Kelembagaan DAS

Akhmad Fauzi

PERAN EKONOMI KELEMBAGAAN  DALAM PENGELOLAAN LAHAN BERKELANJUTAN

Oleh: Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi. M.Sc

Sumber: http://www.landpolicy.or.id/

PendahuluanDeng Xio Ping pernah suatu kita mengatakan bahwa “the China’s problem is land problem, and the land problem is rural problem” (Masalah China adalah masalah lahan dan masalah lahan adalah masalah perdesaan).

Kalimat itu barangkali masih sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini, namun perlu ditambahkan bahwa untuk Indonesia masalah lahan bukan hanya masalah perdesaan namun juga msalah perkotaan. Dengan demikian berbeda dengan China dimana lahan tidak dimiliki perorangan, permasalahan lahan di Indonesia semakin kompleks karena kepemilikan lahan juga bisa berada di tangan perorangan. Tidaklah mengherankan ketika lahan dibutuhkan untuk keperluan kepentingan publik, maka sering menimbulkan konflik karena tergangggunya proses transfer pemanfaatan lahan dari perorangan ke kepentingan publik. Biaya transaksi menjadi mahal dan penyediaan sarana publik sering menjadi sangat terhambat oleh konflik kepentingan tersebut.

Selain itu, kini semakin disadari bahwa selama ini kita cenderung overlook terhadap nilai lain dari lahan. Selama lebih dari tiga puluh tahun pembangunan ekonomi Indonesia, lahan hanya dianggap sebagai “faktor produksi semata” sementara nilai “passive” dari sumber daya lahan cenderung diabaikan. Nilai pasif ini atara lain meliputi fungsi-fungsi hidrologis, fungsi-fungsi pencegah bencana dan beberapa aspek ekologi lainnya. Sifat dari “multiple use” dari lahan ini juga yang sering menimbulkan konflik pemanfaatan atas lahan. Ketiadaan informasi mengenai nilai pasif ini sering menyebabkan hilangnya lahan-lahan yang dianggap kurang produktif sekalipun.

Harus diakui, masalah lahan memang merupakan masalah yang kompleks dan bukanlah masalah supply dan demand semata. Bagi negara berkembang seperti Indonesia kompetisi pemanfaatan lahan untuk pembangunan dan pertanian serta kepentingan konservasi sering berbenturan satu sama lain, dan itu terjadi baik di perkotaan maupun di perdesaan. Dalam skala tertentu benturan ini memicu masalah yang lebih besar seperti konflik sosial, urbanisasi, urban sprawl, kemiskinan dan degradasi lingkungan serta masalah turunan lainnya. Pengelolaan lahan memang memiliki karakteristik yang unik antara lain karena sifat “immovability” dari sumber daya lahan, serta interaksi antara manusia dan lahan.

Kompleksitas permasalahan lahan ini belakangan menuntut dilakukannya pengelolaan lahan secara berkelanjutan (Sustainable Land Management) yang berbasis knowledge-based dengan mengintegrasikan lahan, air, keaneka ragaman hayati dan pengelolaan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan dengan tetap mempertahankan pelayanan ekosistim dan livelihood (IBRD, 2006). Pengelolaan lahan yang berkelanjutan ini kemudian menuntut opsi pengelolaan yang pada beberapa negara cenderung bersifat regulatory atau melalui mekanisme insentif. IBRD (2006) melihat bahwa kebijakan yang bersifat regulatory terkadang bersifat kontra-produktif terhadap pengelolaan yang berkelanjutan karena absennya mekanisme pasar serta mekanisme institusi lainnya. Sementara dalam konteks mekanisme insentif dalam prakteknya secara umum dilakukan dengan tiga cara yakni:

1. Policy-related incentives. Kebijakan ini umumnya memberikan stimulus pembangunan sektoral yang sering dibarengi dengan instrument fiscal seperti pajak dan subsidi maupun instrumen perundangan. Namun demikian kebijakan ini sering memicu degradasi lahan karena adanya kecenderungan tingginya pemanfaatan lahan yang memiliki nilai pemanfaatan langsung (direct use) semata, misalnya mengembangkan permukiman di lahan yang sensitif secara ekologis.

