Kelembagaan DAS

Endang Lestari Hastuti dan Supadi

AKSESSIBILITAS MASYARAKAT TERHADAP KELEMBAGAAN PEMBIAYAAN PERTANIAN DI PEDESAAN

Oleh: ENDANG LESTARI HASTUTI DAN SUPADI
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jl. Ahmad Yani No.70 Bogor 16161

ABSTRACT

Community’s Accessibility on Agricultural Financing Institutions in Rural Areas. Although the government has made some policies on channeling credit for rural communities, however, agribusiness agent’s accessibility on formal financing institutions was still relatively low, moreover to those in capable of. Research results in villages of West Java and West Nusa Tenggara showed that community’s perception of the accessibility found it was difficult to be accessed to the formal financing institutions. This was due to a condition that the borrower should provide collateral of land certificate. In fact, most villagers do not have one because of expensive certificate land arrangement was relatively costly. Community’s accessibility on non-formal financing institutions was higher due to faster and simpler procedures. Therefore, an accurate and simple modification of the financing institution is required. In addition, a government policy on land certification is also badly needed.

Key Words: Accessibility, Institution, Rural Community, Rural Credit

PENDAHULUAN

Dalam era otonomi daerah memerlukan perubahan cara pandang dalam pengelolaan sumberdaya kapital untuk sebesar-besarnya dapat diakses oleh pelaku agribisnis dan agroindustri di pedesaan. Meskipun modal merupakan faktor pelancar pembangunan pertanian, namun tanpa kehadiran modal dalam jumlah dan kualitas pelayanan yang memadai akan menjadi salah satu penghambat dalam peningkatan produktivitas nilai tambah hasil pertanian.

Selama kurun waktu lebih dari sepuluh tahun terakhir alokasi kredit sektor pertanian kurang dari 10 persen dari total kredit yang disalurkan kepada sektor sektor ekonomi. Sistem perbankan konvensional yang berjalan saat ini sangat mengabaikan sektor pertanian. Alokasi kredit yang timpang tersebut tidak semata-mata disebabkan oleh rendahnya kemampuan sektor ini untuk mengembalikan kredit, tetapi lebih disebabkan oleh keberpihakan yang sangat rendah pada sektor ini dan aturan main (kelembagaan) kredit yang sangat kaku, utamanya bagi petani pelaku agribisnis dan agroindustri.

Akses pelaku agribisnis yang rendah pada sumber modal memerlukan kreasi lembaga pembiayaan yang tepat bagi sektor ini. Dukungan kebijakan yang kuat sangat diperlukan guna menciptakan terbentuknya lembaga pembiayaan yang kuat dan sehat guna mendukung pengembangan agribisnis dan agroindustri di pedesaan.

Kelembagaan ekonomi pedesaan yang kondusif untuk pemberdayaan ekonomi rakyat tidak berkembang karena kooptasi yang berlebihan dari sistem birokrasi pemerintahan. Kondisi ini ternyata lebih banyak melumpuhkan kelembagaan lokal yang selama ini berkembang dengan  baik di masyarakat dan berperan dalam pemertaan pendapatan (Sudaryanto dan Syukur, 2000).

Kooptasi birokrasi yang berlebihan telah memunculkan kondisi asimetris informasi antara sebagian besar masyarakat tani dengan kelompok lainnya. Asimetris informasi ini membawa implikasi yang sangat luas pada akses yang rendah pelaku agribisnis terhadap sumberdaya modal, teknologi, peningkatan kemampuan, informasi pasar, dan lain sebagainya (Syukur dan Windarti, 2001).

Pentingnya kredit dalam pembangunan pertanian Indonesia terkait dengan tipologi petani yang sebagian besar merupakan petani kecil dengan penguasaan lahan yang sempit, sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan pemupukan modal untuk infestasi pada teknologi baru. Dengan demikian dukungan pembiayaan harus dilakukan. Syukur dkk, (1988 dan 1999) menyatakan bahwa peran kredit sebagai pelancar pembangunan pertanian antara lain: (1) Membantu petani kecil dalam mengatsi keterbatsan modal dengan bunga yang relatif ringan, (2) Mengurangi ketergantungan petani dengan pedagang perantara dan pelepas uang, dengan demikian berperan dalam memperbaiki struktur dan pola pemasaran hasil pertanian, (3) Mekanisme tranfer pendapatan diantara masyarakat untuk mendorong pemerataan, (4) Insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi usahatani.

