Kelembagaan DAS

Agus Purbathin Hadi

PEMBERDAYANAAN MASYARAKAT MELALUI REVITALISASI KELEMBAGAAN MASYARAKAT DAN PEMERINTAH DESA (KASUS DESA BENTEK KABUPATEN LOMBOK BARAT)

COMMUNITY EMPOWERMENT BY REVITALIZATION OF COMMUNITY INSTITUTIONS AND VILLAGE GOVERNMENT INSTITUTION (CASE OF BENTEK VILLAGE WEST LOMBOK REGENCY)

Oleh :  Agus Purbathin Hadi, Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Mataram

Abstrak

Kebijakan pembangunan perdesaan yang dilaksanakan Pemerintah Orde Baru, mengakibatkan terjadinya marjinalisasi kelembagaan-kelembagaan lokal masyarakat melalui penyeragaman bentuk dan struktur lembaga-lembaga yang ada di desa. Diberlakukannya otonomi daerah memberikan peluang untuk melakukan revitalisasi kelembagaan masyarakat dan pemerintahan desa. Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk mengetahui bentuk kelembagaan masyarakat dan pemerintahan Desa Bentek sebelum dan selama berlakunya UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa; bentuk dan proses revitalisasi kelembagaan masyarakat dan pemerintahan Desa Bentek setelah diberlakukannya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah; dan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dengan adanya revitalisasi kelembagaan masyarakat dan pemerintah desa. Hasil penelitian menemukan bahwa sebelum diberlakukannya UU No. 5/1979, kelembagaan Desa Bentek masih dilaksanakan secara otonom berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat, dan mengalami penyeragaman dan marjinalisasi setelah diberlakukannya UU No. 5/1979. Dengan diberlakukannya UU No. 22/1999, masyarakat Desa Bentek melakukan revitalisasi terhadap kelembagaan masyarakat dan pemerintahan Desa Bentek, dengan mengembalikan eksistensi kelembagaan lokal. Melalui revitalisasi kelembagaan tersebut dilakukan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat menuju tercapainya tatanan masyarakat yang demokratis, partisipatif, transparan, beradat, akuntabel, dan menghormati keberagaman.

Abstract

Rural development policy that be implemented by New Order government caused community local institution marginalisation happened by form uniform and rural institution structure. Regional autonomy has been done that give revitalisation changing in rural community institution and rural governance. Descriptive research aims to know the rural institution form and Bentek rural governance, before and on going of UU no. 5/1979 about rural governance be implemented; the form and the process of community institution revitalisation after UU no. 22/1999 about Regional governance; and the exert of community empowerment by community institution revitalisation and the rural government. The result of the research found that before UU no. 5/1979 be done, Bentek rural institution is still implemented by autonomy based on its culture.. Moreover it experiences of uniformity and marginalisation after UU No. 5/1979 is implemented. When UU No. 22/1999 is implemented, Bentek rural community did revitalisation to community institution and rural governance by going back of local institution existence. The efforts of community empowerment have been done by institutional revitalisation in order to reach of democracy of the community structure, participative, transparency, cultural, accountable and be honoured of heterogenic.

Kata kunci : Pemberdayaan Masyarakat, Revitalisasi Kelembagaan Desa
Key Words : Community Empowerment; Revitalization of Rural Institutions

PENDAHULUAN

Desa memegang peranan yang strategis dalam proses pembangunan nasional, disamping karena sebagian besar rakyat Indonesia tinggal di perdesaan, juga karena pemerintahan desa merupakan lembaga pemerintahan otonom sejak sebelum berdirinya negara Republik Indonesia. Melalui pemerintahan desa, masyarakat desa mengatur dan mengurus rumah tangganya, sesuai kebutuhan dan budaya setempat. Kondisi tersebut tumbuh sampai pertengahan tahun 1970-an, ketika pemerintah belum melakukan intervensi terhadap kelembagaan dan kelompok-kelompok lokal. Kebijakan pembangunan perdesaan yang dilaksanakan Pemerintah Orde Baru seperti dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, mengakibatkan terjadinya marjinalisasi kelembagaan-kelembagaan lokal masyarakat melalui penyeragaman bentuk dan struktur lembaga-lembaga yang ada di desa.

