Kelembagaan DAS

C. Yudilastiantoro dan Iwanuddin

KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS DALAM KONTEKS DESENTRALISASI DI DAS SADDANG DAN BILAWALANAE, SULAWESI SELATAN

Watershed management Institution On Decentralization contests In Saddang and Bilawalanae Watershed, South Sulawesi

OLEH : C. Yudilastiantoro, Iwanuddin

ABSTRACT

Government regulation No.32/2004 and regulation No. 25/2000 gives authority of natural resources management (including natural resources in watershed area) to local goverment, both at the province and district level. As consequence this sectoral appeared egoistic . Because of that it is necessary to establish the stable watershed management institution in decentralization by doing an identification of main job and function. Furthermore analyzing and studying of watershed management institution by investigating deficiency and superiority of watershed management institution were. Location of the research is at Saddang and Bilawalanae watershed in South Sulawesi.This watershed were chosen because of several reasons such as the result; reveals that all stakeholder involved with watershed management in residence level, agreed with a development effort of watershed management institution in province level as a coordinator watershed management across the residence for the watershed. Bilawalanae That consist of several residence. Saddang watershed ; all the interrelated institution at residence level, agreed that BPDAS Saddang as coordinator Saddang watershed management (as leading sector). It is necessary for minister or government decree to support the main job and function of watershed management institution at province level as coordinator watershed management across as well as watershed management across residence

Key word: Decentralization, institution, Watershed,stakeholders

ABSTRAK

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 memberikan kewenangan pengelolaan sumber daya alam (termasuk sumber daya alam di wilayah DAS) kepada daerah, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Akibatnya muncul ego sektoral dari masing-masing daerah dalam pengelolaan sumber daya alamnya yang menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian sumber daya alam, khususnya sumber daya hutan. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya guna menentukan suatu kelembagaan pengelolaan Daerah Aliran Sungai yang mantap dalam rangka desentralisasi dengan cara melakukan identifikasi tugas pokok dan fungsinya. Data dan informasi selanjutnya dianalisis dan ditelaah untuk dapat menyusun suatu pemantapan kelembagaan pengelolaan DAS dengan mengkaji kekurangan dan kelebihan dari kelembagaan pengelolaan DAS yang sudah ada. Lokasi penelitian di DAS Saddang dan DAS Bilawalanae di Propinsi Sulawesi Selatan.

Hasil kajian menunjukan : seluruh instansi/lembaga yang terkait dengan pengelolaan DAS di tingkat Kabupaten, setuju dengan upaya pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS Tingkat Propinsi sebagai koordinator pengelolaan DAS Lintas Kabupaten/Kota untuk DAS Bilawalanae yang terdiri dari beberapa kabupaten.Untuk DAS Saddang; semua instansi terkait di tingkat kabupaten, setuju bila Balai Pengelolaan DAS Saddang ditunjuk sebagai Koordinator Pengelolaan DAS Saddang ( sebagai leading sector DAS Saddang). Diperlukan SK Menteri atau Gubernur, untuk mendukung tugas pokok dan fungsi suatu Badan Pengelolaan DAS Tingkat Propinsi sebagai koordinator pengelolaan DAS lintas kabupaten. Diperlukan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Lintas Kabupaten.

Kata Kunci : Desentralisasi, Kelembagaan, Daerah Aliran Sungai, Para pihak

I. PENDAHULUAN

Kebijakan Otonomi Daerah pada era Reformasi saat ini yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah masih memerlukan penyempurnaan dalam pelaksanaannya. Hal ini terlihat dengan adanya ketidakselarasan dan ketidaksinkronan antara kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Akibatnya terjadi tumpang tindih kebijakan beserta peraturan yang ada dalam bidang kewenangan pemerintahan, salah satunya adalah di bidang pengelolaan sumber daya alam khususnya sumber daya hutan yang diwujudkan dalam Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan beserta peraturan pelaksanaan di bawahnya. Di lain pihak dengan adanya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Propinsi sebagai Daerah Otonom, maka dalam pengelolaan hutan pun terbagi-bagi dalam kewenangan

Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota. Konsekuensi dari kebijakan tersebut adalah pengelolaan sumber daya hutan yang dahulunya berdasarkan administrasi kehutanan dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai dasar dalam pengelolaan hutan, bergeser berdasarkan administrasi pemerintahan sehingga antara satu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lainnya dalam satu propinsi pengelolaan hutannya terpisah-pisah dan masingmasing kabupaten/kota memiliki kebijakan pengelolaan hutan tersendiri, dan koordinasi dengan pihak Pemerintah Propinsi cenderung diabaikan, apalagi dengan Pemerintah Pusat. Kenyataan ini dipicu dengan meningkatnya tuntutan daerah untuk ikut mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam di wilayahnya secara proporsional.

Dampak negatif dari pengelolaan hutan pada era otonomi daerah pada saat ini adalah laju kerusakan hutan cenderung meningkat, di mana masing-masing kabupaten/kota memacu daerahnya untuk dapat memenuhi dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya dengan menggali (eksploitasi) sumber daya alam (hutan) yang ada di wilayahnya. Aspek kelestarian cenderung kurang diperhatikan. Sementara itu pengelolaan hutan dalam wilayah DAS bisa meliputi satu kabupaten/kota atau lebih, bahkan wilayah DAS bisa meliputi lebih dari satu propinsi, sehingga dalam pengelolaan DAS memerlukan koordinasi yang terpadu dari berbagai pihak (multi sektor), karena di dalam wilayah DAS itu sendiri bisa terdiri dari kawasan hutan, kawasan lindung, kawasan budi daya/pertanian dan perkebunan, kawasan perairan, kawasan pemukiman dan kawasan lainnya.

Suatu model kelembagaan pengelolaan DAS dalam rangka desentralisasi yang mantap nantinya akan tersusun dengan suatu konsep atau alternatif struktur organisasi (kelembagaan) pengelolaan DAS dengan disertai upaya-upaya pembagian/pembatasan kewenangan dan tanggung jawab dalam pengelolaan DAS terpadu. Dalam penguatan desentralisasi kehutanan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, beberapa kewenangan di bidang kehutanan diserahkan kepada pemerintah propinsi/kabupaten/kota di daerah yang ditandai dengan meningkatnya kesadaran daerah untuk meningkatkan perannya dalam menentukan kebijakan manajemen pembangunan, khususnya di bidang kehutanan tanpa mengabaikan aspek kelestarian kawasan hutan dan DAS pada umumnya.

Maka diharapkan adanya suatu upaya penyusunan Kelembagaan Pengelolaan DAS yang mantap dalam rangka desentralisasi dengan menunjuk Kelembagaan Pengelolaan DAS yang bisa diterima oleh semua pihak (stake holders).

Tujuannya adalah terwujudnya kelembagaan pengelolaan DAS yang mantap dalam rangka desentralisasi . sedngkan tujuan sebelumnya adalah :

  1. Tersedianya alternatif kelembagaan (organisasi, pembagian/ pembatasan kewenangan dan tanggung jawab) dalam pengelolaan terpadu DAS dalam upaya meningkatkan efektivitas, efisiensi, koordinasi dan mekanisme pelaksanaan pengelolaan DAS
  2. Menganalisis efektivitas kelembagaan pengelolaan DAS dalam rangka desentralisasi

II. METODE PENELITIAN

a. Waktu dan Lokasi Kegiatan

Kegiatan penelitian dilaksanakan mulai dari bulan Januari 2003 sampai dengan bulan Desember 2003, lokasi penelitian adalah di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Saddang dan DAS Billawalanae di Propinsi Sulawesi Selatan, dengan pertimbangan kondisi kedua DAS tersebut dapat mewakili karakteristik (fisik dan administratif) di Sulawesi Selatan serta berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.284/Kpts-II/1999, tentang Penetapan Urutan Prioritas Daerah Aliran Sungai, kedua DAS tersebut di atas masuk dalam klasifikasi DAS Prioritas.

