Kelembagaan DAS

Yayat Supriatna

KOMISI PERENCANAAN SEBAGAI WUJUD BADAN PERTIMBANGAN UNTUK PERENCANAAN WILAYAH

Oleh : Dr. Yayat Supriatna
Dosen Teknik Planologi – Universita Trisakti Jakarta
Ketua Bidang Kajian dan Perencanaan – IAP Indonesia.

Sumber: http://bulletin.penataanruang.net/

Jika tidak terjadi beda persepsi atau kepentingan,  mungkin “komisi Indipenden atau komisi perencanaan” sebagai wasit dalam penyelenggaraan penataan ruang sudah tercantum di dalam Undang – undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam pembahasan di tingkat kalangan Perguruan Tinggi yang tergabung dalam RTM / ASPI untuk Pengkajian terhadap Rancangan Undang – undang tentang Penataan Ruang, kata Komisi Indipenden atau perencanaan sempat diusulkan untuk menjadi salah pasal yang terkait dengan Peran Serta Masyarakat . Persetujuan “tidak langsung” sempat direstui dalam pembahasan subtansi oleh kalangan anggota Pansus Penataan Ruang, dalam pertemuan informal antara kalangan perguruan tinggi dan beberapa anggota Pansus. Tetapi entah mengapa dalam proses selanjutnya, pasal yang mengatur masalah pembentukan kelembagaan ini, hilang dari isi RUU tentang Penataan Ruang. Sempat muncul isu dan perdebatan, apa nilai tambah yang akan di dapat jika ketentuan ini di cantumkan di RUU tersebut.

Bagi yang lebih mengedepankan aspek demokrasi, mungkin keberadaan kelembagaan ini, bisa menjadi wadah dialog interaksi dalam proses pembahasan setiap proses penyelenggaraan tata ruang. Untuk sekelompok yang pesimistis, pasti akan mempertanyakan kapasitas apa yang dapat dilakukan oleh sebuah Komisi, untuk melakukan perbaikan dalam penyelenggaraan penataan ruang yang sudah dalam kondisi yang sangat memprihatikan ini. Bahkan ada sekumpulan pakar, yang memperbandingkannya dengan begitu banyaknya komisi – komisi yang “mati suri” dan tidak efektif, walaupun komisi itu dibentuk dengan dasar Undang – undang. Jika terjadi konflik, solusi efektif yang ditawarkan mereka adalah melalui proses pengadilan. Artinya prinsip mengedepankan aspek hukum, sebagai proses resolusi konflik, adalah lebih baik dibandingkan jika harus melalui suatu badan indipenden, yang dinilai apakah mampu memberikan suatu bentuk “kepastian hukum” yang lebih berkeadilan.

Rasa ketidakpercayaan akan netralitas dan kapabilitas kelembagaan menjadi bahan pertimbangan yang mungkin menghilangkan ketentuan yang mengatur ketentuan pembentukan kelembagaan komisi perencanaan. Disamping, hal diatas, ada keraguan jika kelembagaan ini dibentuk, bagaimana kedudukan dan fungsinya secara nasional, hingga di tingkat local. Bila komisi ini diinisiasi oleh pemerintah, mungkinkan pemerintah harus terlibat konflik dengan lembaga yang dibentuknya sendiri. Salah satu persyaratan solusi konflik, adalah proses pengadilan, tetapi juga dipersyaratkan untuk dilakukan melalui wadah musyawarah sebagai menu pilihan utama, sebelum dibawa ke lembaga yudisial. Menjadi pertanyaan, jika wadah pengadilan selalu dijadikan pilihan akhir, mengapa untuk wadah musyawarah dan mufakat sebagai pilihan utama, kita tidak mempunyai landasan hukum untuk mencari atau membentuk kelembagaan yang mampu mediasinya ? Apakah untuk menata ketidakjelasaan penyelenggaraan penataan ruang harus dengan selalu merubah aturan hukumnya atau dengan membangun model kelembagaan baru ?

