Kelembagaan DAS

Rija Sudirja

PENGELOLAAN AIR BERBASIS MASYARAKAT: Tinjauan Perspektif Legal

Oleh:  Rija Sudirja, Dosen Pengelolaan Tanah dan Air pada Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran

Makalah Pelatihan “Pengelolaan Air Berbasis Masyarakat 2006” Di PAU ITB Bandung, 25 – 27 November 2006.
Kerjasama YAYASAN GUYU SAKTI GANESHA dengan PEMERINTAH KECAMATAN PALTAMAK KAB. NATUNA, Bandung, 2006

PENDAHULUAN

Tata urutan peraturan perundang-undangan secara hirarki sekarang ini menurut Ketetapan MPR No. III/MPR/2000, adalah :

  1. UUD 1945;
  2. Ketetapan MPR;
  3. Undang-undang;
  4. Perpu;
  5. PP;
  6. Keputusan Presiden;
  7. Peraturan Daerah.

Sedangkan terkait dengan peraturan pengelolaan air dalam perspektif hukum positif diperkirakan akan menyangkut kepada hal-hal sebagai berikut:

  1. APBN, berupa Undang-undang.
  2. APBD Propinsi, berupa Peraturan Daerah Propinsi.
  3. APBD Kota/Kabupaten, berupa Peraturan Daerah Kota/Kabupaten.
  4. SOTK Lembaga-lembaga terkait Tingkat Propinsi dan Kota/Kabupaten, bahkan Kecamatan, bisa dalam bentuk Peraturan Daerah atau Surat Keputusan Gubernur, Walikota atau Bupati.
  5. TUPOKSI Lembaga-lembaga terkait, bisa berupa Peraturan Daerah atau Surat Keputusan Kepala Lembaga-lembaga terkait.
  6. RTRW Propinsi dan Kota/Kabupaten, berupa Peraturan Daerah.
  7. Lokasi/banyaknya sumber air dan pengelolanya, bisa-bisa berupa Peraturan Desa, dsb.
  8. Eksistensi lembaga pengelola air sekarang ini dan estimasi kebutuhan di masa yang akan datang, Peraturan Daerah atau Peraturan Desa.

Menurut pakar hukum, menyatakan bahwa UNDANG-UNDANG akan memiliki arti yang hakiki bagi kehidupan masyarakat manakala makna dan undang-undang itu telah mampu menciptakan keadilan yang hakiki, menciptakan perlindungan terhadap seluruh rakyat, menciptakan ketenteraman dan ketertiban umum, dan dapat menyehatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat banyak.

Tujuan penyelenggaraan negara antara lain untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum, memberikan perlindungan terhadap seluruh rakyat, dan menyelenggarakan ketertiban umum. Oleh karena itu, negara berkewajiban untuk melindungi seluruh kepentingan rakyat dan menciptakan keadilan.

Air merupakan karunia Tuhan untuk umatnya, termasuk seluruh rakyat Indonesia, sedangkan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 diamanatkan bahwa penguasaan atas bumi, air, dan ruang angkasa, serta kekayaan yang terkandung di dalamnya itu untuk dipergunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Penguasaan yang dimaksud tidak menempatkan negara sebagai pemilik (ownership), tetapi tetap pada fungsi-fungsi penyelenggaraan negara.

Air merupakan kebutuhan makhluk hidup yang paling hakiki, termasuk manusia, tanaman dan hewan, oleh sebab itu air perlu ditata penggunaannya agar memberikan manfaat bagi rakyatnya. Dalam jaringan distribusi air, diperlukan suatu sistem yang terkoordinasi, baik antara para pelaku maupun pembuat kebijakan di sektor perairan, dan jaminan perolehan air yang cukup.

Begitu pentingnya masalah air, baik untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup rakyat banyak maupun untuk kebutuhan pertanian (terutama tanaman pangan) dan keperluan pada sektor lainnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa air menjadi suatu komoditas yang memiliki posisi strategis dari kepentingan-kepentingan untuk pemenuhan kebutuhan hajat hidup, bisnis, industri, pertanian/irigasi, maupun ketahanan pangan yang menjadi bagian dari sistem ketahanan nasional. Posisi air yang strategis dalam menguasai hajat hidup orang banyak, maka tidak dapat dielakkan bahwa air akan menjadi persoalan tarik menarik dari berbagai kepentingan. Oleh karena itu, persoalan air harus ditata dengan baik melalui perangkat peraturan perundang-undangan yang dapat melindungi dan mewujudkan ketertiban umum yang mencerminkan keadilan masyarakat.

