Kelembagaan DAS

Hermanto R.

RANCANGAN KELEMBAGAAN TANI DALAM IMPLEMENTASI PRIMA TANI DI SUMATERA SELATAN

Hermanto R.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan
Jl. Kol. H. Barlian Km 6, Po Box 1265 Palembang 30153

Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 2, Juni 2007 : 110-125

ABSTRACT

This paper aims to develop a frame of designed institution for farmers, specifically in the implementation of Prima Tani project in South Sumatra. The designed institutions include: (1) micro financial institution to deal with the shortage of working capital and expenses for consumption, (2) Village Working Groups to overcome various problems faced by farmers in agribusiness development, (3) agribusiness service center to empower farmer’s livelihood, and (4) economic-based partnership medium to improve agricultural marketing systems. The implementation of each of these institutions is expected to enable the development of Rural-based Industrial Agribusiness supported by Farming System Intensification and Diversification to increase farmer’s income.

Key words : institution, farmer, Prima Tani, South Sumatra

ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan mengembangkan sebuah kerangka pemikiran mengenai rancangan kelembagaan tani dalam implementasi Prima Tani di Sumatera Selatan. Beberapa bentuk kelembagaan yang perlu ditumbuh-kembangkan dalam Prima Tani antara  lain: (1) kelembagaan keuangan mikro pedesaan untuk mengatasi kelangkaan modal usaha  dan kebutuhan konsumsi, (2) Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh petani dalam mengembangkan usaha agribisnisnya,  (3) kelembagaan klinik agribisnis yang ditujukan untuk memberdayakan masyarakat petani dalam mewujudkan sistem kehidupan yang lebih baik dan (4) kelembagaan Kemitraan Bermediasi dalam rangka membantu peningkatan pendapatan petani melalui peningkatan efsiensi sistem pemasaran. Implementasi dari masing-masing kelembagaan tersebut diharapkan dapat menumbuhkan Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP), yang  didukung oleh Sistem Usahatani Intensifikasi dan Diversifikasi (SUID) secara optimal dan berkelanjutan dalam upaya meningkatkan pendapatan petani secara bertahap dan nyata dari tahun ke tahun.

Key words : kelembagaan, petani, Prima Tani, Sumatera Selatan

PENDAHULUAN

Tidak dapat dipungkiri Badan Litbang Pertanian telah cukup berhasil dalam pengadaan inovasi pertanian. Namun demikian, evaluasi eksternal maupun  internal menunjukkan bahwa kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian cenderung melambat, bahkan menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa segmen rantai pasok inovasi pada subsistem  penyampaian (delivery subsystem) dan subsistem penerima (receiving subsystem)  merupakan bottleneck yang menyebabkan lambannya penyampaian informasi dan  rendahnya tingkat adopsi inovasi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian (Simatupang, 2004).

Untuk itu, mulai tahun 2005, Badan Litbang Pertanian telah melaksanakan  Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani), suatu model atau konsep baru diseminasi teknologi yang dipandang  dapat mempercepat penyampaian informasi dan bahan dasar inovasi baru yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian (Badan Litbang Pertanian, 2004; 2006).  Program ini telah diimplementasikan pada tahun 2005 di 21 lokasi/kabupaten yang mencakup 14 provinsi. Selanjutnya, pada tahun 2006 program tersebut telah  diperluas implementasinya menjadi 33 lokasi/kabupaten di 25 provinsi.

Dengan adanya pandangan positif atas konsep dan implementasi Prima Tani, Menteri Pertanian telah menginstruksikan untuk perluasan implementasi Prima Tani pada tahun 2007 di 201 lokasi di 200 Kabupaten/Kota di 33 Provinsi.  Dari sejumlah lokasi tersebut, provinsi Sumatera Selatan telah ditetapkan, yang semulanya (tahun 2005 dan 2006) diimplimentasikan pada 1 lokasi di Kabupaten MURA menjadi 7 lokasi/kabupaten pada tahun 2007, yaitu di Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten OKU, Kabupaten Banyuasin, Kabupaten OKU Selatan, Kabupaten  MUBA, Kabupaten OKU Timur dan Kabupaten MURA.

Khusus di Kabupaten MURA, model Prima Tani diimplementasikan dengan berbagai kegiatan antara lain: (i) Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT), dan (ii) Kelembagaan Agribisnis dan Kelembagaan Pendukung serta Klinik Agribisnis.  Model ini ternyata mampu mensinergikan output suatu komoditas untuk dijadikan input pada kegiatan produksi atau usaha lain. Hal ini diperlihatkan oleh adanya keterkaitan antara komoditas sapi, padi, ikan dan jamur. Selain itu, penerapan teknologi inovasi mampu meningkatkan produktivitas tanaman padi di sawah irigasi sebesar 38,5 persen pada MH 2005 dan 8,78 persen pada MK 2006.

Dengan menyadari bahwa Pemerintah Daerah provinsi Sumatera Selatan  telah mengambil langkah kebijakan strategis untuk menyukseskan program revitalisasi pertanian melalui pencanangan program Sumsel Lumbung Pangan (Syahrial, 2005), maka implementasi Prima Tani dapat dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk mewujudkan keberhasilan pelaksanaan program tersebut. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan mengembangkan sebuah kerangka pemikiran  mengenai rancangan kelembagaan tani dalam implementasi Prima Tani di Sumatera Selatan. Dengan adanya rancangan tersebut diharapkan optimalisasi fungsi dan peran kelembagaan tani dalam implementasi Prima Tani untuk mendukung pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP), yang didukung  oleh Usahatani Intensifikasi dan Diversifikasi (SUID) dapat diwujudkan secara optimal dan berkelanjutan.

KONSEPSI DASAR KELEMBAGAAN

Kelembagaan umumnya banyak dibahas dalam sosiologi, antropologi, hukum dan politik, organisasi dan manajemen, psikologi maupun ilmu lingkungan  yang kemudian berkembang ke dalam ilmu ekonomi karena kini mulai banyak ekonom berkesimpulan bahwa kegagalan pembangunan ekonomi umumnya karena kegagalan kelembagaan. Dalam bidang ilmu ekonomi, kelembagaan lebih banyak dilihat dari sudut biaya transaksi (transaction costs) dan tindakan kolektif  (collective action).