Merubah atau Membangun Kelembagaan Baru

Cara merubah peran dan fungsi kelembagaan adalah dengan mengoperasionalisasikan perubahan. Operasionalisasi perubahan adalah suatu upaya untuk mengintegrasikan berbagai komponen perubahan, menjadi suatu pengelolaan perubahan secara terpadu pada tingkat rutinitas sehari –hari, untuk mewujudkan hasil yang diharapkan organisasi ( Maria A. Scoott – Morgan P, 1997). Cara yang paling sederhana untuk mengoperasionalisasikan perubahan ialah dengan menjamin bahwa mekanisme untuk menjalankan organisasi adalah sama dengan mekanisme untuk menjalankan perubahan yang berkesinambungan. Dengan cara ini maka organisasi akan lebih siap untuk menghadapi perubahan lingkungan yang tiada henti –hentinya. Jadi organisasi harus menerapkan suatu perubahan yang mengandung prinsip – prinsip yang akan diterapkan organisasi di masa depan sejak awalnya perubahan. ( Maria A.Scoot – Morgan P, 1997).
Hal yang perlu diperhatikan mengenai perubahan lingkungan adalah sifat perubahan itu sendiri, apakah bersifat struktural atau disebabkan faktor Siklus.

Perubahan structural merupakan perubahan lingkungan yang bersifat kualitatif dan relatif permanen. Sedangkan perubahan siklus bersifat temporer dan lebih banyak merupakan perubahan yang kuantitatif (Mick SS, 1990).

Dalam lingkungan yang terus menerus berubah, struktur organisasi tidak boleh kaku, karena diperlukan kemampuan adaptasi yang tinggi. Pola kerja organisasi tidak dapat lagi bersifat mekanis, tetapi bersifat biologis yang terdiri dari jaringan – jaringan intelektual serta kelompok – kelompok yang dapat bekerja sama dan belajar bersama yang dimotori oleh daya imajinasi. Karena bersifat biologis, maka organisasi ini akan sadar akan dampaknya terhadap lingkungan sekitarnya. ( Gibson, R, dalam Nicholas Brealey Publ, 1997).

Saat ini yang menjadi pertanyaan seberapa besar daya imajinasi kita untuk melakukan perubahan dalam penataan ruang. Tanpa disentuh oleh aturan normatif atau ketentuan teknis perencanaan, ruang akan berubah dengan sendirinya menurut daya imajinasi masyarakat. Akan muncul konflik jika daya imajinasi itu hanya ”dimonopoli” oleh sekelompok pakar, konsultan perencana atau para birokrasi penguasa ruang yang mengatur ruang bersama tanpa bekerjasama dengan stakeholder lain atau masyarakat. Ruang tanpa wadah demokrasi akan mati, demokrasi tanpa aturan akan ”amburadul”. Penataan ruang tanpa aturan demokrasi yang jelas, akan membawa ke ”liberalisasi”. Dinamika perubahan yang terlalu liberal bahkan terlalu neo liberalisme akan membawa pola kesenjangan yang semakin memarjinalkan kelompok tak berpunya. Menjadi pertanyaan seberapa besar ”daya kesabaran” kita untuk mampu mendengar dan mengakomodir berbagai ragam kepentingan dan seberapa besar kemampuan kelembagaan penataan ruang untuk mengendalikan liberalisme ruang dan menata konflik didalamnya. Apakah sudah saatnya kita harus menjatuhkan bentuk kebijakan pemanfaatan ruang pada dua pilihan ekstrem, yaitu menyusun penataan ruang yang ”Pro Market atau Pro Rakyat”.

Struktur dan Mekanisme Kerja Kelembagaan

Untuk menjaga proses perubahan dan melembagakan perubahan tersebut, maka dalam lingkup organisasi memerlukan paling tidak dua komponen, yaitu :

  1. Struktur yang semi permanen, untuk dapat menjalankan proses bisnis atau kegiatan utamanya
  2. Mekanisme perubahan yang bekerja secara terpadu melalui kelompok kerja lintas struktur.

Jika struktur kelembagaan semipermanen tersusun dengan baik, maka mekanisme perubahan akan tetap berjalan, walaupun organisasi berubah, sehingga perubahannya akan melembaga. Sedangkan untuk mempertahankan keterpaduan dalam perubahan, mekanisme perubahan harus memiliki tiga komponen, yaitu : (1) rancangan / disain dari proses kegiatan utama (2) keterampilan dan motivasi karyawan dan (3) mutu sumberdaya yang digunakan.

