Kelembagaan DAS

Departemen Kehutanan

KERANGKA KERJA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DI INDONESIA

AMANAH INSTRUKSI PRESIDEN NO. 5 TAHUN 2008 TENTANG FOKUS PROGRAM EKONOMI TAHUN 2008-2009

DEPARTEMEN KEHUTANAN, GEDUNG MANGGALA WANABHAKTI JALAN GATOT SUBROTO – JAKARTA PUSAT

0g0

Kerangka Kerja ( Framework) Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia ini merupakan perwujudan dari amanah Instruksi Presiden RI Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008 – 2009 dimana salah satu programnya adalah Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan sasarannya adalah mengurangi banjir, longsor, kekeringan dan pencemaran air.

Walaupun penyusunan Kerangka Kerja Pengelolaan DAS dalam Inpres tersebut penanggungjawabnya Menteri Kehutanan RI, tetapi dalam penyusunannya Departemen Kehutanan melibatkan para pemangku kepentingan Pengelolaan DAS, baik dari sektor pemerintahan maupun pemangku kepentingan lainnya, yaitu swasta dan masyarakat karena pengelolaan DAS di tingkat lapangan melibatkan banyak sektor pemerintahan, swasta dan masyarakat dan seringkali dilakukan secara terpadu serta berkelanjutan.

Kerangka Kerja ini diharapkan dapat berfungsi sebagai arahan pengelolaan DAS bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah maupun pihak lain yang terkait di seluruh Indonesia.

Menteri Kehutanan,

Dr. (H.C.) H.M.S. KABAN

I. PENDAHULUAN

Undang-Undang RI No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, menyebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan yang bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat adalah dengan meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) dan mempertahankan kecukupan hutan minimal 30 % dari luas DAS dengan sebaran proporsional. Sedangkan yang dimaksud dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air).

Berdasarkan pengertian dari definisi tersebut maka DAS merupakan suatu wilayah daratan atau lahan yang mempunyai komponen topografi, batuan, tanah, vegetasi, air, sungai, iklim, hewan, manusia dan aktivitasnya yang berada pada, di bawah, dan di atas tanah. Sekalipun definisi atau pengertian DAS sama pada beberapa Peraturan Perundangan yang berbeda (Kehutanan dan Sumberdaya Air), namun implementasi dan pengejawantahannya dalam Pengelolaan DAS belum sama; sekaligus ini menjadi masalah pertama yang harus dituntaskan agar platform dan mainframe setiap kementerian, instansi, dan lembaga lainnya menjadi sama.

Pengelolaan DAS adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antar sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan air dengan sumberdaya manusia di DAS dan segala aktivitasnya untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian ekosistem DAS. Pengelolaan DAS pada prinsipnya adalah pengaturan tata guna lahan atau optimalisasi penggunaan lahan untuk berbagai kepentingan secara rasional serta praktek lainnya yang ramah lingkungan sehingga dapat dinilai dengan indikator kunci ( ultimate indicator) kuantitas, kualitas dan kontinuitas aliran sungai pada titik pengeluaran ( outlet) DAS. Jadi salah satu karakteristik suatu DAS adalah adanya keterkaitan biofisik antara daerah hulu dengan daerah hilir melalui daur hidrologi.

Berdasarkan indikator kunci dan indikator lainnya (lahan, sosek dan kelembagaan) yang sudah ditetapkan maka diketahui tingkat kerusakan DAS yang kemudian perlu ditetapkan prioritas penanganannya. DAS-DAS Prioritas I adalah DASDAS yang prioritas pengelolaannya paling tinggi karena menunjukkan kondisi dan permasalahan biofisik dan sosek DAS paling “kritis” atau “tidak sehat”. Prioritas II adalah DAS-DAS yang prioritas pengelolaannya sedang, sedangkan DAS prioritas III dianggap kurang prioritas untuk ditangani karena kondisi biofisik dan soseknya masih relatif baik (tidak kritis) atau DAS tersebut dianggap masih “sehat”.

Jumlah DAS Prioritas I (kritis) terus bertambah sejak 30 tahun yang lalu dari 22 DAS tahun 1970 menjadi 36 DAS tahun 1980-an dan sejak tahun 1999 menjadi 60 DAS. Peningkatan jumlah DAS Prioritas I tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan DAS selama ini belum tepat sasaran.