Pemilikan lahan yang sempit dan kelembagaan skim pembiayaan bagi usaha agribisnis dan agroindustri yang rigid, menyebabkan masyarakat tani tidak dapat akses secara mudah pada sumber pembiayaan saat ini. Kebijakan pembiayaan untuk mendukung sektor agibisnis dan agroindustri dirasakan sangat lemah dan sektor ini cenderung terabaikan. Namun demikian di daerah pedesaan terdapat bentuk-bentuk kelembagaan pembiayaan non formal yang dapat dikembangkan (Uphoff. 1986; Hastuti dan White.1979) seperti pedagang output, pedagang input, arisan, kelompok pengajian dan sebagainya. Selain itu kelembagaan kemitraan diantara pelaku agribisnis dapat diberdayakan dalam upaya mengatasi masalah pembiayaan pertanian (Irawan, dkk.2001). Kelompok-kelompok yang berdasarkan wilayah (territorial communities) yang masih dapat memenuhi kebutuhan penduduk yang membentuk masyarakat kecil secara demokratis seperti diatas dapat diajak dalam usaha pembangunan (Tjondronegoro, 1984). Hal ini disebabkan karena diantara mereka terdapat unsur saling ketergantungan yang merupakan hasil dari orientasi nilainilai yang dianut bersama oleh pihak-pihak yang saling berinteraksi ( Johnson,1990)

METODA PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Dalam proses transaksi kredit akan terdapat resiko yang harus ditanggung oleh peminjam. Resiko tersebut akan terjadi manakala pendapatan yang diharapkan untuk membayar pinjaman tidak dapat dipenuhi. Karena terkait dengan resiko inilah seringkali perbankan sulit dapat menyalurkan kredit kepada sektor yang dianggap beresiko besar, seperti sektor pertanian.

Di dalam pasar kredit pedesaan terdapat segmentasi pasar, yaitu pasar kredit formal dan non-formal. Dua kategori yang menjadi sumber pembiayaan masyarakat pedesaan inipun mempunyai karakteristik yang khas. Karakteristik tersebut menyangkut sasaran kelompok syaratsyarat peminjaman dan pengajuan, cara-cara pengembalian, sanksi, insentif dan sebagainya.

Pengalaman menunjukkan bahwa kredit program yang berbiaya murah justru banyak mengalami kegagalan. Kegagalan ini terletak tidak hanya pada kegagalan mencapai sasarannya, tetapi kegagalan dalam mencapai kinerja pengembalian. Sementara itu kredit non program atau kredit komersial bagi usaha pertanian juga relatif rendah. Hal ini ditunjukkan oleh terjadinya segmentasi pasar serta kecilnya volume pinjaman dan daya serap dari lembaga pembiayaan formal.

Bank-bank umum/formal pada umumnya kurang mampu menjangkau lapisan masyarakat menengah ke bawah, terlebih golongan masyarakat yang paling kurang mampu, sehingga segmen pasar keuangan untuk pelaku usaha pertanian lapisan menengah ke bawah diisi oleh lembaga pembiayaan non formal seperti pedagang sarana produksi, pedagang output, pelepas uang, tetangga, dan sebagainya. Sistem perkreditan non formal ini sering beroperasi secara personal, dan membentuk hubungan saling percaya.

Lokasi Penelitian

Pengamatan dilakukan di Jawa Barat yang mewakili wilayah dengan tingkat perkembangan agribisnis dan agroindustri yang sudah berkembang/maju, dan Nusa Tenggara Barat mewakili wilayah dengan tingkat perkembangan agribisnis yang belum berkembang. Dari Jawa Barat dipilih Kabupaten Subang dan Bandung, sedang Nusa Tenggara Barat dipilih Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur.

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan pelaku agribisnis dan agroindustri, dengan menggunakan kuesioner. Data primer juga diperoleh dari lembaga pembiayaan formal dan non formal, guna mendapatkan informasi mengenai kebijakan dan keragaan penyaluran kredit bagi pelaku agribisnis dan agroindustri di pedesaan. Data sekunder diperoleh dari sejumlah dinas terkait, dan dari hasil penelitian terdahulu.

Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif terutama digunakan dalam melihat struktur, aturan main, prosedur perolehan pinjaman, dan mekanisme penyaluran. Sedang analisis kuantitatif digunakan tabulasi sederhana mengenai jangkauan dan persepsi masyarakat terhadap kelembagaan pembiayaan pertanian di pedesaan.