KEWENANGAN PENGELOLAAN AIR

Sejak berlakunya Otda melalui UU No. 22 Tahun 1999 hingga direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004, undang-undang yang berhubungan pengelolaan air adalah UU No.7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Dalam UU Sumber Daya Air dua jenis kewenangan ini dinyatakan secara detail (pasal 16 sampai 18). UU Sumberdaya Air memberikan kewenangan dan tanggung jawab daerah atas pengelolaan sumberdaya air yakni dalam hal menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air, menetapkan pola pengelolaan sumber daya air, menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air, menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air, melaksanakan pengelolaan sumber daya air, mengatur, menetapkan dan memberi izin penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air, membentuk dewan sumber daya air, memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari atas air dan menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. Dengan cara seperti itu, UU Sumber Daya Air secara lengkap menguraikan tentang kewenangan baik yang sifatnya substantif maupun teknis. Kewenangan teknis terutama menyangkut pengaturan, penetapan, pemberian izin, penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air serta pembentukan dewan sumberdaya air sedangkan kewenangan substantif adalah delapan kewenangan lainnya yang secara singkat dapat dikatakan sebagai kewenangan otonomi pengelolaan SDA.

Di dalam UU Sumber Daya Air terlihat banyak mengatur soal partisipasi masyarakat. Dalam bagian menimbang huruf (d) dikatakan: ‘Sejalan dengan semangat demokratisasi, desentralisasi, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, masyarakat perlu diberi peran dalam pengelolaan sumber daya air’.

Ketentuan ini selanjutnya diatur lebih komprehensif dan meluas dalam BAB XI Tentang Hak, Kewajiban dan Peran Serta Masyarakat. Dikatakan bahwa “masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya air”. Pelaksanaan partisipasi itu kemudian akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. UU ini juga menetapkan hak masyarakat yang harus dipenuhi sebagai prasyarat terlaksananya partisipasi yang sejati. Hak-hak tersebut adalah hak informasi, mendapat manfaat, ganti rugi, keberatan, laporan dan pengaduan dan hak menggugat ke pengadilan atas pengelolaan sumber daya air.

PENGATURAN PEMBERIAN HAK ATAS AIR

Hak Guna Air

Hak guna air yang disebutkan pada UU SDA pasal 6, 7, 8, dan 9 dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yaitu hak guna pakai air dan hak guna usaha air. Hak guna pakai air adalah hak penggunaan air untuk kebutuhan pokok sehari-hari atau nonkomersial, sementara hak guna usaha air adalah hak untuk mengusahakan air bagi tujuan-tujuan komersial. Hal ini secara eksplisit telah menempatkan air sebagai barang komoditi yang dapat diperjualbelikan. Hak guna air tidak dapat disewakan atau dipindahtangankan, sebagian atau seluruhnya, sedangkan Hak guna pakai air diperoleh tanpa izin untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan bagi pertanian rakyat yang berada di dalam sistem irigasi. Hak guna pakai air memerlukan izin oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya apabila:

a. cara menggunakannya dilakukan dengan mengubah kondisi alami sumber air;
b. ditujukan untuk keperluan kelompok yang memerlukan air dalam jumlah besar; atau
c. digunakan untuk pertanian rakyat di luar sistem irigasi yang sudah ada.

Hak guna pakai air meliputi hak untuk mengalirkan air dari atau ke tanahnya melalui tanah orang lain yang berbatasan dengan tanahnya berdasarkan persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang bersangkutan (dapat berupa kesepakatan ganti kerugian atau kompensasi). Hak guna pakai ini dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

Perizinan

Dapat dipahami bahwa perizinan memang menempatkan posisi dan peran negara sesuai dengan filosofi dasar konstitusi (UUD 1945), dalam UU SDA penting untuk menempatkan rasa keadilan masyarakat. Perizinan mengacu pada pemikiran perlindungan terhadap kepentingan rakyat banyak terhadap kebutuhan air baku dan konsep pelestarian lingkungan hidup dan kelestarian sumber daya air. Perizinan dalam UU SDA diberlakukan secara menyeluruh (pasal 45), termasuk penggunaan air pada statu lokasi (4a), Pemanfaatan wadah air (4b), pemanfaatan daya air (4c), alokasi air untuk pengusahaan dan rencana pengelolaan sumber daya air (pasal 46).

