berita basi seperti di atas akan terus berulang setiap tahun, yakni lahan pertanian semakin berkurang dan petani pendapatannya kian merosot, tanpa tahu penyebabnya.

Pada titik ini, pendekatan ekonomi kelembagaan menawarkan perspektif yang lebih kaya, yakni melihat persoalan ekonomi bukan sekadar mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya, tetapi juga mengamati struktur kekuasaan/kekuatan (structure of power) antar-pelaku ekonomi.

Dengan pendekatan inilah, anatomi persoalan di sektor pertanian (sampai di tingkat mikro) akan lebih mudah dikenali dan dicarikan pemecahannya. *

Penulis adalah Direktur Eksekutif ECORIST (The Economic Reform Institute), dosen Unibraw, Malang

Kelembagaan Inflasi

Oleh Ahmad Erani Yustika

ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Pascasarjana FE Unibraw, direktur eksekutif Indef di Jakarta.

Sumber: (Jawa Pos Online), April 12, 2008

Sebagian besar ekonom meyakini bahwa inflasi Maret 2008 akan lebih rendah daripada Februari 2008. Ternyata, prediksi itu jauh dari kenyataan karena inflasi Maret 2008 melambung ke angka 0,95%. Secara keseluruhan, triwulan I 2008 inflasi mencapai 3,41%. Angka itu sudah lebih dari separo target pemerintah yang mematok inflasi 2008 sebesar 6,5%. Jadi, rasanya, total inflasi 2008 pasti akan melonjak di atas 7%.

Bahkan, apabila inflasi dihitung year-on-year (Maret terhadap Maret), maka inflasi sekarang sudah mencapai 8,17%. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, inflasi Maret 2008 jauh lebih tinggi daripada Maret 2006 (0,03%) dan Maret 2007 (0,24%).

Fenomena inflasi kali ini sangat menarik untuk dicermati. Sebab, terdapat gejala yang kian pasti bahwa sumber inflasi tersebut tidak lagi dalam area moneter maupun jumlah produksi dan harga internasional (khususnya komoditas pangan). Faktor-faktor nonmoneter inilah yang mesti diperiksa secara saksama.

Inflasi dan Kemiskinan

Inflasi kali ini pasti memukul golongan masyarakat miskin karena sumber utama inflasi berasal dari kenaikan harga pangan dan bahan makanan. Padahal, struktur pengeluaran masyarakat miskin sekitar 80% digunakan untuk konsumsi pangan. Tentu saja implikasi inflasi seperti sekarang akan memiliki dampak yang berlainan apabila sebagian besar penyumbang inflasi berasal dari nonpangan (misalnya barang elektronika). Jika itu yang terjadi, kaum miskin tidak terlalu terkena beban.

Dengan begitu, tanpa pengendalian inflasi atau mencari terobosan pemecahan lain, maka inflasi kali ini berpotensi menambah jumlah orang miskin baru. Di luar itu, inflasi sekarang juga tidak memiliki dampak peningkatan pendapatan terhadap petani meski harga komoditas pertanian sedang melesat. Hal itu terjadi karena komoditas pangan tersebut sudah tidak di tangan petani dan posisinya yang selalu marginal berhadapan dengan pelaku di sektor hilir.

Berikutnya, penyebab inflasi kali ini juga tidak bisa disederhanakan hanya karena kenaikan harga minyak dan komoditas pangan di pasar internasional. Sumber kenaikan harga itu dapat dipakai untuk menerangkan inflasi pada akhir 2007 dan awal 2008 -sebelum Maret-, tapi tidak sahih lagi pada saat ini. Sebab, sejak Maret 2008 sudah terdapat tendensi stabilitas harga komoditas di pasar internasional -meski tetap dalam kisaran harga yang tinggi- sehingga inflasi domestik mestinya sudah diserap sebelum Maret 2008.

