Kelembagaan DAS

Bakhdal Kasim dan Darmawan Aji

PROBLEMATIK LEMBAGA PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DI PASAMAN, SUMATERA BARAT1)

Oleh : Bakhdal Kasim dan Darmawan Aji;  Peneliti pada Balai Litbang Kehutanan Sumatera, Aek Nauli

Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September 2006.  Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007

ABSTRAK

Salah satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam upaya pengelolaan hutan lindung adalah faktor kelembagaannya. Untuk itu, telah dilakukan kajian kelembagaan dalam upaya pengelolaan hutan lindung di Kecamatan Lubuk Sikaping, Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatera Barat. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui peran kelembagaan dalam upaya pengelolaan hutan lindung. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan penelaahan literatur. Hasil penelitian mendapatkan bahwa terdapat dua lembaga yang secara yuridis berperan dalam upaya pengelolaan hutan lindung yakni Lembaga Kenagarian dan Dinas Kehutanan Pasaman. Dalam pelaksanaannya, Lembaga Kenagarian masih mempunyai keterbatasan untuk melakukan pengamanan terhadap hutan lindung antara lain: payung hukum yang tidak konsisten, kurangnya dana, hambatan tradisi, serta tidak adanya tenaga pengamanan. Di pihak lain, Dinas Kehutanan Pasaman juga kurang memberikan perhatian terhadap pengelolaan hutan lindung sehingga peran pengamanan yang mestinya dilakukan secara rutin berubah menjadi bersifat insidentil. Kurangnya perhatian tersebut ditandai dengan tidak adanya tenaga polhut, dana pengamanan yang terbatas, dan minimnya produk kebijakan untuk hutan lindung. Faktor lain yang menyebabkan kurangnya perhatian tersebut adalah karena adanya persepsi bahwa hutan lindung tidak dapat diberdayakan sebagai sumber PAD dan di pihak lain harus mengeluarkan dana ekstra untuk mengamankannya. Oleh karena itu, untuk meningkatkan peran lembaga maka perlu peraturan yang konsisten, dukungan tenaga dan finansial, dukungan lembaga penegak hukum, dan membuat kolaborasi antara Lembaga Kenagarian dan Dinas Kehutanan Kabupaten.

Kata kunci : Hutan lindung, kelembagaan, Dinas Kehutanan Pasaman, nagari

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada umumnya interaksi masyarakat sekitar hutan di Indonesia dengan hutan sudah berlangsung lama bahkan berawal dari pertama kali mereka dilahirkan. Melalui proses adaptasi, masyarakat sekitar hutan mengembangkan pola pengelolaan hutan menurut kondisi sosial, ekonomi, budaya dan lingkungannya. Didik at al. (1998) menyatakan pola pengelolaan hutan yang diprakarsai dan dilakukan masyarakat tersebut dapat bertahan bahkan hingga ratusan tahun. Cara-cara pengelolaannya relatif menjamin keberadaan hutan dan sekaligus penting untuk mendukung dan mempertahankan kehidupan mereka. Setelah kemerdekaan, pengelolaan hutan di Indonesia dikelola sepenuh-nya oleh pemerintah atas nama negara. Perubahan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan pada partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan. Anonim (2004) melaporkan bahwa pada kawasan hutan lindung, partisipasi masyarakat cenderung rendah ditandai dengan berbagai gangguan seperti penebangan liar dan penyerobotan lahan. Sebaliknya, Murad (1996) mendapatkan bahwa pada hutan yang dikuasai rakyat relatif tetap dengan kecenderungan partisipasi yang tinggi. Perbedaan partisipasi masyarakat pada dua sistem hutan tersebut diduga berkaitan dengan peran kelembagaan pengelolanya. Akan tetapi informasi mengenai peran kelembagaan dalam pengelolaan hutan, khususnya hutan lindung, masih sangat terbatas. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian terhadap kelembagaan dalam pengelolaan hutan tersebut.