KEBIJAKAN PERKREDITAN NASIONAL

Pada tahun 1990 pemerintah melaksanakan reoriientasi kebijaksanaan perkreditan sejak dikeluarkan Paket Januari 1990 (Bank Indonesia, dalam Syukur, dkk, 1999) yang memiliki arah sebagai berikut :

  1. Kredit Program : alokasi kredit diserahkan pada mekanisme paket bank-bank bebas dalam memobilisasi dana dan menyalurkan kepada masyarakat baik jumlah, harga, penggunaan, maupun persyaratannya.
  2. Penyederhanaan struktur bunga sehingga terbentuk suku bunga yang wajar melalui pengendalian inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap asing.
  3. Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) secara bertahap dikurangi dan hanya diberikan untuk mendukung pelestarian swasembada pangan dan pengembangan koperasi. Program yang mendapat KLBI tersebut unsur subsidinya sejauh mungkin dikurangi sehingga suku bunga kredit berorientasi kepada suku bunga pasar. Kredit program tersebut antara lain Kredit Usha Tani (KUT), Kredit Kepada KUD (KKUD) Kredit Kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA) .Kredit Kepada Bulog untuk pengadaan pangan nasional, dan Kredit Pemilikan Rumah Sederhana /Sangat Sederhana (KPRS/KPRSS). Skim-skim tersebut dibiayai dengan dana masyarakat yang dihimpun oleh perbankan.
  4. Sebagian kredit perbankan diarahkan untuk usaha kecil melaui pemberian kewajiban kepada semua bank untuk menyediakan KUK sebesar minimum 20 persen dari jumlah pemberian kredit. Disamping itu untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, kepada bank asing /campuran dan bank devisa diwajibkan mengalokasikan sebagian dananya untuk  kredit ekspor.

Deregulasi perkreditan tersebut tidak berdampak terhadap alokasi kredit sektor pertanian primer terutama KUT, karena tidak dilakukan pembatasn terhadap plavon KUT. Dari pada sisi penyaluran KUT selama periode 1990- 1996, terjadi penurunan dari sekitar Rp.108 milyar pada tahun 1990-1991 menjadi Rp.34 milyar pada tahun 1996/1997. Namun dai segi tunggakan kredit terdapat kecenderungan peningkatan (Syukur, dkk, 1999). Hal ini menunjukkan kinerja program KUT semakin menurun, baik dari aspek penyaluran maupun pengembaliannya, sehingga dikhawatirkan akan mempengaruhi kinerja sektor pertanian dalam memproduksi pangan. Hal ini antara lain disebabkan oleh prosedur penyaluran KUT kurang sederana, kemampuan kelompok tani dalam menyususn RDKK umumnya lemah, dan kemampuan KUD dalam mengelola penyaluran dan pengembalian KUT sebagian besar masih lemah (Sumaryanto dan Pasandaran,1991).

Oleh karena itu pada tahun 1999 dilakukan upaya terobosan untuk meningkatkan penyerapan kredit KUT dengan mengubah pola penyaluran ,dimana bank hanya berperan sebagai chanelling. Sementara excecuting berada pada Departemen Koperasi atau LSM. Pola yang demikian berhasil mendongkrak pencairan kredit hingga 1000 persen. Selain itu plavon KUT yang bersumber dari dana KLBI ditingkatkan. Penyaluran KUT untuk tanaman pangan dan hortikultura mencapai 8 trilyun rupiah. Peningkatan pencairan KUT yang demikian besar sepatutnya dapat meningkatkan produksi padi, namun yang terjadi justru sebaliknya. Bahkan terjadi pula tunggakan kredit yang mencapai 6 trilyun rupiah.

Maka dari itu pemberian kredit dalam keadaan normal perlu memperhatikan syarat-syarat (Ronodiwiryo,1982) sebagai berikut :

  1. Petani-petani yang diberi kredit mampu dan mau menaikkan produksi
  2. Mereka mau dan mampu mengembalikan kredit dari hasil kenaikan produksi tersebut segera sesudah panen
  3. Untuk berhasilnya semua itu, maka kredit diberikan kepada petani-petani secara selektif disertai pengawasan dan bimbingan tentang cara-cara memakainya, dan bimbingan kultur tehnis yang ke dua-duanya perlu dilakukan secara intensif.

Padahal dengan diberlakukannya otonomi daerah, khususnya yang berkaitan dengan usaha pertanian, secara ekonomi belum dirasakan manfaatnya. Naluri ekonomi atau pelaku agribisnis di pedesaan belum sepenuhnya mendapat dorongan gairah dari pemberian otonomi tersebut. Bersamaan dengan diberlakukannya otonomi daerah, kredit pertanian semacam KUT tidak lagi bisa diperoleh dengan mudah (Pranaji, 2003). KUD tidak lagi bisa diandalkan untuk menjadi lembaga jasa penyalur kredit atau agen penjamin untuk memperoleh sarana atau input pertanian. Akibatnya di tingkat usaha tani terjadi peningkatan krisis permodalan. Untuk mengatasi masalah permodalan, di dalam masyarakat pedesaan banyak terdapat kelembagaan kemitraan antar pelaku agribisnis, dan ternyata dapat berfungsi dengan baik. Di dalam kelembagaan ini masing-masing memperoleh manfaat baik secara finansial maupun sosial (Irawan, dkk.2001)

