Kelembagaan DAS

Dewi Retna I

KERJASAMA HULU HILIR DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Oleh : Dewi Retna I

Abstrak

Air yang merupakan sumberdaya yang mengalir (flowing resource) dari hulu ke hilir dan wilayah DAS yang tidak mempunyai batas yang bertepatan dengan batas wilayah administrasi, sering menimbulkan konflik kepentingan antara daerah hulu dan hilir. Oleh karena itu, dalam pengelolaan DAS perlu keterpaduan dan kerjasama antara wilayah hulu dan hilir. Upaya keterpaduan dan kerjasama hulu dan hilir ini dapat dilakukan antara lain dengan masing-masing wilayah menjalankan fungsi dan tugas pengelolaan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan yang ada di wilayahnya, dimana masyarakat hulu menjaga kuantitas air dengan jalan konservasi tanah di daerah tangkapan air, sedang masyarakat hilir dengan membuat bangunan resapan. Hal ini berarti bahwa harus ada komitmen yang kuat upaya dari setiap daerah untuk melakukan kegiatan pengelolaan DAS.

Di samping itu, perlu ada azas keadilan dalam kerjasama ini, artinya pihak yang lebih diuntungkan diharapkan dapat memberikan kontribusinya dalam upaya. pengelolaan DAS. Masyarakat yang memperoleh manfaat atas pengelolaan DAS wajib menanggung biaya pengelolaan berdasar prinsip kecukupan dana (cost recovery). Ini mengandung arti ada penanggungan biaya bersama (cost sharing) dalam pengelolaan DAS. Dengan demikian pelaksanaan kegiatan konservasi tanah dan air di bagian hulu DAS dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dengan adanya biaya dari stakeholders yang mendapat manfaat sebagai akibat adanya kegiatan tersebut.

Dalam konsep kerjasama hulu hilir pengelolaan DAS ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu : 1) harmonisasi dan sinkronisasi visi, misi dan kebijakan pengelolaan DAS antar pemerintah kabupaten/propinsi; 2) perumusan mekanisme kerjasama; 3) pelibatan berbagai aktor seperti LSM, pakar sektor bisnis, serta pemerintah dari pusat sampai daerah; 4) peningkatan partisipasi masyarakat lokal pada berbagai tingkat melalui penyuluhan; dan 5) diberlakukan reward dan punishment untuk memacu tanggung jawab tiap wilayah untuk melaksanakan pengelolaan DAS. Kata kunci : Pengelolan DAS, kerjasama hulu hilir, cost sharing, partisipasi masyarakat

PENDAHULUAN

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang diimplementasikan dalam kegiatan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) ditujukan agar DAS dapat berfungsi dengan baik dan lestari, dimana baik dan buruknya pengelolaan DAS di bagian hulu akan berpengaruh pada bagian tengah dan hilir. Penurunan kondisi DAS akan berakibat antara lain pada terjadinya peningkatan erosi sedimentasi. Hal ini secara tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan masyarakat, karena peningkatan erosi akan mengakibatkan terjadinya penurunan produktivitas lahan sebagai konsekuensi dari hilangnya hara tanah dan kesuburan tanah. Di samping itu, akibat lain yang dirasakan masyarakat adalah semakin membesarnya peluang terjadinya bahaya banjir di bagian hilir serta kelangkaan sumberdaya air. Sebaliknya, bila DAS dikelola dengan baik maka masyarakat akan merasakan manfaat dari peningkatan produktivitas lahan dan ketersediaan air. Kenyataan tersebut sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Dixon dan Easter (1985) yaitu wilayah hulu dan hilir dalam suatu DAS dihubungkan oleh suatu siklus hidrologi, dimana aktivitas penggunaan lahan berpengaruh pada perubahan proses hidrologi yang terjadi.