Air Baku Rumah Tangga

Di dalam hal penyediaan air minum rumah tangga, maka pengembangan sistemnya menjadi tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah, akan tetapi penyelenggaraannya dapat diberikan kepada BUMN/BUMD, Koperasi, badan usa swasta, dan masyarakat (UU SDA pasal 40). Pengaturan terhadap pengembangan sistem penyediaan air minum bertujuan untuk:

a. terciptanya pengelolaan dan pelayanan air minum yang berkualitas dengan harga yang terjangkau;
b. tercapainya kepentingan yang seimbang antara konsumen dan penyedia jasa pelayanan; dan
c. meningkatnya efisiensi dan cakupan pelayanan air minum. Pertanian

Berbeda dengan peraturan sebelumnya (PP No.7 tahun 1999), untuk keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan air di tingkat jaringan irigasi (Primer, sekunder dan tersier) pada awalnya sudah memberikan peran dominan pada masyarakat petani pada ketiga jaringan tersebut. Akan tetapi, pada UU SDA pasal 41 dan 42 ini menempatkan kembali posisi Pusat, Propinsi, Kab./kota, dan P3A. Peran P3A ditempatkan pada Pengembangan sistem irigasi tersier menjadi hak dan tanggungjawabnya. Namun demikian, pada setiap pengembangan jaringan baik primer, sekunder dan tersier, dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat.

Konservasi

UU SDA menekankan konsep pelestarian (konservasi) sumber daya dan distribusi untuk menjaga stabilitas sumber daya dan siklus air, serta pemikiran administratif (perizinan dan pemberian hak). Konservasi mendapat penekanan untuk kelangsungan sumberdaya air yang telah mengalami pengrusakan pada hutan-hutan di daerah hulu (pegunungan) dengan usaha-usaha pencegahan secara konkrit.

Pengrusakan hutan dan lingkungan yang dilakukan secara sistematis sebagaimana pada UU No. 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup mendapatkan perhatian yang lebih serius, penghukuman dan penjeraan terhadap pelaku-pelaku pengrusakan dirumuskan dalam konsep pemidanaan yang begitu berat baik pemidanaan badan maupun pembebanan ganti rugi dan denda yang sebesar-besarnya. Konservasi harus menumbuhkan semangat kepada seluruh unsur masyarakat untuk menjaga kelestarian sumber daya air, pertanian konservasi pada wilayah hulu untuk dirangsang menumbuhkan semangat konservasi.

STUDI KASUS TENTANG PERATURAN YANG DIBUAT DALAM PENGELOLAAN AIR BERBASIS MASYARAKAT DI JAWA BARAT

Status Badan Hukum Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) Di dalam pasal 41 UU SDA disebutkan bahwa ayat (3) Pengembangan sistem irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab perkumpulan petani pemakai air; (4) Pengembangan sistem irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat; (5) Pengembangan sistem irigasi primer  dan sekunder dapat dilakukan oleh perkumpulan petani pemakai air atau pihak lain sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

Sebagai upaya untuk memberdayakan Perkumpulan Petani Pemakai Air atau P3A, pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2001 Tentang Pedoman Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Salah satu upaya pemberdayaan P3A itu ialah dengan menguatkan kelembagaan sampai berstatus sebagai badan hukum. Pengertian badan hukum sebagai subjek hukum mencakup hal-hal sebagai berikut:

  • perkumpulan orang (organisasi);
  • dapat melakukan perbuatan hukum dalam hubungan-hubungan hukum;
  • mempunyai harta kekayaan sendiri;
  • mempunyai pengurus;
  • mempunyai hak dan kewajiban;
  • dapat digugat atau menggugat di depan pengadilan.

Dengan demikian jika ditanyakan manfaat P3A itu sebagai badan hukum, maka jelas banyak sekali. Bahkan dengan status P3A itu sebagai badan hukum maka akan membatasi tanggung jawab para petani secara perseorangan (anggotanya) terhadap gugatan pihak ketiga dari keberadaan harta pribadinya.

Berdasarkan Pasal 7 Kepmendagri No. 50 Tahun 2001 tatacara pembentukan P3A adalah sebagai berikut :

a. Petani pemakai air mengadakan kesepakatan untuk membentuk P3A, kepengurusan P3A, menyusun rancangan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga P3A.
b. Pembentukan P3A , kepengurusan P3A, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga P3A ditetapkan dalam rapat anggota dan dilaporkan oleh pengurus/ketua P3A kepada Bupati/Walikota setempat.
c. Pengurus P3A mendaftarkan Anggaran Dasar P3A kepada Pengadilan Negeri atau Notaris setempat untuk mendapatkan status badan hukum.
d. Dalam hal pembentukan kelembagaan P3A tidak demokratis, Pemerintah Daerah memfasilitasi sesuai permintaan petani pemakai air untuk melakukan kesepakatan ulang dalam penyempurnaan pembentukan kelembagaan P3A. AD/ART Dari ketentuan di atas setidaknya terdapat empat tahapan proses badan hukum P3A itu :

  1. Menyusun AD/ART (tidak ada ketentuan harus otentik);
  2. AD/ART ditetapkan dalam rapat anggota;
  3. dilaporkan kepada Bupati/Walikota;
  4. Mendaftarkan Anggaran Dasar kepada Pengadilan Negeri atau Notaris.