Team Work Lapera (2001) mencatat bahwa kelembagaan desa seluruhnya dibentuk dari atas yang lebih berorientasi pada legalitas dan bukan legitimasi dari masyarakat, dimana kepentingan eksternal lebih dominan daripada kepentingan internal masyarakat. Struktur yang umumnya digunakan adalah berbentuk hirarki yang sangat sedikit memberikan peluang berlangsungnya partisipasi masyarakat. Proses kerja dan pembentukan kelembagaan lokal ini membuat loyalitas lembaga bukan ke bawah (masyarakat) akan tetapi ke atas (elit). Masyarakat dalam posisi marjinal, hanya menjadi pengikut dan obyek semata. Berbagai keputusan umumnya sudah diambil dari atas, dan sampai ke masyarakat dalam bentuk sosialisasi yang tidak bisa ditolak. Kondisi demikian didukung oleh model komunikasi yang bersifat satu arah dari atas ke bawah.

Kelahiran Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang lebih dikenal dengan UU Otonomi memberikan kesempatan kepada masyarakat desa untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam upaya mewujudkan suatu proses pembangunan desa berkelanjutan yang partisipatif, pemerintah desa bersama-sama masyarakat dapat melakukan revitalisasi lembaga-lembaga lokal yang sebelumnya tumbuh dan berkembang di masyarakat. Revitalisasi kelembagaan desa dan kelompok-kelompok lokal tersebut merupakan bentuk dari pemberdayaan masyarakat desa, dimana dapat menumbuhkan kesadaran tentang hak dan eksistensi masyarakat serta peningkatan kemampuan agar masyarakat mampu meraih akses terhadap sumber-sumber daya yang ada, baik ekonomi, sosial, politik dan kultural, serta berpartisipasi dalam semua tahapan proses pembangunan desa.

Desa Bentek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Barat, merupakan desa yang pertama di Propinsi Nusa Tenggara Barat yang melakukan revitalisasi kelembagaan desa, bahkan sebelum diberlakukannya UU No. 22/1999. Untuk mengetahui bagaimana latar belakang dan proses revitalisasi kelembagaan masyarakat dan pemerintah desa, telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui : (1) Bentuk kelembagaan masyarakat dan pemerintahan Desa Bentek sebelum dan selama berlakunya UU No. 9/1979, (2) Bentuk dan proses revitalisasi kelembagaan masyarakat dan pemerintahan Desa Bentek setelah diberlakukannya UU No. 22/1999, dan (3) Upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dengan adanya revitalisasi kelembagaan masyarakat dan pemerintah Desa Bentek.

METODOLOGI

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu metode penelitian untuk menjelaskan fakta-fakta dari gejala yang ada dan mencari keterangan secara faktual tentang berbagai hal pada suatu tempat (Nazir, 1995). Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara semi struktur, observasi, dan diskusi kelompok terarah (FGD, Focus Group Discussion).

Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, dari bulan April sampai dengan Juli 2003. Lokasi penelitian di Desa Bentek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Barat, yang dipilih secara sengaja dengan pertimbangan bahwa Desa Bentek merupakan desa yang pertama di Propinsi Nusa Tenggara Barat yang melakukan revitalisasi kelembagaan desa. Responden dalam penelitian adalah unsur lembaga eksekutif Desa (Pemerintahan Desa), unsur lembaga legislatif Desa (BPD), unsur Banjar, dan unsur lembaga-lembaga kemasyarakatan. Jumlah lembaga contoh adalah enam lembaga, dan dari masing-masing lembaga diambil responden lima orang yang terdiri dari dua orang pengurus dan tiga orang anggota, sehingga jumlah seluruh responden dalam penelitian ini adalah 30 orang.

Data yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Untuk memudahkan penggambaran dan pembandingan kelembagaan desa, hasil analisis selanjutnya dijabarkan dengan tabulasi sederhana.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Desa Bentek

Desa Bentek terletak 41 km dari pusat Kota Mataram ke arah utara. Desa Bentek berada pada ujung barat Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Barat, dengan batas-batas sebagai berikut : Sebelah utara Desa Gondang, sebelah timur Desa Gondang dan Desa Genggelang, sebelah selatan Kecamatan Narmada, dan sebelah barat adalah Kali Segara /Kecamatan Tanjung.

Kondisi alam Desa Bentek mulai daerah kering yang berbukit hingga pada daerah pegunungan pada ketinggian 12 m sampai 500 m dari permukaan laut. Potensi andalan Desa Bentek adalah pada sektor perkebunan seperti cengkeh, kopi, vanili, kakao, kelapa, dan jambu mete. Penggunaan lahan Desa Bentek sebagian besar untuk perkebunan rakyat (2.170 Ha) dan hutan (1.370 Ha), sementara lahan persawahan hanya 100,50 Ha, dan sisanya untuk permukiman (78,5 Ha) dan lainnya (5,16 Ha).

