Kelembagaan DAS

A. Ngaloken Gintings

HUTAN, TATA AIR DAN KELESTARIAN DAS CICATIH

Oleh:  A. Ngaloken Gintings; Peneliti Utama pada Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor

Dipresentasikan pada seminar :”Peran Serta Para Pihak Dalam Pengelolaan Jasa Lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cicatih-Cimandiri”, Hotel Pangarango II Bogor

PENDAHULUAN

Peran hutan dalam menjaga kesuburan tanah dan mengatur tata air dalam suatu DAS sudah banyak dibuktikan. Pada akhir-akhir ini peran hutan tersebut sering menjadi perdebatan yang kotravesial, karena analisa tidak dilakukan secara komprehensif dan percobaan dilakukan pada luasan yang relatif kecil. Bukti-bukti bahwa di areal yang hutannya lebat juga pernah terjadi banjir dapat dimengerti tapi frekuensi banjir di daearh yang tidak berhutan akan lebih banyak dibanding dengan daerah yang berhutan. Kelemahan yang juga sering terjadi adalah pengertian hutan yang tidak sama bagi masyarakat. Tanaman hutan yang berada di daerah yang miring dan dibawahnya ditanami ubi kayu akan mendatangkan erosi yang cukup besar di musim penghujan. Demikian juga peran tanaman sejenis dalam mengatur kesuburan tanah dan tata air akan lebih kecil dibanding dengan kawasan yang hutannya merupakan tanaman campuran dengan tajuk berlapis.

Bagaimana peran hutan dalam mengatur tata air dan bagaimana kelestarian DAS Cicatih dapat dicapai akan dibahas dalam tulisan ini.

PERAN HUTAN DALAM MENGATUR TATA AIR

Hutan terutama yang mempunyai tajuk yang berlapis dapat berperan dalam mengatur tata air dengan cara langsung maupun tidak langsung antara lain :

  1. Hutan akan menghasilkan serasah dan kalau terdekomposisi akan mendatangkan kompos yang mempunyai kemampuan menyimpan air lebih kurang 5 kali beratnya. Hairiah (2006), memberikan bukti-bukti bahwa peran serasah hutan lebih besar dari tanaman pohonnya dalam mengatur tata air. Di bawah tegakan hutan akan terjadi iklim mikro yang mengakibatkan mikro-organisme dapat berkembang secara baik, sehingga kemampuan tanahnya untuk menginfiltasikan air hujan menjadi tinggi.
  2. Batang dan ranting pohon yang jatuh ke tanah akan memperlambat jalannya aliran permukaan sehingga kesempatan air masuk ke dalam tanah juga menjadi besar.
  3. Tanaman akan menahan kecepatan angin sehingga daya evapotranspirasi tanaman menjadi lebih kecil.
  4. Cahaya matahari hanya sedikit yang dapat menembus tajuk tanaman sehingga temperature tanah dan permukaan di bawah tanaman hutan menjadi lebih rendah sehingga tanaman bawah akan tertekan dan evapotranspirasi menjadi relative kecil.

Adanya pertanyaan apakah hutan dapat meningkatkan curah hujan masih sulit diberikan bukti-buktinya. Secara teori tanaman di pegunungan memperlihatkan dapat menahan angin sehingga angin naik ke atas, terkondensasi dan dapat mendatangkan hujan. Hal ini mudah dilihat di wilayah Puncak Bogor. Angin yang datang dari utara umumnya akan mendatangkan curah hujan. Mungkin kalau ada yang mengamati hubungan perubahan penutupan hutan di Puncak dan curah hujan yang terjadi dapat menjawab pertanyaan ini. Menurur Soerjono (1987), hutan hujan pegunungan pada musim kering menambah presipitasi bersih karena adanya tambahan presipitasi dari apa yang disebut presipitasi horisontal. Peranan presipitasi horisontal pada iklim yang sangat basah pada musim hujan bervariasi dari 7-18% dari jumlah hujan, sedang pada musim kering atau iklim yang tidak banyak hujan, perannya dapat melebihi 100% dari jumlah hujan. Di Taman Nasional La Triga di Honduras yang luasnya 7.500 ha, perannya dapat memenuhi kebutuhan air minum bagi kota Tegu Cigaljane yang berpenduduk 570.000 orang.

