Kelembagaan DAS

Kirsfianti L Ginoga dan Mega Lugina

BIAYA TRANSAKSI DALAM PEROLEHAN SERTIFIKAT PENURUNAN EMISI MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH KEHUTANAN

Transaction Costs for Certified Emission Reduction on Clean Development Mechanism Forestry

Oleh : Kirsfianti L Ginoga & Mega Lugina, Peneliti Puslit Sosek

Peer Review Dilakukan oleh Dr. Upik R. Wasrin dari IPB

JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 4 No. 1 Maret 2007, Hal. 93 – 119

ABSTRACT

Transaction costs have notoriously been known for being the main obstacle in implementing Aforestation and Reforestation of Clean Mechanism Development (A/R CDM). This study aims to estimate the transaction costs for implemting A/R CDM in Indonesia, based on CDM-like projects in West Nusa Tenggara and West Java funded by JIFPRO (Japan International Forestry Promotion and Cooperation Centre). Interview with respondent showed that the spending costs are more important than time with regard to CDM implementation. Based on operational cost in West Nusa Tenggara project shown that transaction cost is 39,2% from total cost, while that for West Java, excluding certification, verification and validation cost is 59,7% from total cost. This research confirmed previous research that high transaction costs can be the number one obstacle factors on A/R CDM implementation, especially certification cost including validation and verification.

This study suggest the need to decrease certtification costs through establishment of forum or local institution to coordinate, facilitate and syncronize A/RCDMactivity. A/RCDMforum is expected to reduce the management cost requirement which is estimated to be high.

Key words : Transaction Cost,A/RCDM,Certification Emission Reductions,A/RCDMForum

ABSTRAK

Biaya transaksi telah dikenal sebagai salah satu kendala utama dalam perolehan Sertifikat Penurunan Emisi pada mekanisme A/R CDM. Penelitian ini bertujuan untuk memperkirakan besarnya biaya transaksi dalam pelaksanaan A/R CDM di Indonesia, berdasarkan pada proyek seperti CDM di Nusa Tenggara Barat dan Jawa Barat yang dibiayai oleh JIFPRO (Japan International Forestry Promotion and Cooperation Centre). Wawancara dengan responden menunjukkan bahwa aspek biaya akan lebih dipertimbangan dibandingkan aspekwaktu.

Berdasarkan biaya operasional diperkirakan bahwa besarnya biaya transaksi dalam perolehan Sertifikat Penuruan Emisi di Nusa Tenggara Barat dan Jawa Barat masing-masing adalah sebesar 39.2% dan 59.7%. Penelitian ini menegaskan penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa biaya transaksi merupakan komponen biaya yang utama untuk perolehan sertifikat penurunan emisiA/RCDM. Penelitian ini menyarankan perlunya membentuk forum koordinasi di tingkat lokal untuk mensinergiskan berbagai kegiatan dan informasi pada tingkat lokal, sehingga biaya transaksi dapat dikurangi.

Kata kunci : Transaction Cost,A/RCDM,Certification EmissionReductions,A/RCDMForum

PENDAHULUAN

Indonesia telah mempunyai beberapa aturan operasional yang mendukung kelembagaan 4 MPB A/R pada tingkat nasional seperti PP 34/20025 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, Permenhut No. P. 14/2004 tentang Tata Cara Aforestasi dan Reforestasi dalam Kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih, SKMenLH No. 206/2005 tentang Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih, dan Keputusan Ketua Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih No. 1/2005 tentang Sekretariat Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih. Karena itu bagaimana agar aturan ini dapat diimplementasikan dan disinkronkan dengan aturan MPB A/R di daerah/lokal sangat diperlukan. Penelitian terhadap kegiatan MPB di negara lain membuktikan bahwa biaya transaksi6 untuk kegiatan MB cukup besar, dan dapat menjadi hambatan dalam pelaksanaan MPB Kehutananan, sehingga bagaimana menurunkan biaya transaksi yang besar ini perlu diketahui (Cf. Milne, 2003; Cacho and Wise, 2005).

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui perkiraan waktu dan biaya dalam proses perolehan sertifikat penurunan emisi dalam implementasi MPB A/R di Indonesia. Penelitian ini dilakukan sebagai upaya mempersiapkan kelembagaan yang efektif (khususnya kemampuan kelembagaan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan) dan efisien (mencakup rasio antara nilai output dan input) untuk mencapai keberhasilan kegiatan pembangunan dan pengelolaan hutan khususnya Aforestasi dan Reforestasi yang berkelanjutan dan berkeadilan.