Pasaman merupakan salah satu kabupaten yang memiliki kawasan hutan lindung yang cukup luas di Sumatera Barat (Sumbar). Sejak zaman Belanda kawasan hutan lindung di Pasaman sudah dianggap penting untuk menjaga tata air, tanah, dan kelestarian flora dan fauna sehingga keberadaannya dapat dipertahankan. Namun, saat ini di Pasaman telah terjadi berbagai tekanan terhadap hutan lindung (Bakhdal et al., 2004) sehingga perlu perhatian lebih serius untuk menjaganya. Langkah awal yang paling penting dilakukan adalah dengan memperkuat peran kelembagaannya, baik dari lembaga formal maupun dari lembaga masyarakat sekitar hutan.

B. Tujuan

Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan profil dan peran kelembagaan dalam melakukan upaya pengelolaan hutan lindung di Pasaman, Provinsi Sumatera Barat. Uraian tulisan telaah ini bersifat studi kasus yang mengambil lokasi di kawasan hutan lindung Sumpur (luas 15.505 ha), Kecamatan Lubuk Sikaping, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat.

II. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari pengataman lapangan, diskusi, dan telaah literatur didapati bahwa terdapat dua lembaga yang secara yuridis berperan dalam upaya pengelolaan hutan lindung yakni Lembaga Kenagarian dan Dinas Kehutanan Pasaman.

A. Kelembagaan Nagari

Setelah lebih kurang 17 tahun pemerintahan sistem desa, semangat untuk bernagari kembali lagi dengan terbitnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintahan Provinsi Sumbar menerbitkan Peraturan Daerah No. 9 tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari untuk menindaklanjuti undang-undang tersebut. Selanjutnya dalam Surat Keputusan Bupati Pasaman No. 38 tahun 2001, dijelaskan struktur organisai kenagarian sekarang seperti terlihat pada Gambar 1.

0g1

Gambar 1. Stuktur Organisasi Pemerintah Nagari di Lubuk Sikaping, Pasaman

Berdasarkan pasal (4) SK Bupati Pasaman No. 38 tahun 2001 maka Wali Nagari berkedudukan sebagai eksekutif di tingkat nagari. Sebagai eksekutif, pada prinsipnya Wali Nagari bersama-sama BPAN mempunyai kewenangan mengatur rumah tangga nagari, termasuk dalam upaya mengelola hutan yang ada di nagarinya. Hal ini sesuai dengan Bab IV pasal (7) Perda Sumatera Barat tahun 2000 yang berisi tentang harta kekayaan, pendapatan, dan penerimaan nagari.

1. Kawasan Hutan Lindung dalam Wilayah Nagari

Bagi masyarakat Minangkabau, lahan menjadi tolok ukur martabat seseorang atau sekelompok orang dalam kehidupan bernagari. Warga yang mempunyai Lahan asal (pusako) lebih tinggi statusnya dari yang tidak punya. Keberadaan lahan ini pula yang kemudian mewujudkan istilah ulayat dalam masyarakat Minangkabau. Sesuai dengan pasal (7) butir (d) Perda Sumbar No. 9 tahun 2000 maka hutan termasuk harta kekayaan nagari. Demikian juga dalam ketentuan adat, hutan adalah tanah ulayat yang secara tradisional terbagi atas: 1) Tanah Ulayat Rajo; 2) Tanah Ulayat Nagari; dan 3) Tanah Ulayat Suku. Berdasarkan Perda dan pandangan tradisional seperti uraian di atas, maka jelas tersirat bahwa hutan yang ada di dalam wilayah nagari menjadi harta kekayaan nagari. Dengan demikian, hutan dalam wilayah nagari mempunyai dua status hukum yakni sebagai tanah ulayat di satu pihak dan tanah negara di pihak lain. Dalam perjalanan sejarah, kadangkala nagari mempunyai kekuatan untuk mengatur hutan yang ada dalam tanah ulayatnya, dan terkadang tidak sama sekali. Kini, meskipun negara masih mempunyai hak mengelola dalam tanah ulayat, tetapi peran nagari walau masih terbatas dalam tulisan (peraturan daerah) sudah mulai diakses kembali.