Fluktuasi debit air pada musim penghujan dan musim kemarau pada daerah yang berhutan diakui masyarakat lebih kecil. Beberapa pengakuan ini dapat di dengar dari masyarakat yang berada di tepi sungai di Sumatera dan Kalimantan misalnya masyarakat yang tinggal di Jambi, Pontianak, Muara Tewe dan Samarinda. Dengan fluktuasi air sungai yang lebih kecil maka air akan dapat dimanfaatkan secara maksimal baik untuk transportasi maupun penggunaan air secara langsung. Presentasi Dr. Sampurno Bruijnzeel di Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS Indonesia Bagian Barat, Solo pada tanggal 24 Augustus 2006 memperlihatkan beberapa bukti bahwa jumlah air pada daerah yang berhutan akan lebih kecil dari pada areal yang ditanami tanaman pangan terutama pada musim kemarau. Bukti-bukti mengenai hal ini diberikan dari daerah temperate dan luar negeri. Pengalaman masyarakat di Gunung Haledong Haruman di Garut, Jawa Barat memperlihatkan bahwa pada saat Gunung Haledong Haruman masih gundul, masyarakat yang tinggal di kaki bukit selalu kesulitan mendapatkan air pada musim kemarau. Setelah gunung tersebut ditanami berbagai jenis tanaman tahunan, tiga tahun kemudian air tidak pernah kering pada musim kemarau. Hal yang sama juga terjadi di Maumere, Flores dimana setelah diadakan lamtoronisasi pada bukit-bukit lahan kosong, beberapa tahun kemudiaan air di sungai lebih mudah didapat pada musim kemarau. Untuk mendapatkan informasi lebih lengkap maka pada tahun 2007 akan dikumpulkan informasi lebih rinci dari masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.

Peran hutan dalam menanggulangi longsor dan banjir, sangat dipengaruhi beberpa faktor antara lain kemiringan lahan, ketebalan lapisan tanah, jumlah curah hujan, geologi wilayah dan sebagainya. Kalau tanahnya dalam maka akar tanaman akan berperan mengikat tanah sehingga tidak mudah longsor tapi sebalinya kalau lapisan tanahnya dangkal dan lereng yang curam maka ada kemungkinan berat tanaman akan meningkatkan cepatnya longsor. Masyarakat Semadam Aceh Tenggara mengakui penebangan kemiri yang banyak terjadi sebelah hulu sungai mengakibatkan banyak korban yang terjadi pada tanggal 18 Oktober 2005. Kalau pohon kemiri masih ada maka banjir mungkin terjadi tapi batang-batang kayu dan batu-batu yang besar akan tertahan, sehingga yang sampai ke daerah pemukiman adalah batu-batu yang kecil, lumpur dan air. Jadi terjadinya banjir badang di Semadam bukan diakibatkan penebanagan tanaman kemiri, tapi karena tingginya curah hujan dan terjadi penebangan hutan untuk perladangan atau mendapatkan kayu untuk keperluan lain dan sisanya banyak yang masuk ke sungai sehingga membuat bendungan-bendungan kecil dan pada saat hujan lebat batang kayu ikut hanyut dan menggerus tebing-tebing sungai yang terdiri dari batu-batu yang besar. Enters dan Durst (2006), menguraikan banyaknya faktor yang perlu dikumpulkan untuk mengetahui hubungan pengaruh hutan terhadap banjir. Faktor tersebut antara lain luas hutannya, keadaan tanahnya, intensitas curah hujan dan jumlah curah hujan dll. Mereka menyampaikan bahwa sebelum adanya penebangan hutan juga sudah pernah banjir. Banjir di Bangkok pada tahun 1983 yang menggenangi kotanya selama empat bulan sama dengan banjir pada tahun 1795 dan 1831, di mana pada saat itu hutan di Thailand belum dieksploitasi.