2. Market-based incentives. Kebijakan ini lebih didasarkan pada mekanisme pasar, dimana pasar merupakan sinyal yang kuat dalam penentuan opsi pemanfaatan lahan sehingga akan mempengaruhi proses produksi dan konsumsi dari lahan. Sebagaimana sumber daya alam lainnya, lahan adalah sumber daya alam yang memiliki karakteristik non-market dan tidak bisa sepenuhnya dapat ditangkap oleh mekanisme pasar. Sehingga jika terjadi distorsi pada harga, maka lahan dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya akan mengalami undervalue yang akan mengarah pada degradasi dan konsumsi atas lahan yang berlebihan. Kebijakan ini sering dialami negara bekembang seperti Indonesia, dimana subsidi atas pupuk dan pestisida memberikan sinyal berupa distrosi harga faktor produksi (subsidi atas pupuk dan pestisida merupakan hidden costs yang membuat biaya produksi seakan murah) yang pada gilirannya akan memicu degradasi lahan.

3. Mekanisme institusi. Selain dari kedua kebijakan di atas, mekanisme institusi sering digunakan untuk menentukan dan mengendalikan ketentuan-ketentuan yang disepakati mengenai bagaimana sumber daya lahan dikelola. Dalam konteks negara berkembang dimana hak-hak atas lahan sering masih berada ditangan hak ulayat maka mekanisme institusi ini sangat penting untuk dikemukakan.

Perlu pula dicatat bahwa faktor kelembagaan merupakan pedang bermata dua dalam konteks pengelolaan sumber daya lahan. Mengapa? Karena sebagaimana dianalisis oleh Geist dan Lambin (2002) faktor institusi yang lemah merupakan salah satu faktor yang menjadi driving force dari degradasi lahan. Buruknya institusi yang diejawantahkan dalam bentuk kebijakan formal yang tidak kondusif, iklim kebijakan yang tidak baik (korupsi dan mismanagement) serta masalah property right yang kompleks yang tidak ditangani dengan baik adalah beberapa faktor yang sangat krusial dalam memicu degradasi lahan dan buruknya pengelolaan yang berkelanjutan. Namun di sisi lain, institusi yang baik akan membantu menjadi leverage dalam pengelolaan yang berkelanjutan. Hal ini diakui oleh Bank Dunia sebagaimana dikemukakan oleh Bruce dan Mearns (2004) bahwa lesson learned dalam pengelolaan yang berkelanjutan adalah berfungsinya institusi dengan baik.

Dalam konteks inilah peran ekonomi institusi dalam pengelolaan lahan yang berkelanjutan sangat perlu difahami dalam melihat permasalahan pengelolaan sumber daya lahan di Indonesia. Cerita sukses penerapan aspek institusi ini sudah bisa dilihat di China, Vietnam, negara-negara Skandinavia dan Eropa timur termasuk bekas pecahan Soviet dan Yugoslavia. Fragmentasi politik di negara tersebut telah memicu permasalahan lahan yang cukup kompleks dan dengan pendekatan institusi permasalahan tersebut kemudian dapat diselesaikan. Salah satu studi yang fenomenal menyangkut aspek kelembagaan dalam pengelolaan lahan ini adalah apa yang telah dilakukan oleh Ekback (2000). Ekback melihat bagaimana pendekatan institusi dapat berperan penting dalam menganalisis efisiensi perencanaan tata guna lahan (land use planning) dan juga dalam konteks yang lebih besar lagi.

Gambar 1 berikut ini menggambarkan keterkaitan antara sumber daya lahan aspek tata kelola, institusi dan pembangunan ekonomi. Tata kelola, sejarah, geografis dan norma-norma yang ada dalam masyarakat membentuk institusi dan inipun juga dipengaruhi oleh ketersediaan dan kepemilikan atas lahan yang kemudian bersama-sama menentukan arah dan derajat pembangunan ekonomi. Sumber daya lahan di sisi lain akan secara tidak langsung menentukan kinerja pembangunan ekonomi sebagaimana ditunjukkan oleh garis-garis yang terputus-putus pada Gambar 1 tersebut.

Gambar 1. Interaksi antara sumber daya lahan, institusi dan pembangunan ekonomi

Ekonomi Kelembagaan dan Pengelolaan Lahan

Ekonomi institusi atau ekonomi kelembagaan pada hakekatnya adalah cabang ilmu ekonomi yang menekankan pada pentingnya aspek kelembagaan dalam menentukan bagaimana sistim ekonomi dan social bekerja (Black, 2002). Douglas North, founding father dari New Institutional Economics (NIE) mengartikan kelembagan sebagai “rules of the game” dalam masyarakat atau secara formal diartikan sebagai “humanly devised constraint” (kendali yang dirancang manusia) yang membentuk interaksi manusia.