AKSESSIBILITAS MASYARAKAT PADA LEMBAGA PEMBIAYAAN DI PEDESAAN

Di daerah pedesaan terdapat berbgai bentuk lembaga pembiayaan yang dapat melayani masyarakat, baik yang bersifat formal maupu non formal. Lembaga yang bersifat formal antara lain Bank BRI, Bukopin BPR, Koperasi, Pegadaian. BKD/LDKP, dan sebagainya. Namun terjadi kecenderungan bahwaarus dana dari pedesaan lebih besar dari pada kredit yang mengalir ke pedesaan (Rachman, 1993). Sedang lembaga pembiayaan non formal antara lain kios saprotan, pedagang hasil pertanian, pelepas uang/rentenir, bank keliling, dan sebagainya.

Masalah perkreditan di pedsaan melibatkan dua kelompok kepentingan yaitu petani atau masyarakat di satu pihak sebagai debitor, dan lembaga pembiayaan di lain pihak sebagai kreditor. Kedua kelompok tersebut tentu berbeda kepentingan dan tujuan terhadap perkreditan, sehingga dapat menimbulkan konflik pandangan. Konflik pandangan ini terjadi antara lembaga perkreditan pemerintah dengan masyarakat petani di pedesaan (Kasryno, dkk,1980). Oleh karena itu di daerah pedesaan muncul berbagai bentuk kelembagaan pembiayaan non formal, yang terbentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Planck (1993) menegaskan bahwa meskipun sebagian masyarakat hanya mempunyai ukuran usaha dan luas sawah relatif sempit , dan kebanyakan petani menggunakan suatu bagian utama produksi beras untuk kebutuhan sendiri, tetapi masih ada sisa tertentu yang dapat dijual. Artinya di satu pihak mempunyai orientasi pasar, di lain pihak mereka memiliki pendapatan tunai yang bisa digunakan untuk membayar hutang. Jadi mereka dapat dipercaya untuk menjadi nasabah dalam sistem perkreditan.

Sumber kredit informal lebih bersifat fleksibel, tanpa prosedur berbelit, saling mengenal, dan berhubungan erat. Pinjaman tidak diawasi dengan ketat, petani bebas menggunakan kreditnya, juga kreditor mengetahui betul kelayaan kredit si petani serta bersedia memberi pinjaman kapan, dimana, dan berapa saja petani minta. Sedangkan kredit formal tidak fleksibel, prosedur berbelit, kedua belah pihak tidak saling mengenal dengan baik, memerlukan waktu relatif lama, baik untuk mengambil maupun membayar kredit. Seringkali debitor harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk mengurusnya, sehingga bunga yang berlaku menjadi tinggi.

Dari hasil penelitian di beberapa lokasi penelitian di Jawa Barat dan Nusatenggara Barat dapat dilihat tingkat aksessibilitas masyarakat tani terhadap lembaga pembiayaan formal dan non formal seperti terlihat pada Tabel 1.

0t1

Dari data pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa di daerah dengan komoditas utama padi (Kabupaten Subang dan Lombok Tengah), aksessibilitas petani terhadap lembaga bank komersial di tingkat cabang relatif tinggi. Hal ini disebabkan karena adanya program KUT. Di daerah ini KUT dapat berjalan dengan lancar, karena peran kelompok tani yang cukup baik, terutama di dalam menyeleksi anggotanya. Anggota yang dipilih merupakan petani yang benar-benar sanggup dan mau mengembalikan pinjaman. Peran pengurus sangat menentukan keberhasilan program KUT. Selain itu kios saprotan, pelepas uang dan tetangga merupakan lembaga pembiayaan yang banyak diakses oleh petani di daerah ini , terutama bagi petani yang tidak termasuk di dalam kelompok tani. Di kabupaten Subang, Jawa Barat , selain bank komersial lembaga pembiayaan formal yang dapat diakses masyarakat adalah , KUD, LPK (Lembaga Perkreditan rakyat), TPSP, UBD, dan BPD.