Luas Desa bentek seluruhnya adalah : 3724,16 Ha.=37,27 Km2. Jumlah penduduk Desa Bentek pada bulan April 2001 berjumlah 7.163 jiwa, terdiri dari lakilaki 3.493 jiwa dan perempuan 3.670 jiwa. Jumlah rumah tangga adalah 1.934 kepala keluarga (KK), sehingga rata-rata jumlah anggota rumahtangga adalah 4 orang. Sebagian besar penduduk Desa bentek bermatapencaharian sebagai petani, dan umumnya sebagai buruh tani.

Kehidupan sosial masyarakat Desa Bentek tergolong unik, karena Desa bentek dihuni oleh tiga komunitas yeng berbeda berdasarkan agama, namun dapat hidup berdampingan dengan rukun dan toleran. Komposisi penduduk berdasarkan agama : Islam 53,50% , Budha 33,50%, dan Hindu 13%. Penduduk tersebut mendiami 10 Dusun yang ada, yaitu Dusun-dusun: Batu Ringgit, Selelos, San Baro, Dasan Bangket, Todo, Buani, Karang Lendang, Luk Pasiran, Lenek, dan Baro Murmas.

Menurut penuturan tokoh-tokoh masyarakat, Desa Bentek telah ada sejak tahun 1912, dengan nama Desa Bebekeq yang wilayahnya meliputi bagian utara Kecamatan Tanjung sekarang. Namun dari hasil studi pustaka dan FGD, peneliti tidak menemukan bukti-bukti tertulis atau cerita yang lengkap tentang asal-usul Desa Bentek. Menurut Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah (IDKD) NTB (1984), Desa Bentek terbentuknya karena adanya pemecahan desa (lama). sehingga sebagai desa administratif tergolong relatif muda, yaitu berdiri tahun 1967 sebagai pemecahan Desa Bebekeq menjadi Desa Bentek, Desa Jenggala dan Desa Tanjung.

Kelembagaan Masyarakat dan Pemerintah Desa Bentek Sampai Akhir Tahun 1970- an

Sampai dengan tahun 1967, pemimpin Desa Bentek disebut dengan Pemusungan, dan jabatan tersebut diterima secara turun temurun tanpa melalui pemilihan. Setelah tahun 1967, pemimpin Desa Bentek disebut dengan Kepala Desa (masyarakat menyebutnya Pak Desa), dan jabatan tersebut diperoleh melalui pemilihan.

Pada tahun 1970-an, berdasarkan kedudukan sosialnya masyarakat Desa Bentek secara umum dibagi menjadi kelompok fungsionaris desa dan kampung serta kelompok masyarakat desa biasa. Kelompok fungsionaris ini meliputi kelompok pegawai administrasi pemerintah, adat dan agama yang disebut Kerama Desa. Sedangkan untuk masyarakat yang tidak termasuk kelompok pertama dinamakan Kanoman (Proyek IDKD NTB, 1984).

Kelembagaan di bawah Pemerintahan Desa adalah pemerintahan tingkat kampung (dalam istilah setempat disebut Gubuq) yang dipimpin oleh seorang kepala kampung (disebut Keliang) yang dipilih oleh kanoman setempat. Keliang adalah lembaga pemerintahan yang paling rendah, dan tidak dikenal adanya Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW). Menurut Proyek IDKD (1984) Keliang adalah pembantu Kepala Desa yang terpenting. Urusan yang menjadi kewajibannya tidak hanya terbatas pada soal-soal pemerintahan, tetapi juga dipercayakan untuk menyelesaikan masalahmasalah yang menyangkut perikehidupan warga kampung. Jadi peran Keliang tidak terbatas dalam masalah administratif, akan tetapi juga pengayom warganya. Keliang mewakili warganya ke luar atau di dalam kampung bilamana terjadi persengketaan perdata, urusan adat, perkawinan, kematian, perceraian, mendirikan rumah, urusan pertanian, serta soal-soal asusila dalam wilayah pemerintahan kampung. Dalam menjalankan tugasnya, Keliang dibantu oleh seorang Juruarah (beberapa menyebut Jerowarah) yang dipilih sendiri oleh Keliang.