Secara konsepsi kelembagaan mencakup konsep pola perilaku sosial yang  sudah mengakar dan berlangsung terus menerus atau berulang. Dalam hal ini, ada  dua pengertian kelembagaan yang sering digunakan oleh ahli dari berbagai bidang,  yaitu yang disebut institusi atau pranata dan organisasi. Pengertian kelembagaan sebagai pranata dapat dikenali melalui unsur-unsurnya, seperti aturan main, hak dan kewajiban, batas yurisdiksi atau ikatan dan sangsi. Selanjutnya, kelembagaan dalam pengertian organisasi, disamping keempat unsur tersebut juga dicirikan terdapatnya struktur organisasi, tujuan yang jelas, mempunyai partisipan dan mempunyai teknologi serta sumberdaya.

Dalam organisasi aturan main biasanya tertulis, dan struktur dapat  dikenali dengan adanya kepengurusan dalam organisasi seperti ketua, wakil ketua, bendahara, sekretaris, dan sebagainya (Sudaryanto dan Agustian, 2003). Dengan demikian pengertian kelembagaan sebagai organisasi mudah dikenali dalam bentuk nyata seperti KUD, Bank, pemerintahan dan sebagainya. Setiap organisasi  tersebut mempunyai pranata, tetapi hanya mempunyai pranata saja bukan organisasi.

Dalam konsepsi kelembagaan juga dikenal istilah rekayasa dan replikasi kelembagaan. Rekayasa kelembagaan dapat diinterpretasikan sebagai pengetahuan mengenai kelembagaan yang ditujukan untuk memecahkan masalah sosial yang dihadapi masyarakat. Hal ini berarti bahwa rekayasa kelembagaan merupakan upaya melakukan perubahan kinerja dan struktur kelembagaan untuk mengatur alokasi sumberdaya dan distribusinya dalam rangka mencapai pada keragaan yang  diinginkan (Johnson, 1996 dalam Pakpahan, 1998).

Selanjutnya, istilah replikasi berasal dari kata replica yang artinya meniru.  Replikasi suatu model kelembagaan di suatu masyarakat tertentu dimaksudkan meniru secara utuh suatu model kelembagaan termasuk sistem kerjanya yang diterapkan pada masyarakat lain. Dengan demikian replikasi kelembagaan merupakan salah satu cara pemecahaan masalah dengan menerapkan komponen-komponen kelembagaan pada lingkungan sistem lain (Soentoro, 2004). Seperti diketahui pada masyarakat tertentu telah mempunyai kelembagaan yang mengatur tata kehidupan diantara mereka. Oleh karena itu, unsur baru yang akan diterapkan dalam masyarakat tersebut dapat diterima dan ditolak oleh masyarakat setempat.

TINJAUAN UMUM KELEMBAGAAN

Secara empiris kelembagaan pertanian dapat dibedakan, antara lain: (1) kelembagaan sosial nonbisnis yang merupakan lembaga pertanian yang mendukung penciptaan teknologi, penyampaian teknologi, penggunaan teknologi  dan pengerahan partisipasi masyarakat, seperti lembaga penelitian, penyuluhan, kelompok tani dan sebagainya, dan (2) lembaga bisnis penunjang yang merupakan  lembaga yang bertujuan mencari keuntungan, seperti koperasi, usaha perorangan,  usaha jasa keuangan dan sebagainya (Hermanto dan Subowo, 2006).

Selama ini kelembagaan perekonomian pedesaan dinilai oleh banyak ahli sangat rapuh dan dipandang sebagai penyebab kegagalan pengembangan perekonomian di pedesaan. Kerapuhan tersebut ditunjukkan oleh tidak efektifnya  pemberdayaan faktor kepemimpinan (sebagai penggerak kemajuan) di pedesaan, tidak terbangunnya tata nilai yang menggerakkan kemajuan ekonomi di pedesaan,  struktur dan keorganisasian ekonomi pedesaan yang dibiarkan rapuh, otonomi  yang tidak mengangkat kedaulatan (politik) masyarakat pedesaan dalam kegiatan ekonomi serta dibiarkannya faktor kompetensi sumberdaya manusia pedesaan terbengkalai (Pranadji, 2003).

Berikut ini akan diuraikan secara ringkas eksistensi dan kinerja beberapa  kelembagaan tani yang telah ditumbuh-kembangkan dalam implementasi Prima Tani di Kabupaten MURA. Selain itu, juga dideskripsikan lembaga tani lainnya yang dikembangkan di Sumatera Selatan.

Kelembagaan Prima Tani di Kabupaten MURA

Prima Tani di Desa S. Kertosari, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Musi  Rawas (MURA), Provinsi Sumatera Selatan merupakan model percontohan sistem  dan usaha agribisnis di lahan sawah intensif dengan mengembangkan sistem integrasi padi ternak (SIPT). Kelembagaan tani yang telah ditumbuh-kembangkan  selama kurun waktu dua tahun berjalan (2005-2006) antara lain: (1) kelompok tani  (2) gabungan kelompok tani (Gapoktan) dan (3) klinik agribisnis.

Kelompok tani yang dibina lebih difokuskan pada perbaikan struktur dan  fungsi organisasi yang mengarah pada pengembangan fungsi-fungsi pelayanan “bisnis” di sektor pertanian mulai dari hulu sampai ke hilir. Dengan struktur dan fungsi yang berorientasi pada bisnis pertanian tersebut diharapkan kelompok tani  dapat menampung anggota-anggota yang bergerak dalam “of-farm”. Dalam hal keanggotaan kelompok juga dibenahi dengan tidak membedakan jenis usaha yang  dimiliki oleh anggota. Dengan demikian setiap kelompok tani memiliki berbagai  aneka usaha yang dikembangkan, seperti usahatani padi, ternak, ikan dan perbenihan dan sebagainya.