Menurut Pasal 7 butir c, proses mendaftarkan Anggaran Dasar kepada Pengadilan Negeri atau Notaris setempat itu adalah dalam rangka mendapatkan status badan hukum.

Menurut Pasal 13 Kepmendagri No. 50 Tahun 2001, P3A, GP3A, dan IP3A mempunyai wewenang di wilayah kerjanya untuk :

a. Menyusun perencanaan dan kesepakatan pengelolaan irigasi sesuai dengan pelayanan yang dibutuhkan P3A, GP3A, dan IP3A pada wilayah kerja yang menjadi tanggung jawabnya;
b. Melaksanakan pengelolaan irigasi pada wilayah kerja yang menjadi tanggung jawabnya, termasuk pengelolaan air bawah tanah dan air permukaan secara terpadu;
c. Melakukan pemantauan dan evaluasi kegiatan pengelolaan irigasi pada wilayah kerja yang menjadi tanggung jawabnya; dan
d. Mengelola dana pengelolaan irigasi untuk keberlanjutan sistem irigasi.

Secara kelembagaan P3A memegang peranan penting dalam struktur organisasi kenegaraan Republik Indonesia sebagai pelayan publik (public service), tidak boleh berbuat sewenang-wenang, dan mementingkan kepentingan sendiri (perkumpulan), serta mempunyai tinjauan mengeruk keuntungan (profit oriented).3 Lembaga P3A ini merupakan suatu Lembaga Umum (Instelling), bukan Perseroan Terbatas, bukan Koperasi, bukan Yayasan. Kecuali mau berbisnis, dipersilahkan P3A membentuk badan hukum lain seperti Koperasi dan lain-lain.

———–

3 Sehingga dipahami dalam Kepmendagri 50/2001 muncul Pasal 21 ayat (3) yang menyebutkan P3A dapat membentuk usaha ekonomi atau agribisnis, dengan tetap melestarikan pengelolaan irigasi melalui :
a. Unit usaha/koperasi tersebut terpisah secara struktural organisasi dengan kelembagaan P3A;
b. Anggota P3A tidak diharuskan menjadi anggota unit usaha/koperasi;
c. Ketua P3A tidak boleh merangkap menjadi pengurus unit usaha/koperasi; dan
d. Dana dari iuran pengelolaan irigasi P3A tidak boleh dipakai untuk kegiatan unit usaha/koperasi.
Jadi, jika mau berbisnis harus terpisah dari kelembagaan P3A.

————–
Proses Badan Hukum P3A Dalam Praktek Lapangan Berdasarkan temuan lapangan di beberapa tempat di Jawa Barat, maka proses badan hukum P3A itu tidak seragam. Diantaranya terdapat AD/ART P3A itu langsung dibuatkan oleh Notaris dengan menyebutkan bentuk hukumnya adalah sebuah “Perkumpulan”. Selanjutnya AD/ART P3A tersebut ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati. Jadi judul SK Bupati itu adalah tentang Penetapan P3A …sebagai badan hukum. Selain itu ada juga contoh pembuatan AD/ART oleh P3A sendiri tapi kemudian minta pengesahan Bupati. Sehingga judul Surat Keputusan Bupatinya berbunyi SK Bupati tentang Pengesahan AD/ART P3A …sebagai badan hukum.

Contoh lainnya adalah Bupati menandatangani AD/ART langsung, diawali dengan kata-kata; Mengesahkan P3A …, tanpa membuat SK secara tersendiri. Contoh lainnya adalah pengesahan P3A dilakukan oleh Camat. Hal-hal yang terjadi di atas disebabkan karena ketidaktahuan saja dari masyarakat maupun pejabatnya. Padahal pembentukan P3A berdasarkan Kepmendagri No. 50/2001 dapat dikatakan begitu sederhana.

AD/ART tidak perlu dibuat oleh Notaris atau Pejabat Umum lainnya sebagai  suatu persyaratan yang otentik. Bupati/Walikota hanya mendapat laporan AD/ART. Pendaftaran Anggaran Dasar bisa dilakukan terhadap salah satu dari dua lembaga yang ada, yaitu Pengadilan Negeri atau Notaris. Berdasarkan kenyataan dilapangan pendaftaran di Pengadilan Negeri setempat ternyata biayanya lebih murah.