Tingkat kekritisan suatu DAS ditunjukkan oleh menurunnya penutupan vegetasi permanen dan meluasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan air yang berdampak pada meningkatnya frekuensi banjir, erosi dan penyebaran tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Sampai dengan tahun 2007 penutupan hutan di Indonesia sekitar 50% luas daratan dan ada kecenderungan luasan areal yang tertutup hutan terus menurun dengan rata-rata laju deforestasi tahun 2000-2005 sekitar 1,089 juta ha per tahun. Sedangkan lahan kritis dan sangat kritis masih tetap luas yaitu sekitar 30.2 juta ha (terdiri dari 23,3 juta ha sangat kritis dan 6,9 juta ha kritis), erosi dari daerah pertanian lahan kering yang padat penduduk tetap tinggi melebihi yang dapat ditoleransi (15 ton/ha/th) sehingga fungsi DAS dalam mengatur siklus hidrologi menjadi menurun.

Tingkat kekritisan DAS sangat berkaitan dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat petani di daerah tengah hingga hulu DAS terutama jika kawasan hutan dalam DAS tidak luas seperti DAS-DAS di pulau Jawa dan Bali. Tingkat kesadaran dan kemampuan ekonomi masyarakat petani yang rendah akan mendahulukan kebutuhan primer dan sekunder (sandang, pangan, dan papan) bukan kepedulian terhadap lingkungan sehingga sering terjadi perambahan hutan di daerah hulu DAS, penebangan liar dan praktik-praktik pertanian lahan kering di perbukitan yang akan meningkatkan kekritisan DAS.

Faktor lain yang menyebabkan pengelolaan DAS belum berhasil dengan baik adalah kurangnya keterpaduan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pengelolaan DAS termasuk dalam hal pembiayaannya. Hal ini karena banyaknya instansi yang terlibat dalam pengelolaan DAS seperti Departemen Kehutanan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri, Bakosurtanal dan Kementerian Lingkungan Hidup, perusahaan swasta dan masyarakat.

Mengingat permasalahan pengelolaan DAS tersebut bersifat multisektor, multipihak dan multidimensi serta cukup mendesak untuk ditangani, maka Presiden Republik Indonesia perlu menetapkan “Kerangka Kerja Pengelolaan DAS di Indonesia” yang mendukung prinsip pengelolaan DAS yang mengacu pada kaidahkaidah “satu DAS, satu rencana, & satu sistem pengelolaan terpadu”. Kerangka Kerja Nasional tersebut ditetapkan sebagai salah satu arah kebijakan pemerintah dan pedoman umum dalam melaksanakan pengelolaan DAS secara komprehensif dan terpadu di Indonesia. Dengan demikian akar permasalahan dan masalah turunannya dapat lebih teratasi yang pada akhirnya akan dapat menekan bahkan menurunkan laju kerusakan DAS.

II. TANTANGAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI KE DEPAN

1. Degradasi hutan dan lahan

Luas kawasan hutan pada tahun 2007 adalah sekitar 133,695 juta hektare (Badan Planologi Kehutanan, tahun 2007) dan jumlah penduduk Indonesia lebih dari 220 juta. Degradasi hutan dan lahan semakin meluas sebagai akibat penambahan jumlah penduduk yang memerlukan lahan untuk sandang, pangan, papan dan energi. Pengurangan areal hutan untuk pertanian dan konversi lahan pertanian untuk bangunan akan menurunkan resapan air hujan dan meningkatkan aliran air permukaan sehingga frekuensi bencana banjir dan tanah longsor semakin tinggi. Degradasi hutan dan lahan terutama di hulu DAS harus bisa direhabilitasi dengan adanya pengelolaan DAS yang dilakukan secara terpadu oleh semua pihak yang ada pada DAS dengan memperhitungkan biofosik dan semua aspek sosial ekonomi. Degradasi hutan dan lahan selama kurun waktu 2000-2005 sangat memprihatinkan yaitu rata-rata 1,089 juta hektar per tahun. Degradasi di lahan pertanian terus terjadi akibat erosi tanah yang tinggi sehingga memicu semakin luasnya lahan kritis dan meningkatnya sedimentasi pada waduk-waduk yang akan berdampak pada berkurangnya daya tampung dan pasokan air untuk irigasi serta Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Apabila tidak dilakukan upaya-upaya untuk mencegah degradasi hutan dan lahan serta upaya untuk memulihkannya, maka DAS akan semakin menurun kualitasnya. Karena itu pengelolaan DAS di masa yang akan datang harus mampu mengkonservasi, merehabilitasi dan meningkatkan produktivitas hutan dan lahan yang dapat memenuhi kebutuhan penduduk terhadap barang dan jasa lingkungan yang semakin meningkat.