Untuk merancang format peran Kelembagaan Komisi Perencanaan, harus dipertegas denganrancangan disain, tugas pokok dan fungsi komisi tersebut. Jika filosofi dasarnya, dibentuk sebagai bagian dari proses demokratisasi dan upaya peningkatan kualitas dari proses penyusunan dokumen perencanaan yang lebih aspiratif dan efektif. Maka yang perlu diperkuat dari fungsi kelembagaan ini adalah kemampuannya untuk mengakomodir kepentingan dari berbagai kelompok masyarakat sehingga mampu menghasilkan kebijakan yang lebih aspiratif. Sebuah dokumen atau rencana yang aspiratif ”pasti” akan didukung sebagian besar masyarakat. Mengambil contoh kasus dalam pemanfaatan ruang di Jakarta, apakah fungsi kelembagaan seperti TPAK (Tim Pertimbangan Arsitektur Kota), dapat direpresentasikan sebagai sebuah model mikro komisi perencanaan ? Seberapa besar aspirasi masyarakat menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusannya ? Apakah hasil keputusan tim pertimbangan sudah sesuai dengan rencana kota ? Jika terjadi banyak penyimpangan, apakah para arsitektur , perencana kota dan pengambil kebijakan perijinan yang terlibat dan tergabung dalam tim pertimbangan turut bersama – sama merusak tata ruang kota. Siapa yang harus menegur dan mengawasi komisi perencanaan. Bagaimana netralitas kelembagaan dalam pengelolaan konflik, dan bagaimana implikasi perubahan itu dapat mengakibatkan perubahan dan pembatalan rencana.

Apakah bentuk penyimpangan lebih banyak disebabkan tekanan kepentingan yang tidak dapat ditolak oleh lembaga atau disebabkan kapabilitas dari rencana kota yang masih jauh dari sempurna dan tidak aspiratif dalam prosesnya.

Dalam banyak kasus hasil studi di Thailand, Vietnam dan Malaysia, disinyalir banyaknya kegagalan kebijakan disebabkan adanya faktor kelemahan terbesar dalam hal kapasitas kelembagaan. Lemahnya kelembagaan membuktikan perlunya memperkuat kapasitas negara. Untuk itu dibutuhkan dukungan kepemimpinan dan kehadiran pemimpin yang kuat dalam memotivasi dan meningkatkan kualitas sumberdaya yang dipergunakan. (ADB, 1999).

Pada komponen kedua, yang mengedepankan aspek keterampilan dan motivasi, yang perlu dipertegas terhadap peran dari setiap anggota komisi perencanaan, adalah bagaimana komisi dapat bekerja dengan baik jika tidak dibekali dengan dengan landasan konsep yang kuat dan tanpa dukungan tim expert yang berkompeten. Tanpa bertumpu keterampilan dan kemampuan pengembangan konsep pembangunan kota atau wilayah yang kuat dan pengetahuan mengenai permasalahan perkotaan dan perwilayahan yang mendalam, akan mampukah Komisi Indipenden atau Komisi Perencanaan mempunyai atau menyusun sebuah sistem nilai atau tolok ukur yang nantinya akan menjadi landasan kerja bagi semua keputusannya? Dan haruskah Komisi Perencanaan membatasi dirinya hanya bergerak pada kajian spasial plan ( tata ruang). Bagaimana dengan aspek pembangunannya, apakah aspek RPJM atau RPJP (development plan) tidak dapat disentuh oleh Komisi? Mengingat dalam era desentralisasi, hampir semua kewenangan sektoral pembangunan berada di daerah. Jika development plan dan spasial plan adalah sebuah produk politik, apakah komisi mampu meloby ruang politik untuk mempengaruhi keputusan dalam pemanfaatan ruang yang terkait dengan pembangunan di daerah.

Jika terjadi benturan kepentingan, mampukah komosi dapat menjadi badan rujukan atau pertimbangan dari sektor yang terkait dan pihak yang berkonflik untuk mendapatkan fatwa ruang yang tegas dan pasti. Mampukah komisi untuk meminta kepada pihak yang melakukan penyimpangan untuk melakukan penghentian proses kegiatan. Jika rekomendasi dari Komisi ditolak, dapatkah Komisi mengadukan kepihak pengadilan atas nama kepentingan publik kepada sektor yang menyalahi ketentuan pemanfaatan ruang yang berlaku.

Kompetensi terakhir yang harus dibenahi oleh Komisi Perencanaan adalah masalah mutu sumberdaya yang digunakan. Kelembagaan Komisi Perencanaan tidak akan efektif , jika tidak didukung secara simultan dengan pengembangan program strategis lainnya, berupa pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kemampuan sumberdaya manusia di pemerintahan. Anggota Komisi yang terlalu kuat kapasitasnya, tidak akan optimal jika tidak didukung dengan kapasitas masyarakat yang sadar dan peduli dengan tata ruangnya. Komisi akan terlalu ”capek dan letih” karena harus bekerja sendiri.