Peluang kerjasama pengelolaan irigasi dengan Mitra Swasta di Jawa Barat, memang belum pernah dilakukan, namun demikian dari rancangan struktur kelembagaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 3/2001, pada dasarnya ada tiga pelaku pembangunan yaitu Pemerintah, Masyarakat Pemakai Air, dan Mitra Swasta, yang akan memiliki peran tidak bias dipisahkan dan saling mengisi. Dengan demikian, peran serta dan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan irigasi menjadi sangat penting. Upaya pemberdayaan peran masyarakat pemakai air dan mitra swasta perlu mendapat prioritas. Tidak adanya peran serta masyarakat merupakan ancaman bagi keberhasilan pengelolaan irigasi di Jawa Barat.

KESIMPULAN

  1. Posisi masyarakat untuk terlibat dalam pengambil keputusan sangat penting artinya, dan negara harus mampu mencukupi kebutuhan masyarakat di tengah krisis air dalam waktu dekat lagi.
  2. Bergulirnya UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air lebih komprehensif dan meluas dalam BAB XI Tentang Hak, Kewajiban dan Peran Serta Masyarakat. Dikatakan bahwa “masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya air”.
  3. Terdapat empat tahapan proses badan hukum P3A itu :
    􀀻 Menyusun AD/ART (tidak ada ketentuan harus otentik);
    􀀻 AD/ART ditetapkan dalam rapat anggota;
    􀀻 dilaporkan kepada Bupati/Walikota;
    􀀻 Mendaftarkan Anggaran Dasar kepada Pengadilan Negeri atau Notaris.
  4. Tata cara perolehan status badan hukum P3A di Jawa Barat memiliki kekhasan tersendiri jika dibandingkan dengan tata cara atau proses badan hukum dari lembaga yang lain seperti PT, Koperasi, Yayasan dan lain-lain. Proses pembentukan P3A di lapangan sangat beragam, dalam arti belum melaksanakan sebagaimana diatur dengan Kepmendagri No. 50/2001.

DAFTAR PUSTAKA

Bernadinus Steni. 2004. Desentralisasi, Koordinasi Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Pasca Otonomi Daerah. Available
at: http://www.huma.or.id (diakses tanggal 19 Agustus 2006).
Pusat Dinamika Pembangunan. 2004. Pemberdayaan Perempuan Dalam Pengelolaan Irigasi. Laporan Penelitian.
____________________________. 2005. Redefinisi Tugas Lembaga Pengelola Irigasi. Laporan Penelitian.
Nandang Alamsyah. 2004. Konsep Yuridis Ketatanegaraan. Makalah Seminar PDP UNPAD.
________________. 2004. Menyoal Status Lembaga P3A. 2004. Makalah seminar. PDP UNPAD. Bandung
R Herlambang Perdana. 2002. Kajian RUU Sumber Daya Air dalam HU. Kompas 30 Juli 2002.
Undang-Undang No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup .
Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Undang-Undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Pemerintah Daerah.
Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

LAMPIRAN 1: Contoh Peraturan Desa

PERATURAN DESA BENTENAN

NOMOR : 5 TAHUN 2002

TENTANG

PENGELOLAAN AIR BERSIH DESA BENTENAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

HUKUM TUA DESA BENTENAN,

Menimbang :

a. bahwa ketersediaan air bersih merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat yang sangat penting yang harus disediakan dan dijamin untuk kesejahteraan masyarakat;
b. bahwa untuk menjamin ketersediaan air bersih secara terus menerus dan merata bagi seluruh masyarakat desa maka perlu dilakukan pengelolaan terhadap pemanfaatan air bersih dan perawatan sarana-sarana air bersih yang ada;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a dan b diatas, maka perlu menetapkan peraturan Desa Bentenan tentang Pengelolaan Air Bersih Desa Bentenan;

Mengingat :

  1. Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3);
  2. Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
  3. Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
  4. Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa Nomor 6 Tahun 2000 tentang Peraturan Desa;

DENGAN PERSETUJUAN BADAN PERWAKILAN DESA BENTENAN,
M E M U T U S K A N

Menetapkan : PERATURAN DESA BENTENAN TENTANG PENGELOLAAN AIR BERSIH DESA BENTENAN

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam peraturan desa ini yang dimaksud dengan :