Dengan adanya pembinaan yang dilakukan secara intensif terhadap kelompok tani di Desa S. Kertosari, maka terciptalah suatu kelembagaan kelompok tani yang mampu memberikan suasana kepada anggotanya untuk masuk  dalam sistem agribisnis. Hal ini juga ditunjukkan dari peranan kelompok yang semakin meningkat dalam pengembangan sistem agribisnis di pedesaan. Misalnya,  beberapa kelompok tani telah menerapkan dan mempersiapkan sarana pertanian guna memenuhi kebutuhan anggotanya, baik bersifat barang maupun pendanaan.

Demikian halnya dengan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang baru dibentuk pada bulan September 2006 dengan pengurus terdiri atas manajer,  sekretaris, dan bendahara. Unit usaha yang baru dikembangkan, yaitu: unit Alsintan dan unit produksi/pemasaran (bidang tanaman pangan, peternakan dan perikanan). Dalam unit usaha alsintan/pasca panen dihimpun semua bentuk usaha  yang menggunakan alsintan dalam mendukung implementasi sistem dan usaha agribisnis. Pada unit produksi/pemasaran difokuskan untuk mendukung pengembangan usahatani padi dan penangkaran benih, penggemukan sapi, produksi jamur, pupuk, dan produksi ikan.

Selanjutnya klinik agribisnis juga telah dibentuk untuk mengembangkan pelayanan informasi teknologi dan agribisnis, pusat pelatihan petani dan tempat pertemuan teknis. Materi kegiatan klinik yang dikembangkan meliputi: (1) penguatan fasilitator melalui kegiatan pelatihan di bidang tanaman pangan, peternakan dan perikanan, pengelolaan perpustakaan dan pengelolaan peta peragaan inovasi teknologi, (2) pelayanan  informasi teknologi (inisiasi perpustakaan), (3) konsultasi teknologi, (4) peragaan inovasi teknologi, seperti peragaan penangkaran benih VUTB/VUB, pembuatan pupuk kompos kascing, pembuatan fermentasi jerami, teknologi budidaya jamur, dan pembuatan pakan formulasi.

Untuk kelancaran pelaksanaan tugas sehari-hari, klinik agribsinis di Desa  S. Kertosari telah didukung oleh peneliti/penyuluh BPTP, staf dinas dan PPL. Keberadaan klinik tersebut telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di Desa S.  Kertosari sebagai tempat untuk belajar, berkonsultasi dan mengetahui berbagai informasi inovasi teknologi pertanian dan pengembangan usaha agribisnis. Bahkan  klinik ini juga telah dikunjungi oleh Bupati beserta rombongan dalam rangka penilaian PKK desa untuk diperlombakan. Dalam hal ini Desa S. Kertosari, tidak  saja muncul sebagai pemenang PKK tingkat kabupaten, namun juga sebagai juara  I untuk tingkat Provinsi Sumatera Selatan.

Kelembagaan di Sumatera Selatan

Pembahasan terhadap kelembagaan tani di Sumatera Selatan berikut ini merupakan hasil pengamatan dan pengalaman penulis sebagai peneliti yang ditugaskan di BPTP Sumatera Selatan. Adapun kelembagaan yang akan dideskripsikan meliputi; lembaga kelompok tani, permodalan, koperasi, pemasaran dan lembaga penunjang lainnya.

Lembaga Kelompok Tani

Kelompok tani merupakan kelembagaan tani yang langsung mengorganisir para petani dalam mengembangkan usahataninya. Kelompok tani ini merupakan organisasi yang dapat dikatakan berfungsi dan ada secara nyata. Di samping berfungsi sebagai wahana penyuluhan dan penggerak kegiatan anggota-nya, beberapa kelompok tani juga mempunyai kegiatan lain, seperti gotong royong, usaha simpan pinjam dan arisan kerja untuk kegiatan usahatani.

Di Sumatera Selatan keberadaan dari sebagian besar kelompok tani sangat  bervariasi; ada yang eksistensi dan kinerjanya sangat baik dan ada pula yang kurang baik atau tidak aktif sama sekali (Hermanto, 2006). Keberagaman eksistensi dan kinerja kelompok tani ini mengindikasikan bahwa pembinaan dan pemberdayaan kelompok tani masih diperlukan dalam rangka mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis di pedesaan.

Dari pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pemberdayaan kelompok tani telah banyak dilakukan oleh PPL/dinas terkait di daerah, namun dengan adanya keterbatasan yang dimiliki oleh PPL/dinas terkait tersebut menyebabkan tidak semua kelompok tani dilakukan pembinaan/pemberdayaan secara optimal. Hal ini terlihat dari eksistensi dan kinerja dari beberapa kelompok  tani yang masih memprihatinkan. Kondisi seperti ini juga dipicu oleh banyak faktor, seperti tidak adanya kekompakan antarpetani dalam kelompok tani, pembentukan kelompok lebih didasarkan karena adanya kegiatan suatu proyek, kepengurusan kelompok tidak dipilih secara demokratis/ditentukan oleh aparat desa dan sebagainya.

Ke depan pembinaan dan pemberdayaan kelompok tani merupakan suatu hal yang penting untuk dilakukan agar gap antar kelompok tani tidak semakin tajam, yang pada akhirnya dapat memicu terjadi konflik sosial (kecemburuan sosial) antarkelompok yang ada di desa tersebut. Selain itu, dengan adanya pembinaan tersebut diharapkan keberadaan kelompok tani tidak hanya berfungsi sebagai wahana penyuluhan, tetapi juga untuk mengembangkan kegiatan produktif  lainnya, seperti usaha simpan pinjam, usaha perbenihan, pelayanan saprodi, usaha jasa keuangan, usaha jasa alsintan, usaha pengolahan hasil, dan sebagainya.

