Kelembagaan DAS

Kirsfianti Ginoga, dkk

BIAYA TRANSAKSI DAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS: PERSPEKTIF UNTUK SUB DAS CICATIH1

Oleh : Kirsfianti Ginoga2, Sulistya Ekawati2 dan Deden Djaenudin2

——

1 Makalah disampaikan dalam seminar peran serta para pihak dalam pengelolaan Jasa Lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cicatih-Cimandiri

2 Peneliti pada Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Bogor

——

PENDAHULUAN

Sub DAS Cicatih merupakan salah satu dari beberapa Sub DAS yang ada di DAS Cimandiri. DAS Cimandiri menurut klasifikasi Ditjen RLPS (2000) merupakan DAS lokal, artinya DAS yang secara geografis terletak secara utuh berada di satu kabupaten/kota, dan/atau DAS yang secara potensial hanya dimanfaatkan oleh satu daerah kabupaten/kota. Sub DAS Cicatih termasuk ke dalam wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Sukabumi, meliputi 15 kecamatan, 107 desa, dengan total luas 53.017,319 Ha (SBRLKT Ciliwung, 1994).

Sub DAS ini menyediakan jasa, baik yang terukur (tangible) maupun tidak terukur (intangible). Salah satu jasa yang dihasilkan adalah air. Air dari Sub DAS Cicatih tidak hanya menghidupi masyarakat, tetapi juga memberikan sumbangan terbesar bagi PAD (Pendapatan Asli Daerah). Lebih dari 50 % dari total PAD berasal dari retribusi air (Kompas, 2003). Keberadaan Sub DAS Cicatih mempunyai fungsi penting oleh karena itu harus dikelola secara berhati-hati.

Pengelolaan sumberdaya alam (air) dengan pendekatan Daerah aliran Sungai (DAS) telah menjadi konsep yang universal. Menurut Pangesti dkk (2001), air sebagai sumberdaya alam yang mengalir (flowing resources) yang tidak mengenal batas administrasi menimbulkan berbagai konsekuensi yang perlu dipertimbangkan dalam pengaturan desentralisasi wilayah pengelolaannya yaitu :

  1. Pemanfaatan air di suatu wilayah administrasi bagian hulu akan menghilangkan peluang kegunaannya di wilayah administrasi lain di hilirnya yang mungkin dapat memberikan alternatif manfaat yang lebih tinggi (opportunity value) yang lebih besar.
  2. Pencemaran air di wilayah administrasi bagian hulu akan memberikan biaya sosial di wilayah administrasi lain di bagian hilir (externality effect).
  3. Wilayah administrasi bagian hulu adalah penjaga kelestarian sumberdaya air, tetapi penerima manfaat utamanya adalah wilayah administrasi bagian hilir.

Dengan adanya konsekuensi tersebut, timbul pertanyaan bagaimana biaya dan manfaat itu diatur dalam pembagian secara adil dan proporsional di antara pemerintah daerah yang terlibat, dunia usaha dan masyarakat. Sampai saat ini belum ada mekanisme yang jelas untuk mengatur biaya-manfaat. Walaupun inisiatif secara lokal sudah sudah dilakukan di beberapa lokasi seperti yang terdapat di DAS Cidanau, Banten.

Agar Sub DAS Cicatih dapat memberikan manfaat kepada banyak pihak diperlukan penguatan pengelolaan DAS terpadu. Pengelolaan DAS terpadu mensyaratkan keterpaduan antara sektor, multi disiplin dan keterpaduan wilayah (hulu sampai hilir). Beragamnya stakeholders yang terlibat dan berbagai kepentingan yang berbeda menjadi masalah utama dalam pengelolaan DAS terpadu, oleh karena itu diperlukan suatu kelembagaan 3 untuk mengatur perilaku seluruh stakeholder agar bersepakat untuk bersama-sama mewujudkan pengelolaan Sub DAS Cicatih secara berkelanjutan. Pengelolaan kelembagaan air dalam konteks DAS juga mensyaratkan apa yang disebut sebagai biaya transaksi (transaction cost). Dimana pengelolaan kelembagaan dilihat sebagai suatu upaya meminimisasi biaya transaksi. Biaya transaksi dapat didefinisikan sebagai seluruh ongkos yang timbul karena pertukaran dengan pihak lain. Biaya transaksi ini cukup mahal karena banyaknya aktor yang terlibat di dalamnya serta kompleksitas pengaturan dan biaya pengawasan yang ditimbulkan (Fauzi, 2004).