Untuk pembuktian seperti dikemukakan Enters dan Durst (2006) tersebut di atas seharusnya dilengkapi perbandingan intensitas dan jumlah curah hujannya, sehingga jangan ada pendapat bahwa peran hutan dalam mengurangi banjir tidak ada. Di Indonesia dengan mudah dapat dibuktikan bahwa dengan penebangan hutan di hulu maka frekuensi banjir menjadi lebih banyak. Samarinda, Muara Tewe dan Jambi sebagai contoh, sebelum terjadi penebangan hutan di daerah hulunya maka banjir yang terjadi di kota tersebut tidak sebanyak dan sebesar yang ada pada saat ini. Fluktuasi debit air sungai Jambi antara musim kemarau dan penghujan pada saat ini sangat besar dibanding puluhan tahun yang lalu di mana hutan di daerah hulunya belum ditebang. Menurut Ilyas dkk. (1996) berdasarkan hasil simulasi model, telah diperoleh kesimpulan sebagai berikut : Pengurangan luas hutan menjadi 40, 30, 20, 10 dan 0 % berturut-turut akan merubah puncak banjir menaik sebesar 8.48, 21, 25, 43.5 dan 64.5% dan erosi rata-ratanya naik sebesar 17.9, 30.7, 64, 72.8 dan 100.4 %.

PERAN HUTAN UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Keberadaan hutan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan berbagai cara antara lain sebagai penghasil langsung dan tidak langsung. Beberapa contoh hutan mempunyai penghasil langsung antara lain sebagai penghasil kayu, buah, getah dan daun sebagai bungkus, makanan atau obat. Hasil hutan secara tidak langsung antara lain udara segar, pengatur kesuburan tanah, pengatur tata air dan penyerap gas rumah kaca terutama CO2. Bagaimana mengatur penyebaran hutan agar mendatangkan hasil yang optimal merupakan suatu analisa komprehensif yang melibatkan berbagai disiplin ilmu dan masyarakat yang tinggal di daerah yang bersangkutan. Hutan harus memenuhi fungsinya sebagai hutan lindung, hutan konservasi, dan hutan produksi. Persentase dari berbagai fungsi hutan tersebut di suatu wilayah sangat ditentukan oleh berbagai faktor antara lain ketinggian tempat, lereng lapangan, jenis tanah, jumlah curah hujan/intensitas curah hujan dalam waktu tertentu, kepadatan penduduk dan sebagainya.

KELESTARIAN DAS CICATIH DAS

Cicatih dengan areal seluas 35.017 ha, kondisinya dapat dilihat seperti pada Tabel 1.

0t1

Dari Tabel 1, terlihat bahwa areal yang ditutupi hutan pada tahun 1992 hanya mencapai 23,89% dan diperkirakan pada saat ini areal yang ditutupi hutan akan lebih kurang dari penutupan hutan 13 tahun yang lalu. Bila dilihat dari kemiringan arealnya ternyata 50,46% berada pada lereng di atas 25% sehingga perlu diadakan tindakan konservasi tanah dan air. Kawasan hutan yang yang mempunyai fungsi yang baik terhadap tanah dan tata air adalah bila tegakan diatur sedemikian rupa agar penutupan tajuknya dibuat secara berlapis. Bila kawasan hutannya berfungsi produksi maka areal tersebut perlu ditata dan dikelola sedemikian rupa agar dapat mendatangkan produksi yang maksimal sehingga dapat mendatangkan hasil yang memuaskan (Pendapatan Asli Daerah) dari daerahnya masing-masing. Usaha yang dapat dilakukan adalah mencari jenis yang sesuai pertumbuhannya di daerah yang bersangkutan dan mempunyai pasar yang baik serta masyarakat memahami secara baik sistim budidayanya. Jika jenis sudah didapat maka benih yang unggul / bermutu mutlak diperguanakan. Menurut Sadhardjo (2004), produksi dari benih unggul jauh lebih besar dari bibit biasa. Hasil kayu per satuan luas akan diperoleh lebih tinggi sehingga untuk memperoleh produksi kayu yang sama tidak diperlukan kawasan yang luas.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah menanam pada saat yang benar (awal musim penghujan) dan memeliharanya sesuai dengan aturan. Sebagai contoh, dengan bibit yang baik dan pemeliharaan yang sesuai maka jati dapat dipenen dalam umur 40 tahun sedang dengan bibit biasa jati dipanen dalam umur 60 sampai 80 tahun.