Meskipun upaya pengelolaan DAS di Indonesia telah dilakukan cukup lama, namun jumlah DAS kritis di Indonesia cenderung bertambah dari tahun ke tahun. Pada tahun 1984 jumlah DAS kritis di Indonesia ada 22 DAS (Ditjen RLPS, 1999), namun pada tahun 2002 sudah mencapai 60 DAS (Nugroho, 2003). Bahkan pada tahun 2005 diperkirakan sudah mencapai 282 DAS (Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2005). Tingginya laju tingkat DAS kritis tidak terlepas dari kompleksitas masalah dalam upaya pengelolaan DAS. Hal tersebut salah satunya karena sebagian besar pengelolaan di bagian hulu memerlukan adanya investasi untuk kegiatan RLKT yang hasilnya sebenarnya bukan hanya dinikmati oleh individu dari daerah yang melaksanakan, tetapi juga dinikmati oleh anggota masyarakat lainnya terutama di bagian hilir. Di samping itu, air merupakan sumberdaya yang mengalir (flowing resource) dari hulu ke hilir dan DAS tidak mempunyai batas yang bertepatan dengan batas wilayah administrasi, sehingga sering terjadi konflik kepentingan antara daerah hulu dan hilir. Sebagai contoh adalah konflik penggunaan air minum lintas kabupaten di Lombok, serta konflik penggunaan air dari Senjoyo yang lebih banyak digunakan untuk keperluan Kota Salatiga, padahal secara administrasi terletak di Kabupaten Semarang.

Hal tersebut menunjukan bahwa masih ada perbedaan persepsi dan tujuan pengelolaan DAS dari berbagai pihak. Ini akan berimplikasi terhadap lemahnya komitmen daerah dalam pengelolaan DAS. Selain itu, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS juga belum optimal (Wastra, S.S., 2003). Selama ini, partisipasi masyarakat cenderung berupa partisipasi yang dimobilisasi oleh insentif material, sehingga rasa memiliki dari masyarakat terhadap kegiatan tersebut juga rendah, yang berakibat pada ketidakberlanjutan upaya pengelolaan DAS. Oleh karena itu, dalam pengelolaan DAS perlu keterpaduan dan kerjasama antara wilayah hulu dan hilir. Selain itu, perlu pula diperhatikan asas keadilan, dalam arti ada keseimbangan antara biaya dan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat hulu dan hilir.

PENGELOLAAN DAS DAN OTONOMI DAERAH

Menurut Dixon dan Easter (1986), Pengelolaan DAS didefinisikan sebagai proses formulasi dan implementasi suatu rangkaian kegiatan yang menyangkut sumberdaya alam dan manusia dalam suatu DAS dengan memperhitungkan kondisi sosial, politik, ekonomi dan faktor-faktor institusi yang ada di DAS tersebut dan sekitarnya untuk mencapai tujuan sosial yang spesifik. Praktek pengelolaan DAS diimplementasikan dalam penanggulangan permasalahan degradasi tanah dan air berupa kegiatan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT).

Ekosistem DAS hulu merupakan bagian yang penting dalam pelestarian wilayah DAS karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Perlindungan ini antara lain terhadap tata air (kualitas, kuantitas dan kontinyuitas), banjir, erosi dan sedimentasi (Sheng, 2000 dalam Sumaryati, dkk., 2001). Eksploitasi sumberdaya alam tanpa memperhatikan aspek konservasi akan mempercepat laju degradasi lingkungan yang dampaknya tidak hanya dirasakan pada wilayah terjadinya kerusakan (insitu effects) tetapi juga di luar wilayahnya (exsitu effects). Persoalan yang sering dikeluhkan oleh pihak hilir adalah terjadinya banjir dan sedimentasi pada musim hujan serta kekeringan pada musim kemarau. Pihak hilir seringkali menyalahkan pihak hulu karena tidak mau menjaga kawasan lindungnya.

Dalam mengatasi keserasian daerah hulu dan hilir, pemerintah telah mengembangkan konsep pengelolaan DAS terpadu yang terbagi antara daerah hulu dan daerah hilir dengan DAS sebagai dasar perencanaan. Konsepsi ini menjadi suatu yang sulit dilaksanakan ketika dihadapkan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang memberikan kewenangan luas kepada kabupaten/kota untuk menyelenggarakan pembangunannya. Lebih-lebih bagi DAS yang wilayahnya meliputi beberapa wilayah administrasi baik kabupaten maupun propinsi. Hal ini terjadi antara lain karena adanya perbedaan persepsi antara pemerintah daerah hulu dan hilir dalam menilai fungsi suatu DAS,

Hasil penelitian Sumaryati (2001) menunjukkan bahwa pada era desentralisasi terjadi beberapa pergeseran pengelolaan DAS, khususnya pada penerapan kegiatan RLKT yang menjadi bagian terpenting dalam pengelolaan DAS. Beberapa kabupaten lebih mementingkan kegiatan vegetatif dibanding dengan kegiatan sipil teknis, karena kegiatan vegetatif berhubungan langsung dengan peningkatan produksi, sedang sipil teknis yang berhubungan dengan pengendalian sedimentasi dianggap lebih menjadi urusan hilir. Potensi konflik antar hulu dan hilir DAS lintas kabupaten/kota dan lintas propinsi ini penting untuk disikapi berbagai pihak.

KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN DAS

Kelembagaan merupakan suatu sistem yang komplek, rumit dan abstrak yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan dan kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan (IPB, 1999). Kelembagaan mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh individu (perorangan atau organisasi) atau dalam kondisi seperti apa individu dapat mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu, kelembagaan adalah instrumen yang mengatur hubungan antar individu.

Soekanto (1999) menggunakan istilah lembaga kemasyarakatan untuk kelembagaan. Lembaga kemasyarakatan merupakan himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan Leibo (1990) menggunakan istilah lembaga sosial. Lembaga sosial adalah keseluruhan peraturan, norma-norma, adat istiadat yang mendapat dukungan dari masyarakat dalam mepertahankan nilai-nilai yang penting. Dan kemudian mengatur hubungan sosial antara para anggota masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya, demi kesejahteraan mereka sendiri. Menurut Susetiawan (2001) dalam Sumaryati (2001) ada tiga fungsi lembaga dalam masyarakat yaitu : 1) memberikan pedoman pada anggotanya bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi permasalahan kemasyarakatan; 2) menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan dan 3) memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengontrolan dan pengawasan terhadap tingkah laku anggotanya.

Berkaitan dengan kelembagaan pengelolaan DAS, hasil penelitian Indrawati dkk (2003) yang dilaksanakan di wilayah DAS Solo menunjukkan bahwa paling tidak ada 3 pihak terkait dengan pengelolaan DAS yaitu pemerintah, masyarakat dan sukarelawan.

Instansi pemerintah yang terkait dengan pengelolaan DAS adalah Bappeda, Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Balai Pengelola Sumber Daya Air (BPSDA) atau Balai Pengelola Sumberdaya Air Wilayah Sungai (BPSAWS) Bengawan Solo. Namun demikian belum ada hubungan kerjasama baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan kegiatan. Hubungan yang ada masih sebatas adanya rapat-rapat koordinasi dalam penyusunan rencana, namun belum ada keterpaduan rencana dan pelaksanaan kegiatan di antara instansi tersebut. Walaupun di tingkat pusat telah dibentuk TIM Koordinasi Kebijaksanaan Pendayagunanan Sungai dan Pemeliharaan Kelestarian DAS dengan Kepres No. 9 Tahun 1999 serta Tim Koordinasi Pengelolaan Sumberdaya Air melalui Kepres No. 123 Tahun 2001, kenyataan di lapangan tersebut menunjukkan bahwa setiap instansi dalam pengelolaan DAS masih bekerja secara sektoral, sehingga sering terjadi tabrakan kepentingan (conflict of interest). Untuk menghindarinya diperlukan klarifikasi dan identifikasi secara jelas tentang tugas dan wewenang masing-masing lembaga dalam menjalankan fungsinya. Di samping itu, pengaturan kelembagaan dan regulasi yang mengatur mekanisme kerja antar lembaga juga harus dipersiapkan dengan matang.

Sedang masyarakat yang paling terkait dengan pengelolaan DAS adalah pelaku RLKT yang biasanya diwadahi dalam suatu kelompok tani. Upaya RLKT yang telah dilakukan antara lain hutan rakyat, teras, dam penahan, dam pengendalai dan SPA. Upaya-upaya tersebut awalnya dibiayai dari proyek pemerintah, dimana untuk daerah Wonogiri dimulai pada tahun 1988 dengan bantuan dari Bank Dunia. Untuk hutan rakyat dan teras, masyarakat sudah mengembangkan secara swadaya, karena masyarakat merasa ada manfaat dari kegiatan tersebut seperti meningkatnya kesuburan lahan. Namun demikian, sebagian masyarakat masih merasa perlu ada campur tangan pemerintah dalam pembiayaan upaya RLKT.