——-

3 Kelembagaan menurut Ruttan dan Hayami (1984) adalah aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan setiap orang atau organisasi mencapai tujuan bersama yang diinginkan. Sedangkan Ostrom (1985) mendefinisikan kelembagaan sebagai aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota untuk mengatur hubungan yang saling mengikat dan tergantung satu sama lain. North (1990) lebih menekankan kelembagaan sebagai aturan main di dalam suatu kelompok yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik.

Dari definisi-definisi tersebut dapat dikatakan bahwa kelembagaan adalah aturan yang yang memfasilitasi instusi atau organisasi dalam berkoordinasi dan bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan. Aturan disini mencakup aturan formal dan non formal yang diperlukan dan disepakati bersama. Karena itu aturan disini harus jelas, terukur dan konsisten. Organisasi atau institusi yang terlibat diharapkan mempunyai sumberdaya manusia yang kredibel dan mempunyai pengetahuan serta pengertian yang cukup tentang permasalahan yang ada.
——

Kemungkinan adanya informasi yang tidak simetris juga dapat terjadi dalam pengelolaan DAS dan sumber daya air khususnya, di mana satu pihak lebih mengetahui mengenai berbagai atribut ekonomi dan ekologi sumber daya air sehingga kembali melahirkan biaya transaksi yang sangat tinggi yang pada gilirannya akan menghambat pengelolaan DAS dan sumber data air yang optimal. Saat ini ada beberapa lembaga yang sudah dirintis dalam pengelolaan DAS, baik yang dibentuk oleh institusi pemerintah maupun non pemerintah/LSM, namun lembaga yang ada tersebut belum berjalan sesuai dengan harapan. Begitu juga biaya transaksi yang ditimbulkan dalam pengelolaan kelembagaan tersebut dapat lebih tinggi daripada manfaat yang bakal diterima oleh stakeholders yang terlibat.

Tulisan ini secara umum bertujuan untuk menyediakan informasi tentang biaya transaksi dalam kelembagaan DAS lokal, sebagai salah satu wacana dalam pembentukan kelembagaan DAS Cicatih. Secara khusus tulisan ini bertujuan untuk :

  1. Menyedikan informasi tentang kondisi mekanisme pengelolaan DAS saat ini.
  2. Merumuskan model kelembagaan pengelolaan DAS ke depan
  3. Memberikan informasi biaya transaksi dalam kelembagaan pengelolaan sumber daya air

KONDISI PENGELOLAAN DAS SAAT INI

DAS dalam kenyataannya dikelola dan dimanfaatkan oleh banyak pihak (multistakeholsers). Pihak-pihak tersebut adalah :

  1. Lembaga pemerintah : BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai), Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, Bapedalda, DPSDA (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air), dan sebagainya,
  2. BUMN/BUMD : PLN, PDAM, Perum Perhutani, PJT,
  3. Lembaga Non Pemerintah, ada 2 yaitu dunia usaha/swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
  4. Masyarakat

Masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang berbeda, bahkan kadang-kadang bertentangan. Sehingga tidak mengherankan ada kecenderungan DAS dikelola secara terfragmentasi. Sebagai contoh Pemerintah Daerah Sukabumi berusaha menarik investor untuk menaikkan PAD-nya. Menurut (Kompas, 2004), sejak awal dekade 1990-an, bermunculan pabrik yang memproduksi air minum di Sukabumi. Pada tahun 2004, terdapat 18 perusahaan AMDK (Air Minum Dalam Kemasan) di kawasan utara Sukabumi, tepatnya di Kecamatan Cicurug, Cidahu, Parakansalak, dan Parungkuda (semua masuk dalam catchment area Sub DAS Cicatih). Maraknya industri AMDK tersebut karena di Sub DAS Cicatih banyak terdapat mata air dengan kualitas kejernihan yang lebih tinggi dibanding dengan mata air di daerah lain (Sinar Harapan, 2003). Di daerah Parakansalak terdapat danau Sukarame, yang sangat strategis secara hidrologis dan saat ini hanya tinggal kurang lebih 2 ha dengan debit 60 l/detik (Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bagian Lingkungan Hidup Kab. Sukabumi., 1998).