———-

4 Kelembagaan menurutRuttan dan Hayami (1984) adalah aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan setiap orang atau organisasi mencapai tujuan bersama yang diinginkan. Sedangkan Ostrom (1985) mendefinisikan kelembagaan sebagai aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota untuk mengatur hubungan yang saling mengikat dan tergantung satu sama lain. North (1990) lebih menekankan kelembagaan sebagai aturan main di dalam suatu kelompok yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik. Paembonan (2003), mengartikan kelembagaan sebagai perangkat aturan yang mengarahkan perilaku masyarakat dalam mencapai keterpenuhan kebutuhan masyarakat dalam kehidupan. Pada prinsipnya kelembagaan berbeda dengan organisasi, dimana kelembagan lebih kental dengan peraturan dan organisasi lebih terfokus pada struktur.

Dari definisi-definisi tersebut dapat dikatakan bahwa kelembagaan adalah aturan yang yang memfasilitasi instusi atau organisasi dalam berkoordinasi dan bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan. Aturan disini mencakup aturan formal dan non formal yang diperlukan dan disepakati bersama. Karena itu aturan disini harus jelas, terukur dan konsisten. Organisasi atau institusi yang terlibat diharapkan mempunyai sumberdaya manusia yang kredibel dan mempunyai pengetahuan serta pengertian yang cukup tentang permasalahan yang ada.

5 PP 34/2002 menyebutkan bahwa perdagangan karbon dapat dilakukan pada hutan produksi dan hutan lindung dengan areal maksimum 1000 ha per ijin, dan pemegang ijin baik koperasi, individu, BUMN, BUMD, dan BUMS dapat memiliki maksimum2 ijin per propinsi, selama 10 tahun dan dapat diperpanjang.

6 Biaya transaksi merupakan biaya untuk ikut dalam kegiatan perdagangan CERs

———-

II. METODOLOGI

A. Pengumpulan dan Analisis Data

Data primer diperoleh melalui pengisian kuesioner hasil wawancara atau diskusi dengan para pakar dari beberapa instansi yang berkompeten dalam bidang jasa lingkungan baik di pusat maupun di daerah, dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Pengamatan lapangan dilakukan pada proyek percobaan MPB yang didanai oleh JIFPRO di Nusa Tenggara Barat dan Jawa Barat. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai instansi terkait dan pencarian literatur melalui situs internet.

Untuk mengetahui tingkat efisiensi kelembagaan MPB A/R dgunakan metode penentuan skala prioritas dengan berdasarkan pada berbagai aspek yang harus dipertimbangkan (Lampiran 1), untuk selanjutnya diidentifikasi aspek mana yang menjadi prioritas. Langkah berikutnya adalah menentukan lembaga (organisasi) yang terseleksi untuk melaksanakan kebijakan MPB dan selanjutnya menentukan strategi yang harus diprioritaskan agar kebijakan tersebut dapat diterapkan.

Aspek yang perlu dipertimbangkan untuk tercapainya efisiensi di dalam pelaksanaan MPB, antara lain (1) Biaya, yaitu pembuatan usulan proyek dan Dokumen Rancangan Proyek (DRP) termasuk persyaratan-persyaratannya (seperti biaya pengurusan surat kelayakan lahan MPB dari Bupati/Camat, peta), Surat Keterangan Menteri Kehutanan, penyerahan DRP ke KomNas MPB, Persetujuan KomNas MPB, Verifikasi, Pelaksanaan, Monitoring, Validasi, Sertifikasi, serta Biaya lainnya (seperti: Biaya Konsultan), (2) Waktu, antara lain waktu yang dibutuhkan untuk tahap persiapan (pembuatan Usulan Proyek, penyusunan DRP, dan persyaratan-persyaratan DRP), dan tahap pelaksanaan mencakup verifikasi, monitoring, validasi, penerbitan sertifikat).

Untuk memudahkan dalam penentuan prioritas, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyusun hirarki kebijakan, yang mencakup aspek-aspek yang harus dipertimbangkan dan lembaga pelaksana. Hirarki merupakan abstraksi struktur suatu sistem yang menunjukkan interaksi fungsional antar komponen dan dampaknya terhadap sistem. Menurut Saaty (1988), tidak ada batasan tertentu mengenai jumlah tingkatan pada struktur keputusan yang terstratifikasi, dan juga jumlah elemen pada setiap tingkat keputusan. Setelah menyusun hirarki langkah kedua adalah menyusun matriks perbandingan berpasangan, seperti disajikan padaTabel 1.

Langkah ketiga, yaitu melakukan perbandingan berpasangan. Perbandingan berpasangan antara setiap elemen pada kolom ke-i dengan setiap elemen pada baris ke-j sehubungan dengan sifat atau kriteria tertentu G dilakukan dengan analisis: seberapa kuat elemen baris ke-i memiliki atau berkontribusi, mendominasi, mempengaruhi, memenuhi, atau menguntungkan terhadap kriteriaGdibandingkan dengan elemen kolom ke-j.