Kemampuan investigasinya akan lemah, karena minimnya data dan informasi yang diterima dari masyarakat, disebabkan faktor minimnya pengetahuan dan kepedulian. Sementara jika aspek sumber daya kepemerintahan juga minim dan lemah, maka ketidakpahaman unsur pemerintahan dalam menyusun rencana tata ruang akan menimbulkan konflik ruang yang berkepanjangan. Sementara jika kapasitas para penyusun rencana, yang terdiri para ahli perencana kota dan wilayah juga masih lemah, maka output produk akan sulit untuk dijamin kualitasnya. Tiga unsur antara masyarakat, pemerintah dan para perencana perlu sama – sama disetarakan guna tercapainya sinergitas proses yang optimal dalam setiap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang. Catatan penting dalam pemberdayaan sumber daya dalam pengembangan kelembagaan adalah peningkatan kualitas setiap unsur dalam proses penataan ruang sehingga bisa menghasilkan output yang dapat dipertanggungjawabkan, mengingat Komisi Perencanaan itu bukan hanya domain para perencana kota dan wilayah, karena proses kalkulasi politik, numerik dan proses input – outputnya ada dipihak lain.

Pentingnya mempertahankan tiga unsur komponen tersebut menjadi kata kunci, sebab merubah aturan main atau tata nilai proses penataan ruang tanpa mengkaitkan ketiganya tidak akan pernah efektif dalam memperbaiki sistem kelembagaan secara keseluruhan.

Titik Keseimbangan dan Keselarasan

Untuk mencapai keseimbangan dan keselarasan peran Komisi Perencanaan sebagai Badan Pertimbangan Publik untuk proses perencanaan kota dan wilayah serta mengantisipasi perubahan tata aturan dan tata nilai yang berlaku, maka ada tiga tahap yang harus dilalui dalam proses pembentukan kelembagaannya, antara lain :

  1. Bagaimana peran kelembagaan mampu untuk mengatasi isu sehari – hari, misalnya mgatasi kegagalan dalam prosedur pelaksanaan perencanaan dan pemanfaatan ruang,
  2. Membentuk tim agar mampu menangani semua proses yang menuntut perbaikan, misalnya pengelolaan pelayanan kepada publik
  3. Membentuk tim untuk menangani perbaikan terhadap struktur dasar, misal memfasilitasi perbaikan proses di dalam organisasi. Selama ketiga tahap ini dikerjakan, semua pihak harus tetap bersikap responsif terhadap perubahan – perubahan yang terjadi terhadap ruang oleh sektoral terkait, pemanfaat ruang skala besar, masyarakat dan mitra dalam organisasi.

Dalam pendekatan ini pembentukan kelembagaan Komisi Perencanaan sebagai bentuk peran serta masyarakat dapat diaplikasikan dalam pembuatan rancangan kebijakan publik, melalui proses analisis institusional. Teori ini akan menjelaskan perilaku individu – individu di dalam struktur insititusional yang ditentukan melalui lima faktor yang bekerja (working parts), di dalam proses pelembagaannya yaitu:

(1) Pembuat keputusan (the decision maker),(2) Komunitas yang dipengaruhi oleh pembuatan keputusan yang saling terkait, (3) Events (or goods and services) that interacting individuals seek to produce and consume, (4) Tatanan institusi yang mengarahkan keputusan-keputusan individu, dan (5) Situasi keputusan dimana individu membuat pilihan-pilihan.

faktor 2

Melalui kombinasi kelima faktor yang bekerja tersebut para political economists mampu memprediksi dua tipe hasilnya yaitu (a) Prediksi pertama mengenai strategi dan aksi para pembuat keputusan individual, dan (b) prediksi kedua mengenai agregat aksi-aksi individu menjadi outcomes bagi komunitas (Larry L.Kiser and Elinor Ostrom, 2000: 58-59).

Gambar 1 memperlihatkan tatanan institusional (attributes of Institutional), attributes of events (barang/jasa,public private), dan tatanan komunitas berkombinasi (dalam proses dialogis) untuk menentukan tatanan situasi keputusan yang harus diputuskan. Tatanan situasi keputusan berkombinasi dengan tatanab pembuat keputusan individual, menghasilkan aksi kegiatan dan strategi. Agregat dari aksi-aksi dan strategi akhirnya menyatu menjadi hasil (results) atau outcomes. Agregat hasil (outcomes) selanjutnya mempengaruhi atribut komunitas, atribut situasi keputusan, dan atribut individual. Garis umpan balik mengasumsikan bahwa faktor-faktor yang bekerja dalam kerangka ini (the working parts of the framework) telah berputar paling tidak sekali, dimana di dalamnya individual membuat pilihan dalam situasi keputusan yang ada, mengambil aksi dari berbagai pilihan, dan merealisasikan outcomes. Umpan balik memperlihatkan kualitas dinamika dari kerangka ini, antara lain dapat dilihat dari :

Umpan balik dari results ke tatanan komunitas, dimana pengaruh yang paling langsung dari outcomes adalah meningkatkan saling berbagi pengalaman dari interaksi di komunitas. Hal ini akan mempengaruhi komunitas dan keputusan-keputusan oleh anggota-anggota komunitas.
Sementara umpan balik dari results ke tatanan individual memperlihatkan pengaruh pengalaman pada pembuat keputusaan individual lebih besar dibandingkan dengan komunitas.