Lembaga Permodalan

Berbagai bentuk lembaga permodalan telah banyak ditumbuhkan, baik oleh masyarakat sendiri maupun pemerintah dalam rangka mendukung kegiatan ekonomi masyarakat di pedesaan. Misalnya, penerapan pola Grameen Bank di  daerah pasang surut Sumatera Selatan oleh Proyek Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan (P2SLPS2) yang kemudian diberi  nama “Karya Usaha Mandiri Wanita Tani, KUM-WT. Kegiatan KUM-WT  pertama kali disosialisasikan pada bulan November 1998 di Sugihan Kiri jalur 16  di desa Indrapura. Dengan adanya partisipasi aktif dari masyarakat, pada bulan Desember 1998 telah terbentuk 4 Rembuk Pusat dengan anggota 100 orang. Pada  bulan Desember 1999, KUM-WT telah berkembang ke 5 desa dalam jalur yang sama, yaitu, Indrapura, Sugih Waras, Margo Mulyo, Argopuro dan Daya murni.

Demikian halnya dengan kegiatan tabungan masyarakat di lembaga KUM-WT menunjukkan kinerja yang cukup mengembirakan. Pada bulan Desember 1999 posisi tabungan anggota KUM-WT Sugihan Kiri dan Sugihan Kanan, masing-masing sebesar Rp 19.076.100 (Dana Tabungan Kelompok, DTK Rp 12.103.000 dan Tabungan Sukarela Rp 6.973.100) dan Rp 8.445.800 (DTK Rp 4.795.000 dan Tabungan Sukarela Rp 3.650.800). Selanjutnya, pada bulan Desember 2000, posisi tabungan KUM-WT di Sugihan Kiri dan Sugihan Kanan meningkat masing-masing menjadi Rp 54.164.900 (DTK Rp 43.646.950 dan Tabungan Sukarela Rp 10.517.950) dan Rp 20.131.800 (DTK Rp 14.681.950 dan  dan Tabungan Sukarela Rp 5.449.850) (Soentoro, 2004).

Selanjutnya kredit yang tersalur di Sugihan Kiri pada awalnya (bulan Desember 1998) berjumlah Rp 5.700.000 dan meningkat hingga Rp 109.120.000 pada akhir tahun 2000. Pada kuartal 2 tahun 2000, jumlah pinjaman maksimal Rp  600.000. Namun dengan adanya keterbatasan dana untuk memenuhi jumlah pinjaman Rp 600.000 nasabah harus menungu 2 sampai 3 minggu. Rasio jumlah kredit selama tahun 2000 terhadap modal sebesar 5,23. Demikian juga di Air Sugihan Kanan, dengan jumlah modal yang disalurkan proyek sebesar Rp 25.000.000 maka peningkatan jumlah kredit hanya sampai kuartal 3 tahun 1999, yaitu dari Rp 4.500.000 (kuartal 1 tahun 1999) menjadi Rp 44.175.000 pada kuartal 3 tahun 1999. Kemudian terjadi penurunan mulai kuartal 1 tahun 2000 (Rp  38.075.000). Pinjaman maksimal yang dapat diberikan hanya mencapai Rp. 300.000 per anggota dengan rasio jumlah kredit selama tahun 2000 terhadap modal sebesar 3,35 (Soentoro et al., 2000).

Pada dasarnya modal yang dipinjamkan KUM-WT kepada anggotanya adalah untuk menciptakan dan mengembangkan usaha dalam rangka meningkatkan pendapatan rumah tangganya. Pinjaman yang diberikan kepada anggota ternyata 97,46 persen digunakan untuk modal usaha dan selebihnya 2,54 persen digunakan untuk kepentingan konsumsi. Dengan demikian hampir seluruh kredit yang diberikan kepada anggota KUM-WT digunakan untuk modal usaha.

Dengan memperhatikan perkembangan KUM-WT seperti telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa kegiatan KUM-WT pada pasca proyek sudah dapat  mandiri dalam pembiayaan operasionalnya, tetapi agak sulit untuk meningkatkan pelayanan kredit tanpa adanya tambahan modal dari luar. Meskipun demikian pengembangan lembaga KUM-WT yang diperkenalkan di lahan pasang Sumatera  Selatan memiliki peluang cukup besar untuk berkembang secara berkelanjutan di  masyarakat pedesaan.

Selain KUM-WT juga terdapat lembaga permodalan lainnya, seperti lembaga usaha penggilingan dan lembaga lumbung pangan. Lembaga usaha penggilingan umumnya tumbuh dari masyarakat yang sebagian besar dalam bentuk usaha perorangan. Selama ini diketahui bahwa hubungan kerja antara petani dan pengusaha penggilingan tidak hanya terbatas pada kerjasama dalam penggilingan, tetapi juga telah meluas pada hubungan kerja dalam hal peminjaman  modal, baik dalam bentuk uang tunai maupun sarana produksi dengan proses yang  tidak panjang dan sangat mudah dan lebih didasarkan pada azas saling percaya.

Sebaliknya lembaga lumbung pangan yang pada awalnya ditumbuhkan oleh pemerintah memiliki peranan yang cukup penting dalam menumbuhkan usaha agribisnis di pedesaan. Misalnya, lumbung pangan yang dibentuk di Desa Sabililoh Kecamatan Bunga Mayang, OKU Selatan, telah dirasakan manfaatnya oleh anggota kelompok tani yang mengelolanya. Lembaga tersebut, di samping berfungsi sebagai tempat penyimpanan gabah petani juga sebagai salah satu tempat bagi petani untuk mendapatkan pinjaman modal, baik dalam bentuk uang tunai maupun sarana produksi, seperti pupuk dan benih. Dilihat dari perkembangannya, lumbung pangan di Desa Sabililoh dapat dikategorikan sebagai lembaga lumbung pangan maju. Sayangnya, eksistensi dan kinerja lembaga tersebut tidak diikuti oleh kelompok tani lainnya di Desa Sabililoh.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menumbuhkan dan mengembangkan lembaga lumbung pangan tersebut ke kelompok tani lainnya, namun karena tidak adanya kekompakkan antarpetani dalam kelompok tani menyebabkan perkembangannya menjadi terhambat. Oleh karena itu, meskipun keberadaan lumbung pangan di Desa Sabililoh dirasakan sangat membantu petani dalam mendukung usahataninya, namun sampai saat ini kegiatan lembaga tersebut masih    terbatas pada 2 kelompok tani sehingga belum banyak dirasakan manfaatnya oleh  seluruh masyarakat di Desa Sabililoh.