0t1

dimana :

G        = Kriteria sebagai dasar pembandingan
Fi, Fj = Elemen ke-i atau ke-j dari level satu di bawah level yangmemuatG(kriteria nilai perdagangan)
i, j      = 1, 2, …, n adalah indeks elemen yang terdapat pada level yang sama dan secara bersama-sama terkait dengan kriteria G
f ij      = Angka yang diberikan dengan membandingkan elemen ke-i dengan elemen ke-j sehubungan dengan sifat G, yang didasarkan dari aturan skala banding berpasangan padaTabel 1.

Pengisian matriks perbandingan berpasangan dengan angka, berupa nilai bandingnya, dilakukan untuk menggambarkan secara relatif pentingnya suatu elemen dibanding dengan elemen lainnya berkenaan dengan sifat tertentu dengan menggunakan skala banding yang terdapat pada Tabel 2. Pengisian matriks dengan menggunakan skala banding hanya dilakukan untuk bagian yang ada di sebelah kiri atas diagonal, sedang disebelah kanan bawah diagonal diisi nilai kebalikannya. Bila Fi lebih mendominasi sifat G dibandingkan dengan Fj , maka angka bulat 1 – 9 yang digunakan. Bila Fi kurang mendominasi sifat G dibandingkan dengan Fj , maka angka kebalikannya yang digunakan.

0t2

B. Lokasi Penelitian

0g1

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Lombok Timur, Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat (Gambar 1).Kedua lokasi ini dipilih, karena terdapat kegiatan JIFPRO (Japan International Forestry Promotion and Cooperation Centre Small Scale) yang akan diajukan sebagai Proyek MPB Skala kecil (Small Scale CDM), dengan JIFPRO sebagai investor awal, yang sangat baik danmewakili sebagai objek dan lokasi proses pelaksanaanMPB.

III. HASILDANPEMBAHASAN

A. Proses Perolehan Sertifikat Penurunan Emisi/CERs

1. SuratRekomendasi dari DepartemenKehutanan

Departemen Kehutanan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 2004 yang secara spesifik mengatur pelaksanaan proyek MPB A/R di Indonesia. Isi utama dari peraturan pemerintah tersebut adalah: i). definisi hutan, aforestasi dan reforestasi dalam
kerangka proyek MPB, ii). identifikasi pihak-pihak yang berkompeten menjadi pengembang proyek MPBA/R, iii). memvalidasi prosedur bagi pemerintah kabupaten dalam menentukan lahan yang layak untuk kegiatan proyek MPB, dan iv). prosedur yang harus ditempuh untuk memperoleh ijin dan surat rekomendasi dari Departemen Kehutanan yang menyatakan bahwa proyek MPB A/R yang diajukan memberikan manfaat bagi pembangunan hutan berkelanjutan. Surat dari Departemen Kehutanan harus dilampirkan pada setiap desain
rancangan proyek (DRP)MPBA/R.

2. Surat Persetujuan atas Usulan Proyek MPB

Pemerintah Indonesia membentuk Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (KomNas MPB) sebagai DNA nasional pada tanggal 22 Agustus 2005 yang secara resmi dibuka pada bulan September 2005. KomNas MPB ini bertanggung jawab terhadap semua hal yang berkaitan dengan MPB di Indonesia, Komisi Nasional (KomNas) sebagai lembaga otoritas nasional (designated national authority , DNA) yang mempunyai tugas memberikan persetujuan atas Usulan Proyek MPB, termasuk kolaborasi antar organisasi. KomNas MPB terdiri dari National Executive Board (NEB) yang beranggotakan seluruh sektor yang relevan di tingkat nasional, yaitu Kementrian Lingkungan Hidup, Departemen Energi dan Mineral, Departemen Kehutanan, Departemen Industri, Departemen Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri, Departemen Perhubungan, Departemen Pertanian dan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional.

Dalam menjalankan fungsinyaKomNasMPBdibantu oleh: i) tim teknis tetap (TTT) dan tidak tetap (TTTT), dan ii) sekretariat. Tim teknis mempunyai tugas melakukan evaluasi teknis setiap Usulan Proyek dalam kerangka pemenuhan kriteria indikator pembangunan berkelanjutan, serta menyampaikan hasil evaluasi dan rekomendasi teknis kepada Komnas MPBmelalui sekretariat. SekretariatMPBberkedudukan diKementerian Negara Lingkungan Hidup di bawah Deputi yang membidangi masalah perubahan iklim. Peranan dari setiap komponen dalamKomnas ini dapat dilihat pada Tabel 3. TTT terdiri dari perwakilan seluruh sektor danLSM.

0t3

3.  Sertfikat Penurunan Emisi (Certified EmissionReductions)

Lembaga internasional yang terlibat dalam pelaksanaan MPB kehutanan adalah CDM Executif Board (Badan Eksekutif MPB) yang mengeluarkan CER dan Entitas Operasional (EO) yang sudah diakreditasi oleh Badan Eksekutif MPB yang melakukan validasi dan verifikasi kebenaran kegiatanMPB.