Di sisi lain menurut Suara Pembaharuan (2003), sejak tiga tahun terakhir, ada sebagian masyarakat di daerah tersebut mengeluh kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Padahal kebutuhan air di kec. Cicurug, Cidahu, Parakansalak dan Parungkuda tahun 1998 hanya sebesar 4.7 juta m3/tahun, dibandingkan dengan kebutuhan industri sebesar 136.3 juta m3/tahun, atau hanya 3 % dari kebutuhan industri (Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bagian Lingkungan Hidup Kab. Sukabumi., 1998). Saat musim kemarau, sebagian sumur milik warga mengalami kekeringan. Diduga keberadaan industri AMDK, menjadi penyebab utama kekeringan di desa itu. Sementara itu, pihak industri AMDK mengatakan bahwa pengambilan air oleh perusahaannya sama sekali tidak berdampak pada sumur penduduk karena lapisan air (aquifer) yang dijadikan sumber bahan baku AMDK sangat berbeda dengan lapisan air yang menjadi sumber air sumur penduduk. Selain itu Industri Aspadin (Asosiasi Perusahaan AMDK Indonesia) juga merasa menyelesaikan semua kewajiban dan tangung-jawabnya seperti: membayar retribusi kepada pemerintah daerah dan pemberdayaan masyarakat sekitarnya.

Dilihat dari sudut pandang ekonomi dan pembangunan, keberadaan pabrik-pabrik AMDK di wilayah tersebut seharusnya bisa mengangkat taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Namun pada kenyataannya, hampir sebagian besar masyarakat yang tinggal di Kecamatan Cidahu, masih hidup di bawah garis kemiskinan. Kondisi tersebut diperparah lagi dengan belum tersedianya infrastruktur desa berupa jalan yang memadai (Sinar Harapan, 2003). Menanggapi kenyataan tersebut Kabupaten Sukabumi mengeluhkan merosotnya perolehan PAD dari industri AMDK karena sesuai Keppres sebagian pendapatannya harus disetor ke pemerintah provinsi. Ini membuat pemasukan pajak dari AMDK untuk Sukabumi sangat sedikit. Padahal, masyarakat setempat yang paling merasakan dampak lingkungan eksploitasi air (Kompas, 2004).

Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Sukabumi mengungkapkan, seharusnya ada pembatasan penggunaan air baku maksimal 70 persen dari total kapasitas yang ada. Tetapi yang menjadi masalah adalah pihak dinas belum mengetahui berapa kapasitas air baku yang ada di daerah sentra industri AMDK itu. Pemerintah setempat berencana meminta kompensasi terhadap pemanfaatan air baku tersebut kepada kalangan industri AMDK dalam bentuk kegiatan penghijauan.

Fenomena di atas makin diperparah dengan kurang berjalannya mekanisme pengelolaan DAS terpadu. Mekanisme kerja lembaga pengelolaan DAS tidak terlepas dari fungsi-fungsi  pengelolaan yaitu : perencanaan, pelaksanaan dan monitoring evaluasi.

A. Perencanaan

Perencanaan di tingkat kabupaten pada masing-masing dinas disusun secara intern dalam lingkup dinas/kantor yang bersangkutan berdasarkan tupoksinya. Sebagai contoh Dinas Pertanian menyusun perencanaan di bidang tanaman pangan dan perkebunan, Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air menyusun perencanaan di bidang pengelolaan sumberdaya air, Bapedalda menyusun perencanaan di bidang pengendalian dampak lingkungan dan sebagainya. Masing-masing dinas di kabupaten memiliki Rencana Strategis Menengah (5 tahun) dan Rencana Jangka Pendek (1 tahun). Rencana-rencana tersebut kemudian dikoordinir oleh

Bappeda, selanjutnya dibahas dalam Rakorbang (Rapat Koordinasi Pembangunan). Bappeda sebagai salah satu fasilitator dalam perencanaan pembangunan hanya bertindak sebagai kompilator dari rencana-rencana yang disusun oleh masing-masing institusi yang ada di kabupaten. Oleh karena itu diperlukan pencermatan ulang tupoksi Bappeda, sehingga bukan hanya sebagai fasilitator dan koordinator dari perencana pembangunan di daerah, tetapi juga harus sebagai pelaksana penyusun rencana induk (master plan) daerah.Untuk mengoptimalkan penyusunan rencana induk tersebut diperlukan koordinasi yang baik dari semua instansi terkait sehingga rencana induk yang disusun mendapat dukungan dari semua pihak.