2. Ketahanan Pangan, energi dan air

Keberhasilan Pengelolaan DAS berdampak terhadap ketahanan pangan di masa mendatang. Saat ini luas areal irigasi tanaman padi di Indonesia berjumlah ± 7,2 juta hektar dan sebagian besar ada pada hilir DAS, banyak areal pertanian yang subur dikonversi menjadi bangunan atau infrastuktur yang mengurangi lahan pangan produktif dan menurunkan fungsi hidrologis DAS. Terjadinya banjir akibat pengelolaan DAS yang tidak optimal akan menyebabkan daya tampung waduk irigasi berkurang karena sedimentasi, dan pada musim hujan cenderung banjir sehingga areal-areal irigasi pada hilir DAS akan tergenang yang pada gilirannya menurunkan produksi beras nasional. Disamping itu kekeringan pada musim kemarau menyebabkan areal irigasi yang dapat dialiri berkurang sehingga produksi padi berkurang.

Dengan semakin mahalnya energi minyak bumi, maka diperlukan energi alternatif berupa energi yang bisa diperbaharui seperti kayu bakar, bio-disel, pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Dengan bertambahnya penduduk dan berkembangnya kegiatan ekonomi, maka kebutuhan air untuk berbagai kepentingan seperti air baku, pertanian, perindustrian dan PLTA akan semakin besar. Karena itu pengelolaan DAS dimasa yang akan datang seharusnya bisa mendukung ketersediaan pangan, air dan energi alternatif tersebut baik melalui manajemen kawasan lindung maupun kawasan budidaya.

3. Kesadaran dan kemampuan para pihak

Pengelolaan DAS melibatkan banyak pihak mulai unsur pemerintahan, swasta, dan masyarakat. Ada indikasi bahwa kesadaran dan kemampuan para pihak dalam melestarikan ekosistem DAS masih rendah, misalya masih banyak lahan yang seharusnya berupa kawasan lindung atau resapan air masih digunakan untuk fungsi budidaya yang diolah secara intensif atau dibangun untuk pemukiman baik secara legal maupun illegal, sehingga meningkatkan resiko erosi, longsor dan banjir. Dalam aliran sungai sendiri sering dijumpai sampah dan limbah dari berbagai sumber yang menyebabkan pendangkalan, penyumbatan, dan pencemaran air sungai sehingga kualitas air dan palung sungai menjadi rusak yang pada akhirnya merugikan lingkungan dan kehidupan masyarakat. Rendahnya kesadaran, kemampuan dan partisipasi para pihak dalam pengelolaan DAS menjadi tantangan bagi para pengelola DAS dan unsur lain yang terkait dengan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan kepada masyarakat
secara luas.

4. Otonomi Daerah

Era otonomi pemerintahan daerah bisa membuat masalah pengelolaan DAS semakin kompleks karena tidak semua pemerintah daerah memahami konsep pengelolaan DAS yang berbasis ekosistem dan lintas batas administrasi. Sikap mementingkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga akan menyebabkan konsep pengelolaan DAS terpadu yang mementingkan pelestarian ekosistem akan terabaikan karena penggunaan sumberdaya alam DAS yang tidak proporsional dan rasional. Dengan demikian mendesak dibentuk Forum Pengelolaan DAS yang menjadi forum kosultasi antar pihak untuk melakukan sinergitas dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Keterlibatan secara aktif para pihak ( stakeholders) akan membangun rasa memiliki, memanfaatkan secara arif, dan memelihara sumberdaya secara bersamasama.

5. Kebijakan Nasional

Pengelolaan DAS yang melibatkan banyak pihak dan lintas wilayah administrasi dapat menyebabkan konflik kepentingan antar para pihak yang terlibat dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan jasa lingkungan DAS. Hal ini memerlukan regulasi dan kebijakan pada berbagai tingkat baik pada tingkat nasional, propinsi maupun tingkat kabupaten/kota bahkan kadang-kadang sampai tingkat desa. Karena upaya penanganan permasalahan DAS memerlukan sumberdaya yang banyak dan waktu yang panjang maka pengelolaan DAS harus dimasukkan sebagai salah satu program nasional, dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah (RPJP dan RPJM). Dengan demikian program pengelolaan DAS tersebut menjadi arus utama dalam kegiatan dan alokasi penganggaran di tingkat nasional, propinsi dan kabupaten/kota.

