Kelembagaan DAS

Artikel Biaya Transaksi

BIAYA TRANSAKSI POLITIK

Oleh: Ahmad Erani Yustika

Sumber: http://news.okezone.com/ Senin, 23 April 2007

Hampir tanpa preseden,rezim yang berkuasa pada awalnya tidak diikuti kecemasan oleh parakonstituennya, tidak terkecuali pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono danJusuf Kalla.

Meski begitu, terhadaprezim ini, publik cemas akan dua hal. Pertama, figur presiden yang terlaluhati-hati dalam mengambil keputusan, bahkan cenderung lembek. Kehati-hatiantentu merupakan hal yang sangat penting dalam proses pengambilan keputusan,namun apabila dosisnya terlalu tinggi (sehingga berubah menjadi ketidaktegasan)berpotensi memupuk skala persoalan menjadi lebih luas. Publik mencatat, aspekinilah titik terlemah presiden.

Kedua, figur wakil presidenyang berlatar belakang pengusaha/saudagar dianggap berpotensi menumpuk konflikkepentingan dalam proses pengambilan keputusan. Dalam beberapa kasus, konflikkepentingan ini sudah mulai menyeruak dan sulit untuk ditutupi bau amisnya.Celakanya, potensi konflik kepentingan ini menyebar hingga ke jajaran kabinetkarena sebagian diisi oleh figur yang dikenal sebagai saudagar kakap. Mudahdiduga, persuaan dua kecemasan itu bakal menjelma menjadi horor publik bilamenyangkut soal kebijakan yang strategis.

Lapindo dan Jalan Tol

Kecemasan itulah yangkemudian menjelmasetidaknyadalam dua kasus kontroversial berikut. Sejak Mei2006,operasi korporasi Lapindo Brantas (di mana sebagian besar sahamnyadipegang Grup Bakrie) memicu semburan lumpur panas (mud vulcano) yangmenenggelamkan ribuan rumah/pabrik/ jalan dan kehidupan rakyat Sidoarjo. Kasusini sebetulnya sederhana untuk diselesaikan, namun menjadi rumit akibat silangkepentingan yang terlibat antara kepentingan modal dan hajat politik yangsebagian ditandai oleh kehadiran pemilik korporasi tersebut dalam formasikabinet.

Berikutnya, soal yang satuitu masih jauh dari rampung, tiba-tiba pemerintah memenangkan Grup Bakrie(melalui PT Semesta Marga Raya) dalam tender proyek jalan tol yang bernilaiRp1,39 triliun. Dalam situasi tanpa ada masalah Lapindo pun, produk kebijakansemacam itu mestinya tidak boleh muncul karena jepitan etis yang membatasiproduksi kebijakan publik. Rupanya, pemerintah berpikir lain dari logika etisitu sehingga rambu-rambu itu tetap ditabrak dengan memenangkan tender GrupBakrie sehingga menambah luka yang dirasakan oleh rakyat Sidoarjo, khususnya korbanlumpur Lapindo.

Bagaimanakah fenomena itumesti dibuka dan dianalisis? Pertama, ternyata transaksi politik antarapemerintah yang berkuasa dan konstituen pendukungnya berpotensi menyimpanjual-beli kebijakan karena pertemuan antara modal dan politik. Alurnyasederhana, capres/cawapres butuh dana yang sangat besar dalam kegiatan kampanyeagar menang dalam pemilu. Berikutnya, tidak mungkin seluruh dana tersebutberasal dari kantongnya sendiri.

Di sinilah pengusaha(saudagar) mengisi kekosongan modal yang dipunyai oleh capres/cawapres yangkemudian memenangi pertarungan tersebut. Tentu, saudagar itu berharap mendapatimbalan setelah calon yang didanainya merengkuh kekuasaan. Kedua, reformasipolitik (political reform) yang mengandaikan perubahan-perubahan proseduralternyata tidak menggaransi substansi apapun, kecuali pemberian mandat yanglebih besar kepada rakyat untuk memilih pemimpinnya (juga pemisahan antarapembuat legislasi dan pelaksananya).

Selebihnya, reformasipolitik tidak otomatis menopang reformasi kebijakan (policy reform) bilastruktur aktor-aktor yang terlibat dalam proses pengambil kebijakan tersebuttali-temali dengan kepentingan privat yang melekat di dalamnya. Di sini,penting untuk dipahami bahwa reformasi politik tanpa perubahan aktor hanya akanmenciptakan symbol-simbol baru yang tidak memiliki makna terhadap perubahan.

Ongkos Transaksi

Kedua fakta itulah yangkemudian menjadi katalis munculnya biaya transaksi politik (politicaltransaction costs). Dalam lapangan kebijakan, biaya transaksi politik itumenyembul dari dua sisi: (i) kedermawanan pemerintah dalam mengalokasikan jatahekonomi/ proyek (misalnya lewat tender) kepada saudagar yang dulu menjadipenyangga pemerintah sekarang berkuasa; dan (ii) hilangnya ruang pemerintah untukmemberikan penalti atas kesalahan ekonomi-politik bekas penyandang dananya.Tentu, keduanya adalah horor yang mencekam bagi kepentingan publik.

Transaksi ekonomi-politikitulah yang sekarang sedang dijalani oleh segitiga kepentingan dalam kasuslumpur Sidoarjo dan pemenangan tender jalan tol, yakni publik (rakyat Sidoarjoyang tercerabut hak kehidupan sosial-ekonomi-politik), pemerintah, dan pemilikmodal (Lapindo). Gampang ditebak bila posisi pemerintah dan pemilik modalberada pada lini dan regangan yang sama sehingga letak rakyat berada pada garisbagian bawah. Alhasil, konfigurasi kepentingan tersebut berbentuk segitiga samakaki dengan rakyat Sidoarjo sebagai alasnya.

Jadi, singkat cerita, biayatransaksi politik tersebut seluruhnya ditanggung oleh publik (dalam arti yangseluas-luasnya), arena biaya infrastruktur ekonomi yang roboh akibat lumpur itupun sekarang menjadi beban pemerintah. Adapun dalam kasus tender jalan tol,ongkos transaksi politik yang harus dibayar oleh rakyat adalah tidak adanya kesetaraanbagi setiap pelaku ekonomi untuk menangkap peluang kegiatan ekonomi.Implikasinya, pasar informasi menjadi tidak sempurna sehingga berpotensimenggagalkan setiap proyek pemerintah yang bakal dikerjakan dengan hasil(kualitas) yang paling baik.

Dalam jangka panjang, efektersebut terus mengular menjadi ketidakpercayaan publik terhadap seluruh prosestata kelola proyek pemerintah (baca: proses tender) sehingga membuat hilangnyakesempatan memperoleh kepastian efisiensi ekonomi. Karena itu, bila di awalpemerintahan sebuah rezim acap dibayangi kecemasan, maka di akhir masakekuasaannya boleh jadi akan diratapi dengan pembangkangan bila tidak mau/mampumengambil keputusan yang adil. Begitulah, proses transaksi politik memang kerapkali tidak mengenal sopan santun. (*)

AHMAD ERANI YUSTIKA
Dosen Departemen Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya dan
Direktur Eksekutif The Economic Reform Institute (Ecorist)

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.