Selain lumbung pangan juga terdapat lembaga permodalan lain yang dikelola secara perorangan, seperti pedagang pengumpul. Selama ini peran pedagang pengumpul tidak hanya sebagai tempat petani menjual hasil panen, tetapi juga sebagai tempat untuk meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sifatnya mendesak serta kebutuhan sarana produksi (bibit, pupuk dan  pestisida) untuk mendukung kegiatan usahataninya. Pinjaman modal dari  pedagang pengumpul umumnya dikembalikan oleh petani pada saat menjual hasil  panennya kepada pedagang tersebut dengan tambahan tingkat bunga antara 15-20% per bulan. Walaupun tingkat bunga ini relatif tinggi, namun petani tidak memiliki pilihan lain yang lebih murah dan cepat untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumsi dan modal usahataninya.

Lembaga Koperasi

Lembaga Koperasi Unit Desa (KUD) merupakan lembaga yang memiliki peranan penting dalam menggerakkan perekonomian di pedesaan. Kegiatan KUD  bervariasi antardaerah di Sumatera Selatan, antara lain: penyediaan sarana produksi pertanian, pengolahan hasil dan beberapa KUD mempunyai kegiatan pemasaran hasil. Namun demikian secara umum peran lembaga tersebut akhir-akhir ini (setelah tidak ada KUT) terlihat semakin berkurang, bahkan di beberapa  daerah banyak KUD yang tidak aktif lagi.

Secara khusus, peran KUD dalam penyediaan sarana produksi, akhir-akhir  ini telah banyak digantikan dengan adanya keberadaan kios-kios sarana produksi  di pedesaan. Meskipun tidak semua desa memiliki kios-kios sarana produksi, namun keberadaannya banyak dijumpai pada desa-desa yang memiliki pasar atau di ibukota kecamatan yang jaraknya dari desa relatif dekat. Keberadaan kios-kios  produksi ini sangat penting dalam melayani kebutuhan sarana produksi petani, seperti pupuk, bibit dan peralatan lainnya untuk mendukung peningkatan produktivitas usahatani di pedesaan.

Lembaga Pemasaran

Lembaga pemasaran merupakan subsistem yang tidak dapat dipisahkan dalam sistem dan usaha agribisnis secara keseluruhan. Usaha peningkatan produksi komoditas pertanian tidak akan mampu meningkatkan pendapatan petani  apabila tidak adanya peranan dari lembaga pemasaran.

Selama ini pemasaran hasil pertanian yang dilakukan oleh sebagian besar  petani adalah ke pedagang pengumpul yang datang ke desa atau kebun petani. Misalnya, hasil kopi petani di Desa Banding Agung Kecamatan Banding Agung Kabupaten OKU Selatan, banyak dijual ke pedagang pengumpul atau pemilik penggilingan kopi yang ada di desa tersebut. Dari pedagang pengumpul kopi dijual ke pedagang kabupaten (Muara Dua) yang kemudian dijual ke pedagang provinsi di Bandar Lampung dan terakhir dijual kepada eksportir kopi di Lampung.

Demikian halnya di lahan rawa pasang surut, petani langsung menjual berasnya kepada pemilik RMU (90%) dan pedagang kecil (10%). Dari pemilik RMU selanjutnya beras dijual kepada pedagang besar/tongkang untuk dibawa ke Palembang. Untuk komoditas lainnya, seperti kelapa (baik dalam bentuk butiran atau kopra), ayam dan ikan umumnya dijual langsung oleh petani ke pasar kalangan yang buka sekali seminggu. Selain itu, petani juga menjual ke pedagang pengumpul yang datang pada setiap hari kalangan dengan tingkat harga yang relatif lebih rendah dibandingkan bila petani langsung menjualnya ke konsumen akhir di pasar kalangan.

Dari gambaran pemasaran komoditas pertanian di atas, terlihat bahwa pedagang pengumpul memiliki peran yang cukup besar dalam memasarkan hasil-hasil produksi petani. Meskipun demikian petani merasakan bahwa harga yang diberlakukan dari pedagang pengumpul, terutama pada saat panen sangat rendah. Hal ini mencerminkan bahwa lembaga pemasaran yang berkembang di pedesaan belum banyak bertindak seperti yang diharapkan petani, terutama dilihat dari sudut  harga yang diberlakukan di tingkat petani.

Lembaga Penunjang Lainnya

Lembaga penunjang lainnya yang cukup berkembang di pedesaan adalah  kelembagaan Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA), yang usahanya mencakup usaha jasa untuk pengolahan tanah, usaha jasa panen (thresher), usaha jasa  pengeringan (dryer) dan usaha jasa penggilingan (RMU). Namun, dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembagaan UPJA yang banyak berkembang di pedesaan adalah usaha jasa untuk pengolahan tanah, panen dan usaha jasa penggilingan. Sementara untuk usaha-usaha lainnya, seperti usaha jasa pengeringan dengan menggunakan mesin pengering (box dryer) belum banyak berkembang, baik yang diusahakan secara perorangan maupun berkelompok.