Belum semua institusi yang ada di Kabupaten menyusun perencanaannya dalam satuan ekosistem (DAS, SWS, dan sebagainya). Kegiatan sektoral yang disusun berdasarkan hamparan, belum mengacu pada konsep pengelolaan DAS dengan Sub DAS sebagai satuan pengelolaan. Konsep rehabilitasi hutan dan lahan dengan penanganan Sub DAS prioritas kurang relevan di era otonomi daerah. Konsep pemerataan lebih dipilih dibandingkan penanganan Sub DAS prioritas. Kegiatan pengelolaan DAS dengan penanganan Sub DAS prioritas akan membuat suatu kegiatan terkonsentrasi pada daerah tertentu saja. Hal ini juga merupakan alasan mengapa kegiatan di daerah dilaksanakan berdasarkan hamparan. Disamping itu dengan konsep pemerataan, pemerintah daerah berharap agar kegiatan tersebut menjadi stimulan agar masing-masing daerah termotivasi untuk melakukan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan secara swadaya.

B. Pelaksanaan

0t1

Pelaksanaan kegiatan pengelolaan DAS ditingkat kabupaten masih bersifat sektoral. Koordinasi antar stakeholders belum berjalan dengan baik. Koordinasi antar stakeholder hanya terbatas pada saat pembahasan di rapat-rapat. Padahal dalam kegiatan pengelolaan DAS harus dilakukan secara terpadu (multi sektor) dan menyeluruh (hulu-hilir). Di beberapa kabupaten di DAS Oyo dan DAS Progo (Propinsi DIY dan Jawa Tengah), sudah dibentuk Tim Koordinasi/Konsultatif Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. Tujuan dibentuknya tim konsultatif/forum koordinasi adalah untuk menjalin komunikasi yang sederajat dan meningkatkan koordinasi agar lebih intensif, tetapi dalam implementasinya tim tersebut tidak berjalan. Sebenarnya ada beberapa institusi di kabupaten yang mengemban tugas dalam koordinasi kegiatan pembangunan seperti terlihat pada Tabel 1 sebagai berikut.

Fungsi koordinasi tersebut sudah mulai berjalan, tetapi masih perlu ditingkatkan. Fungsi koordinasi tersebut seharusnya juga mengarah ke pengelolaan DAS terpadu, walaupun sampai saat ini masih harus dipertimbangkan siapa yang menjadi inisiator/motivator/fasilitatornya.

C. Monitoring dan Evaluasi (Monev)

Monitoring kegiatan pada kabupaten dilaksanakan secara on site, belum bersifat off site, karena satuan pelaksanaan kegiatan pengelolaan DAS berdasarkan hamparan. Masing-masing sektor melakukan monitoring dan evaluasi berdasarkan sektor masing-masing. Kegiatan monev belum dilakukan secara holistik. Bapedalda memonev dampak lingkungan yang lebih mengarah ke kualitas air, demikian juga BPSDA memonev pengelolaan sumberdaya air. Belum ada suatu institusi yang memonev kegiatan pengelolaan DAS secara terpadu. BPDAS hanya mengadakan monitoring dengan memasang SPAS dan mengamati perubahan tata guna lahan pada mikro DAS kecil, sehingga belum mencerminkan karakteristik DAS secara keseluruhan.

BENTUK KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS YANG DIHARAPKAN

Untuk mengatur dan mengarahkan perilaku stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan DAS perlu suatu kelembagaan. Menurut Soekanto (1999), fungsi kelembagaan adalah :1) sebagai pedoman bagi masyarakat untuk bertingkah laku, 2) menjaga keutuhan masyarakat dan 3) sebagai sistem pengendalian sosial (social control), artinya sistem pengawasan dari masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya.