0g1

Gambar 1. Struktur Kelembagaan Desa Bentek Sebelum Diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1979

Selain Kepala Desa dan Keliang, terdapat lembaga keagamaan pada tingkat desa dan kampung. Penghulu Desa adalah jabatan tertinggi di bidang keagamaan di tingkat desa. Pada tingkat kampung terdapat Penghulu Kampung yang dibantu oleh beberapa orang Kiyai Kampung. Berbeda dengan Penghulu Desa yang pengangkatannya atas usul Kepala Desa, Penghulu Kampung dan Kiyai Kampung tidak berada di bawah Keliang sehingga tidak dapat diberhentikan oleh Keliang. Di kampungkampung yang dihuni masyarakat Sasak yang memeluk agama Budha (disebut Sasak Boda, yaitu di Lenek, Baru, dan Pasiran), pimpinan agama dipegang oleh seorang Belian dibantu beberapa Mangku dan Toaq Lokaq. Seluruh perangkat di atas, dihimpun dalam suatu dewan adat desa yang disebut dengan Kerama Desa, namun tidak dimunculkan dalam struktur pemerintahan karena kelembagaan Kerama Desa bersifat non fomral (Proyek IDKD NTB, 1984). Struktur kelembagaan Desa Bentek sampai akhir tahun 1970-an dapat dilihat pada Gambar 1.

Dalam bidang pertanian, pada suatu daerah irigasi terdapat kelompok petani pemakai air yang disebut Subak dan dipimpin oleh seorang Pekaseh. Kelembagaan petani lainnya adalah Banjar Buruh Tani, yaitu suatu organisasi sosial petani yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya dengan kegiatan gotong royong dan simpan pinjam.

Dari hasil wawancara dan FGD diketahui bahwa pada periode tersebut pemerintahan Desa Bentek masih dilaksanakan secara otonom, dalam arti memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan asalusul dan adat istiadat setempat.

Kelembagaan Masyarakat dan Pemerintah Desa Bentek Setelah Berlakunya Undang-undang No. 5 Tahun 1979

Dengan pertimbangan untuk memperkuat pemerintahan desa agar mampu menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan, dan untuk menyelenggarakan administrasi desa yang makin meluas dan efektif, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan pengaturan pemerintahan desa melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1979. UU tersebut secara jelas menyatakan bahwa kedudukan pemerintahan desa sejauh mungkin diseragamkan dengan mengindahkan keragaman desa dan adat-istiadat yang masih berlaku. Dalam bagian penjelasan, dikatakan bahwa pemerintahan desa yang bentuk dan coraknya masih beraneka ragam kadang-kadang merupakan hambatan untuk pembinaan dan pengendalian yang intensif. Arus penyeragaman kelembagaan desa tersebut juga dilakukan di Desa Bentek. Hasil penelitian Proyek IDKD NTB (1984) mengemukakan bahwa struktur pemerintahan Desa Bentek pada tahun 1980-an mengikuti struktur sesuai UU No. 5/1979. Peran dan fungsi Kerama Desa berdasarkan UU No. 5/1979 digantikan oleh Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), yang sebelumnya disebut dengan  Lembaga Sosial Desa (LSD). Kemudian peran Keliang digantikan oleh Kepala Dusun (Kadus). Di setiap wilayah Dusun dibentuk RT dan RW, namun hasil penelitian Proyek IDKD menemukan bahwa kedua lembaga bentukan tersebut tidak berfungsi sama sekali.

Proyek IDKD NTB (1984) mengidentifikasi kelembagaan masyarakat dan pemerintahan desa yang ada di Desa Bentek adalah seperti pada Tabel 1. Sedangkan struktur kelembagaan Desa Bentek awal tahun 1980-an adalah seperti pada Gambar 2. Penelitian Proyek IDKD tidak menjelaskan bagaimana kinerja lembaga-lembaga tersebut, akan tetapi pembentukan kelompok-kelompok tersebut pada umumnya dibentuk dari atas (top-down) dan hanya dimanfaatkan sebagai media komunikasi untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan pemerintah.

0t1

0g2

Gambar 2. Struktur Kelembagaan Desa Bentek Setelah Diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1979

Dari hasil FGD terungkap bahwa selain kelembagaan yang diidentifikasi Proyek IDKD NTB tersebut, juga terdapat banyak kelompok-kelompok yang dibentuk atas
intervensi pemerintah atas-desa. Secara sektoral, hampir semua instansi pemerintah memanfaatkan eksistensi kelompok sebagai media informasi pembangunan dan menggerakkan masyarakat. Di sektor pertanian memanfaatkan Kelompok Tani, sektor pendidikan menggunakan Kelompok Belajar (Kejar) Paket, sektor penerangan mengunakan Kelompencapir, sektor KB menggunakan Kelompok Akseptor, dan untuk meningkatkan peranan perempuan dikenal kelompok Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

Pada peroiode tersebut juga dilakukan mobilisasi masyarakat dengan membentuk berbagai kelompok “sadar”, seperi Kelompok Sadar Hukum, Kelompok Sadar Wisata, Kelompok Sadar Pajak, dan sebagainya. Dengan alasan percepatan pembangunan, kelompok-kelompok tradisional yang sebelumnya eksis diformalkan bentuk dan strukturnya seperti kasus perubahan kelompok pengairan tradisional Subak di Bali dan Lombok yang diubah menjadi Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Terjadilah proses defungsionalisasi kelembagaan masyarakat sehingga hampir tidak ada lagi lembaga masyarakat (tradisional) yang berdaya menghadapi arus penyeragaman yang dimobilisasi sedemikian rupa.