Secara umum kelembagaan untuk memperoleh SPE/CERs dapat dilihat pada Gambar 2. Sedangkan penjelasan setiap tahap untuk memperoleh SPE/CERs diuraikan pada Lampiran 2.

0g2

Gambar 2. Proses Perolehan SPE Karbon dan Kelembagaan MPB di Indonesia

Seperti digambarkan pada Lampiran 2, tahapan untuk memperoleh SPE/CERs, masing-masing adalah :

1. Pembuatan Dokumen Rancangan Proyek (DRP)

Syarat keharusan untuk pembuatanDRPyaitu:

  1. areal memenuhi syarat kelayakan lahan untuk reforestasi, yaitu sejak tanggal 31 Desember 1989 bukan merupakan hutan7 ,
  2. surat keterangan kepemilikan lahan,
  3. surat keterangan lahan untuk MPB, yang membuktikan bahwa lahan tersebut bebas dari konflik serta mempunyai kepemilikan lahan yang jelas,
  4. peta lokasi dengan skala 1:10.000 serta batas lokasi untuk kegiatanMPB,
  5. informasi situasi dan kondisi lahan dan tata gunanya sejak 1989 sampai sekarang, hal ini didasarkan pada informasi yang akurat seperti peta dan berita acara, dan
  6. surat pernyataan dukungan masyarakat dan para pihak terkait dalam kegiatanMPB.

———–

7 Definisi hutan untuk MPB adalah luas lahan minimal 0.25 ha, penutupan kanopi minimal 30%dan tinggi pohon minimal pada saat masak tebang adalah 5 m.

———–

Perlunya persyaratan ini dikuatkan oleh pendapat dari responden penelitian di NTB, yang menyatakan bahwa kejelasan lahan akan sangat mempengaruhi kelangsungan kegiatan MPB. Disebutkan bahwa aspek kejelasan kepemilikan lahan dianggap mempunyai resiko tertinggi terhadap kegagalan proyek MPB di NTB, karena kejelasan status lahan berhubungan langsung dengan keberhasilan tanaman. Keadaan lahan di NTB yang tidak subur merupakan hambatan lain yang menyebabkan daya tumbuh tanaman sangat rendah sehingga untuk mencapai target proyek perlu dana tambahan dari MPB. Karena itu, surat keterangan kelayakan lahan dari Bupati/Camat dianggap paling penting, sehingga resiko kegagalan akibat adanya klaim lahan atau kebocoran dapat diminimalisasi.

Pembuatan DRP dimulai dengan menyusun usulan proyek yang dapat digunakan sebagai dasar penawaran kegiatan kepada investor yang tertarik dan mengurus ijin usaha pengelolaan jasa lingkungan (IUPJL) apabila kegiatan akan dilaksanakan pada lahan kawasan. IUPJL ini dikeluarkan oleh daerah sesuai dengan arahan kriteria dan indikator pengelolaan jasa lingkungan dari Departemen Kehutanan. Sebelum ketentuan kriteria dan indikator dari pusat ini ada, daerah diberi keleluasaan untuk menetapkan persyaratan ijin pengelolaan jasa lingkungan.

2. Persetujuan DRP

Apabila proses dan persyaratan di tingkat lokal selesai, Usulan Proyek dengan semua kelengkapannya diserahkan ke DepartemenKehutanan untuk memperoleh SuratKeterangan dari Menteri Kehutanan bahwa usulan kegiatan MPB yang diajukan akan memberikan kontribusi terhadap pembangunan kehutanan yang berkelanjutan. Setelah Surat Keterangan ini diperoleh, pengusul dapat menyerahkan DRP ke KomNas MPB, untuk memperoleh persetujuan DRP. DRP tersebut minimal memuat: (i) uraian umum tentang kegiatan proyek, (ii) baseline dan  additionality, (iii) rencana monitoring dan penghitungan pengurangan emisi, (iv) dampak proyek terhadap lingkungan, sosial dan ekonomi, dan (v) komentar dari lembaga-lembaga terkait.

3. Validasi DRP

Validasi dilakukan terhadap DRP yang telah disetujui oleh KomNas MPB. Validasi dilakukan oleh Lembaga operasional yang telah diakreditasi oleh Badan Pelaksana MPB. Kegiatan validasi ini apabila dilakukan oleh lembaga Entitas Operasional internasional akan memerlukan biaya tinggi dan waktu yang relatif lama, oleh karena itu ketersediaan dana untuk membayar lembaga operasionalmutlak diperlukan.

4. Pendaftaran

Pendaftaran dilakukan oleh lembaga operasional kepada badan pelaksana MPB, berdasarkan hasil validasi di lapangan.