b. Penentuan Sampel dan Pengumpulan Data

Penentuan Sampel, di lakukan secara purposive sampling pada kabupaten/kota yang mencakup wilayah hulu, tengah dan hilir DAS. Penentuan Responden / Stake holders. dengan cara melakukan identifikasi beberapa pihak yang langsung maupun tidak langsung yang mempunyai kepentingan atau peranan terh adap pengelolaan DAS (stake holders), baik di kalangan pemerintah maupun masyarakat pada umumnya yang peduli terhadap pengelolan DAS Bilawalanae dan DAS Saddang.

c. Macam dan Analisis Data

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait dalam pengelolaan DAS dari tingkat pusat sampai daerah serta instansi yang relevan.

Pengumpulan data dilakukan dengan metoda studi pustaka / referensi dari perpustakaan atau internet, wawancara dengan stake holders, pencatatan informasi di berbagai instansi yang relevan serta survei dan pengamatan langsung di lapangan .

Analisis data dilakukan menggunakan metoda analisis kualitatif dan kuantitatif, dalam bentuk tabulasi data kemudian dianalisis. Sedangkan untuk hasil identifikasi dan inventarisasi dilakukan analisis dengan metode SWOT. Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi institusi / kelembagaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats).

Analisis SWOT, membandingkan antara faktor eksternal Peluang (Opportunities) dan Ancaman (Threats) dengan faktor internal Kekuatan (Strengths) dan Kelemahan (Weaknesses), Analisis SWOT dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi institusi / kelembagaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya, dengan suatu matriks SWOT. Matrik ini dapat menghasilkan 4 (empat) set kemungkinan alternatif strategis, yaitu :

  1. Strategi SO : strategi ini dibuat berdasarkan jalan pikiran institusi / kelembagaan, yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya.
  2. Strategi ST : strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki institusi / kelembagaan untuk mengatasi ancaman.
  3. Strategi WO : strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada.
  4. Strategi WT : strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Secara Umum kegiatan pengelolaan BPDAS Saddang dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Kehutanan pusat di daerah, dalam hal ini BPDAS Saddang yang berkedudukan di Kabupaten Tana Toraja, sedangkan DAS Bila-Walanae oleh BPDAS Jeneberang-Walanae.yang di Makassar. Dalam kenyataannya kegiatan pengelolaan tersebut hanya mencakup, perencanaan, pengorganisasian serta monitoring dan evaluasi. Sedangkan pelaksanaan operasional sepenuhnya dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Hal ini sesuai dengan kebijakan Penguatan Desentralisasi Kehutanan yang tertuang dalam SK Menhut No. 665/kpts-II/2002 tentang Organisasi dan Tata kerja BPDAS. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, beberapa kewenangan di bidang kehutanan diserahkan kepada pemerintah propinsi/kabupaten/kota di daerah, ditandai dengan meningkatnya kesadaran daerah untuk meningkatkan perannya dalam menentukan kebijaksanaan manajemen pembangunan, khususnya di bidang kehutanan tanpa mengabaikan aspek kelestarian kawasan hutan dan Daerah Aliran Sungai pada umumnya.

Perhatian pemerintah daerah akan pengelolaan DAS dalam era desentralisasi cukup serius. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya instansi dalam Pemerintah daerah yang diberikan tanggung jawab secara bersama-sama untuk melakukan kajian tentang pengelolaan DAS, antara lain :

Bappeda (Badan Perencanaan Daerah) berperan dalam perencanaan pembangunan ekonomi, sosial budaya maupun fisik dan prasarana daerah, termasuk didalamnya perencanaan pengelolaan DAS,

Dinas Kehutanan dan Perkebunan bertugas dalam perlindungan, pelestarian dan pengelolaan sumberdaya alam hutan, sebagai daerah tangkapan Daerah Aliran Sungai

Dinas Kimpraswil Bidang sumber daya air ( PU Pengairan) berperan dalam pengelolaan badan sungai dan jaringannya, terutama untuk keperluan pengairan sawah.