Dalam konteks yang lebih konkrit, kelembagaan terdiri dari hukum formal, baik dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis, aturan informal, dan nilai-nilai (values) yang ada dan diakui dalam masyarakat serta bentuk-bentuk pengorganisasiannya. Dengan demikian norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dalam hal pemilikan dan pengelolaan lahan menjadi sangat penting dalam pembangunan ekonomi. Namun demikian North mencatat perbedaan yang mendasar antara institusi dan organisasi. Organisasi mengacu pada gugus aktor (individu maupun masyarakat) yang bekerja sama atau bertindak bersama dalam suatu kepentinngan yang disepakati bersama untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan.

Salah satu kunci dalam aspek ekonomi kelembagaan adalah menyangkut property right atau hak pemilikan. Property right ini melekat dalam bentuk aturan formal dan juga norma sosial dan adat. Relefansi hak pemilikan ini tergantung dari seberapa besar ia bisa dijalankan dan diakui dalam masyarakat. Studi mengenai ekonomi hak pemilikan ini dalam kaitannya dengan masalah lahan cukup banyak dikupas oleh Barzel (1989) dalam bukunya mengenai Economic of Property Rights, juga oleh Cheung (1968) yang melakukan study mengenai share cropping di Taiwan. Kedua studi ini membuktikan bahwa ketidakjelasan hak pemilikan dan enforced property rights terbukti menjadi handicap dalam mentransformasi pembangunan ekonomi yang berkaitan dengan lahan.

Auzin (2004) membuktikan bahwa fenomena yang sama terjadi di Eropa Timur ketika terjadi transformasi ekonomi dari sistim ekonomi terpusat ke sistim ekonomi pasar, hambatan terbesar transformasi tersebiut adalah ketidakjelasan hak pemilikan atas tanah yang diawali oleh lemahnya sistim kelembagaan atas tanah. Beberapa sumber daya alam yang terkandung di dalamnya seperti cadangan minyak di Kosovo dan beberapa negara pecahan Yugoslavia tidak bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat karena terbenturnya masalah hak pemilikan tersebut.

Bagian lain yang juga penting dalam konteks ekonomi kelembagaan adalah menyangkut biaya transaksi. Biaya transaksi adalah sisi lain atau pendekatan lain yang digunakan untuk menjelaskan aspek ekonomi dari kelembagaan (Black, 2002). Biaya transaksi mempertimbangkan manfaat dalam melakukan transaksi di dalam organisasi dan antara aktor (organisasi) yang berbeda dengan menggunakan mekanisme pasar. Biaya transaksi mempertimbangkan beberapa aspek penting dalam ekonomi yakni bounded rationality (rasionalitas terbatas), masalah informasi, biaya negosisasi kontrak dan opportunism.

Schmid (1987) di sisi lain membedakan biaya transaksi atas tiga hal yakni 1) biaya informasi, 2) biaya kontrak, dan 3) biaya pengawasan atau penegakan hukum. Dalam konteks inilah sering terjadi pemahaman yang keliru mengenai apa yang dimaksud dengan transaction cost. Transaction cost bukanlah biaya pertukaran (cost of exchange) atau salah satu biaya dalam jual beli barang dan jasa (termasuk lahan), namun transaction cost lebih diartikan sebagai “the cost of establishing and maintaining right” (Allen,1991). Kedua aspek di atas yakni property rights dan transaction cost adalah bagian penting yang memerlukan pemahaaman yang serius dalam kelembagaan pengelolaan lahan.

Dari berbagai studi diketahui bahwa transcation costs ini menyebabkan tidak efisiennya manajemen lahan di berbagai negara termasuk Indonesia. Studi Auzins (2004) untuk kasus Eropa Timur adalah yang paling menonjol karena perubahan transisi ekonomi menyebabkan biaya transaksi dalam bentuk biaya informasi dan biaya negosiasi yang teramat mahal menyebabkan sulitnya harmonisasi lahan di wilayah tersebut. Dalam lingkup yang lebih mikro, studi yang dilakukan oleh Rony (1996) di Wilayah Jabotabek juga menunjukkan hal yang sama. Ia menemukan bahwa kelembagaan lahan berlangsung tidak efisien karena membutuhkan biaya transaksi yang lebih besar dibandingkan dengan ketentuan perundang-undangan.