Karena mengandung dua status maka batas-batas kawasan hutan ulayat dengan kawasan hutan negara tidak jelas karena memang tumpang tidih. Tidak adanya batas yang jelas antara hutan lindung dan tanah ulayat menyebabkan masyarakat cenderung menganggap hutan lindung sebagai tanah adat. Di samping itu, bagi para ninik mamak, batas tanah ulayat ditandai dengan tanda alam berupa gunung/bukit atau sungai sehingga sulit mendapat-kan batas yang jelas. Hal ini memicu pergaduhan batas dengan pemerintah dan penghulu lain. Selain itu, batas kawasan hutan lindung yang ditentukan negara ternyata ada yang masuk dalam pemukiman. Dualisme status hutan dalam nagari telah menyebabkan munculnya sikap apatis dari pihak nagari untuk melakukan pengamanan terhadap kawasan hutan.

Selain itu jika kawasan hutan lindung mempunyai tambang dan sumberdaya alam lain yang potensial untuk dieksploitasi maka nagari tidak dapat melakukannya. Bupati sebagai penguasa daerah otonom pun tidak berwenang untuk melakukan izin eksplorasi. Perizinan ada di pemerintah pusat. Akan tetapi pemerintah daerah punya kewajiban untuk menjaga hutan lindung. Hal ini, dalam pandangan aparat daerah kawasan hutan lindung dianggap hanya membawa pemborosan anggaran dan sebaliknya tidak ada pendapatan yang dapat digali dari hutan lindung.

2. Peran Nagari dalam Pengelolaan Hutan Lindung

Secara de jure nagari punya wewenang dalam mengatur hutan seperti termuat dalam Perda No 9 Tahun 2000 pasal (7) butir (d), namun hak nagari untuk memperoleh manfaat dari harta kekayaan nagari belum dapat dilakukan sepenuhnya. Dengan kata lain, meskipun ada payung Perda No. 9 Tahun 2003, akan tetapi nagari tetap tidak punya wewenang membuat aturan pemanfaatan sumberdaya alamnya karena harus terbentur dengan peraturan yang lebih tinggi (Perda Bupati dan peraturan lain dari pemerintah pusat).

Sebelum tahun 1984 wali nagari berwenang mengeluarkan izin peman-faatan hasil hutan dengan koordinasi dengan Dinas Kehutanan Kabupaten. Wali nagari punya kewenangan untuk menjaga hutan sehingga pengambilan hasil hutan illegal dapat langsung dicegah atau ditanggulangi oleh pihak nagari. Tetapi, sekarang wewenang wali nagari harus mengakomodasi kebijakan Bupati, terutama dalam hal pemanfaatan sumberdaya alam di nagarinya. Akibatnya pengambilan kayu atau sumberdaya alam (illegal), tidak dapat dijaga lagi oleh wali nagari dan aparatnya.

Lembaga kenagarian juga pada hakekatnya berfungsi menjadi lembaga pengendalian sosial yang mempunyai hak mengawasi, menekan, menghukum, dan menjatuhkan sanksi-sanksi terhadap warganya yang melanggar peraturan. Semua wali nagari menyatakan adanya aturan nagari yang berisi larangan berjudi, miras, zina, dan lain-lain. Namun, tidak semua nagari membuat per-aturan tentang perihal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan pada tanah ulayat nagari yang ada dalam hutan lindung.

Dari hasil penelitian terhadap beberapa nagari di Pasaman menunjukkan bahwa lemahnya payung hukum pengelolaan hutan (lindung) oleh nagari menyebabkan kanagarian tidak mempunyai kekuatan hukum untuk mencegah terjadinya gangguan terhadap hutan lindung di wilayah nagarinya. Kearifan lokal masa lampau telah membuktikan bahwa kondisi hutan relatif terjaga dengan adanya wewenang pengelolaan yang lebih luas dalam arti yang sesungguhnya kepada lembaga kanagarian.

Berdasarkan pengalaman tersebut terlihat bahwa tanpa payung hukum yang kuat dari bupati maka nagari tidak kuasa memberlakukan peraturan untuk mencegah pengambilan hasil hutan illegal. Di samping itu, ada indikasi ketimpangan antara peraturan yang disepakati dengan realitas yang sebenarnya. Peraturan dapat terlaksana jika ada suplai anggaran untuk melaksanakan penjagaan, demikian juga moral petugas perlu juga “dikuatkan” sehingga tidak mudah untuk disuap.