5. Pelaksanaan/Monitoring

Setelah terdaftar di Badan Pelaksana MPB, kegiatan MPB dapat dilaksanakan. Penggunaan dana dilakukan sesuai dengan kesepakatan dalam DRP. Monitoring kegiatan dilakukan sesuai dengan rencana dalam DRP. Hasil monitoring disampaikan kepada lembaga operasional untuk dilakukan verifikasi.

6. Verifikasi dan Sertifikasi

Verifikasi dilakukan berdasarkan laporan kegiatan monitoring. Beberapa hal yang akan diverifikasi adalah additionality dari aspek serapan karbon, dampak sosial, dan dampak ekonomi. Hasil verifikasi yang telah sesuai dengan kegiatan monitoring diserahkan kepada badan pelaksanaMPBuntuk diterbitkan sertifikat penurunan emisi.

7. Penerbitan Sertifikat Penurunan Emisi

Sertifikat penurunan emisi dikeluarkan oleh Badan Pelaksana MPB. Sertifikat ini menjadi jaminan bahwa kegiatan MPB dengan jumlah serapan karbon tertentu layak untuk dijual ke pasar atau ditawarkan ke Negara Annex 1, dan pengembang mendapat insentif dari karbon yang dihasilkan.

B. Biaya danWaktu

Aspek yang perlu dipertimbangkan untuk efisiensi pelaksanaan MPB A/R adalah biaya dan waktu. Berdasarkan hasil wawancara di NTB dan Jawa Barat, responden menganggap bahwa masalah biaya lebih penting dibandingkan dengan waktu. Artinya biaya yang lebih murah walaupun dengan waktu yang relatif cukup lama lebih diterima dibandingkan dengan biaya tinggi akan tetapi waktu pengurusan cepat. Karena itu biaya transaksi yang tinggi dapat menjadi salah satu penghambat dilaksanakannyaMPBKehutanan.

0g3

Gambar 3. Bobot Kepentingan antara Biaya dan Waktu

Bobot kepentingan aspek biaya di NTB dan Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 3. Aspek biaya yang perlu dipertimbangkan untuk efisiensi pelaksanaan MPB, yaitu biaya pembuatan Usulan Proyek dan Dokumen Rancangan Proyek termasuk persyaratan- persyaratannya (seperti biaya pengurusan surat kelayakan lahan MPB dari Bupati/Camat, peta), SuratKeterangan MenteriKehutanan, penyerahan DRP keKomnas MPB, Persetujuan Komnas MPB, Verifikasi, Pelaksanaan, Monitoring, Validasi, Sertifikasi, serta Biaya lainnya (seperti: BiayaKonsultan).

Hasil diskusi di beberapa instansi di NTB, menyimpulkan bahwa agar implementasi MPB berjalan efisien maka biaya sertifikasi, biaya konsultasi dan sosialisasi perlu mendapat perhatian utama. Kegiatan MPB dianggap sebagai hal baru dan belum ada contoh proyek di Indonesia yang sudah mendapatkan SPE, sehingga sosialisasi dianggap sangat penting untuk lebih sering dilakukan. Begitu juga dengan adanya keterbatasan pengetahuan mengenai MPB, maka apabila akan melaksanakan proyek MPBA/R.

Hal ini menguatkan perlunya dibentuk Forum MPB daerah atau komisi MPB daerah yang berfungsi untuk koordinasi, fasilitasi dan sinkronisasi kegiatan MPB. Forum MPB daerah ini diharapkan juga dapat mengurangi biaya pembuatan surat keterangan yang diperkirakan cukup besar bagi beberapa nara sumber.

Hasil skoring yang dilakukan oleh responden di Jawa Barat, khususnya untuk aspek biaya menunjukan biaya untuk sertifikasi termasuk biaya untuk memperoleh persetujuan KomNas MPB merupakan kegiatan yang paling penting. Dengan adanya persetujuan dari KomNas MPB berarti seluruh informasi yang terdapat di dalam DRP adalah benar dan sudah terbukti yang juga berarti sudah disetujui oleh Pemerintah Indonesia. Pelaksanaan/monitoring, validasi dan biaya konsultan memiliki peringkat yang sama. Dari segi biaya ketiga indikator tersebut dinilai memiliki prioritas yang sama. Karena MPB merupakan hal yang baru maka pelaksanaan/monitoring harus didukung oleh kegiatan pelatihan (terakomodir dalam indikator biaya konsultan dan lainnya).

Melihat kondisi birokrasi yang ada sekarang ini dikhawatirkan untuk memperoleh persyaratan-persyaratan DRP seperti surat keterangan lahan, surat keterangan menteri kehutanan, IUPJL dan lainnya akan membutuhkan biaya yang tinggi sehingga dari segi biaya, perlengkapan persyaratan tersebut menduduki 2 peringkat terakhir.