Selain pemerintah dan masyarakat, di wilayah DAS Solo, paling tidak ada 2 lembaga yang sebenarnya bisa mendukung upaya pengelolaan DAS yaitu Forum Peduli DAS Solo dan Badan Subosukawonosraten (Surakarta, Boyolali, Sukaharjo, Wonogiri, Sragen dan Klaten). Forum peduli DAS Solo ini mulai dibentuk tahun 2002 di bawah prakarsa BPDAS Solo. Walaupun telah melakukan sosialisasi ke beberapa kabupaten, hasil sosialisasi masih sebatas apa yang akan dilakukan daerah tersebut untuk pengelolaan DAS di wilayahnya dan belum menyentuh substansi pengelolaan lintas kabupaten. Selain itu, sampai saat ini belum ada kegiatan/upaya nyata yang dilakukan Forum Peduli DAS Solo. Sedang Badan Subosukawonosraten yang sudah terlebih dulu dibentuk memang tidak dirancang untuk bergerak di bidang pengelolaan DAS tetapi pada kerjasama antar kabupaten yang tergabung di dalamnya yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya untuk peningkatan ekonomi. Namun badan ini punya potensi untuk dimanfaatkan sebagai sarana koordinasi antara daerah dalam kegiatan pengelolaan DAS.

KERJASAMA HULU HILIR

Dalam pengelolaan DAS, apa yang dilakukan oleh wilayah hulu akan berpengaruh pada wilayah tengah dan hilir. Hal ini terjadi karena karakteristik air yang mengalir dari tempat yang tinggi ke rendah, sehingga DAS tidak mengenal batas administrasi pemerintahan. Pengaruh tersebut bisa positif seperti tersedianya air irigasi dan air tanah, dan bisa negatif seperti banjir, sedimentasi dan kekeringan. Hal ini memungkinkan terjadinya masalah lintas batas (konflik kepentingan) antara hulu – hilir yang menyangkut hak, kewajiban dan tanggung jawab. Sebagai contoh adalah kasus pembangunan Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri yang melenyapkan kota Nguntoronadi. Pengorbanan itu dilakukan untuk membebaskan kota Solo dari banjir serta memberikan manfaat irigasi bagi Kabupaten Sukoharjo, Klaten, Sragen dan Ngawi. Lalu apa yang diterima Kabupaten Wonogiri terhadap pengorbanan yang telah diberikan ?

Untuk itu, dalam pengelolaan DAS diperlukan upaya integrasi dan koordinasi kebijakan dan program. Upaya kerjasama yang saling menguntungkan antara daerah hulu dan hilir perlu dikembangkan, sehingga daerah bawah tidak harus menanggung risiko dari pengelolaan daerah hulu, atau daerah hilir tidak hanya menikmati hasil usaha daerah hulu tanpa ada tanggung jawab untuk bersama-sama mengelola DAS. Upaya keterpaduan dan kerjasama hulu dan hilir ini dapat dilakukan antara lain dengan masing-masing wilayah menjalankan fungsi dan tugas pengelolaan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan yang ada di wilayahnya. Misalnya masyarakat hulu menjaga kuantitas air dengan jalan konservasi tanah di daerah tangkapan air, sedang masyarakat hilir dengan membuat bangunan resapan (BRLKT Solo, 2002). Hal ini berarti bahwa ada upaya dari setiap daerah untuk tetap menjaga sumberdaya alam di wilayahnya, artinya harus ada komitmen yang kuat untuk melakukan kegiatan pengelolaan DAS.