Jika payung hukum jelas dan kuat, anggaran tersedia, dan moral petugas kuat maka Ibrahim (2005) sangat setuju jika lembaga nagari diikutkan dalam urusan pengelolaan hutan lindung. Dengan asumsi tanah ulayat yang berada dalam hutan lindung maka ninik mamak nagari lebih punya kepentingan dalam upaya menjaganya sehingga keterlibatan nagari dalam pengelolaan hutan lindung sangat diperlukan. Lebih jauh, keterlibatan nagari juga mengandung kesempatan berpartisipasi anak nagari sehingga dapat lebih menjamin keamanan hutan lindung.

Berdasarkan uraian di atas didapati bahwa peran nagari dalam mencegah dan menanggulangi gangguan terhadap hutan lindung, baik berupa pene-bangan liar ataupun penyerobotan lahan ternyata masih cukup lemah atau nyaris tidak berperan. Meskipun dalam undang-undang dan peraturan daerah terdapat pasal yang berisi wewenang nagari untuk mengatur kekayaan nagari-nya, tetapi dalam implementasinya hak dan wewenang tersebut hingga seka-rang tidak dapat dilaksanakan.

B. Peran Lembaga Dinas Kehutanan

Upaya pengelolaan hutan lindung di Pasaman sudah dimulai pada masa kolonial Belanda tahun 1596-1945 dan telah berhasil mempertahankan keberadaan hutan lindung sampai sekarang. Pada periode kolonial tersebut upaya pengelolaan hutan lindung relatif cukup efektif mengamankan hutan karena adanya tindakan keras terhadap pelaku pelanggaran (Bakhdal et al., 2004). Pada masa Orde Baru sampai tahun 2000 kawasan hutan lindung di Pasaman dikelola oleh Dinas Provinsi dengan Cabang Dinas Kehutanan Pasaman sebagai pelaksana lapangan. Selanjutnya periode ini digantikan dengan periode Orde Reformasi dan upaya pengelolaan hutan lindung di Pasaman langsung berada dalam tanggung jawab pemda kabupaten yang dalam hal ini adalah Dinas Kehutanan Pasaman. Dalam SK Bupati Pasaman No. 20 Tahun 2003 dijelaskan organisasi, tugas pokok dan fungsi Dinas Kehutanan Pasaman.

Pengelolaan hutan lindung (pengamanan) secara struktural menjadi tugas dan wewenang Sub Dinas Perlindungan Hutan. Secara teknis operasional, pengamanan dilakukan dengan patroli dan penyuluhan. Akan tetapi, tenaga untuk melakukan pengamanan hutan belum terpenuhi. Selanjutnya, dalam Subdin Perlindungan Hutan hanya terdapat satu Eselon III dan tiga Eselon IV yang masing-masing hanya punya satu staf, kecuali Seksi Pengaman Hutan yang mempunyai tiga tenaga tambahan honorer. Di samping itu, cabang dinas di tingkat kecamatan ternyata tidak ada dalam kenyataannya (di lapangan). Hal ini mempersulit upaya pencegahan gangguan terhadap hutan lindung secara cepat. Sejalan dengan semangat otonomi, kekuasaan bupati menjadi lebih berpengaruh.

Pengaruh pemerintahan daerah kabupaten relatif lebih kuat dibandingkan Dinas Kehutanan Provinsi. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan Bupati Pasaman tahun 2003 adalah dihapuskannnya tenaga polisi khusus (polsus) di wilayah kerja Dinas Kehutanan Pasaman. Kebijakan ini dibuat karena adanya perbedaan sumber penggajian tenaga polsus hutan; sumber anggaran penggajian harus dari kabupaten, sementara pemda kabupaten menginginkan sebaliknya. Secara ekonomi-politik kebijakan tersebut menguntungkan pemda kabupaten, tetapi secara teknis justru merugikan terutama dalam hal melakukan upaya pengaman hutan lindung. Akibatnya gangguan tidak dapat dikontrol, apalagi kawasan hutan lindung di Pasaman termasuk cukup luas. Kebijakan pengamanan dilakukan secara insidentil melibatkan keterpaduan kepolisian, kejaksaan, dan kodim setempat.