Bank BRI merupakan lembaga pembiayaan yang sangat berperan melayani kebutuhan masyarakat. Kupedes merupakan skim yang melayani dengan volume pinjaman anara Rp 25.000 s/d Rp 50 juta. Untuk mendapat pinjaman nasabah harus menyerahkan agunan sebagai jaminan, antara lain berupa sertifikat tanah, sertifikat tanah dan bangunan, surat berharga seperti slip gaji, deposito, atau BPKB. Kredit biasa senilai 120 persen dari pinjaman, sedang kredit konsumtif 40 persen dari penghasilan. Jangka waktu pinjaman 3 s/d 24 bulan, dengan tingkat bunga 24 s/d 32 persen. Sedagian besar masyarakat menyatakan bahwa pinjam ke BRI merupakan prosedur peminjaman yang relatif sulit, dan memerlukan biaya tinggi. Oleh karena itu sebagian besar peminjam adalah dari golongan mampu atau pengusaha dan mempunyai pendidikan yang relatif tinggi. Terdapat dua desa yang mendapat pinjaman dari BRI dalam bentuk KUT dan KKP, yang dipinjam dengan cara berkelompok. Namun demikian tunggakan KUT pada akhir penyaluran yaitu Tahun 1998/1999 mencapai 78 persen, yang disebabkan karena tidak adanya kontrol yang cukup dari lembaga pelaksana.

KUD Timbul Jaya yang berdiri sejak tahun 1987, sampai dengan tahun 1999 mempunyai modal sebanyak Rp.40. juta, dengan wilayah kerja delapan desa. Anggota dapat meminjam sebanyak Rp.30.000 s/d Rp.50.000, tergantung besar simpanan. Namun tunggakan pada lembaga pembiayaan inipun relatif besar, yaitu sebanyak 50 persen. Namun justru sebagian besar tunggakan ada pada kelompok tani peminjam KUT.

Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK) Pamanukan berdiri pada tahun 1974. Modal berputar dapat mencapai Rp.200 juta, dan total nilai aset Rp.865 juta. Modal diperoleh dari beberapa lembaga yaitu Pemda, PT. Bank Jabar, dan pinjaman dari pihak ke tiga. Terdapat tiga skim pada lembaga ini, yaitu pertanian, perdagangan, dan konsumsi. Meskipun jumlah nasabah relatif kecil, namun besarnya tunggakan hanya sekitar 2 persen. Lembaga inipun tidak pernah memberikan insentif pada nasabah, bila ada maslaha cukup diselesaikan secara kekeluaraaan.

Di Kabupaten Lombok Tengah dengan komoditas dominan padi, aksessibilitas masyarakat pada lembaga bank komersial cukup timggi (62,50 %), meskipun tidak setinggi Kabupaten Subang. Pada umumnya yang dapat mengakses BRI adalah pedagang hasil produksi, pedagang saprotan, sedang petani pada umumnya kurang mempunyai akses pada lembaga tersebut. Hal ini antara lain salah satu syarat yang diajukan BRI cukup berat, yaitu adanya agunan berupa sertifikat tanah. Padahal sebagian besar petani belum mempunyai sertifikat, sehingga peminjaman harus melalui kelompok tani. Dengan cara ini salah satu anggota kelompok tani dapat meminjamkan sertifikatnya sebagai agunan. Lembaga pembiayaan formal selain BRI yang dapat diakses oleh masyarakat adalah pegadaian dan Bank Kredit desa. Pada ke dua lembaga ini proses peminjaman relatif lebih sederhana dibanding BRI, terutama pegadaian. Bagi masyarakat pegadaian merupakan lembaga pembiayaan yang sangat mudah diakses karena prosedur peminjaman yang sangat mudah dan sederhana, sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Selain ke bank komersial tingkat aksessibilitas masyarakat pada pelepas uang (25,0%) dan famili/tetangga/teman (41,67%) relatif tinggi. Pada ke dua lembaga inilah para petani dapat lebih akses. Hal ini antara lain disebabkan karena proses peminjaman kepada ke dua lembaga ini sangat sederhana dan cepat, meskipun dikenakan bunga yang cukup tinggi.

Di Kabupaten Bandung ,Jawa Barat, aksessibilitas masyarakat tertinggi justru pada kelembagaan non formal, yaitu pedagang hasil pertanian/saudagar. Hal ini disebabkan dengan lembaga tersebut petani dapat memperoleh manfaat ganda, yaitu dapat memperoleh pinjaman dana sekaligus memasarkan produk pertaniannya. Prosedurpun relatif mudah, karena petani hanya disyaratkan menjual hasil kepada pedagang output, dengan harga lebih rendah dari harga pasar. Misalnya untuk harga kentang, melalui jalinan kemitraan ini petani menjual produk dengan selisih Rp.150.- dari harga pasar. Plavon yang diberikan sekitar Rp.1 juta s/d Rp. 10 juta. Kepada mitra yang telah dikenal dengan baik, peminjaman cukup dengan kepercayaan, sedang bagi pemula dapat dengan sutrat berharga seperti surat tanah, BPKB, dan sebagainya.

Tingkat aksessibitas masyarakat terhadap tetangga/saudara/rekanan ternyata cukup tinggi. Sifat hubungan di dalam kemitraan ini adalah gotong royong, dan proses peminjamanpun relatif cepat berdasarkana atas kepercayaan. Jumlah pinjaman sekitar Rp50.000 s/d Rp.20 juta, tergantung kespakatan diantara mereka.