Oleh karena itu, harga pangan domestik yang tidak menunjukkan gejala penurunan (setidaknya stabil) bukan lagi disebabkan oleh pergerakan harga internasional. Di sinilah perlu ditelusuri secara mendalam kelembagaan inflasi saat ini. Maksud kelembagaan di sini adalah koridor aturan main yang telah didesain, tetapi dalam implementasinya mengalami banyak gangguan.

Salah satu sebab yang paling mungkin adalah soal kelembagaan distribusi komoditas pangan (pertanian secara umum) yang tidak tuntas sampai sekarang. Kelembagaan distribusi komoditas pangan di Indonesia sangat oligopolis, di antaranya komoditas gula, kedelai, dan minyak goreng. Pelaku di sektor hilir (untuk minyak goreng juga terjadi di hulu) yang jumlahnya hanya segelintir inilah yang menguasai rantai distribusi sehingga dengan mudah dapat mengendalikan pasokan di pasar. Kekuatan pelaku distribusi ini sangat besar sehingga hanya pemerintah yang dapat meregulasi agar kontrol harga dan pasokan tidak lagi di tangan mereka.

Tetapi, desain regulasi itu bukan pada tataran teknis, seperti dengan membuat HPP (harga pokok pemerintah) atau penetapan harga dasar, melainkan juga membuka kesempatan pelaku ekonomi yang mau masuk ke rantai distribusi sehingga struktur pasarnya tidak lagi terkonsentrasi (oligopolistis).

Kebijakan Alternatif

Setelah memahami karakter inflasi semacam itu, sebetulnya kebijakan apa yang bisa disusun pemerintah (termasuk bank sentral/BI) untuk mengatasinya? Sejak beberapa tahun terakhir ini BI memang telah fokus menerapkan kebijakan panargetan inflasi (inflation targeting) dengan hasil yang cukup bagus.

Tapi, tampaknya BI harus berhitung ulang untuk memakai kebijakan tersebut pada situasi sekarang. Pertama, kondisi saat ini memperlihatkan bahwa penyumbang inflasi tidak lagi dalam ruang lingkup moneter, misalnya kenaikan pangan dan minyak, sehingga kemampuan BI menjadi sangat berkurang untuk mengendalikannya.

Kedua, BI sendiri sudah mulai kedodoran untuk mengendalikan inflasi inti (khususnya yang berasal dari kurs rupiah/dolar). Jadi, dalam posisi ini, untuk mengendalikan inflasi inti saja sebenarnya kesanggupan BI sudah mulai merosot. Mungkin, hal itu juga disebabkan persoalan internal, seperti kasus yang menimpa Burhanuddin Abdullah.

Menurut saya, dalam situasi ini mesti ada salah satu variabel ekonomi yang dikorbankan. Secara teoretis, memang tidak logis menurunkan BI rate di tengah situasi inflasi yang tinggi. Tapi, jika kita berpikir text-book, bisa jadi semuanya tidak akan tercapai.

Oleh karena itu, perlu dipikirkan untuk menurunkan BI rate yang nantinya akan ditransmisikan ke dalam penurunan suku bunga kredit. Harapannya, penurunan suku bunga akan mendorong investasi. Seterusnya, peningkatan investasi akan membuka lapangan kerja dan penambahan output. Pemerintah tinggal memberikan insentif agar investasi itu lari ke sektor padat karya (pertanian dan industri menengah/kecil) sehingga lapangan kerja yang dibuka menjadi lebih besar.

Jadi, kalaupun dengan kebijakan itu inflasinya tetap tinggi, akan bisa dikompensasi oleh kenaikan daya beli (akibat memperoleh pekerjaan). Kebijakan ini jauh memberikan kepastian ketimbang memaksakan pengendalian inflasi yang sulit dilakukan.

Ahmad Erani Yustika, ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Pascasarjana FE Unibraw, direktur eksekutif Indef di Jakarta. (Jawa Pos Online)

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.