RANCANGAN MODEL KELEMBAGAAN

Berbagai bentuk kelembagaan ekonomi petani telah banyak ditumbuhkembangkan di pedesaan. Namun, eksistensi dan kinerjanya masih kurang menggembirakan, bahkan keberadaannya dalam menopang perekonomian di pedesaan cenderung tidak berkesinambungan. Hal ini karena kebanyakan kelembagaan yang ditumbuhkan tersebut lebih bersifat “top down” dan bahkan cenderung mengeneralisasikan suatu bentuk kelembagaan untuk diintroduksikan tanpa memperhatikan struktur sosial dan kebutuhan masyarakat setempat.  Akibatnya banyak kelembagaan baru yang masuk di pedesaan tidak memperoleh  respon dan konsensus dari masyarakat. Oleh karena itu, introduksi kelembagaan baru ke dalam masyarakat perlu menyesuaikan diri dengan bentuk-bentuk  kelembagaan tradisional yang telah ada.

Rancangan model kelembagaan seperti ditunjukkan pada Gambar 1 merupakan framework dari beberapa bentuk kelembagaan, yang pengembangannya dilakukan secara bottom up melalui pendekatan Participatory Assessment and Planning Approach (PAPA), yaitu pendekatan yang harus dimulai dari petani dan  petani akan menentukan kelembagaannya yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lingkungannya. Meskipun kenyataannya, masyarakat di setiap lokasi Prima Tani memiliki struktur sosial dan kebutuhan yang berbeda terhadap kelembagaan yang mengatur tata kehidupan di antara mereka, tetapi dengan adanya rancangan model kelembagaan, akan sangat membantu menentukan secara  partisipatif kebutuhan dan pilihan kelembagaan yang dapat diterapkan dan  diterima oleh masyarakat sebagai suatu upaya meningkatkan pendapatan mereka secara bertahap dan nyata dari tahun ke tahun.

Re-exposure of 0g1

Gambar 1. Rancangan Model Pengembangan Kelembagaan Ekonomi Petani di Sumatera Selatan

Beberapa bentuk kelembagaan seperti terlihat pada Gambar 1 dapat dikelompokkan, antara lain: (1) kelembagaan keuangan mikro (micro-finance) untuk mengatasi kelangkaan modal usaha dan kebutuhan konsumsi, (2) kelembagaan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), (3) kelembagaan klinik agribisnis, dan (4) kelembagaan Kemitraan Bermediasi. Fungsi dan peran dari masing-masing kelembagaan tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, saling menyatu dan saling terkait satu sama lain dalam kerangka sistem dan usaha  agribisnis. Namun demikian, kelembagaan keuangan mikro (micro-finance)  merupakan sentral dari pengembangan kelembagaan secara keseluruhan.

Lembaga Keuangan Mikro

Dalam kehidupan sehari-hari lembaga keuangan mikro (micro-finance) sering diartikan sama dengan lembaga kredit mikro (micro-credit). Namun secara  konsepsi kedua bentuk kelembagaan tersebut dapat dibedakan. Micro-credit lebih mengacu kepada pengembangan berbagai bentuk pelayanan skim kredit mikro,  sedangkan micro-finance merupakan pelayanan jasa keuangan yang tidak hanya terbatas pada pemberian skim kredit tetapi juga kegiatan savings mobilisation (Ellis, 1992; Singh, 2002).

Seperti diketahui bahwa Prima Tani merupakan model inovasi agribisnis,  sehingga pengembangan lembaga keuangan mikro (micro-finance) di pedesaan secara mandiri dan berkesinambungan merupakan sesuatu yang penting untuk mendukung pengembangan agribisnis industrial pedesaan secara berkelanjutan. Keberadaan kelembagaan micro-finance, di samping menunjang kebutuhan finansial kegiatan sistem Usahatani Intensifikasi dan Diversifikasi (SUID) dan Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP), juga ditujukan untuk mengembangkan usaha-usaha lain yang dilakukan oleh kelompok tani/Gapoktan, lembaga klinik  agribisnis dan lembaga Kemitraan Bermediasi. Sebaliknya, dari masing-masing lembaga tersebut juga diharapkan dapat memberikan dukungan bagi pengembangan lembaga keuangan mikro melalui savings mobilisation, seperti yang ditunjukkan dengan panah dua arah pada Gambar 1.

Belajar dari pengalaman menumbuhkan kelembagaan keuangan mikro di  daerah pasang surut Sumatera Selatan, maka pengembangan Lembaga Keuangan  Mikro (LKM) dalam implementasi Prima Tani di Sumatera Selatan dilakukan dengan beberapa modifikasi dari pola yang telah dikembangkan sebelumnya. LKM ditumbuh-kembangkan dari lembaga-lembaga permodalan masyarakat yang  sudah ada, yang kemudian diarahkan pada pengembangan keterkaitannya dengan  keseluruhan sistem kelembagaan agribisnis seperti terlihat pada Gambar 1.

LKM merupakan suatu bentuk lembaga yang berfungsi memberikan pelayanan kebutuhan finansial dalam mendukung pengembangan agribisnis industrial di pedesaan, baik yang dilakukan secara perorangan maupun secara kelompok/lembaga. LKM dibangun/ditumbuhkan dengan mengedepankan adanya  keterkaitan pengembangan LKM sebagai lembaga finansial informal dengan lembaga pendukung finansial formal dan lembaga-lembaga penunjang lainnya.  Konsep seperti ini belum banyak dikembangkan oleh KUM sebelumnya di  Sumatera Selatan.

Di samping itu, pada awal penumbuhan LKM disertai dengan dukungan skim modal kerja dan pembinaan dari berbagai pihak, seperti BUMD, BUMN, swasta dan instansi terkait lainnya seperti dinas koperasi dan dinas-dinas teknis pertanian di daerah terlihat sebagai panah dua arah pada Gambar 1. Modifikasi lainnya juga terlihat dalam jumlah pemberian pinjaman pada LKM tidak lagi didasarkan pada kelipatan pinjaman anggota sebelumnya, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan anggota/kelompok.

Sistem administrasi LKM juga dibuat lebih sederhana dibandingkan dengan KUM sebelumnya. Demikian pula penyerahan tanggung jawab pembinaan  setelah LKM dapat berjalan sendiri juga dipersiapkan/dirintis sejak awal pembentukannya, yaitu dari pendampingan yang dilakukan oleh BPTP Sumatera Selatan kepada pemerintah daerah atau instansi terkait di daerah.

Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan)

Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) merupakan Village Working Groups yang perlu dikembangkan dalam implementasi Prima Tani. Kelembagaan  ini merupakan kumpulan beberapa kelompok tani yang terdiri dari 20 hingga 25  kelompok tani, baik dalam satu desa maupun dari beberapa desa. Fungsi dan peran Gapoktan adalah memfasilitasi pemecahan kendala/masalah yang dihadapi petani  dari berbagai kelompok tani yang tergabung dalam Gapoktan. Hal ini berimplikasi bahwa pembentukan Gapoktan akan diikuti dengan pembentukan divisi-divisi / unit-unit usaha berdasarkan adanya kendala atau masalah yang dihadapi oleh petani dalam mengembangkan usaha agribisnisnya. Dengan demikian pembentukan divisi/unit usaha dalam Gapoktan bersifat kondisional dan tergantung pada  kendala yang dihadapi petani dari setiap lokasi Prima Tani.

Dari berbagai pengalaman menunjukkan bahwa kendala utama yang dihadapi petani dalam mengembangkan sistem dan usaha agribisnis antardaerah/ wilayah adalah sangat bervariasi. Misalnya, di lahan rawa pasang surut, keterbatasan tenaga kerja pada kegiatan usahatani merupakan salah satu kendala utama yang dihadapi petani. Masalah seperti ini sering menyebabkan keterlambatan serta ketidakseragaman waktu tanam untuk batas hamparan tertentu, yang semestinya hal tersebut dapat dihindari. Selain itu, mutu beras yang dihasilkan petani juga rendah sebagai akibat belum optimalnya kegiatan panen dan  pasca panen yang dilakukan petani (Hermanto dan Subowo, 2006). Untuk itu, Gapoktan seyogianya dapat mengembangkan unit usaha di bidang alsintan yang diharapkan dapat menjawab masalah tersebut secara spesifik.

Dengan demikian keberadaan Gapoktan, selain ditujukan untuk menunjang kegiatan SUID dan AIP, juga dimaksudkan untuk mendukung pengembangan  lembaga klinik agribisnis, kelembagaan keuangan mikro (melalui saving  mobilisation), dan lembaga Kemitraan Bermediasi dalam kerangka sistem dan usaha agribisnis yang dikembangkan. Selain itu, anggota Gapoktan/kelompok tani  juga dapat dijadikan sebagai focal point untuk mengembangkan farm model dalam  kawasan Prima Tani yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi sumberdaya wilayahnya. Dalam hal ini posisi peneliti, penyuluh, LSM dan instansi terkait adalah sebagai Community Organizer yang memfasilitasi dan mendorong  terjadinya partisipasi interaktif antar kelompok tani/masyarakat dalam proses pengambilan keputusan mengenai perencanaan dan pengembangan wilayahnya.

Kemitraan Bermediasi

Di samping pengembangan kelembagaan Gapoktan juga diperlukan adanya pengembangan kelembagaan Kemitraan Bermediasi seperti yang telah dikembangkan oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia dalam usaha membantu peningkatan pendapatan petani melalui pengembangan sistem pemasaran (Sumardjo et al., 2004 dalam Surip et al., 2006). Model kemitraan bermediasi atau disebut sebagai model MOTRAMED terdiri dari tiga lembaga yang bermitra, yaitu kelompok tani/Gapoktan, pengusaha besar/menengah, dan mediator.

Petani dan pengusaha besar/menengah menyepakati produk yang dinegosiasikan hanya yang memenuhi syarat (jumlah dan mutu), dan sedapat mungkin diikat dalam perjanjian kerjasama secara tertulis (contract farming).  Dalam hal ini, pengusaha besar/menengah diharapkan dapat memberikan jaminan  harga minimal pembelian atau rumus harga tertentu yang disepakati pada saat menjelang musim panen. Selanjutnya, mediator merupakan suatu lembaga netral yang memiliki pengetahuan dan kompetensi terhadap obyek yang dimitrakan,  serta dikenal dan dipercaya oleh kelompok tani dan pengusaha besar/menengah.  Mediator bertugas membuat kajian tentang peluang untuk membangun kemitraan,  berusaha meyakinkan dan membangun kepercayaan kelompok tani/Gapoktan maupun pengusaha besar/menengah tentang pentingnya dan manfaat membangun  kemitraan bisnis.

Dari pengembangan kelembagaan Kemitraan tersebut dapat jadikan sebagai salah satu sarana pengembangan agribisnis industrial di pedesaan melalui  sub-sistem pengolahan dan pemasaran sehingga peningkatan nilai tambah kepada  petani secara optimal dan berkesinambungan dapat diwujudkan. Hal ini berimplikasi bahwa diperlukan adanya dukungan dari kelembagaan keuangan mikro terutama untuk mendukung secara finansial kebutuhan inovasi yang dikembangkan dalam kemitraan tersebut.

Kelembagaan Klinik Agribisnis

Kelembagaan klinik agribisnis merupakan terobosan inovasi kelembagaan  yang dikembangkan dalam implementasi Prima Tani. Kehadiran klinik agribisnis  di tingkat pedesaan tidak ditujukan untuk mengisi kefakuman aspek pelayanan bidang pertanian di pedesaan pasca program intensifikasi melalui sistem Bimas, tetapi lebih ditujukan kepada pemberdayaan masyarakat petani (self  empowerment) serta memberikan “room to manuver” (ruang untuk bergerak) didalam menghadapi tantangan globalisasi dan demokrasi serta menumbuhkan dan  meningkatkan kapabilitas petani dalam menghadapi persoalan usahataninya. Dengan demikian pada awal pembentukan klinik agribisnis, hendaknya perlu ditetapkan ciri-ciri klinik agribisnis yang akan dikembangkan. Selain itu, klinik agribisnis juga seyogianya dibangun dengan bekerjasama dengan BalaiPenyuluhan Pertanian (BPP) dan bila memungkinkan klinik tersebut idealnya ditempatkan di BPP. Hal ini dapat memposisikan klinik agribisnis di pedesaan menjadi salah satu sarana pusat pelayanan informasi untuk pengembangan agribisnis di pedesaan.