Team Work Lapera (2001) mengemukakan bahwa marjinalisasi kelembagaan masyarakat dan pemerintah Desa pada era Orde Baru menunjukkan tiga karakter sentralisastik. Kepala Desa menjadi “penguasa tunggal”, karena meskipun terdapat unsur lain di luar pemerintahan desa, seperti LKMD dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD), keberadaan lembaga tersebut sangat tergantung pada figur Kepala Desa. Karena jabatannya, Kepala Desa secara ex-officio menjadi Ketua LMD, dan Sekretaris Desa karena jabatannya menjadi Sekretaris LMD. Kepala Desa secara ex-officio juga menjabat Ketua Umum LKMD, dan Ketua II LKMD dijabat oleh Ketua Tim Penggerak PKK yang notabene adalah istri Kepala Desa.

Proses marjinalisasi terhadap pemerintahan desa, kelembagaan lokal, dan kelompok-kelompok masyarakat setempat, membawa konsekuensi bahwa pembangunan perdesaan hanyalah bagaimana melaksanakan program-program pemerintah yang datang dari atas. Aspirasi dan kebutuhan masyarakat hanya menjadi usulan dalam seremonial Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes), tanpa adanya tanggung jawab moral pemerintah untuk mewujudkannya. Program pembangunan desa lebih banyak dalam bentuk proyek dari atas, dan sangat kurang memperhatikan aspek keberlanjutan pembangunan desa dan partisipasi masyarakat.

Kelembagaan Masyarakat dan Pemerintah Desa Bentek pada Era Otonomi Daerah

Proses marjinalisasi kelembagaan masyarakat dan pemerintahan Desa Bentek membuat sekelompok kaum muda Desa Bentek membuka wacana reformasi sejak tahun 1997. Kepemimpinan Kepala Desa lama selama lebih dari 25 tahun, dinilai tidak demokratis dan tidak mampu menangkap aspirasi masyarakat. Hasil penelitian Proyek IDKD NTB (1984) mencatat bahwa Kepala Desa Bentek yang lama begitu kokoh, dan mampu bertahan sejak tahun 1971. Masyarakat menyadari bahwa kondisi desa harus segera diubah menjadi pemerintahan yang demokratis, partisipatif, transparan, beradat dan menghormati keberagaman. Beberapa kali ada reaksi dari sekelompok orang, termasuk kaum muda, yang menginginkan pergantian Kepala Desa, namun selalu gagal karena intervensi Camat Gangga yang bersikeras mempertahankannya karena telah berhasil memenangkan partai politik tertentu di Desa Bentek.

Bergulirnya reformasi nasional dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998, kemudian diundangkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (yang lebih dikenal dengan UU Otonomi), merupakan faktorfaktor pendukung proses revitalisasi kelembagaan masyarakat dan pemerintahan Desa Bentek. Pada tahun 1998 dilakukan pemilihan Kepala Desa yang berlangsung demokratis, dan berhasil memilih seorang tokoh pemuda menjadi Kepala Desa Bentek yang kesebelas. Dilakukan pula pemilihan Kepala-kepala Dusun secara langsung, dan memekarkan lima Dusun yang ada menjadi 10 Dusun.

Dipimpin Kepala Desa dan tokoh-tokoh masyarakat, adat, agama dan pemuda, masyarakat Desa Bentek sepakat untuk melakukan revitalisasi dan reaktualisasi nilai-nilai kearifan budaya lokal melalui gerakan budaya berupa penguatan institusi lokal dengan memberdayakan dan membentuk Majelis Kerama Adat Desa (MKAD), pengembalian sebutan Pemusungan untuk Kepala Desa, sebutan Juru Tulis untuk Sekretaris Desa, dan sebutan Keliang untuk Kepala Dusun. LKMD dan PKK dibekukan kegiatannya karena kedua lembaga tersebut sebelumnya sangat kuat mendapat intervensi pihak pemerintah atas-desa dan dipandang tidak demokratis dan partisipatif.