Ada beberapa alternatif bentuk penguatan kelembagaan dalam pengelolaan DAS, antara lain: (i) membentuk kepengurusan kolaboratif (collaborative), (ii) membentuk lembaga baru, dan (iii) memanfaatkan lembaga yang sudah ada. Membentuk kepengurusan kolaboratif dalam bentuk forum atau badan koordinasi merupakan salah satu alternatif yang paling memungkinkan dalam penguatan kelembagaan pengelolaan DAS saat ini. Pernyataan tersebut didukung oleh beberapa kondisi yang mendukung, antara lain:

  1. Sesuai dengan perundangan-undangan yang ada (UU No 7 tahun 2004).
  2. Kegiatan pengelolaan DAS melibatkan banyak stakeholders, lintas sektoral, multidisiplin dan lintas wilayah, oleh karena itu kelembagaan yang disusun hendaknya kelembagaan yang bersifat independent dan mewakili banyak pihak.
  3. Permasalahan yang paling menonjol dalam pengelolaan DAS saat ini adalah koordinasi, oleh karena itu pengelolan DAS ke depan perlu suatu wadah untuk mengikat, menyatukan dan menselaraskan semua sektor dan wilayah agar dapat mewujudkan pengelolaan DAS yang berkelanjutan.

Kedudukan lembaga kepengurusan bersama tersebut kaitannya dengan stakeholder lainnya dapat dilihat pada gambar berikut.

0g1

Gambar 1. Kolaboratif Multistakeholder dalam Pengelolaan DAS

Karena DAS Cimandiri merupakan DAS lokal (DAS dalam satu kabupaten), maka sesuai perundangan yang ada nama kelembagaan pengelolaan DAS adalah PPTPA (Panitia Pelaksana Tata Pengaturan Air). PPTA diharapkan merupakan wadah yang terstruktur dan independen dari perwakilan para pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS untuk saling berkomunikasi, berkonsultasi dan berkoordinasi dalam kegiatan pengelolaan DAS.

Kedudukan PPTPA tersebut sebagai fasilitator diantara para pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS (operator/provider, regulator/owner, user). Hubungan PPTPA dengan stakeholders lain pada dasarnya bersifat konsultatif dan koordinatif. Keputusan penetapan kebijakan tetap dilakukan pihak regulator. Keanggotaan PPTPA merupakan perwakilan dari pihak-pihak di atas. Tugas pokok dari PPTPA adalah menyusun kebijakan, rencana, koordinasi pelaksanaan dan memonitor serta mengevaluasi kegiatan pengelolaan DAS. Hasil kerja PPTPA diserahkan kepada pihak regulator (Presisen, Gubernur, Bupati/Walikota) sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan keputusan yang terkait dalam kegiatan pengelolaan DAS.

Secara lebih detail, fungsi PPTPA adalah :

  1. Menyusun rencana dan program pengelolaan DAS secara kolaboratif
  2. Mengkaji permasalahan-permasalahan yang timbul akibat kegiatan pengelolaan DAS, misalnya bencana alam dan sebagainya.
  3. Memberi saran/pertimbangan kepada regulator dalam kegiatan yang terkait dalam kegiatan pengelolaan DAS, misalnya pemberian ijin penambangan galian dalam DAS,  pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya air, pengendalian bencana alam (longsor, banjir dan sebagainya).
  4. Memfasilitasi kegiatan koordinasi dalam bentuk rapat-rapat seluruh stakeholders
  5. Melakukan pengawasan dalam bentuk monitoring dan evaluasi kegiatan pengelolaan DAS oleh seluruh stakeholders apakah sesuai dengan rencana yang disusun secara kolaboratif atau tidak.

Di bawah ini (Gambar 2) adalah contoh institusi PPTA yang sudah mulai berjalan, yaitu PPTA di DAS Citarum.

0g2

Gambar 2. PPTPA DAS Citarum

Secara konseptual, sebenarnya PPTPA dapat menjadi andalan dalam pengelolaan SDA untuk secara struktural dan dalam waktu relatif singkat dapat meningkatkan kinerja DAS. Hanya memang, di sektor kehutanan, konsep ini akan lebih signifikan dampaknya kalau tidak hanya mengandalkan pengelolaan air saja. Pembangunan hutan tanaman rakyat, baik melalui reforestasi maupun aforestasi, baik dalam bentuk agroforestry maupun bentuk lain seperti hutan monokultur, diyakini mampu lebih luas menjangkau kantung-kantung konservasi dan preservasi sumber daya air, sekaligus mengurangi kemiskinan dan pengangguran.

Dalam implementasinya, PPTPA Citarum ternyata mengalami banyak hambatan sehingga hasilnya belum semaksimal yang diharapkan. Setidaknya ada du kelompok hambatan terbesar, yaitu (a) komitmen terhadap kesepakatan dalam kelembagaan, dan (b) volume air yang diatur terus menurun (Irianto, pers communication).