Ditemukan pula bahwa biaya transaksi lahan sangat bervariasi menurut status kepemilikan, willayah administratif dan pejabat PPAT. Sebagi contoh lahan dengan status kepemilikan bersertifikat (SHM) membutuhkan biaya lebih rendah dibandingkan lahan konversi (0.5 – 3.5% berbanding 3.5 – 12.5%). Demikian juga biaya kontrak melalui notaris lebih rendah dibanding melalui camat (0.5 – 10.5% berbanding 2.5 – 12.5%). Dalam konteks biaya informasi, penelitian ini juga menunjukkan bahwa kelembagaan jual beli lahan nonformal (calo tanah) meningkatkan biaya informasi sehingga menurunkan efisiensi transaksi. Peran aktor non-formal ini memang cukup signifikan dalam rantai transaksi tanah sehingga memperbesar biaya transaksi dan membuat ketidak efisienan institusi lahan. Rony (1996) melihat siklus interaksi para aktor dalam memperbesar biaya transaksi ini dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.

Gambar 2. Biaya transaksi (transaction costs) dalam pasar lahan (dimodifikasi dari Rony, 1996)

Sebagaimana terlihat dalam studi Rony (1996) aktor lain dalam pasar tanah yakni mediator, jagger dan spekulan merupakan aktor utama dalam pasar lahan yang turut memperbesar biaya transaksi dalam bentuk biaya informasi (information costs). Biaya ini di luar biaya lain yang dikeluarkan oleh aktor utama (penjual dan pembeli) yakni berupa biaya surat keterangan dan berbagai pungutan lainnya yang mungkin tidak termasuk dalam komponen biaya transaksi namun masuk ke dalam biaya lain.

Salah satu isu utama dalam pengelolaan lahan berkelanjutan adalah harmonisasi antara individu (masyarakat) dengan lahan. Dalam konteks ini dua dimensi terlihat yakni hak atas lahan dan pemanfaatan atas lahan yang kemudian dari keduanya timbul aspek ekonomi dan sosial (Gambar 3)

Gambar 3. Harmonisasi hubungan individu dan lahan

Di sisi lain dua sektor juga terlibat di dalamnya yakni sektor publik (pemerintah) dan sektor privat. Kompleksitas interaksi ini ditambah pula dengan berperannya tiga aktor yakni pollitisi (pengambil keputusan), profesional (PPAT dan sebagainya) serta masyarakat luas. Kembali di sini ditekankan bahwa hanya dalam institusi yang kuat kompleksitas interaski tersebut dapat diatasi dan dijalankan secara baik.

Dirimanova (2004) secara rinci menggambarkan setting kelembagaan dalam konteks pengelolaan lahan ini melalui mekanisme sebagai berikut:

Gambar 3. Setting kelembagaan dalam pengelolaan lahan

Sebagaimana terlihat pada Gambar 3, seluruh komponen institusi yang terkait memiliki arah panah dua arah yang menunjukan interaksi timbal balik antar komponen tersebut. Misalnya antara aspek property rights yang merupakan komponen kelembagaan yang utama memiliki interaksi timbal balik dengan seluruh komponen yakni strukur tata kelola, transaksi lahan dan juga main actor (rules of the games). Dengan kata lain, penguatan salah satu komponen dalam kelembagaan ini akan memberikan efek penguatan pada komponen lainnya. Demikian pula sebaliknya.

Temuan ini diperkuat pula oleh penelitian Kim (2005) yang menyatakan bahwa mekanisme tata kelola lahan yang optimal harus dillihat dari perspektif hak pemilikan bukan dari aspek eksternalitas seperti yang selama ini dilakukan melalui pendekatan Coase (Coase Theorem). Menurut Kim (2005) interaksi tata kelola dan property rights ini memiliki keunggulan karena memperhatikan dua hal sekaligus yakni struktur kelembagaan dan eksistensi biaya transaksi. Hal ini berbeda dengan pendekatan konvensional yang melihat masalah lahan dari perspektif yang terbatas dengan asumsi fully establishment right dan zero transaction costs.