  1. Pemerintah Desa adalah Hukum Tua dan Perangkat Desa Bentenan;
  2. Badan Perwakilan Desa adalah badan yang terdiri dari atas pemuka-pemuka masyarakat yang ada di desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintah Desa;
  3. Masyarakat Desa adalah seluruh penduduk Desa Bentenan;
  4. Sarana air bersih adalah bangunan dan atau peralatan fasilitas air bersih, meliputi bak penampung, bak penyalur, bak penyaring, pipa saluran air, pal dan mata kran air bersih;
  5. Pengrusakan sarana air bersih adalah tindakan-tindakan yang mengakibatkan kerusakan sarana air bersih, baik disengaja maupun tidak disengaja;
  6. Unit Pengelola Air Bersih adalah tim kerja yang terdiri dari orang-orang yang dipilih dan diangkat melalui musyawarah desa, untuk melakukan pengelolaan terhadap pemanfaatan sarana air bersih;
  7. Keperluan kegiatan-kegiatan tertentu adalah kebutuhan ketersediaan air melebihi jumlah pemakaian sehari-hari yang normal, seperti untuk kegiatan pesta dan atau acara besar keluarga.

BAB II
PENGELOLAAN AIR BERSIH DESA BENTENAN

Pasal 2

  1. Pengelolaan dan penyediaan air bersih di Desa Bentenan dilaksanakan oleh Pemerintah Desa, melalui Unit Pengelola Air Bersih yang kepengurusannya ditentukan dan atau dipilih melalui musyawarah desa.
  2. Masa kepengurusan Unit Pengelola Air Bersih adalah dua (2) tahun setiap periode.

Pasal 3

Setiap warga Desa Bentenan tanpa terkecuali, berhak mendapatkan air yang bersih dan sehat melalui fasilitasi air minum umum yang disediakan oleh pemerintah.

BAB III
KEWAJIBAN MASYARAKAT
Pasal 4

  1. Dalam melaksanakan pengelolaan air bersih di desa, setiap keluarga diwajibkan untuk membayar iuran setiap bulan.
  2. Besarnya iuran yang wajib dibayar seperti pada ayat (1) ditentukan lewat Surat Keputusan Hukum Tua berdasarkan musyarawah desa.
  3. Setiap keterlambatan pembayaran iuran melewati masa pembayaran yang ditentukan yaitu pada minggu pertama setiap bulan berjalan harus membayar denda sebesar duapuluh lima persen (25%) dari besar iuran setiap bulan berjalan.
  4. Masyarakat wajib melakukan pemeliharaan dan perawatan terhadap sarana air bersih serta wajib melaporkan setiap tindakan pengrusakan yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggung-jawab.
  5. Masyarakat yang membutuhkan air dalam jumlah banyak untuk keperluan kegiatankegiatan tertentu, harus melapor kepada Unit Pengelola Air Bersih dan mendapat izin dari unit pengelola.
  6. Khusus pelaksanaan ayat (5) di atas, anggota masyarakat pengguna harus memberikan partisipasi sebesar limaratus persen (500%) dari besarnya iuran air bersih yang ditagih setiap bulan

BAB IV
TATA CARA PENAGIHAN DAN PEMANFAATAN DANA
Pasal 5

  1. Penagihan iuran seperti pada pasal 4 ayat (1), ayat (3) dan ayat (6) dilaksanakan oleh Unit Pengelola Air Bersih.
  2. Penagihan iuran air bersih dilaksanakan pada minggu pertama setiap bulan berjalan.
  3. Dana yang diperoleh melalui penagihan iuran air bersih diperuntukan untuk pembiayaan pelaksanaan pengelolaan air bersih oleh unit pengelola air bersih dan untuk menunjang kegiatan-kegiatan lain di dalam desa.
  4. Dana untuk menunjang kegiatan-kegiatan lain di dalam desa diserahkan kepada pemerintah desa yaitu kepada aparat desa yang berwenang dalam pengelolaan keuangan desa.
  5. Besarnya prosentasi dana yang diserahkan kepada pemerintah desa seperti pada ayat (4) diatas ditentukan dalam musyawarah desa.
  6. Besarnya prosentasi dana seperti pada ayat (5) diatas, akan dievaluasi oleh pemerintah desa setiap tiga bulan pelaksanaan, setelah mendengar dan atau mendapat laporan pertanggung-jawaban dari unit pengelola air bersih yang harus dilaksanakan setiap tiga bulan sekali.