Di samping itu, perlu ada azas keadilan dalam kerjasama ini, artinya pihak yang lebih diuntungkan diharapkan dapat memberikan kontribusinya kepada pihak yang dirugikan. Dalam hal ini wilayah hilir sering dianggap sebagai menerima keuntungan sebagai pemanfaat air, sehingga biaya yang harus dikeluarkan termasuk untuk memelihara sumberdaya air oleh wilayah hulu harus dikompensasi. Hal ini mengingat untuk mempertahankan kondidi wilayah hulu, masyarakat hulu dipandang terpaksa kehilangan kesempatan untuk menanam tanaman palawija dan tanaman sayuran, karena komoditi tersebut sangat rentan terhadap bahaya erosi dan longsor serta kurang ramah terhadap konservasi. Namun demikian, konsep user pay principle ini harus dikaitkan dengan kemampuan membayar, misal : untuk petani dan rakyat miskin ada subsidi baik dari pemerintah maupun subsidi silang dari pengguna air komersial. Hal senada juga telah dituangkan dalam Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan DAS (RLPS, 2000) dimana dalam salah satu dari enam kebijakan dasar pengelolaan DAS dinyatakan bahwa masyarakat yang memperoleh manfaat atas pengelolaan DAS baik secara langsung maupun tak langsung wajib menanggung biaya pengelolaan berdasar prinsip kecukupan dana (cost recovery). Ini mengandung arti ada penanggungan biaya bersama (cost sharing) dalam pengelolaan DAS. Dengan demikian pelaksanaan kegiatan konservasi tanah dan air di bagian hulu DAS dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dengan adanya biaya dari stakeholders yang mendapat manfaat sebagai akibat adanya kegiatan tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, beberapa negara lain telah mengembangkan apa yang dinamakan dengan RUPES (Reward for Poor Farmer for their Environment Service) dimana daerah-daerah di bagian hilir memberikan dana kompensasi kepada daerah hulu untuk mengamankan wilayah DAS (Widjojo. S, 2003).

Hasil penelitian Sumaryati (2001) menunjukkan bahwa kegiatan RLKT yang sebelum era desentralisasi dibiayai oleh pemerintah pusat, dalam era otonomi daerah beberapa kabupaten menyatakan bahwa kegiatan RLKT perlu didanai dari pusat dan kabupaten, namun demikian pada umumnya pihak hilir tidak mau sharing biaya terutama yang tidak merasakan manfaat secara langsung. Dari masyarakat terkena banjir menyatakan bahwa kegiatan RLKT perlu dibiayai oleh pemerintah dan masyarakat tidak mau sharing pembiayaan, masyarakat pengguna air menyatakan bahwa biaya kegiatan RLKT dari pemerintah dan masyarakat, sedang masyarakat pelaku RLKT menyatakan bahwa kegitan RLKT dibiayai oleh masyarakat. Untuk kedua kelompok masyarakat yang terakhir, menyatakan bahwa masyarakat mau sharing biaya namun dengan perhitungan. Hasil tersebut masih sekedar wacana dari lembaga dan masyarakat, karena belum ada pembuktian sejauh mana pengaruh kegiatan pengelolaan DAS dari hulu ke hilir. Untuk itu, pengaruh tersebut perlu dilihat dan perlu pula dianalisa biaya dan manfaat dari kegiatan pengelolan DAS, sehingga dapat ditentukan siapa dan berapa besar kompensasi (sharing biaya) yang harus diberikan ke wilayah hulu.

Untuk itu, perlu ada suatu lembaga yang difungsikan untuk mengkoordinasikan dan mengelola kompensasi (cost sharing) tersebut. Kelembagaan yang mengelola kompensasi hulu hilir tidak saja harus mampu memberikan seperangkat aturan, norma dan ketentuan tentang hak dan kewajiban pihak hulu hilir tetapi juga harus dapat memberikan jaminan bahwa setiap pihak yang terlibat harus mau dan mampu untuk mentaati kesepakatan. Jaminan bahwa pihak hilir mau membayar pihak hulu dan pihak hulu mau mengkonservasi lahannya dan memberikan jaminan bahwa pihak hilir tidak akan memperoleh dampak negatif dari apa yang dilakukan oleh pihak hulu. Kesepakatan tersebut harus didukung oleh perundangan yang ada agar terdapat kepastian hukum untuk pelaksanaannya.

PENUTUP

Dalam konsep kerjasama hulu hilir pengelolaan DAS ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu :

  1. Harmonisasi dan sinkronisasi visi, misi dan kebijakan pengelolaan DAS antar pemerintah kabupaten/propinsi merupakan kunci keberhasilan pengelolaan DAS.
  2. Konsep kerjasama akan sulit terlaksana bila mekanismenya tidak dirumuskan dengan jelas.
  3. Perlu pelibatan berbagai aktor seperti LSM, pakar sektor bisnis, serta pemerintah dari pusat sampai daerah.
  4. Partisipasi masyarakat lokal pada berbagai tingkat sangat strategis untuk terus ditingkatkan ini berarti bahwa program penyuluhan harus lebih ditingkatkan juga.
  5. Perlu diberlakukan reward dan punishment untuk memacu tanggung jawab tiap wilayah untuk melaksanakan pengelolaan DAS. Dalam hal ini penegakan hukum kepada pelanggaran dan penyimpangan yang berakibat pada kerusakan DAS perlu dilakukan (diperlukan sanksi sosial dan ekonomi terhadap pelanggar aturan/kesepakatan).

DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan DAS. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Balai RLKT Solo. 2002. Keterpaduan dan Kerjasama Hulu Hilir Dalam Pengelolaan Sumberdaya Air. Makalah disampaikan dalam Rapat Tim Kerja I RPP Pengelolaan Sumberdaya Air tanggal 25-27 Pebruari 2002. Balai RLKT Solo. Dirjan RLPS. Dep. Kehutanan.

Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 1999. Luas Lahan Kritis di Indonesia dalam Statistik dalam Angka. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Dixon, JA and KW Easter. 1986. Integrated Watershed Management An Approach to Resource Management. In Watershed Resource Management. An Integrated Framework with Studies from Asia and The Pacific. Studies in Water Policy Management No. 10. East-West Center. Hawai.

Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat. 2002. Kerjasama ekologis hulu hilir. Yogyakarta. htm.

Indrawati, DR, dkk. 2003. Kajian Kelembagaan Kompensasi Wilayah Hulu-Hilir (DAS Solo). Laporan Kegiatan Pengkajian dan Penerapan Hasil Penelitian Kehutanan. Balai Litbang Teknologi Pengelolaan DAS-IBB. Surakarta.

IPB. 1999. Studi Kelembagaan DAS dan Konservasi Tanah. Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. Bogor.

RLPS. 2000. Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan DAS. Direktorat RLKT. Direktorat Jenderal RLPS. Dep. Kehutanan.

Soekanto, S. 1983. Sosiologi Suatu Pengantar. Yayasan Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

Sumaryati, S. Donis dan Sukresno. 2001. Laporan Kajian Kelembagaan RLKT DAS. Laporan Proyek Pengkajian dan Penerapan Hasil Penelitian Kehutanan. BTPDAS Surakarta.

Wastra, S.S. 2003. Perencanaan Pengelolaan DAS di Tingkat Kabupaten. Makalah disampaikan dalam Lokakarya Perencaan Pengelolaan DAS tanggal 2 Desember 2003. Balai Litbang Teknologi Pengelolaan DAS-IBB. Badan Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan.

Widjojo, S. 2003. Peranan Geopolitik Dalam Era Otonomi Daerah Guna Mereduksi Potensi Disintegrasi Wilayah. Makalah disampaikan dalam Lokakarya Nasional Menuju Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Ekosistem Untuk Mereduksi Potensi Konflik Antar Daerah. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

1 Comment »

  1. Keterpaduan seringkali diartikan terpadu atas kebijakan instansi yang berhubungan dengan DAS, artinya apabila masing masing instansi /lembaga terpadu seolah olah pengelolaan DAS dapat berjalan dengan baik. Mungkin betul demikian, tetapi bila kita cermati banyak wilyah DAS,umumnya didominasi wilayah pemilikan perorangan/milik, yang fungsinya untuk kehidupan, artinya lahan miliklah yang akan menentukan keserasian dan kelestarian DAS itu sendiri. Keterpaduan yang hakiki daam DAS adalah keterpaduan pemilik lahan yang dibangun dalam wadah kelembagaan di tingkat operasional, yang bangga akan SDA nya sebagai penopang kehidupan antargenereasi lestari menjaga sampai hilir. Adapun hubungannya adalah hilir menerima kelestarian air untuk produksi pertanian yang hasilnya juga untuk masyarakat hulu, sedangkan hulu lestari akan vegetasinya yang dikombinasi dan terintegrasi dalam pengelolaan lahan ekonomi produktif dalam penyediaan buah, kayu, HHBK, wisata dll yang hasilnya juga untuk masyarakat hilir, sehingga keduanya sudah saling menerima manfaat, namun kompensasi lain seperti air yang terjadi pada contoh Cidanau adalah kasus khusus sebagimana karakter DAS nya. Mengelola DAS bukan hanya semata Fisik karena bukan milik pengelolanya, tetapai lebih kepada dukungan dan cara pikir atau enDAS nya (maaf jawa enDAS artinya kepala). selamat ya mbak semoga cepat rampung.

    Comment by idi — June 18, 2010 @ 8:38 am


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.