Bapedalda (Badan Pengendali Dampak Lingkungan Daerah) Berperan dalam pengendalian dampak lingkungan, khususnya pencemaran air, tanah dan udara. Belum menyentuh dampak dari pengelolaan wilayah DAS. terutama erosi dan sedimentasi.

Pelaksanaan pengelolaan DAS tersebut tidak terpadu hal ini dikarenakan tumpang tindihnya tugas pokok dan fungsi masing-masing lembaga/instansi sebagai akibat dari ego sektoral lembaga tersebut. Pendekatan pengelolaan DAS berbeda-beda menurut kepentingan lembaga yang bersangkutan., kendala lain dalam pengelolaan DAS. adalah lemah dan tidak adanya koordinasi antar instansi. Hasil Identifikasi faktor-faktor internal maupun eksternal untuk menganalisis berbagai permasalahan dan peluang dalam upaya pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS dalam konteks desentralisasi adalah sebagai berikut :

A. Identifikasi Faktor-Faktor Internal

Dari hasil kajian yang dilakukan diperoleh kondisi internal dengan faktor-faktor kekuatan dan kelemahan, yang dimiliki oleh masing-masing lembaga /instansi yang berperan dalam pengelolaan DAS, sebagai berikut :

  1. Kekuatan (Strengths)
    • Kebijakan otonomi daerah – keterkaitan hulu – hilir
    • komitmen pemerintah dalam pengelolaan DAS
  2. Kelemahan (Weaknesses)
    • pengelolaan DAS belum terpadu
    • koordinasi antara pemerintah daerah masih rendah
    • keterbatasan anggaran
    • kelembagaan pengelolaan DAS belum mantap

B. Identifikasi Faktor-Faktor Eksternal

Dari hasil kajian diperoleh kondisi eksternal dengan faktor-faktor: peluang dan ancaman, yang dimiliki oleh masing-masing lembaga /instansi yang berperan dalam pengelolaan DAS. sebagai berikut :

  1. Peluang (Opportunities)
    • Paradigma pengelolaan DAS yang multi sektoral
    • stakeholder yang terlibat cukup banyak
    • sumberdaya manusia dan sumberdaya alam tersedia
  2. Ancaman (Threats)
    • ego sektoral lintas kabupaten
    • Degradasi lingkungan fisik

C. Analisis SWOT

0t1

Berdasarkan hasil identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal tersebut, dapat dikemukakan 4 strategi dalam upaya pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS dalam konteks desentralisasi. Dengan menggunakan analisis SWOT sebagai berikut :

1. STRATEGI SO

Strategi SO adalah strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang yang ada. Jika kedua faktor tersebut dikombinasikan maka akan menjadi pendukung bagi pengembangan kelembagaan dalam konteks desentralisasi dengan membuat perencanaan pengelolaan DAS lintas sektoral dan lintas kabupaten yang nantinya menjadi pola pengelolaan DAS antar kabupaten (lokal) untuk DAS Saddang maupun tingkat propinsi untuk DAS Bilawalanae.

2. STRATEGI ST

Strategi ST adalah strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman. Sebaiknya pemerintah pusat atau propinsi sebagai fasilitator dalam kelembagaan pengelolaan DAS dalam konteks desentralisasi, memanfaatkan faktor kekuatan yang dimiliki melalui kegiatan, sosialisasi dan sebagainya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat maupun pemerintah daerah terhadap pengelolaan DAS. sehingga dapat meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam kelembagaan pengelolaan DAS lintas wilayah. Klarifikasi dan kejelasan tugas pokok dan fungsi masing-masing lembaga terkait sangat diperlukan dalam pengaturan kewenangan pengelolaan DAS.