Rancangan daerah yang dijadikan hutan lindung, kawasan konservasi dan hutan produksi harus disusun secara partisipatif dengan masyarakat. Agar masyarakat dapat secara tepat dalam memberikan pertimbangan dalam menyusun rencana yang dibuat maka mereka harus paham akan tujuan setiap kegiatan dan mereka juga mengerti hak dan kewajibannya secara jelas dan adil. Bila masyarakat sudah merasakan ikut memiliki akan kegiatan yang dibuat maka mereka akan secara sungguh-sungguh menjaga dan ikut melaksanakan rencana yang telah dibuat. Renaca yang dibuat harus diikuti peta yang jelas dengan skala maksimal 1:10.000. Kegiatan yang akan dilaksanakan harus diikuti pedoman teknis yang jelas. Penggunaan anggaran jangan terlalu kaku karena penanaman tanaman hutan dipengaruhi musim terutama musim penghujan. Prioritas daerah yang ditanami juga harus jelas. Kalau ada kawasan hutan yang kosong dan akan direhabilitasi maka mulailah dari yang tanahnya subur agar keberhasilan tanaman menjadi tinggi dan akhirnya dapat dijadikan modal pembangunan pada waktu yang akan datang. Bagi lahan kosong yang benar-benar kritis maka cukup dijaga agar jangan terjadi kebakaran atau gangguan binatang sehingga akan terjadi permudaan secara alamiah.

KESIMPULAN DAN SARAN

  1. Hutan masih diakui berbagai pihak sebagai penjaga kesuburan tanah dan perbaiakan tata air.
  2. Hutan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat asalkan pengaturannya dapat dibuat sesuai dengan kondisi ekologinya dan didukung oleh pemerintah dan masyarakat.
  3. Penyusunan rencana harus dibuat secara komprehensif dan partisipatif, serta dapat diperlihatkan untungnya secara jelas.

DAFTAR PUSTAKA

Bruijnzeel, L.A.Sampurno. 2006. To plant or not to plant? Hydrological benefits of tropical forestation programs under scrutiny. Balai Litbang Teknologi Pengelolaan DAS Indonesia Bagian Barat, Surakarta.

Enters,T. and P. Durst. 2006. Questioning long-held beliefs about forests and floods. Forests, Water and Livelihoods. ETFRN News No. 45-46 Winter 2005/2006 :11-14.

Hairiah,K. 2006. Dead leaves in the layer rather than live trees control water infiltration. Forests, Water and Livelihoods. ETFRN News No. 45-46 Winter 2005/2006 :29-30.

Ilyas,M.A., A.Ng. Gintings, F. Agus dan I.B. Pramono. 1996. Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Banjir, Erosi dan Sedimentasi Pada Sub-DAS Cigulung Maribaya. Sekretariat Tim Pengendali Penghijauan dan Reboisasi Pusat, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Sadhardjo, Sm. 2004. Upaya penyediaan benih dan bibit bermutu (unggul) di Indonesia. Lokakarya Temu Usaha Perbenihan, 2004.

Soerjono,R. 1987. Peran Hutan Hujan Pegunungan dalam Pengaturan Air di Daerah Aliran Sungai. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Vol. III No. 1 , pp: 24-26.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.