BAB V
HAL – HAL YANG DILARANG
Pasal 6

  1. Setiap warga masyarakat dilarang memasang ada atau membuat jaringan instalasi air bersih dari saluran air ke rumah pribadi, kecuali rumah ibadah dan atau sekolah dan atau sarana fasilitas desa yang telah mendapat ijin dari Pemerintah Desa.
  2. Setiap warga masyarakat dilarang melakukan pengrusakan sarana air bersih.
  3. Setiap warga masyarakat dilarang menebang pohon-pohon yang berada di lokasi sumber air bersih, sejauh radius 25 meter dari sumber air, dan atau pohon-pohon yang berada di sepanjang aliran sungai sejauh 25 meter dari aliran sungai.
  4. Setiap warga masyarakat dilarang menggunakan selang air untuk mengalirkan air dari mata kran umum ke rumah masing-masing pada waktu siang hari.
  5. Setiap warga masyarakat dilarang mencuci mobil, dan atau hewan peliharaan dan atau pakaian dan atau perlengkapan rumah tangga di lokasi kran umum.
  6. Setiap warga masyarakat dilarang mandi di lokasi kran umum.

BAB VI
SANKSI
Pasal 7

  1. Barangsiapa yang tidak mengindahkan pasal 4 ayat (1) dan atau ayat (2) dan atau ayat (3) dikenakan sanksi yaitu mendapat peringatan dan sanksi administrasi dari Hukum Tua, kecuali bagi keluarga-keluarga yang tidak mendapatkan distribusi air bersih berdasarkan penilaian dari unit pengelola.
  2. Barangsiapa yang terbukti dan atau atas keterangan saksi telah melanggar pasal 6 ayat (1) dikenakan sanksi pembongkaran jaringan instalasi yang telah dibuat
  3. Barangsiapa yang terbukti dan atau atas keterangan saksi telah melanggar pasal 6 ayat (2) dikenakan sanksi yaitu mengganti dan memperbaiki kerusakan sesuai besarnya kerusakan yang diakibatkan dan mengembalikan hasil penebangan serta membayar denda uang sebesar lima puluh persen (50 %)
  4. Barangsiapa yang terbukti dan atau atas keterangan saksi telah melanggar pasal 6 ayat (3) dikenakan sanksi yaitu harus melakukan penanaman pohon sebanyak dua kali lipat jumlah pohon yang ditebang dan membayar denda uang sebesar seratus lima puluh persen (150%) dari hasil penebangan.
  5. Barangsiapa yang terbukti dan atau atas keterangan saksi telah melanggar pasal 6 ayat (4), dan atau ayat (5), dan atau ayat (6) akan mendapat teguran dan pembinaan oleh pemerintah desa dan atau tokoh masyarakat setempat;
  6. Barangsiapa yang terbukti dan atau atas keterangan saksi melakukan pelanggaran untuk kedua kali dan atau seterusnys terhadap pasal 6 ayat (4), dan atau ayat (5), dan atau ayat (6) akan dipanggil oleh Hukum Tua dan menerima ganjaran dari Hukum Tua;

BAB VII
UNIT PENGELOLA AIR BERSIH (UPAB)
Pasal 8

  1. Unit Pengelola Air Bersih dipilih dan diangkat oleh Pemerintah Desa dengan Surat Keputusan Hukum Tua berdasarkan keputusan rapat desa,
  2. Satu masa kepengurusan unit pengelola air bersih adalah dua tahun.
  3. Unit pengelola air bersih berwenang untuk melakukan penagihan iuran air bersih dari masyarakat dan melakukan pengelolaan keuangan.
  4. Unit pengelola air bersih wajib melakukan pengelolaan sarana air bersih, melakukan pengawasan dan monitoring terhadap pemakaian air bersih oleh masyarakat, melakukan perbaikan terhadap kerusakan-kerusakan sarana air bersih yang ada, pembersihan serta melakukan pengembangan fasilitas sarana air bersih yang lebih memadai
  5. Unit pengelola air bersih wajib memberikan laporan tertulis maupun lisan terhadap kegiatan dan keuangan unit pengelola air bersih setiap tiga bulan (3) sekali kepada Pemerintah Desa.
  6. Pemerintah Desa berhak melakukan evaluasi terhadap laporan pertanggung-jawaban seperti pada ayat (10) diatas, dan mengambil kebijakan yang perlu untuk penyelesaian masalah jika terjadi penyelewengan tugas dan atau ketidak-aktifan pengurus dalam melaksanakan tugas, berdasarkan musyawarah desa.