Hasil umpan balik kepada komunitas selanjutnya akan mempengaruhi situasi keputusan, umpan balik kepada individual akan mempengaruhi pemahaman dari pembuat keputusan mengenai situasi keputusan. Pembuat keputusan, dengan demikian, mungkin akan mengubah strategi sesuai situasi dan bahkan mungkin mengubah tujuan (objectives).

Gambaran proses working parts, secara tidak langsung mendudukkan peran dan fungsi kelembagaan harus merupakan lembaga sharing pengalaman antar individu yang mempunyai keterkaitan kepentingan. Proses di dalamnya harus merupakan pola interaksi dialogis, untuk mempertimbangkan aspek yang paling penting untuk menghasilkan suatu jasa layanan yang mungkin dapat mengubah hasil rancangan yang telah ditetapkan sebelumnya. Yang menjadi pertanyaan

Bagaimana jika proses terjadi ditingkat komunitas, khususnya dalam proses manajemen proses penyusunan rencana maupun manajemen konflik.
Apakah pada lokasi – lokasi strategis di kawasan perkotaan atau wilayah strategis penting lainnya, diperlukan dipertimbangkan dengan mendahulukan kepentingan mayoritas warga daripada kepentingan individual. Dibanyak negara bila mayoritas penduduk (misalnya 60 %) disuatu daerah perencanaan menyetujui sebuah rencana, maka sisanya harus ikut ( Jo Santoso, Seminar Komisi Perencanaan, IAP Jakarta,2002). Untuk menyetujui pola seperti ini, maka bagaimana suatu konsensus pembangunan harus diproses. Diperlukan suatu undang – undang yang mengatur kepentingan umum. Apakah UU Penataan Ruang sudah mengatur prinsip dasar tentang arti dan makna dari kepentingan umum? Seberapa besar kemampuan komisi untuk dapat menetapkan suatu rancangan pemanfaatan ruang sudah masuk dalam kategori sebagai kepentingan umum? Konsensus harus melalui suatu proses dengan mempertimbangkan kemampuan kelembagaan Komisi Perencanaan untuk melakukan mediasi dalam pemecahan sebuah konflik yang muncul antara berbagai pihak yang terlibat di dalamnya.

Penutup

Masalah pembentukan Komisi Perencanaan sebagai wadah pertimbangan dalam perencanaan wilayah dan kota menjadi bahan perenungan yang perlu dipikirkan bersama. Kedudukan hukum yang jelas tentang keberadaan lembaga, perlu dipertegas kembali. Jika kedudukan hanya sebatas di dalam Perda, apakah lembaga akan bisa bekerja secara efektif. Faktor kelemahan legal institusional dalam sistem perencanaan pembangunan kota dan wilayah, tidak akan mudah untuk dituntaskan dengan membentuk suatu Komisi Perencanaan? Bentuk kelembagaan harus diperjelas apakah non goverment ? Dimana lembaga ini akan ditempatkan? Bagaimana cara lembaga ini nanti akan membuat suatu indikator evaluasi terhadap proses perencanaan yang sudah berjalan, bagaimana cara mengukur penyimpangannya dan dapatkah lembaga ini berubah menjadi ” tata ruang watch”? Perlukah tim membentuk suatu komisi pemeriksa yang dapat melakukan investigasi layaknya KPK? Dan dapatkan hasil laporan dari Komisi ini masuk bagian dari Tim Penyidik Sipil yang diatur UU Tata Ruang untuk bahan pengaduan kepada pihak Kepolisian guna melakukan gugatan kepada pengadilan. Untuk memantapkan kapasitas kelembagaan, maka representasi keanggotaannya harus berdasarkan azas profesionalisme, bukan atas dasar kepentingan kelompok atau perwakilan kepentingan.

Semoga langkah awal yang kecil ini dapat menjadi batu loncatan kepada langkah yang lebih besar untuk membentuk wadah yang benar – benar menjadi perwakilan kepentingan dan pertimbangan bagi suatu proses penyelenggaraan tata ruang yang lebih baik.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.