Pedagang sarana produksi pertanian merupakan lembaga pembiayaan non formal yang dapat memberikan pinjaman relatif besar, yaitu sekitar Rp.6 juta s/d Rp.200 juta, meskipun dengan bunga yan cukup tinggi yaitu 5 persen per bulan. Volume penyaluran pinjaman dari lembaga ini dapat mencapai Rp.300 juta, dengan nasabah dapat mencapai 40 petani. Proses pencarian pinjaman sangat cepat, dapat dalam waktu satu hari, tepat pada saat pupuk/ obat-obatan diperlukan. Pinjaman pada umumnya berbentuk natura, seperti pupuk dan obat-obatan. Pinjaman dapat diangsur bulanan/ musian. Pinjaman yang dikembalikan dalam jangka waktu kurang dari satu bulan tidak dikenakan bunga. Lembaga ini seringkali memberikan insentif kepada para pelanggan yang baik, yaitu berupa barang elektronik, kaos, atau hadiah lebaran.

Lembaga pembiayaan formal lain yang dapat diakses oleh masyarakat adalah bank komersial unit, BPR, dan koperasi/KUD. KUD merupakan salah satu lembaga yang dipercaya untuk menyalurkan KUT. Namun kurang dapat berperan dengan baik. Sampai penyaluran terakhir Kabupaten Bandung masih mempunyai tunggakan sebesar Rp.1,5 milyar, hal ini antara lain disebabkan karena kurang kontrol dari lembaga pelaksana. Bahkan masyarakat yang bukan petanipun sempat memperoleh KUT, sehingga justru megacaukan sistem pertn\anian dan harga di daerah ini. Sebagian besar masyarakat merasa tidak mempunyai kuwajiban harus mengembalikan hutang tersebut, karena pernyataan dari beberapa pejabat pemerintah.

Di Kabupaten Lombok Timur aksessibilitas masyarakat pada lembaga pembiayaan formal relatif rendah, justru tertinggi pada lembaga pembiaaan non formal yang berasal dari famili atau tetangga. Rendahnya partisipasi petani pada lembaga bank BRI karena adanya agunan berupa sertifikat tanah, sehingga pengguna kebanyakan dari pedagang, pengolah hasil, dan sebagainya.  Petani yang sudah mempunai sertifikat mengakses ke skim Kupedes, karena telah banyak mengalami perubahan yaitu pengembalian pinjaman dilakukan enam bulan sekali. Bagi yang membayar tepat waktu akan mendapat potongan bunga sebanyak 0,5 persen dari total bunga. Di Kabupaten Lombok Timur hanya sekali memperoleh kredit program melalui KUT, meskipun demikian pada akhirnya banyak petani yang tidak dapat melunasi hutangnya. Hal ini disebabkan karena terjadi lonjakan arel\al tanam, yang menyebabkan harga produk pertanian merosot. Lembaga formal lain yang dapat diakses adalah Bank komersial unit, pegadaian, dan Bank Kredit Desa meskipun relatif sedikit. Hal ini disebabkan karena lokasi kegiatan terletak tidak jauh dari desa.

Lembaga pembiayaan non formal yang dapat diakses petani terbesar adalah famili, tetangga, atau teman. Prosedur dan persyaratan peminjaman pada lembaga ini pada umumnya relatif sangat cepat dan sederhana, sesuai dengan kemampuan petani. Sedang lembaga lain yang dapat diakses adalah kios saprotan, pengolah hasil pertanian, pedagang hasil pertanian, dan pelepas uang. Pada ummnya lembaga-lembaga non formal lebih menekankan persyaratan kualitatif seperti kejujuran,kepastian usaha langganan, kepercayaan dan keanggotaaan. Bagi nasabah baru pada umumnya mendapat rekomendasi dari nasabah lama. Bila mulai peminjaman seringkali jumlah pinjaman dalam jumlah kecil, den bila sudah dapat dipercaya berdasarkan pantauan kreditor pinjaman dai sedikit demi sedikit dapat ditingkatkan.

PERSEPSI PETANI TERHADAP LEMBAGA PEMBIAYAAN

Terdapat perbedaan persepsi antara petani dan non petani terhadap lembaga pembiayaan pertanian. Sebagian besar (81,3 %) petani di Kabupaten Bandung mempunyai persepsi bahwa untuk memperoleh kredit dari Bank Komersial BRI sulit, bahkan sangat sulit. Demikian pula hal nya untuk memperoleh kredit dari Bank Desa/LDKP. Lembaga pembiayaan formal yang relatif mudah untuk memberikan kredit adalah BPR dan Koperasi. Sedang untuk memperoleh kredit dari lembaga pembiayaan non formal, sebagian besar petani mengatakan relatif mudah, seperti terlihat pada Tabel 2 berikut.