3. STRATEGI WO

Mengingat wilayah DAS yang tidak terbatas oleh wilayah administasi pemerintahan, maka dalam pengelolaannya akan melibatkan lembaga/instansi lintas sektoral dan lintas kabupaten. Oleh karena itu kelembagaan pengelolaan DAS dirasakan sangat perlu termasuk didalamnya mekanisme kerja dan koordinasi antar lembaga. Tugasnya sebagai koordinasi operasional, dapat berbentuk lembaga/instansi (Badan Koordinasi Pengelolaan DAS). Kordinator adalah instansi yang berwenang mengkoordinasikan penyelenggaraan urusan pengelolaan DAS, bukan sebagai pelaksana pengelolaan DAS. Pelaksanaan operasional dan pemeliharaan lingkungan dilaksanakan oleh instansi teknis terkait pada tiap pemerintah kabupaten.

4. STRATEGI WT

Strategi WT adalah strategi dengan meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman yang ada. Berdasarkan kedua faktor tersebut maka yang harus dilakukan oleh pemerintah Adalah menyusun peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan DAS, dalam bentuk peraturan pemerintah,Keppres, Kepmen, SK Gubernur, Perda dll. Diharapkan perangkat peraturan tersebut dapat dijadikan koridor dalam pengelolaan wilayah dengan DAS sebagai batasannya.

D. Alternatif Kelembagaan Pengelolaan DAS

Dalam Era Desentralisasi Mengingat wilayah DAS yang tidak terbatas oleh wilayah administasi pemerintahan, maka dalam pengelolaannya akan melibatkan lembaga/instansi lintas sektoral dan lintas wilayah. Oleh karena itu diperlukan matriks profil kompetitif untuk mengetahui lembaga yang sesuai dengan tugas operasionalnya.

Lembaga/institusi yang dianalaisis diberikan rating yang berbeda yang tergantung pada kondisi relatif dalam menangani pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Nilai rating dimulai dari 1 – 4 dengan kriteria, nilai terendah 1, jika lembaga tersebut kondisinya sangat lemah dibandingkan lembaga lain, dan nilai tertinggi 4 jika lembaga memilki kondisi paling kuat diantara diantara lembaga lainnya. Selanjutnya untuk masing-masing nilai rating dikalikan dengan nilai bobot dari variabel yang dipergunakan. Hasil analisis matriks profil kompetitif lembaga-lembaga pengelola DAS ditingkat kabupaten disajikan pada tabel 2.

0t2

Berdasarkan tabel tersebut , terlihat bahwa lembaga/intitusi yang dinalisis kondisinya, yang terbaik adalah BPDAS (Balai pengelolan Derah Aliran Sungai) dengan total skor sebesar 4,10. hal ini disebabkan karena yang menjadi pertimbangan penting dalam pengelolaan DAS adalah tugas pokok dan fungsi dari lembaga/intitusinya. Dengan bobot terbesar yaitu 0,40 lembaga yang memiliki tugas pokok dan fungsi pengelolaan DAS memiliki kompetisi yang dapat menduduki tempat tertinggi.

Alternatif bentuk lembaga pengelolaan DAS di DAS Bila-walanae dan DAS Saddang, adalah sebagai berikut :

0g1

Gambar 1. Bagan Kelembagaan Pengelolaan DAS Bila-WalanaE (Figure 1. Bila-Walanae Watershed Management Institution Chat)

0g2

Gambar 2. Bagan Kelembagaan Pengelolaan DAS Saddang (Figure 2. Bila-Walanae Watershed Management Institution Chat)

Dari bagan di atas dapat dijelaskan; sebagaimana tertuang dalam UU Otonomi Daerah No.22 tahun 1999, bahwa kewenangan Provinsi adalah kewenangan lintas kabupaten/kota. Oleh karena itu kewenangan pengelolaan DAS seharusnya berada ditingkat provinsi, mengingat wilayah dan permasalahan pengelolaan DAS adalah lintas wilayah administrasi pemerintahan. Keberadaan BPDAS sebagai unit pelaksana teknis Departemen kehutanan (Pemerintah Pusat) dipahami bahwa selain 5 kewenangan yang tidak/belum dilimpahkan kepada daerah otonomi, persoalan