Aturan UU No. 22/1999 tentang pembentukan Badan Perwakilan Desa (BPD) ditindaklanjuti dengan pemilihan langsung anggota BPD dengan sistem distrik, dan melahirkan 13 anggota perwakilan desa dari masing-masing wilayah dusun. Karena UU No. 22/1999 juga memperbolehkan sebutan BPD dengan nama lain, disepakati BPD Bentek disebut dengan nama Majelis Kerama Desa (MKD). MKD berbeda dengan MKAD, dimana MKD adalah lembaga legislatif desa, sedangkan MKAD adalah semacam lembaga yudikatif yang beranggotakan tokoh agama (Penghulu), tokoh adat (Mangku), dan Pemerintah Desa (Pemusungan) yang bertugas membuat peraturan.hukum adat (Awiq-awiq), penegakan dan pengawasannya.

0g3

Gambar 3. Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Bentek Setelah Revitalisasi (Implementasi UU No.22 Tahun 1999 )

Untuk membantu jalannya pemerintahan desa, dibentuk pula lembaga-lembaga teknis desa, antara lain : Lembaga Pengamanan Swakarsa (PAM Swakarsa) “Lang-lang Jagad Titi Guna”, Tim Pengelola Kawasan Hutan (TPKH), Kelompok Kerja Pariwisata Lingkungan (Kekertangan), Koperasi ‘Tunjang Gunung”, Unit Pengelolaan Keungan Desa (UPKD), Pekaseh, Penghulu Desa, dan Mangku Adat. Selain kelembagaan teknis desa tersebut, juga terdapat kelompok-kelompok ekonomi produktif, seperti Banjar, Kelompok Tani, Kelompok Peternak, Kelompok Petani Ikan Air Tawar, Kelompok Pengrajin, Kelompok Pedagang Bakulan, dan sebagainya. Gambaran kelembagaan masyarakat dan pemerintahan Desa Bentek digambarkan pada Tabel 2. Sedangkan struktur pemerintahan Desa Bentek setelah berlakunya UU No. 22/1999 adalah seperti pada Gambar 3.

Pemberdayaan Masyarakat Melalui Revitalisasi Kelembagaan Masyarakat dan Pemerintah Desa Bentek

Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memampukan dan memandirikan masyarakat. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya, pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Yang terpenting disini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan, pengamalan demokrasi (Sumodiningrat, 1999). Sedangkan menurut Mardiniah (2003), pemberdayaan komunitas mengacu pada meningkatnya kemampuan komunitas dalam memegang kendali atas urusan-urusannya sendiri dan meningkatnya inisiatif komunitas untuk menentukan nasibnya sendiri, dimana tujuan pemberdayaan adalah menjadikan komunitas mandiri terhadap agen-agen eksternal, dalam menyusun agenda maupun menangani urusan-urusannya sendiri.

Konsepsi pemberdayaan tersebut nampaknya menjiwai revitalisasi kelembagaan masyarakat dan pemerintah Desa Bentek seperti dirumuskan visi, misi dan tujuan Desa Bentek yang dihasilkan melalui kegiatan musyawarah semua unsur masyarakat di tingkat desa yang disebut dengan Rembuq Tetoaq Desa. Visi Desa Bentek adalah : Membangun tatanan masyarakat yang demokratis, partisipatif, transparan, beradat, akuntabel, dan menghormati keberagaman, sedangkan misi Desa Bentek adalah : Memberdayakan masyarakat desa menuju paradigma pembangunan seutuhnya sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi. Sedangkan tujuan yang akan dicapai adalah : (1) Penguatan masyarakat desa melalui tatanan institusi lokal sebagai basis komunitas asli desa, (2) Membangun situasi yang kondusif sebagai sebuah prasyarat melancarkan proses pembangunan, dan (3) Pemberdayaan masyarakat desa melalui berbagai sektor pembangunan.

Masih terlalu dini untuk menilai apakah kegiatan pemberdayaan masyarakat di Desa Bentek melalui revitalisasi kelembagaan telah mampu meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, karena proses pemberdayaan adalah proses jangka panjang yang berkesinambungan. Akan tetapi dari sisi penciptaan iklim demokratisasi dan peningkatan peranserta masyarakat sesuai dengan Visi Desa Bentek, telah dilakukan berbagai upaya untuk membangun tatanan masyarakat yang demokratis, partisipatif, transparan, beradat, akuntabel, dan menghormati keberagaman. Tabel 3 menggambarkan penilaian responden terhadap hasil pemberdayaan masyarakat melalui revitalisasi kelembagaan masyarakat dan pemerintah Desa Bentek. Responden dimintas memberikan penilaian terhadap tiga lembaga yang ada, yaitu pemerintah desa (Pemusungan), lembaga legislatif (MKD), dan lembaga Banjar yang merupakan lembaga sosial ekonomi yang dalam keseharian sangat dekat di masyarakat.