6. Isu lingkungan Global

Peningkatan kegiatan pembangunan ekonomi global selama ini telah menyebabkan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer sehingga terjadi pemanasan global yang membawa dampak negatif terhadap ekosistem dan kehidupan manusia. Kegiatan ekonomi yang pesat juga menyebabkan terjadinya degradasi lahan dan penurunan keanekaragaman hayati di banyak tempat di Indonesia. Dengan meningkatnya kejadian bencana yang terkait iklim seperti banjir, longsor dan kekeringan maka pengelolaan DAS menjadi sangat penting sebagai upaya Adaptasi menghadapi perubahan iklim tersebut. Selain itu pengelolaan DAS juga merupakan upaya Mitigasi perubahan iklim dan isu global lainnya seperti konservasi hutan dan vegetasi permanen lainnya, upaya rehabilitasi hutan dan lahan, penggunaan teknologi pertanian tepat guna dan ramah lingkungan.

III. LANDASAN HUKUM

Landasan hukum pengelolaan DAS terpadu berupa Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah sebenarnya belum ada secara khusus, tetapi secara substansi pengelolaan DAS terkandung dalam Undang-undang Dasar 1945 dan beberapa Undang-Undang serta Peraturan Pemerintah.

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam kaitan ini, pengelolaan DAS sebagai ekosistem pada hakikatnya ditujukan untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya alam terutama hutan, lahan dan air untuk kesejahteraan rakyat sekaligus menjaga kelestarian DAS itu sendiri.

Secara jelas dalam Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dituliskan bahwa tujuan penyelenggaraan kehutanan adalah untuk meningkatkan daya dukung DAS dan seluas 30 % dari total luas DAS berupa kawasan hutan. Sementara, pemanfaatan kawasan pada hutan lindung, hutan konservasi dan hutan produksi harus dilakukan dengan kehati-hatian. Demikian juga pemanfaatan hasil hutan dan jasa lingkungan pada semua fungsi kawasan hutan lindung harus dilakukan secara lestari (berkelanjutan) tanpa mengganggu kelestarian fungsi ekosistem hutan sehingga hutan sebagai bagian dari DAS ikut meningkatkan daya dukung DAS.

Dalam UU No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan peraturan turunannya seperti PP No 42 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air dan Perpres No 12 tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air, DAS memang didefinisikan secara rinci dan kemudian DAS menjadi bagian dari Wilyah Sungai (WS) yaitu kesatuan wilayah pengelolaan sumberdaya air dalam satu atau lebih DAS dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2. Undang-undang sumber daya air tersebut dan peraturan turunannya lebih banyak mengatur tentang konservasi, pembangunan, pendayagunaan/pemanfaatan, distribusi dan pengendalian daya rusak air serta kelembagaan sumber daya air. Pusat perhatiannya lebih kepada pengaturan air di sungai dan badan air ( instream& water bodies) termasuk tindakan konservasi air di sekitar sumber-sumber air, tetapi kurang mengatur komponen DAS lainnya seperti perilaku dan aktivitas orang dan makhluk hidup lain yang saling berinteraksi di dalam DAS, atau dinamika penggunaan lahan. Demikian juga untuk aspek kelembagaan, penekanan hanya pada organisasi pengelola sumberdaya air walaupun sifatnya koordinatif dari nasional hingga kabupaten/kota dan antar sektor.

Dalam UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa perencanaan penggunaan ruang/wilayah berdasarkan fungsi lindung & budidaya, daya dukung dan daya tampung kawasan, keterpaduan, keterkaitan, keseimbangan, dan keserasian antar sektor. Perencanaan tata ruang wilayah (RTRW) dilakukan dalam batas-batas wilayah administrasi nasional, propinsi, kabupaten/kota sampai kecamatan, tetapi pertimbangan DAS sebagai kesatuan ekosistem lintas wilayah administrasi masih sangat kurang diperhatikan walaupun definisi DAS (PP No 26 tahun 2008 tentang Tata Ruang Wilayah Nasional) sepenuhnya merujuk UU No 7/2004 dan PP 42/2008 tentang sumberdaya air.