Hingga saat ini Dinas Kehutanan Pasaman dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat belum dapat melakukan fungsinya secara optimal untuk mengamankan hutan lindung. Hutan lindung di kabupaten ini tetap menjadi sasaran gangguan dari masyarakat (Tabel 1). Jenis interaksi masyarakat terhadap hutan lindung  antara lain adalah berupa illegal logging, penyerobotan lahan, dan pengambilan rotan. Di samping itu, gangguan hutan juga terjadi karena adanya tindakan oknum aparat yang melakukan pelanggaran aturan (menjadi backing kegiatan illegal dalam hutan lindung).

0t1

Dari uraian di atas terdapat sediktnya empat hal yang menyebabkan lembaga formal belum dapat berperan secara optimal yaitu:

  1. Tidak adanya polisi khusus kehutanan sehingga patroli rutin dan tugas  pengamanan lainnya tidak dapat dilakukan.
  2. Terbatasnya anggaran. Kewajiban Pemda Pasaman untuk menjaga hutan lindung sebetulnya memerlukan dana kompensasi dari pihak lain. Hutan lindung telah membatasi pemda untuk melakukan pengembangan wilayah sehingga harus ada kompensasi dalam menjaga hutan lindung. Dana kompensasi hutan lindung bisa bersumber dari daerah yang mendapatkan manfaat ekologis dari hutan lindung atau dari pemerintah pusat.
  3. Kurangnya dukungan dari lembaga penegak hukum lainnya.
  4. Rendahnya kulitas SDM dan moralitas petugas.

C. Kelembagaan Alternatif

Dua kelembagaan yang diuraikan di atas secara yuridis memiliki kekuatan untuk melakukan pengelolaan hutan lindung di Pasaman. Namun, keduanya perlu dipadukan dalam satu lembaga yang dapat langsung saling bersinergi dan bekerja sama. Pengalaman sejarah memperlihatkan bahwa keterlibatan aparat nagari dengan kewenangan memberikan izin dan melakukan penga-wasan terhadap hutan yang ada di wilayah nagarinya telah dapat menciptakan keamanan pada kawasan hutan.

Karena fungsinya yang vital bagi kehidupan manusia, terutama bagi masyarakat di sekitarnya, maka upaya penting yang perlu dilakukan dalam pengelolaan hutan lindung adalah tindakan pengamanan sehingga kawasan tersebut dapat terhindar dari segala gangguan yang dapat menyebabkan kerusakan. Akan tetapi, di Pasaman tenaga khusus untuk pengamanan hutan justru tidak ada dalam struktur organisasi Dinas Kehutanan. Oleh karena itu, perlu dibentuk satu unit kelompok polisi hutan yang mempunyai tugas pokok melakukan pengamanan hutan.

Agar lebih fungsional maka unit polisi khusus tersebut disusun dalam struktur organisasi lembaga nagari, yang secara fungsional bertanggungjawab kepada Dinas Kehutanan dan secara struktural bertanggungjawab kepada Wali Nagari (Gambar 2). Dalam tradisi Minangkabau adanya polisi khusus dalam kenagarian bukanlah hal yang baru. Menurut Mansyur et al. (1970) pada tiap  nagari terdapat sejumlah dubalang yang ahli bersilat (pendekar) dan menggunakan senjata tajam. Dubalang berfungsi untuk mengamankan pelaksanaan kebijakan nagari sekaligus melakukan tugas keamanan.

0g2

Gambar 2. Struktur organisasi lembaga pengamanan hutan lindung

Dengan demikian, unit polisi khusus hutan dalam lembaga kenagarian cukup sesuai dengan tradisi dan juga sangat diperlukan dalam lembaga formal Dinas Kehutanan Pasaman. Oleh karena fungsinya, maka tenaga ini sebaik-nya didanai oleh Dinas Kehutanan Pasaman.

III. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

  1. Secara yuridis terdapat dua lembaga yang berperan dalam upaya pengelolaan hutan lindung di Kabupaten Pasaman, yaitu Lembaga Kenagarian dan Dinas Kehutanan Pasaman. Meskipun secara yuridis lembaga nagari mempunyai wewenang dalam mengelola hutan karena tergolong sebagai harta nagari, tetapi dalam implementasinya kewenangan tersebut tidak dapat digunakan sehingga peran lembaga nagari dalam upaya pengamanan hutan lindung tidak menunjukkan hasil yang nyata.
  2. Kewenangan Dinas Kehutanan Pasaman sangat besar dalam upaya pengelolaan hutan lindung. Sebagai lembaga yang paling bertanggung jawab terhadap hutan lindung harusnya lembaga ini sangat memerlukan aparat polsus dalam organisasinya. Tetapi, sebaliknya ternyata lembaga ini tidak mempunyai polisi hutan sehingga lembaga ini menjadi lebih sulit untuk mencegah dan menanggulangi gangguan yang terjadi pada hutan lindung.
  3. Faktor-faktor yang didapati berpengaruh terhadap kinerja lembaga adalah sumber kekuatan hukum, ketersediaan anggaran, kualitas moral tenaga, dan tanda batas kawasan.
  4. Kelembagaan alternatif kedua lembaga pengelola hutan lindung tersebut perlu disatukan dalam kelembagaan tersendiri yang secara fungsional bertanggung jawab kepada Dinas Kehutanan dan secara struktural kepada Wali Nagari.

B. Saran

Sesuai dengan tradisi lembaga kenagarian maka perlu dibentuk kembali unit dubalang atau polisi khusus nagari yang berfungsi sebagai tenaga pengamanan nagari dan secara fungsional mempunyai hubungan dengan Dinas Kehutanan Pasaman. Di samping itu, tenaga polisi kehutanan perlu kembali dilibatkan dalam organisasi Dinas Kehutanan. Jika tenaga dubalang dalam jangka pendek tidak dapat dipenuhi maka tenaga polhut dapat ditempatkan di dalam lembaga kenagarian.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2004. Laporan Tahunan Hasil Penelitian Tahun 2003 Buku II. Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta. Hal 117-123.

Anthoni, H. (2005). Komunikasi Personal. Wali Nagari Jambak, Kecamatan Lubuk Sikaping, Pasaman-Sumbar.

Bakhdal, M. Ali, N.S. Wahyuni. 2004. Laporan Hasil Penelitian. Nilai Air Hutan Lindung Di Pasaman. Balai Litbang Kehutanan Sumatera. Aek Nauli, Parapat- Sumut.

Didik, S., Aziz Khan, Wibowo A.J., Martua S., Santi E. 1998. Kehutanan Masyarakat dan Karakteristiknya. Warta FKKM. Vol. 1 No. 6. Fahutan UGM, Yogyakarta.

Ibrahim, K. 2005. Komunikasi Pribadi. Ketua BPAN Nagari Tanjung Baringin dan Sekretaris LKAAM Kabupaten Pasaman. Lubuk Sikaping.

Mansyur, M.D, Amrin I., Mardanas S., Asmaniar Z.I, Sidi I.D. 1970. Sedjarah Minangkabau. Bhratara, Jakarta.

Murad, A. 1996. Kayu Manis, Pohon Kehidupan yang Menjanjikan Kehidupan (Studi Kasus di Desa Hulim, Kecamatan Sosopan, Kabupaten Tapanuli Selatan). Makalah disampaikan pada “Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Teknologi Reboisasi Palembang di Palembang, tanggal 28-29 Maret 1996.

Perda Provinsi Sumatera Barat No. 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari.

Surat Keputusan Bupati Pasaman No. 38 Tahun 2001 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Nagari dan Sekretariat BPAN.

Surat Keputusan Bupati Pasaman No. 20 Tahun 2003 tentang Organisasi, Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Kehutanan Pasaman.

Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.