Pendekatan ini merupakan pendekatan neo klasik yang sering tidak bisa diterapkan pada sumber daya alam yang memiliki sifat public goods dengan ciri penyediaan barang publik yang dimilikinya. Pendekatan kelembagaan dengan property right dan governance ini juga tidak sekedar berbicara pada aspek efisiensi semata seperti yang digunakan pada pendekatan konvensional, dengan menganggap bahwa dampak distribusi yang ditimbulkan hanyalah efek samping semata, namun lebih dari itu juga berbicara pada aspek efisiensi dan equity. Dengan kata lain pendekatan institusi seperti ini akan lebih mencapai tujuan distributional tertentu yang tidak mungkin dicapai dengan pendekatan pasar (konvensional) semata.

Kesimpulan

Konsep ekonomi kelembagaan dapat digunakan untuk memahami kompleksitas pengelolaan lahan yang berkelanjutan dan sekaligus juga dapat dijadikan “payung” bagi penyelesaian masalah yang terjadi di sektor pertanahan di Indonesia. Ekonomi kelembagaan dapat diugunakan untuk melakukan sistematisasi aturan-aturan yang menyangkut persoalan atas lahan (regulatory framework) dan prosedur perencanaan dan administrasi yang menyertainya. Hal ini sangat dibutuhkan dalam menjalankan program pengelolaan lahan yang berkelanjutan. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk meyakinkan bahwa framework kelembagaan ini bekerja dengan baik sehingga “pasar” lahan (land market) akan bekerja dengan benar sehingga tidak saja menghasilkan pengelolaan yang efisien tapi juga memiliki aspek equity. Demikian juga aparat pelaku yang terlibat dalam pengelolaan lahan harus memperhatikan aspek ekonomi kelembagaan ini karena interaksinya yang kuat antara pasar dan tata kelola akan menentukan besarnya manfaat yang akan dirasakan oleh semua pihak.

Referensi

Allen. D.W. 1991. What are transaction costs?. Research in Law and Economics. 1-18.

Auzins, Armands. 2004. Institutional Arrangements : A Gate Towards Sustainable Land Use. Nordic Journal of Surveying and Real Estate Reasearch: pp 57-71.

Barzel, Y. 1989. The Economic of Property Rights. Cambridge University Press.

Black, J. 2002. A Dictionary of Economics. Oxford University Press.

Bruce, J. W., and R. Mearns. 2004. Natural Resource Management and Land Policy in Developing Countries: Lessons Learned and New Challenges for the World Bank.Washington, DC:World Bank.

Ekbäck, P. 2000:Legal procedures for land use planning and property acquisition: an economic analyses. 290 pp. Ph.d. thesis, Meddelande 4:82, Kungl. Tekniska Høgskolan. Stockholm.

Enemark, S. 2005. The Land Management Perspective-Building the Capacity. Itc Lustrum Conference Spatial Information For Civil Societycapacity Building For The International Geo-Information Society Emschede, The Netherlands, 14-16 December 2005.

Geist, H. J., and E. F. Lambin. 2002. “Proximate Causes and Underlying Driving Forces of Tropical Deforestation.” BioScience 52 (2): 143–50.

Kim, Sung-Bae. 2005. Optimal governance mechanisms of land use decisions: A property right.

Perspective. Unpublished manuscript.

Rony, A.M. 1996. Analisis Penemuan Harga Lahan dan Kelembagaan yang mempengaruhinya. Tesis. Program Pasca Sarjana Perencaaan Wilayah dan Perdesaan, IPB.

Schmid, A.A. Property, Power, and Public Choice: An Inquiry into Law and Economics. Praeger. New York.

Tentang Penulis

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi. M.Sc adalah Guru besar ekonomi Sumber daya alam dan Ketua Departemen Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Penulis memperoleh gelar Master dari University of Guelph, Ontario Canada di bidang ekonomi sumber daya alam, kemudian gelar Ph.D dibidang ekonomi sumber daya alam diraih dari Department of Economics, Simon Fraser University, British Columbia, Canada. Penulis aktf terlibat dalam penelitian baik dari lembaga nasional maupun internasional seperti USAID, ACIAR, Uni Eropa dan Packard Foundation. Penulis juga pernah menjadi international Evaluator Uni Eropa di Brussel, Belgia.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.