Oleh karena itu dalam proses penguatan kelembagaan ini bagaimana melembagakan PPTPA menjadi penting, termasuk kesanggupan mengubah nilai-nilai dan aturan main untuk memperbaiki apa yang akan dihasilkan dan berjalannya kelembagaan tersebut. Salah satu aspek yang menentukan upaya pelembagaa pengelolaan DAS adalah biaya transaksi.

BIAYA TRANSAKSI 4 DALAM KELEMBAGAAN DAS

Penguatan kelembagaan air dalam konteks DAS mensyaratkan apa yang disebut sebagai biaya transaksi (transaction cost). Bagaimanapun untuk mencapai kesepakatan dalam kelembagaan DAS memerlukan biaya transaksi yang minimal. Minimumnya biaya transaksi akan mempunyai implikasi terhadap tercapainya komitmen kesepakatan bersama , yang pada akhirnya akan tercapai distribusi manfaat yang adil antar stakeholder dan kelestarian.

0r1

4 Biaya transaksi dapat didefinisikan sebagai seluruh ongkos yang timbul karena pertukaran dengan pihak lain.

Secara teoritis kesepakatan dalam kelembagaan DAS akan tercapai apabila biaya transaksi yang ditimbulkan dari aransemen kelembagaan lebih rendah dari manfaat yang akan dirasakan bagi setiap stakeholder dalam pengelolaan DAS. Manfaat ini antara lain adalah mengurangi konflik kepentingan, mengurangi over-ekploitasi sumber air, atau konservasi pemeliharaan DAS. Dalam notasi matematik adalah (Rumus 1).

Biaya transaksi terdiri dari (i) pencarian informasi, (ii) manajemen stakeholders, dan monitoring, serta (iii) penegakan aturan dan kesepakatan, mencakup asuransi dan pencegahan konflik. Biaya informasi umumnya dilaksanakan pada tahap perencanaan, yaitu biaya mengenai stakeholder yang berkepentingan, lokasi, peran, tupoksi dan lain sebagainya. Kartodiharjo, dkk (2004) menyebutkan bahwa informasi tentang peran setiap aktivitas institusi tersebut sangat penting terutama untuk menghubungkan dengan struktur insentif. Karena setiap pembuatan konsesus atau kesepakatan juga perlu banyak informasi.

Biaya manajemen stakeholder mencakup biaya koordinasi, sosialisasi, pertemuan, monitoring dan lain sebagainya. Komponen biaya transaksi untuk kelembagaan jasa lingkungan umumnya dapat dilihat pada Tabel 2.

0t2

Tabel 2 juga menyebutkan siapa yang diperkirakan akan menanggung biaya transaksi. Untuk pencarian informasi, fasilitator dapat menanggung biaya informasi.

Biaya transaksi ini cukup mahal karena banyaknya aktor yang terlibat di dalam pengelolaan DAS dan air, serta kompleksitas pengaturan dan biaya pengawasan yang ditimbulkan (Akhmad, 2004). Perkiraan besarnya biaya transaksi dalam pengembangan jasa lingkungan dapat dilihat pada Tabel 3.

Dalam kasus HKM di Sumberjaya, Lampung, masyarakat mengeluarkan biaya transaksi sebesar paling tidak Rp 593 590 per rumah tangga. Hal ini dilakukan masyarakat untuk mendapat kepastian akan hak kepemilikan terhadap lahan dalam kawasan lindung serta hasil produksi dari lahan yang telah dikelolanya dengan berdasarkan pada kebijakan pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM). Besarnya biaya transaksi ini menunjukkan ketidakefisienan kelembagaan yang ada, dan ketidakjelasan struktur kebijakan baik di tingkat lokal maupun nasional. Karena itu peran kelembagaan yang dapat berfungsi sebagai fasilitator dan mengkoordinir semua multistakeholder untuk mengurangi biaya transaksi uini sangat diperlukan. Untuk biaya transaksi jasa penyerapan karbon malah jauh lebih besar lagi, karena mengharuskan adanya sertifikasi.