Berdasarkan atas kebutuhan dan historis pelaksanaan kegiatan pengelolaan DAS di Indonesia, telah disusun Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan DAS dan ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 52 tahun 2001 dan No 326 tahun 2005 tentang Kriteria Penetapan Prioritas DAS. Kemudian PP no 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, menyebutkan bahwa Pemerintah mempunyai kewenangan menetapkan pola umum, kriteria, prosedur dan standar pengelolaan DAS penyusunan rencana DAS Terpadu dan penetapan urutan DAS prioritas. Sedangkan Pemerintah Propinsi berwenang menyelenggarakan pengelolaan DAS lintas kabupaten/kota dan Pemerintah Kabupaten/kota menyelenggarakan pengelolaan DAS skala kabupaten/kota. Atas dasar PP no 38 tahun 2007, maka pada tahun 2007/2008 Departemen Kehutanan telah menyusun Pola Umum, Kriteria dan Standar Pengelolaan DAS Terpadu. Penguatan dan taat azas implementasi peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan DAS oleh semua pihak akan memperkuat implementasi Pola Umum tersebut.

Sehubungan dengan semakin menigkatnya permasalahan DAS yang harus diselesaikan secara terpadu dengan melibatkan berbagai sektor dan wilayah pemerintahan administrasi serta permintaan dari berbagai pihak terkait, maka Departemen Kehutanan telah berprakarsa menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Konservasi Tanah. Hal ini sangat dibutuhkan karena sampai saat ini banyak pengunaaan tanah yang tidak menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air sehingga sangat mempengaruhi kondisi kerusakan DAS. Sejak tahun 2006 Departemen Kehutanan menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengelolaan DAS Terpadu. Dalam RPP tersebut dituliskan secara gamblang, rinci, serta holistik dan komprehensif tentang pengelolaan DAS sebagai satu unit analisis dalam kesatuan wilayah ekologis dari hulu sampai hilir. Dalam hal ini segala aspek biogeofisik, sosial ekonomi, dan kelembagaan, bahkan aspek pembiayaan sangat dipertimbangkan dan diperhitungkan.

IV. VISI, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP PENGELOLAAN DAS

Visi pengelolaan DAS untuk 20 tahun ke depan adalah mewujudkan kondisi DAS yang optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Secara rinci visi tersebut dapat diuraikan sebagai tujuan pengelolaan DAS yang meliputi:

  1. Lahan yang produktif dan berkelanjutan sesuai dengan daya dukungnya. Setiap pengguna lahan hendaknya secara rasional memanfaatkan lahannya menurut kelas kemampuan dan kesesuaian lahannya sehingga produktivitasnya termasuk keanekaragaman hayati baik di kawasan lindung maupun di kawasan budidaya tetap dapat dipertahankan, tidak terjadi erosi yang melebihi tingkat yang dapat ditoleransikan dan tidak terjadi kerusakan lahan.
  2. DAS yang mempunyai tutupan vegetasi tetap yang memadai dan aliran (debit) air sungai stabil dan jernih tanpa ada pencemaran air. Penggunaan lahan yang rasional dan proporsional yang ditumbuhi vegetasi yang memadai akan meningkatkan resapan air ke dalam tanah dan mengurangi aliran permukaan dan sedimentasi sehingga fluktuasi debit aliran sungai akan relatif kecil dan merata sepanjang tahun ( water yieldmencukupi kebutuhan) dengan kualitas yang baik.
  3. Kesadaran, kemampuan dan partisipasi aktif para pihak termasuk masyarakat di dalam pengelolaan DAS semakin lebih baik.
  4. Kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Pemanfaatan sumberdaya alam dalam DAS secara bijaksana dan berkelanjutan diharapkan dapat mensejahterakan masyarakat melalui barang dan jasa yang dihasilkan DAS.

Apabila tujuan pengelolaan DAS tersebut tercapai dengan baik maka kinerja pengelolaan DAS dapat dinilai dan diukur secara kuantitatif sehingga dapat dipahami oleh semua pihak. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu banyak kegiatan yang dilakukan di dalam DAS, namun secara garis besar ruang lingkup kegiatan pengelolaan DAS meliputi :

  1. Penatagunaan lahan ( landuse planning) untuk memenuhi berbagai kebutuhan barang dan jasa serta kelestarian lingkungan.
  2. Penerapan konservasi sumberdaya air untuk menekan daya rusak air dan untuk memproduksi air ( water yield) melalui optimalisasi penggunaan lahan.
  3. Pengelolaan lahan dan vegetasi di dalam dan luar kawasan hutan (pemanfaatan, rehabilitasi, restorasi, reklamasi dan konservasi).
  4. Pembangunan dan pengelolaan sumberdaya buatan terutama yang terkait dengan konservasi tanah dan air.
  5. Pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS. Kegiatan pengelolaan DAS tersebut di atas mencakup aspek-aspek perencanaan, pengorganisasian, implementasi kegiatan di lapangan, pengendalian dan aspek pendukung yang melibatkan berbagai pihak pemangku kepentingan ( stakeholders), baik unsur pemerintah, swasta maupun masyarakat.