0t2

Di Kabupaten Subang sebagian besar petani mempunyai persepsi bahwa untuk memperoleh kredit baik dari lembaga formal maupun non formal relatif mudah, demikian pula dengan petani di Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur. Persepsi di ke dua kabupaten tersebut dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.

0t3

Masyarakat non petani mempunyai persepsi yang berbeda dengan petani. Tingkat
aksessibitas masyarakat terhadap lembaga perkreditan tergantung pada pengalaman dalam
memperoleh kredit. Sebagai kasus untuk mengetahui persepsi masyarakat non petani dapat dilihat
dari hasil penelitian di Propinsi Jawa Barat dan NTB, seperti terlihat pada Tabel 4 berikut.

0t4

Dari data pada Tabel 4 dapat diketaui bahwa sebagain besar non petani seperti pedagang, penjual sarana produksi pertanian, dan pengusaha baik di Propinsi Jawa Barat maupun NTB, mempunyai persepsi bahwa untuk memperoleh kredit dari lembaga formal maupun non formal cukup mudah. Bahkan dari kasus yang ditemukan masyarakat non petani ini dapat menjadi pelanggan tetap bank komersial, karena mereka mempunyai pendapatan yang relatif tetap pula. Selain itu resiko kegagalan tidak sebesar usaha pertanian.

Terdapat faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap pemanfaatan kredit, yaitu luas garapan petani, pendidikan kepala keluarga, jangka waktu pinjaman, konsumsi rumah tangga, dan frekuensi/akses pada sumber kredit. Namun di lain pihak terdapat pula berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya tunggakan kredit baik yang berasal dari internal petani/kelompok, maupun yang berada di luar kontrol petani/kelompok tani. Faktor yang berada pada diri petani antara lain karakteristik petani, kemampuan petani untuk menggunakan pada usaha yang memberikan keuntungan tinggi, dan sistem pengawasan kelompok tani. Pandangan petani terhadap dana kredit, pengalaman penggunaan kredit, dan tingkat kesadaran untuk membayar kredit merupakan faktor yang cukup penting berpengaruh terhadap tunggakan kredit (Syukur, dkk., 2000).

PENUTUP

Aksessibilitas masyarakat tani pada kelembagaan pembiayaan formal relatif tinggi, disebabkan karena adanya program-program pemerintah seperti KUT, KKP dan sebagainya. Meskipun berbagai kebijakan telah dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki sistem penyaluran pembiayaan pertanian, namun sejarah membuktikan bahwa program pemerintah di  bidang pembiayaan pertanian sering mengalami kegagalan, karena lemahnya peranan lembagalembaga pelaksana. Oleh karena itu tingkat pengembaliannya relatif rendah. Hal ini disebabkan karena sering terjadinya komunikasi yang tidak pas antara pemerintah dengan masyarakat tani. Di satu pihak pemerintah sebagai kreditor mewajibkan setiap bantuan harus dikembalikan, namun di pihak lain masyarakat tani sebagai debitor sebagian besar menganggap bahwa bantuan pemerintah bersifat “bantuan” yang tidak perlu dikembalikan. Terjadi kecenderungan program bantuan pemerintah yang bersifat masal dan tidak selektif justru menghancurkan usahatani masyarakat pedesaan, karena terjadi over produksi dan penurunan harga-harga produk pertanian. Disamping itu banyak kesalahan tehnis yang bukan di pihak petani, namun dipihak pelaksana. Hal ini berarti bahwa berbagai kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan aksessibilitas masyarakat terhadap lembaga perkreditan belum dapat memenuhi sasarannya dengan tepat. Bahkan sebagian masyarakat masih mempunyai persepsi bahwa meminjam kredit ke bank komersial merupakan hal yang sulit dilakukan.

Pada umumnya lembaga-lembaga pembiayaan formal lebih dapat diakses oleh pegawai, pengusaha, pedagang, dan bukan petani . Petani lebih akses pada lembaga pembiayaan non formal seperti pedagang output, pedagang input, pelepas uang, tetangga/famili/rekanan. Hal ini disebabkan karena prosedur yang cepat, sesuai dengan kebutuhan dan sederhana. Selain itu dalam hubungannya dengan lembaga pembiayaan non formal tidak ditemukan sangsi kemungkinan hilangnya satu-satunya aset yang sangat penting bagi mereka, yaitu tanah. Modal utama hanyalah berupa kejujuran dan kepercayaan diantara ke dua belah pihak. Sebagian besar masyarakat merasakan bahwa meminjam ke lembaga pembiayaan formal relatif sulit, karena prosedur yang rumit, mahal, dan sebagian besar masyarakat tidak mempunyai agunan berupa sertifikat tanah sebagai jaminan . Padahal untuk meminjam ke lembaga formal, agunan merupakan salah satu syarat yang tidak dapat ditawar. Dengan diberlakukannya otonomi daerah kemungkinan mendapatkan dana pembiayaan seperti KUT relatif tidak mudah. Dengan demikian diperlukan suatu lembaga pembiayaan yang dapat diakses dengan mudah oleh seluruh masyarakat di pedesaan.