0g4

Gambar 4. Bobot Kepentingan Aspek Biaya dalam Kegiatan MPB A/R

Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan MPB A/R akan mempengaruhi tingkat daya saing harga CO di pasar emisi serapan karbon. Karena itu untuk meningkatkan daya saing suatu hutan tanaman, perlu dilihat sistem reforestasi/hutan tanaman apa yang paling sesuai untuk lokasi tertentu (Ginoga, dkk., 2005). Sementara itu Cacho, Marshall dan Milne (2003, 2005) memberikan tipologi biaya transaksi yang terdiri dari lima kategori, dibedakan antara biaya yang dikeluarkan oleh pembeli dan penjual, yang dilakukan sebelum pelaksanaan kegiatan dan sesudah pelaksanaan kegiatan seperti terlihat padaTabel 3.

0t3

Estimasi Biaya Transaksi pada Proyek JIFPRO: Perkiraan Awal

Biaya transaksi meliputi biaya-biaya yang dikeluarkan baik sebelum proyek dimulai maupun setelah proyek berjalan. Perkiraan biaya transaksi sebelum proyek (ex-ante ) dan setelah pelaksanaan proyek (ex-post) dapat dilihat pada Tabel 4. Perkiraan biaya ini didasarkan padawawancara dengan responden penelitian. diNTBdan Cianjur.

Perkiraan total biaya transaksi di NTB sebagaimana terlihat pada Tabel 4 adalah antara Rp 909,920,000. Dalam hal ini biaya sertifikasi termasuk verifikasi dan validasi didekati dari biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh sertifikat ekolabel oleh Lembaga Ekolabel Indonesia, dengan mengggunakan akreditor nasional (Prasetyo, 2005).

Apabila nilai pengajuan proyek MPB seluas 150 ha adalah Rp 2.323.200.000 atau setara dengan 29,040,00 Yen (dengan nilai tukar 1Yen = Rp 80) maka biaya transaksi ini adalah sekitar 39.2 persen dari total biaya keseluruhan. Biaya ini masuk ke dalam kisaran nilai hasil penelitian Cacho and Milne (2003) yang memperkirakan besarnya biaya transaksi antara 6 sampai 46% dari total biaya, dan berarti sangat tinggi.

Untuk Cianjur, karena luasannya sangat kecil maka biaya transaksi yang sebesar Rp 484,7 juta. Ini sangat tinggi apabila menggunakan biaya sertifikat ekolabel untuk penerbitan sertifikat, validasi dan verifikasi. Yang berarti biaya transaksi ini jauh diatas biaya proyek, atau lebih dari 300 persen dari biaya proyek. Apabila tanpa menggunakan biaya sertifikat ekolabel, biaya transaksi ini adalah sebesar Rp 84,7 juta. Nilai ini adalah sebesar 59.7 persen dari nilai total proyek.

Besarnya biaya transaksi adalah per unit proyek. Karena itu proyek skala sangat kecil seperti di Cianjur, perhitungan biaya transaksi harus dilakukan secara berkelompok (bundle ) agar biaya transaksi lebih ringan, disamping juga adanya keringanan biaya untuk kegiatan seperti monitoring dan penyusunan Amdal, sehingga biaya dapat lebihmurah.

0t4

Dari Tabel 4 terlihat, bahwa proporsi biaya terbesar untuk NTB dan Jawa Barat adalah biaya sertifikasi termasuk verifikasi dan validasi, masing-masing sebesar 43.96% dan 82.52%, disusul oleh biaya Amdal untuk NTB sebesar 21.98%, dan biaya pemilihan lokasi untuk Jawa Barat.sebesar 7,94%. Hal ini konsisten dengan hasil skoring dari responden di NTB yang menyatakan biaya konsultasi untuk perolehan sertifikat adalah yang tertinggi. Sedangkan berdasarkan pembuatan perkiraan biaya, biaya untuk pelaksanaan kegiatan adalah yang terbesar yaitu 61.4 dan 56.5% masing-masing untukNTBdan Cianjur.

Perkiraan biaya untuk pelaksanaan kegiatan JIFPRO di NTB dan Cianjur dapat dilihat padaTabel 5.

0t5

Untuk proyek JIFPRO di NTB dari total biaya yang diperlukan proporsi sumber dana yang berasal dari JIFPRO sebesar 78,34 %, Dinas Kehutanan Propinsi sebesar 13,26 % and Dinas Kehutanan Kabupaten Lombok Timur sebesar 8.4%. Sedangkan untuk proyek JIFPROyang berada di Cianjur keseluruhan dana berasal dari JIFPRO.