Disamping itu, peningkatan eksistensi dan kinerja klinik agribisnis juga perlu dirancang/desain dalam rangka meningkatkan daya sosial yang tinggi terhadap inovasi teknologi. Hal ini dapat diwujudkan melalui berbagai bentuk kegiatan demplot hasil temuan paket teknologi yang sesuai dengan potensi dan daya dukung wilayah. Demplot tersebut, di samping sebagai prototype penerapan teknologi spesifik lokasi dan bila dikelola dalam skala yang relatif luas juga dapat dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan (income generating) dari klinik tersebut dalam menjalankan fungsinya.

Untuk mewujudkan berbagai kegiatan demplot di klinik agribisnis, dukungan finansial dari kelembagaan keuangan mikro sangat diperlukan. Di samping itu, peran lembaga penyuluh, lembaga penelitian dan Gapoktan dalam mendesain berbagai kegiatan demplot juga sangat menentukan keberhasilan pengembangan klinik agribisnis, seperti terlihat pada Gambar 1. Dengan demikian, klinik agribisnis yang dibentuk tidak saja sebagai pusat informasi agribisnis dan wadah “collective learning” di dalam menemukan solusi bagi persoalan usahataninya, tetapi juga sebagai proses “social learning” di wilayah pedesaan untuk merancang sistem kehidupan yang lebih baik.

PENUTUP

Rancangan model kelembagaan tani yang diuraikan dalam tulisan ini hendaklah dipandang sebagai framework untuk mengembangkan kelembagan tani  secara partisipatif dalam implementasi Prima Tani, khususnya di Sumatera Selatan. Dari framework tersebut diharapkan kelembagaan tani yang ditumbuh-kembangkan disetiap lokasi Prima Tani dapat meningkatkan pendapatan petani secara bertahap dan nyata dari tahun ke tahun.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbang Pertanian. 2004. Pedoman Umum Prima Tani. Departemen Pertanian. Badan Litbang Pertanian.

Badan Litbang Pertanian. 2006. Hasil Rumusan Rapat Kerja Persiapan Implementasi Prima Tani 2007. Badan Litbang Pertanian. Cipayung, 31 Juli 2006.

Ellis, Frank. 1992. Agricultural Policies in Developing Countries. Combridge University Press. Australia.

Hermanto, dan Subowo, G. 2006. Model Sistem dan Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut: Konsepsi dan Strategi Pengembangannya. Makalah disampaikan pada seminar Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu.  Balai Litbang Hutan Tanaman Palembang. 28 Maret 2006 di Hotel Swarna Dwipa, Palembang.

Hermanto, R. 2006. Krisis Kopi: Sebuah Pemikiran Ke Arah Upaya Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Pengembangan Agribisnis di Sumatera Selatan. Makalah disampaikan pada ekspose dan seminar nasional “Pemberdayaan Masyarakat melalui Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Lumbung Pangan Nasional” di BPTP Sumsel, 26-27 Juli 2006 Palembang.

Pakpahan, A. 1998. Kerangka Analitik untuk Penelitian Rekayasa Sosial: Perspektif Ekonomi Institusi. Dalam: Effendi Pasandaran et al., (eds) Evolusi Kelembagaan Pedesaan di Tengah Perkembangan Teknologi Pertanian. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Bogor. P.8.Page 16

Pranadji, T. 2003. Diagnosa Kerapuhan Kelembagaan Perekonomian Pedesaan. Forum  Penelitian Agro Ekonomi. Volume 21 No. 2, Desember 2003 : 128 – 142. Pusat  Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Departemen Pertanian.

Simatupang, P. 2004. Prima Tani sebagai Langkah Awal Pengembangan Sistem dan Usaha  Agribisnis Industrial. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Departemen Pertanian.

Singh, N. 2002. Building Social Capital through Micro-Finance: A Perspective on The Growth of Micro-Finance Sector With Special Reference to India. Narsee Monjee  Institute of Management Studies, University Mumbai, India.

Soentoro, Hermanto, T. Budianti dan B. Raharjo. 2000. Karya Usaha Mandiri Wanita Tani: Lembaga Pelayanan Jasa Keuangan Pedesaan di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Badan Litbang Pertanian.

Soentoro. 2004. Pengembangan Kelembagaan di Daerah Lahan Pasang Surut (Kasus Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Karya Usaha Mandiri di Daerah Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan). Dalam: Prosiding Lokakarya Pengelolaan
Lahan Pasang Surut di Kalimatan Tengah. BPTP Kalimatan Tengah, Badan Litbang Pertanian. Palangka Raya, 16 Desember 2004.

Sudaryanto, T dan A. Agustian. 2003. Peningkatan Daya Saing Usahatani Padi: Aspek Kelembagaan. AKP Vol. 1(3):255-274. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Departemen Pertanian.

Surip M, Cahya I., Aris W., Sulistyowati dan Yusianto. 2006. Model Kemitraan Bermediasi (MOTRAMED) untuk Pengembangan Agribisnis Kopi Melalui Perbaikan Mutu dan Sistem Pemasaran di Tingkat Kelompok Tani. Makalah disampaikan pada simposium Kopi 2006. Surabaya, 2-3 Agustus 2006.

Syahrial, O. 2005. Master Plan Sumatera Lumbung Pangan . Makalah disampaikan pada Workshop Penyusunan Master Plan Sumatera Lumbung Pangan di Universitas Sriwijaya, 25-26 November 2005, Palembang.

1 Comment »

  1. artikel yang sangat bermanfaat
    terimakasih banyak Pak Hermanto R, saya sangat terbantu sekali dalam menyusun tugas ahir saya 🙂

    Comment by anna — February 17, 2011 @ 5:23 pm


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.