Pengelola DAS Tk Kab/kota Pengelola DAS Tk Kab/kota Badan Pengelola DAS Tingkat Propinsi Pengelola DAS Tk Kab/kota Instansi terkait dalam pengelolaan DAS di tiap kabupaten antara lain : Dis Hutbun, Bappeda, Bapedalda, Kimpraswil (pengairan) saling koordinasi. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Saddang PemKab/Kota PemKab/Kota PemKab/Kota

Instansi terkait dalam pengelolaan DAS antara lain : Dis Hutbun, Bappeda, Bapedalda, Kimpraswil (pengairan) koordinatif rehabilitasi adalah juga termasuk didalamnya yang belum dilimpahkan, sehingga kewenangan ini masih menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Dalam pelaksanaannya, operasional pengelolaan DAS dilimpahkan kepada pemerintah daerah melalui instansi teknis terkait yang senantiasa berkoordinasi dengan pemerintah daerah lainnya, serta kepada pemerintah propinsi sebagai koordinator lintas kabupaten/kota. BPDAS sebagai UPT pusat Departemen Kehutanan, berperan dalam perencanaan dan evaluasi dengan tugas menyusun kriteria dan indikator pengelolaan DAS, pendanaan dan sebagainya. sedangkan Pemerintah propinsi bertugas menyusun pedoman yang terkait dengan pengurusan dan pengelolaan DAS.

E. REKOMENDASI

  • Secara umum seluruh wilayah kabupaten/kota maupun instansi/lembaga yang terkait dengan pengelolaan DAS di tingkat Kabupaten, setuju dengan upaya pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS Tingkat Propinsi sebagai koordinator pengelolaan DAS Lintas Kabupaten/Kota untuk DAS Bilawalanae. Untuk DAS Saddang; semua instansi terkait di tingkat kabupaten, setuju bila Balai Pengelolaan DAS Saddang ditunjuk sebagai Koordinator Pengelolaan DAS Saddang (sebagai leading sector DAS Saddang)
  • Diperlukan suatu Badan Pengelolaan DAS berdasarkan SK Menteri atau Gubernur, untuk mendukung tugas pokok dan fungsinya.sebagai koordinator pengelolaan DAS lintas kabupaten.
  • Karena terbatasnya dana dan peraturan jumlah instansi/lembaga yang ada pada tiap kabupaten, maka Badan Pengelolaan DAS sebaiknya berada dibawah Pemerintahan Pusat atau Menteri terkait.  Diperlukan Peraturan Pemerintah (PP) atau SK Gubernur tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Lintas Kabupaten. Diperlukan kesadaran, partisipasi dan kerja sama semua stakeholder dalam pengelolaan DAS.
  • Perlu dihidupkan kembali Sub Balai Pengelolaan DAS Billa-Walanae yang berdomisili di Soppeng, agar semua persoalan pengelolaan DAS Billa dan Walanae dapat ditangani secara cepat dan tepat sasaran.

Daftar Pustaka

Departemen Dalam Negeri R.I.1999. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999, tentang Otonomi Daerah Jakarta.

Departemen Dalam Negeri RI.2000. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25Tahun 2000, tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Jakarta.

Departemen Kehutanan R.I.1999. SK.Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 284/Kpts-II/1999, tentang Penetapan Urutan Prioritas Daerah Aliran Sungai. Jakarta.

Rangkuti,F.,2001.Analysis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis Untuk Menghadapi Abad 21. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Rangkuti, Freddy, 2000. Analisis SWOT tehnik membedah kasus Bisnis, PT. Gramedia Pustaka Utama . Jakarta.

Singarimbun,M.dan Efendi,S., 1989. Metode Penelitian Survey. Lembaga Penelitian,Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.Jakarta.

Sugiyono.1997. Metodologi Penelitian Administrasi. Alfabeta. Bandung.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.