0t3

——–

5 Diambil dari Arifin (2006)

6 Diambil dari Ginoga, dkk (2005). Kajian Kelembagaan Jasa Usaha Karbon.

——–

Penutup: Sebuah Proposal

Penguatan kelembagaan seperti PPTPA diperlukan untuk mengurangi biaya transaksi dan mencapai kesepakatan multi stakeholder. Secara konseptual, kinerja PPTPA dapat ditingkatkan apabila tidak hanya mengandalkan pengelolaan air saja. Pembangunan hutan tanaman rakyat, melalui reforestasi maupun aforestasi, dalam bentuk agroforestry, diyakini mampu lebih luas menjangkau kantung-kantung konservasi dan preservasi sumber daya air, sekaligus mengurangi kemungkinan tingginya biaya transaksi.

Hambatan kelembagaan SDA dapat diatasi apabila komitmen terhadap kesepakatan dapat ditiingkatkan melalui penyebaran biaya dan manfaat yang lebih merata.

Disusunnya sebuah master plan yang disepakati bersama oleh semua stakeholder, eksekutif, legislatif, yudikatif, lembaga negara lain seperti BPK dan masyarakat sipil mengenai pengembangan sumber daya alam. Master plan ini berlaku 15-20 tahun ke depan. Target dan detil lainnya perlu dibahas lebih lanjut.

Penguatan kelembagaan DAS perlu meliputi dua komponen sekaligus, yaitu konservasi hutan dan kelestarian air. Karena itu perlu segera disusun Peraturan Pemerintah turunan dari UU tentang Kehutanan, yang memuat setidaknya: (a) insentif bagi pengelolaan jasa air, (b) pengembangan lembaga pembiayaan jasa air. Salah satu bentuk insentif ini adalah dalam hal perpajakan. Di Brazil, perusahaan kehutanan diperkenankan mengalokasikan 50% dari kewajiban pajaknya untuk menanam hutan, baik secara korporat maupun oleh keluarga/rakyat, dan (c) pengembangan skema reinvestasi bagi hutan tanaman, terutama oleh industri perusahaan air minum.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Bustanul. 2006. Transaction Cost Analysis of Upperstream-Downstream Relation in Watershed Services: Lessons from Community-Based Forestry Management in Sumatra, Indonesia. Contribute Paper for International Association of Agricultural Economists Conference, Gold Coast, australia, August 12-18, 2006.

Fauzi, Ahmad,2004. Mencermati Implementasi UU Sumberdaya Air.http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0403/15/opini/910328.htm Direktorat Geologi Tata Lingkungan,

Bagian Lingkungan Hidup Kabupaten Daerah Tingkat II, Sukabumi. 1998. Studi Sumberjaya Air Tanah di Kecamatan Cicurug, Cidahu, Parakansalak dan parungkuda Kabupaten DT II Sukabumi Propinsi Jawa Barat. Bandung

Ditjen RLPS. 2000. Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Departemen Kehutanan Jakarta.

Kartodihardjo, H., K. Murtilaksono, dan Untung Sudadi. 2004. Institusi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai: Konsep dan Pengantar Analisis Kebijakan. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Kompas, 2003. Sukabumi, Sumber Air Mineral. Senin, 10 Maret 2003

Kompas, 2004. Air Pegunungan Sukabumi Semakin Bernilai . Jum’at, 20 Agustus 2004.

Kompas, 2004.Jalan Hancur, Investor Angkat Kaki. Jum’at, 20 Agustus 2004.

Kompas, 2004. Aspadin Ikut Menjaga Kelestarian Alam. Jum’at, 20 Agustus 2004.

North, DC. 1990. Institutions, Institutional Change and Economic Performance. Cambridge University Press. Cambridge.

Ostrom, E. 1985. Formulating the elements of institutional analysis. Paper presented to conference on Institutional Analysis and Development. Washington D.C. May 21-22, 1985.

Pangesti, D.R , Nani S. dan Budi S. 2001. Sungai Sebagai Sumberdaya Alam yang Mengalir. Dalam Kodoatie, dkk.ed. Pengelolaan Sumberdaya Air dalam Otonomi Daerah. Andi. Yogyakarta.

Ruttan VW and Hayami, Y. 1984. Toward a theory of induced institutional innovation. Journal of Development Studies. Vol. 20:203-33. SBRLKT Ciliwung, 1993. RTL RLKT Sub DAS Cicatih. DAS Cimandiri. SBRLKT Ciliwung. Bogor.

Sinar Harapan, 2003. Air Mata dari Kawasan Sumber Mata Air

Suara Pembaharuan,2003. Warga Desa Babakan Pari Mengeluh Kekurangan Air Bersih, 29 Pebruari 2003.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.