0g4

Tabel 3. Penilaian Responden Terhadap Hasil Pemberdayaan Masyarakat Melalui
Revitalisasi Kelembagaan Masyarakat dan Pemerintah Desa Bentek.
Prinsip Persentase Penilaian (%, N=30)
Pemdes BPD/MKD Banjar/sejenis
B C TB B C TB B C TB
Demokratis 76,67 16,67 6,67 0,00 83,33 16,67 93,33 6,67 0,00
Partisipatif 86,67 10,00 3,33 0,00 86,67 10,00 100,0 0,00 0,00
Transparan 66,67 16,67 16,67 10,00 73,33 16,67 90,00 10,00 0,00
Akuntabel 66,67 16,67 16,67 10,00 73,33 16,67 90,00 10,00 0,00
Beradat 93,33 6,67 0,00 90,00 6,67 0,00 100,0 0,00 0,00
Menghargai
keberagaman
100,0 0,00 0,00 90,00 6,67 0,00 66,67 26,67 6,67
Keterangan : B : Baik, sudah dijalankan dengan baik
C : Cukup, sudah dijalankan tapi belum maksimal
TB : Tidak baik, belum dijalankan

Dari Tabel 3 terlihat bahwa pemerintahan Desa Bentek telah berjalan sesuai dengan visi, misi dan tujuan Desa Bentek. Sementara MKD karena merupakan lembaga baru yang belum dikenal sebelumnya, maka kinerjanya masih dinilai responden dalam kategori cukup. Penilaian terbaik diberikan kepada Banjar sebagai suatu kelembagaan lokal yang telah mengakar di masyarakat Desa Bentek dan desa-desa lain di Pulau Lombok. Meskipun menghadapi arus penyeragaman pada era UU No. 5/1979, antara lain dengan “mengarahkan” Banjar menjadi RT dan atau RW, akan tetapi secara kultural dan fungsional kelembagaan Banjar tetap eksis di masyarakat.

Dari hasil FGD dan observasi terungkap bahwa terjadi peningkatan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah desa, meningkatnya jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam pembangunan desa, meningkatnya kuantitas dan kualitas masukan (kritik dan saran) untuk pembangunan desa, dan terjadinya perubahan sikap masyarakat menjadi lebih peduli terhadap setiap langkah pembangunan desa. Pemerintah Desa Bentek menerapkan kebijakan untuk menata ulang sistem pemerintahan Desa yang dimulai dengan penatan sistem pengelolaan administrasi desa dan menghimpun harta kekayaan negara yang ada di Desa Bentek melalui Tim Pencari Fakta. Dalam kaitan dengan kewenangan pengaturan rumah tangga desa, telah dikeluarkan berbagai produk Peraturan Desa dan Keputusan Kepala Desa yang keseluruhannya mencapai 36 keputusan resmi, dan puluhan keputusan yang tidak dituang dalam bentuk Surat  Keputusan namun merupakan kesepakatan dalam rembuk desa dan keberadaannya sangat kuat di masyarakat.

Upaya penegakan hukum dilakukan dengan memperkuat awiq-awiq (Hukum adat) dan institusi MKAD, yang secara signifikan mampu menyelesaikan berbagai kasus dan mampu meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Hukum positif yang diberlakukan oleh Negara juga dipakai sangat tergantung pada kompetensi hukum di masyarakat, kasus hukum publik (pidana berat) diserahkan pada pihak pemerintah sementara kasus hukum perdata diupayakan untuk penyelesaian di desa. Dari 37 kasus pelanggaran hukum di Desa Bentek, 35 kasus diantaranya diselesaikan dengan hukum adat mulai dari tingkat Majelis Kerama Adat Dusun hingga pada Majelis Kerama Adat Desa. Lebih dari 28 kasus perkara keluarga tentang harta warisan (perdata) 50 persen dapat diselesaikan.

Berkaitan dengan upaya pembangunan lingkungan berkelanjutan, telah dibentuk Tim Pengelola Kawasan Hutan (TPKH). TPKH mengorganisir masyarakat di sekitar kawasan hutan untuk mengelola hutan secara berkelompok dengan pola Hutan Kemasyarakatan (HKm), melakukan konservasi, dan menetapkan awiq-awiq kelompok dan awiq-awiq adat tentang pengelolaan sumberdaya hutan. Kemudian mengeluarkan kebijakan pengelolaan pariwisata lingkungan berbasis masyarakat (Community based ecotourism) yang dikelola kelompok pemuda melalui Kelompok Kerja Pariwisata Lingkungan (Kekertangan).