Hasil skoring di NTB maupun Jawa Barat, apabila dilihat dari aspek waktu maka pelaksanaan proyek merupakan kegiatan yang paling penting. Kegiatan pelaksanaan merupakan esensi dari proyek MPB dan harus sesuai dengan yang dijadwalkan karena berkaitan dengan perjanjian/kontrak yang telah disepakati antara pihak pengembang dengan pembeli. Peringkat indikator-indikator selanjutnya berbeda untuk NTB dan Jawa Barat. Di NTB peringkat kedua diduduki oleh pembuatan Usulan Proyek, selanjutnya monitoring, penyerahan DRP dan dua kegiatan yang menduduki peringkat terakhir yaitu verifikasi serta validasi. Untuk Jawa Barat, monitoring merupakan kegiatan yang mengikuti pelaksanaan. Satu tahap kegiatan pelaksanaan sebaiknya langsung dilakukan monitoring sehingga dapat diketahui ketepatan/keberhasilannya. Sebagai contoh setelah kegiatan penanaman selesai maka dilakukan monitoring untuk mengetahui keberhasilan tumbuhnya sehingga dapat ditentukan apakah diperlukan kegiatan penyulaman atau tidak.

Penyerahan dan pembuatan DRP menempati peringkat tiga dan empat. Dua kegiatan ini diharapkan tepat waktu agar kegiatan selanjutnya yang memerlukan Desain RancanganProyek (DRP) yaitu verifikasi dan validasi tidak terhambat.

0g5

Gambar 5. Bobot Kepentingan Beberapa Aspek Waktu dalam Kegiatan MPB A/R

IV. KESIMPULANDANSARAN

A. Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek yang perlu dipertimbangkan untuk efisiensi pelaksanaan MPB adalah biaya dan waktu. Berdasarkan hasil wawancara di NTB dan Jawa Barat, responden menganggap bahwa masalah biaya lebih penting dibandingkan dengan waktu. Karena itu biaya transaksi yang tinggi dapat menjadi salah satu penghambat dilaksanakannya MPB Kehutanan, terutama biaya sertifikasi termasuk validasi dan verifikasi. Berdasarkan perkiraan biaya operasional di NTB menunjukkan bahwa biaya transaksi adalah sebesar 39,2%. Untuk Jawa Barat perkiraan biaya transaksi tanpa biaya sertifikasi, verifikasi dan validasi adalah 59,7%.

Aspek biaya untuk sertifikasi dan konsultasi perlu mendapat perhatian. Kegiatan MPB dianggap sebagai hal yang masih baru dan belum ada contoh proyek yang sudah dilakukan, sehingga proses dan mekanisme perolehan sertifikat dan konsultasi dianggap sangat penting. Oleh karena itu perlu dibentuk Forum MPB atau komisi daerah yang berfungsi untuk koordinasi, fasilitasi dan sinkronisasi kegiatan MPB. Forum MPB/ Komisi daerah MPB ini diharapkan dapat mengurangi biaya pengurusan persyaratan-persyaratan yang diperkirakan cukup besar.

Apabila dilihat dari aspek waktu maka pelaksanaan proyek merupakan kegiatan yang paling penting, dilanjutkan dengan monitoring untuk menjamin bahwa tanaman tetap terjaga. Secaraumumbiaya danwaktu sangat bergantung pada :

a) kelembagaan lokal dan kapasitas pengembang (kelayakan, permodalan), konsultan, investor, bupati,walikota, camat, LSM, peluang untuk koordinasi antara instansi tersebut, dan resiko, terutama resiko lahan dan sosial.
b) kelembagaan nasional seperti KomNas MPB (Prosedur dan biaya), Departemen Kehutanan,
c) kelembagaan internasional seperti Entitas Operasional, dan Badan Eksekutif (Executive Board).

B. Saran


Kajian ini menyarankan beberapa langkah yang diperlukan antara lain : (i) perlu dibentuk forum MPB/Komisi daerah MPB yang diharapkan dapat mengurangi biaya konsultasi MPB yang berfungsi untuk koordinasi, fasilitasi dan sinkronisasi kegiatan MPB, dan (ii) karena sangat besarnya biaya transaksi untuk perolehan CERs/SPE, untuk MPB skala kecil, biaya sertifikasi perlu dikoordinir oleh komNasMPB.

DAFTARPUSTAKA
Ando, K. 2005. Manual for the Preparation and Implementation of AR-CDM Project Activities in Indonesia. Carbon Fixing Forest Management, Bogor. Indonesia.

CIFOR. 2005. Perangkat Hukum Proyek Karbon Hutan di Indonesia. Carbon Brief No.3 Januari. Center for International ForestryResearch. Bogor. Indonesia.

CIFOR. 2005. Penyusunan Dokumen Rancangan Proyek Aforestrasi/Reforestrasi Mekanisme Pembangunan Bersih. Carbon Brief No.1 Februari. Center for International ForestryResearch. Bogor. Indonesia.