BAB VIII
PENUTUP
Pasal 9

  1. Hal-hal yang belum diatur dalam peraturan desa ini sepanjang mengenai pelaksanaan pengelolaan air bersih di Desa Bentenan, akan diatur lebih lanjut dengan keputusan musyawarah desa.
  2. Peraturan desa ini mulai diberlakukan sejak tanggal diundangkan agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundang peraturan desa ini dengan menempatkannya dalam lembaran Desa Bentenan.

Disahkan di Desa Bentenan
Pada tanggal : 28 Oktober 2002
Hukum Tua Desa Bentenan

Jantje Gijoh

Diundangkan di Desa Bentenan
Pada tanggal : 28 Oktober 2002
Sekretaris Desa
Otniel Rako
Lembaran Desa Bentenan Nomor 5 Tahun 2002

Mengakui/Mendukung

Kepala Jaga I                Kepala Jaga II              Kepala Jaga III
(Jonas Rambi)             (Joni Todapa)                (Eduar Tulandi)
Kepala Jaga IV            Kepala Jaga V              Wakil Ketua BPD
(Amir Makalang)        (Naser Onsu)                   (Rudi Goni)

Unsur Generasi Muda      Unsur Wanita           Wakil Petani
(Jamal Mamonto)          (Jeni Kauntu)            (Joni Tarumangi)

Wakil Nelayan              Wakil Pengusaha            Wakil Guru
(Sukri Modeong)          (Markus Antou)          (Farjun Mastur)

Wakil Masyarakat
(Hein Tamandatu)         (Djamaludin Muslim)

LAMPIRAN 2. PERATURAN PERUNDANGAN YANG TERIKAT DENGAN SISTEM KELEMBAGAN PENGELOLAN SUMBERDAYA AIR

Undang-Undang Dasar

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3 yang menetapkan bahwa bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Undang-Undang

  • Undang-Undang No 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan
  • Undang-Undang No 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
  • Undang-Undang No 11 tahun 1974 tentang Pengairan
  • Undang-Undang No 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pengelolaan Lingkungan hidup yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
  • Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
  • Undang-Undang No 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang
  • Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Pemerintah Daerah
  • Undang-Undang No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

Peraturan Pemerintah

  • Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 1981 tentang Iuran Pembiayaan Eksploitasi dan Pemeliharaan Prasarana Pengairan.
  • Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air
  • Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 1982 tentang Irigasi
  • Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 1990 tentang Perusahaan umum (Perum) Jasa Tirta
  • Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air
  • Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 1990 tentang Perusahaan Umum (Perum) “ Otorita Jatiluhur”.
  • Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 1991 tentang Sungai

Keputusan Presiden

  • Keputusan Presiden RI No. 44 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Organisasi Departemen.
  • Keputusan Presiden RI No. 15 tahun 1984 tentang Susunan Organisasi Departemen yang diubah melalui Keputusan Presiden No 14 tahun 1994 dan Keputusan Presiden RI No. 18 tahun1994.
  • Keputusan Presiden RI No. 77 tahun 1994 tentang Pengendalian Dampak Lingkungan ( BAPEDAL).

Intruksi Presiden

  • Inpres No. 3 tahun 1999 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi.

Peraturan/ Keputusan/Surat Edaran Menteri

  • Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 196/ KPTS/1987 tentang Pengaturan Tata Kerja Pelaksanaan Sehari-hari Koordinasi Tata Pengaturan Air.
  • Peraturan Menteri Pekerjaan umum No, 39/PRT/1989 tentang Pembagian Wilayah  Sungai.
  • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 48 /PRT/1990 tentang Pengelolaan Atas Air dan atau Sumber Air pada Wilayah Sungai .
  • Peraturan Menteri Pekerjaan umum No 67/PRT/1993 tentang Panitia Tata Pengaturan Air Propinsi Daerah Tingkat 1.
  • Keputusan Menteri Pekerjaan umum No. 211/KPTS/1994 tentang Organisasi dan Tata kerja PU
  • Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum No. 08/SE/DA/1994 tentang Acuan Materi Kelembagaan/Organisasi dalam Rangka Pembentukan Panitia Tata Pengaturan Air Propinsi Tingkat 1.
  • Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 02.p/101/M.PE/1994 tentang Pengurusan Administrasi Air Bawah Tanah
  • Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 80 tahun 1994 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Dinas Lingkup Pekerjan Umum Daerah.
  • Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 179 tahun 1996 tentang Pembentukan Balai Pengelolaan Sumberdaya Air pada Dinas Pekerjaan Umum Propinsi.
  • Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 98 tahun 1996 tentang Pembentukan Tata Kerja Badan dan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah.
  • Surat Menteri Dalam Negeri No. 061/3242/SC tanggal 19 Nopember 1996 tentang Pembentukan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDALDA)

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.