Dalam konteks pembangunan wilayah, Desa Bentek telah melakukan kerjasama dengan desa tetangga (Desa Genggelang dan Desa Jenggala) untuk menyamakan visi, misi dan persepsi serta komitmen tentang pentingnya pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang berkelanjutan. Kerjasama juga dilakukan dengan pihak Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) “Menang” dalam pengaturan, pelestarian, dan keamanan sumber air baku di wilayah Lombok Barat bagian utara. Kemudian untuk pengelolaan ekowisata, Kekertangan telah melakukan kerjasama dengan sebuah perusahaan jasa wisata arung jeram yang beroperasi di wilayah Desa Bentek.

Menyangkut visi beradat dan menghargai keberagaman, hal ini mendapatkan perhatian besar pemerintah dan masyarakat Desa Bentek, karena heterogenitas penduduk Desa Bentek yang terdiri dari dua suku, yaitu Suku Sasak (terbagi lagi menjadi Sasak Islam yang beragama Islam, dan Sasak Boda yang beragama Budha) dan Suku Bali (Beragama Hindu, dan merupakan suku pendatang ketika terjadi letusan gunung agung di Bali pada pertengahan tahun 1960-an). Dalam hubungan vertikal dengan Tuhan Yang Maha Esa, pembinaan keagamaan dilakukan oleh masing-masing pemuka agama (Penghulu, Bikhu, dan Pedanda). Sedangkan dalam hubungan horisontal antar warga diberlakukan konsep penerapan hukum adat yang mengacu pada tiga dimensi hukum adat, yaitu dimensi Adat Tapsila (bagaimana menjadi manusia yang berakhlak mulia), dimensi Adat Kerama (hukum adat di tingkat gubug yang biasanya mengatur masalah perkawinan), dimensi Adat Gama (adat yang bersendikan hukumhukum agama).

Upaya-upaya pemberdayaan kelembagaan lokal, dan sekaligus juga pemberdayaan masyarakat seperti dijelaskan di atas, merupakan langkah maju masyarakat Desa Bentek, yang belum pernah dilakukan pada masa-masa sebelumnya. Hal ini merupakan salah satu modal sosial yang sangat berharga untuk mencapai tatanan masyarakat desa yang demokratis dan sejahtera.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Sebelum diberlakukannya UU No. 5/1979, kelembagaan Desa Bentek masih dilaksanakan secara otonom berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat. Diberlakukannya UU No. 5/1979 menyebabkan kelembagaan Desa Bentek mengikuti penyeragaman dan marjinalisasi yang dilakukan pemerintah di atasnya, yang berakibat kepada rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa karena pelaksanaan pemabangunan desa yang tidak transparan, tidak akuntabel dan tidak demokratis. Dengan diberlakukannya UU No. 22/1999, masyarakat Desa Bentek melakukan revitalisasi terhadap kelembagaan masyarakat dan pemerintahan Desa Bentek, dengan mengembalikan eksistensi kelembagaan lokal. Melalui revitalisasi kelembagaan tersebut dilakukan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat menuju tercapainya tatanan masyarakat yang demokratis, partisipatif, transparan, beradat, akuntabel, dan menghormati keberagaman.

Saran

Revitalisasi kelembagaan Desa Bentek perlu dilanjutkan dengan pengembangan kapasitas kelembagaan (Capacity building) melalui proses belajar partisipatif bersama masyarakat, pelatihan-pelatihan, dan studi banding. Upaya-upaya pemberdayaan masyarakat melalui lembaga-lembaga masyarakat dan pemerintah desa agar lebih ditingkatkan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat Desa Bentek . Upaya-upaya pengembangan kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat tersebut dapat dilakukan bekerjasama dengan Perguruan Tinggi dan atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam bentuk fasilitasi penelitian, pelatihan, advokasi dan pendampingan.

DAFTAR PUSTAKA

Mardiniah, Naning., 2003. Otonomi dan Pemberdayaan Desa. Dalam Paulus Wirutomo dkk, 2003. Paradigma Pembangunan di Era Otonomi Daerah Memanusiakan Manusia. Jakarta : CV. Cipruay.

Nazir, 1995. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia

Pemusungan Desa Bentek, 2001. Rembuq Tetoak Desa, Catatan Perjalanan Desa Bentek. Bentek

Proyek IDKD NTB, 1984. Sistem Kepemimpinan dalam Masyarakat Pedesaan Nusa Tenggara Barat. Mataram : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Nusa Tenggara Barat.

Sumodiningrat, Gunawan., 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan JPS. Jakarta : Gramedia.

Team Work Lapera, 2001. Politik Pemberdayaan Jalan Mewujudkan Otonomi Desa. Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.