Cacho, O., and R. Wise. 2005. Transaction and abatement costs of agroforestry projects for carbon sequestration.Apaper presented atSAFODICRAF, Malang.

Kementerian Lingkungan Hidup, 2003. Kajian Strategi Nasional Mengenai Mekanisme Pembangunan Bersih di SektorKehutanan. Jakarta.

Ginoga, K. L., Djaenudin, D., Sarsito, A. 2003. Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) Kehutanan: Suatu Pengertian Awal. Sekretariat CDM Departemen Kehutanan, Jakarta.

Ginoga, K., Lugina, M., Djaenudin, D., Parlinah, N. 2004. Kajian Kebijakan Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) Kehutanan di Indonesia. Jurnal Sosial Ekonomi Kehutanan.Vol.1, AgustusTh. 2004. Bogor. Indonesia.

Haeruman, H. 2005. Pembentukan Lembaga Keuangan Alternatif untuk Restorasi Hutan, Pengelolaan Hutan Lestari dan Pengentasan Kemiskinan yang Progreasif. Lokakarya Nasional Inovasi Pembiayaan untuk Menyelamatkan HutanTropika Indonesia.

Milne, M. 2001. Transaction Cost of Forest Carbon Projects. Working Paper , ACIAR ProjectASEM1999/093.

Mulyana, Y. 2005. Sistem Keproyekan APBN Kurang Cocok dengan Kultur Reboisasi. Lokakarya Nasional Inovasi Pembiayaan Untuk Menyelamatkan Hutan tropika Indonesia.

Murdiyarso, D. 2003. CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

North DC. 1990. Institutions, Instutional Change and Economic Performance. Cambrige University Press, Cambrige.

Ostrom, E. 1985. Formulating the elements of institutional analysis. Paper presented to conference on Institutional Analysis and Development. Washington D.C. May 21-22, 1985.

Panjiwibowo, C. Soejachmoen M. H., Tanujaya, O. dan Wisnu Rusmatoro. 2003. Mencari  Pohon Uang:CDMKehutanan di Indonesia. Pelangi. Jakarta.

Pasific Consultants. 2004. Project Cycle in Sink CDM. Presentasi pada JIFPRO Seminar on the SinkCDM,Februari 24-6.Tokyo.

Prasetyo, F.A. 2005. Sertifikasi Hutan di Indonesia dan Tantangan ke Depan. Dalam Sertifikasi di Simpang Jalan.CV.QalamYogyakarta.

Ruttan VW and Hayami, Y. 1984. Toward a theory of induced institutional innovation. Journal of Development Studies.Vol. 20:203-33.

Saaty, T.L. 1988. Decision Making for Leaders: The Analytical Hiearchy Process for Decision in a ComplexWord. University of Pittsburg. Pittsburgh.

Sekretariat CDM. 2003. Status Penelitian dan Kajian tentang CDM Kehutanan dan Proyek Karbon Berbasis Hutan Lainnya di Indonesia. Sekretariat CDM Departemen Kehutanan, Jakarta.

Sub Direktorat Pemanfaatan Energi Direktorat Energi Baru Terbarukan Dan Konservasi Energi. Direktorat Jenderal Listrik Dan Pemanfaatan Energi. 2002. Perspektif Clean Development Mechanism pada Proyek Energi Terbarukan dan Efisiensi Energi. http://www.djlpe.esdm.go.id/Link%20Kiri/Dle/CDM.pdf

Sekretariat CDM. 2003. Status Penelitian dan Kajian tentang CDM Kehutanan dan Proyek Karbon berbasis hutan lainnya di Indonesia. Departemen Kehutanan. Jakarta. Indonesia.

Yamada, K. dan Fujimori, M. 2003. Technical Procedures for CDM Project Design. Mitigation and Adaption Strategies for Global Change, 8:221-235.

1 Comment »

  1. Dear Ibu Lin Ginoga dan Ibu Mega,

    terima kasih atas tulisan ini.
    Saya memperoleh pemahaman yang lebih baik lagi tentang aplikasi A/R CDM.
    Mengingat saya baru memasuki ranah bidang ini (carbon kehutanan: A/R CDM dan REDD)
    Membaca tulisan Ibu seperti guideline yang membantu saya menemukan arah
    (walau mungkin telat ya Bu, baru ketemu tulisan Ibu sekarang, pasca 3 tahun dari waktu penulisan.. 🙂

    Saya harap ke depan saya boleh berdiskusi lebih banyak terkait hal ini dengan Ibu..
    (kalau tidak berkesampatan jumpa langsung, via email boleh ya Bu??)

    Terimakasih sekali lagi,
    Salam hormat

    Mita
    (sekarang sedang berjuang di KIPCCF-KOICA)

    Comment by Mita Ramayati — August 19, 2010 @ 9:06 am


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.