V. STRATEGI MENCAPAI TUJUAN PENGELOLAAN DAS

Strategi untuk mencapai tujuan pengelolaan DAS secara umum adalah meningkatkan penyelenggaraan kegiatan pengelolaan DAS oleh semua pihak yang berkepentingan baik ditingkat Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta maupun masyarakat. Strategi tersebut dibuat dalam suatu kerangka logis ( logframe) yang disajikan pada Tabel 1. Logframe tersebut dibuat dengan memperhatikan aspek-aspek management yang baku yaitu aspek utama (perencanaan, kelembagaan/organisasi, pelaksanaan, serta pengendalian, monitoring dan evaluasi) dan aspek pendukung (pemberdayaan masyarakat, sistem informasi manajemen, pembiayaan, dan insentif disinsentif). Kerangka logis pengelolaan DAS tersebut mempertimbangkan DAS sebagai satu kesatuan sistem pengelolaan dan DAS sebagai suatu sistem hidrologis yang utuh baik dari aspek hubungan hulu hilir, lintas sektoral, maupun lintas wilayah administrasi.

Selanjutnya secara rinci dalam matrik kerangka logis sistem pengelolaan DAS diuraikan upaya-upaya yang dapat ditempuh lebih operasional pada setiap aras/tingkat manajemen yang baku sehingga diperoleh keluaran yang terukur. Secara keseluruhan, upaya-upaya tersebut ditempuh dalam rangka pencapaian tujuan pengelolaan DAS dan sesuai dengan visi yang diuraikan sebelumnya.

Dengan menganalisis secara komprehensif isi kerangka logis dalam Tabel 1, pengelolaan DAS mudah untuk dijabarkan namun memerlukan upaya yang konsisten, taat azas, memegang komitmen, dan memerlukan waktu yang panjang. Tidak kalah pentingnya adalah seorang pemimpin yang peduli dan pengelola DAS sangat dibutuhkan untuk bisa memfasilitasi stakeholdersDAS dalam pemanfaatan sumberdaya alam DAS dan mencarikan pemecahan masalah secara kolektif dalam rangka pembangunan DAS yang berkelanjutan.

Pada akhirnya, kerangka kerja yang tersusun tersebut dapat dijadikan arahan kebijakan nasional pengelolaan DAS dan dapat menjadi pegangan setiap instansi yang terkait dalam berpartisipasi menjalankan pengelolaan DAS sesuai dengan tugas pokok dan fungsi serta wewenang dan otoritas masing-masing instansi tersebut.

VI. PENUTUP

Pengelolaan DAS merupakan suatu kegiatan investasi untuk dipanen hasilnya pada waktu ke depan dengan konsekuensi belum tentu investor tersebut mendapatkan keuntungan secara langsung terutama berupa jasa lingkungan karena banyak sumberdaya di dalam DAS merupakan barang milik umum ( common goodsdan public domain). Oleh karena itu kesadaran orang/ stakeholders berpartisipasi dalam pengelolaan DAS terutama menghargai jasa lingkungan merupakan kunci keberhasilan pengelolaan DAS, sementara itu pemerintah ( interdepartemental, pemerintah pusat, dan daerah) secara kolektif harus mampu memfasilitasinya.

Melihat kompleksitas permasalahan DAS, dipandang perlu untuk mengeluarkan aturan main dalam bentuk Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Pengelolaan DAS Terpadu dan menjadikan pengelolaan DAS sebagai salah satu program pembangunan nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).

Selanjutnya untuk mendukung pelaksanaan program pengelolaan DAS perlu adanya Forum Pengelolaan DAS pada berbagai tingkat yaitu tingkat nasional, propinsi dan kabupaten/kota dan atau tingkat DAS sebagai forum konsultasi dan koordinasi informal antar para pihak terkait yang dapat memberikan masukan atau rekomendasi kepada pembuat keputusan di pemerintahan. Forum DAS bukan lembaga eksekutif pengelolaan DAS karena pelaksanaan pengelolaan DAS tetap dilakukan oleh lembaga atau instansi teknis kementerian dan satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) sesuai kewenangannya masing-masing.

0t1

0t1A

0t1B

0t1C

0t1D

0t1E

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.