Oleh karena itu di dalam menyalurkan kredit dan jenis agunan sebaiknya dalam bentuk uang tunai. Sedang agunan dalam bentuk sertifikat masih perlu dipertimbangkan, atau pemerintah sebaiknya membantu masyarakat, khususnya petani untuk dapat memperoleh sertifikat tanah dengan mudah dan murah. Petani pada umumnya tidak mempermasalahkan besarnya bunga pinjaman, namun lebih mementingkan tingkat pelayanan. Cara pengembalian kredit sebaiknya musiman atau tahunan, sesuai dengan siklus produksi petani. Prosedur penyaluran kredit sebaiknya dibuat lebih cepat relatif sederhana, sesuai dengan kemampuan petani.

Dalam kaitannya dengan masalah permodalan yang dialami para pelaku agribisnis perlu dikembangkan agribisnis industrial yang memungkinkan terjadinya hubungan fungsional yang saling menguntungkan diantara pelaku agribisnis, dan tercipta hubungan sinergis dalam kesatuan tindak. Untuk mendukung program tersebut di pedesaan banyak terdapat kelembagaan kemitraan  diantara pelaku agribisnis, yang dapat diberdayakan dengan tidak mengubah struktur dan peran kelembagaan tersebut yang telah berfungsi dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Irawan, Nurmanaf,R, Hastuti, E.L,Chaerul Muslim, Yana Supriatna, dan Valeriana Darwis.  2001. Studi Kebijaksanaan pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan Hortikultura. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.

Benny Rachman.1993. Deskripsi Perkembangan Lembaga Perkreditan Pedesaan Jawa Timur. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

Colter, Y. M.1984. Masalah Perkreditan Dalam Pembangunan Pertanian. Yayasan Obor Indonesia.

Hastuti E.L. dan White Benjamin N.F.1979. Bentuk-Bentuk Kerjasama Ekonomi Skala Kecil di Enam Desa Contoh di Daerah Aliran Sungai Cimanuk, Jawa Barat. SDP/ SAE. Bogor.

Johnson Doyle Paul.1990. Teori Sosiologi . Klasik dan Modern. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Kasryno, F. 1984. Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan. Yayasan Obor Indonesia.

Planck Ulrich. 1993. Sosiologi Pertanian. Yayasan Obor Indonesia.

Soedjanadi Ronodiwirjo.1982. Struktur Perkreditan Pertanian di Daerah Produksi Padi: Suatu Penelitian Pedesaan di Karawang, Jawa Barat. Dalam Bunga Rampai Perekonomian Desa. Yayasan Obor Indonesia dan Institut Pertanian Bogor.

Sudaryanto,T. dan M.Syukur.2001. Pengembangan Lembaga Keuangan Alternatif Mendukung Pembangunan Ekonomi Pedesaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.

Sumaryanto dan Effendi Pasandaran.1991. Keragaan Kredit Usahatani Dalam Menunjang Peningkatan Produksi Pangan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

Syukur , M. dan H. Windarti.1999. Karya Usaha Mandiri : Sebuah Skim Pembiayaan Mikro Dalam Pengembangan Ekonomi Lokal.

Syukur, M., dkk.1998. Kinerja Kredit Pedesaan dan Alternatif Penyempurnaannya Untuk Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi . Bogor.

Syukur, M., Mayrowani, Heny, Sunarsih, Yuni Marisa dan M. Fauzi Sutopo. 2000. Peningkatan Peranan Kredit Dalam Menunjang Agribisnis di Pedesaan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Tjondronegoro S. M. P. 1984. Gejala Organisasi dan Pembangunan Berencana Dalam Masyarakat Pedesaan di Jawa. Dalam Masalah-Masalah Pembangunan. Bunga Rampai Antropologi Terapan. LP3ES. Jakarta.

Tri Pranadji.2003. Otonomi Daerah dan Daya Saing Agribisnis. Pelajaran dari Provinsi Lampung. Analisis Kebijakan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

Uphoff Norman. 1986. Local Institutional Development. An Analytical Sourcebook With Cases. Kumarian Press.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.