Kelembagaan DAS

Yana Supriyatna, dkk.

ANALISIS KELEMBAGAAN KEMITRAAN USAHATERNAK AYAM RAS PEDAGING: STUDI KASUS DI PROPINSI BALI

(Institutional Partnership Analysis in Broiler Production: A Case Study in Bali Province)

YANA SUPRIYATNA, SRI WAHYUNI dan I WAYAN RUSASTRA

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jl. Jend. A. Yani No. 70, Bogor

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006

ABSTRACT

Institutional consolidation at farmers’ level through partnership in order to reach the performance of farmers effectively is needed. The aimed of this study is to identify the existence of institutional partnership in broiler production and to analyze the relationship between the institutions. Research was conducted in Tabanan, Bali through survey and interviewed institutions engage in broiler industry such as nucleus and plasm farmers. Data were analyzed qualitatively and presented descriptively. The results were partnership farmers, via nucleus farmers had direct access to modern as well as conventional market while the independent farmers sold the product via traders. Participative functional partnership with equal benefit need to be socialized in the efforts to increase the farmer’s benefit and for guaranty the sustainability of the industry.

Key Words: Intitutional Arranggement, Broiler, Partnership

ABSTRAK

Penguatan konsolidasi kelembagaan di tingkat peternak rakyat melalui pengembangan pola kemitraan dinilai masih relevan, sehingga secara efektif dapat mendorong kinerja peternakan rakyat. Penelitian bertujuan mengidentifikasi eksistensi kelembagaan kemitraan pemasaran ayam ras pedaging dan menganalisis kerjasama kemitraan yang terjalin. Lokasi penelitian di Kabupaten Tabanan, Propinsi Bali, melalui metode survei dengan wawancara terhadap lembaga pelaku agribisnis ayam ras pedaging meliputi peternak inti dan plasma. Data dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peternak pola kemitraan melalui inti memiliki akses langsung ke pasar modern dan konvensional sementara peternak mandiri umumnya melakukan penjualan melalui pedagang pengumpul. Keterkaitan fungsional yang partisipatif dan saling menguntungkan antara peternak inti dan rakyat perlu disosialisasikan dan dimantapkan dalam pelaksanaannya sehingga dapat meningkatkan pendapatan rakyat dan menjamin keberlanjutan usahaternak.

Kata Kunci: Kelembagaan, Broiler, Kemitraann

PENDAHULUAN

Ayam ras pedaging memiliki kontribusi 68,1 persen terhadap total produksi daging nasional yang besarnya 1.203 ribu ton (DITJENNAK, 2004). Fakta ini merefleksikan tingginya tingkat partisipasi pengusahaan oleh peternak. Secara kuantitatif dilaporkan YUSDJA et al. (2004) bahwa terdapat sekitar 75.000 peternak komersial skala kecil yang berperan dan menguasai sekitar 65 persen dari produksi unggas nasional. Sementara hasil analisis empirik agribisnis perunggasan peternakan broiler secara parsial yang dilakukan selama ini (SUMARYANTO et al. 1989; RUSASTRA et al.,1990; AGUSTIAN dan RACHMAN, 1994; YUSDJA, 1997; SAPTANA et al., 2002) memberikan beberapa informasi penting diantaranya bahwa struktur industri perunggasan perlu diarahkan pada penguatan konsolidasi kelembagaan di tingkat peternak rakyat melalui pengembangan pola kemitraan dengan azas saling membutuhkan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Disisi lain SITORUS et al. (2001) menekankan bahwa petani (termasuk peternak) harus menjadi perhatian utama dalam proses pembangunan agribisnis berbasis komunitas dan mempertimbangkan mereka sebagai subyek pelaku agribisnis yang aktif dan inovatif, berkedudukan setara dengan pelaku agribisnis lainnya.

Temuan diatas memberikan inspirasi, jika diperoleh informasi tentang eksistensi kelembagaan rantai pemasaran (petanipemasok- pasar) yang ada, kemudian dapat ditata dengan baik tentu akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat peternak. Namun demikian informasi tentang kinerja kelembagaan rantai pemasaran yang mencakup berbagai bentuk kelembagaan yang ada dan antisipasi perbaikannya demi kepentingan pengembangan peternakan rakyat masih sangat terbatas. Makalah berikut mengemukakan eksistensi kelembagaan kemitraan rantai pemasaran ayam ras pedaging mulai dari hulu sampai hilir dan menganalisis kerjasama kemitraan yang terjalin. Eksistensi yang dikaji meliputi: 1) bentuk/format, 2) hak dan kewajiban, 3) kinerja dan dampaknya terhadap pengembangan produksi, usahatani, dan kesejahteraan peternak. Adapun yang dimaksud kelembagaan dalam tulisan ini adalah mengacu pada pendapat WARISO (2000) dan SYAHYUTI (2004), yaitu semua bentuk jalinan hubungan vertikal maupun horizontal antara dua individu atau lebih, mulai dari yang struktur dan aturannya sederhana bahkan hanya tersirat. Sebagai ilustrasi, keluarga peternak tanpa pembagian kerja secara tertulis namun dalam aktifitas sehari-hari menjalankan tugas masingmasing, sampai pada yang struktur dan aturannya kompleks serta tersurat. Informasi yang diperoleh dari penelitian dijadikan dasar dalam mengantisipasi strategi pengembangan lembaga kemitraan rantai pemasaran yang diharapkan.

METODOLOGI

Lokasi penelitian

Dipilih lokasi yang merupakan sentra produsen dan konsumen agar diperoleh gambaran yang utuh tentang kelembagaan kemitraan rantai pemasaran mulai dari hulu (produsen) sampai hilir termasuk konsumen lembaga, yaitu Propinsi Bali. Selanjutnya dipilih Kabupaten yang populasi ternak serta peternaknya tertinggi sehingga terpilih Kabupaten Tabanan.

Sampel

Sampel adalah individu yang terkait dalam agribisnis usahaternak ayam ras pedaging mulai dari produsen yaitu peternak rakyat maupun perusahaan, pedagang input, pedagang broiler, pelaku utama di pasar konvensional, pasar modern dan konsumen lembaga (rumah sakit, hotel dan restoran) serta informan kunci yang seluruhnya berjumlah 71 responden.

Data/analisa data

Data diperoleh melalui survei (SIGIT, 1999) mulai bulan Januari sampai dengan Mei 2006, berdasarkan wawancara mendalam dan terstruktur. Data dianalisa secara kuantitatif dan kualitatif dan disajikan secara deskriptif (CASLEY dan KUMAR, 1988)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bentuk kelembagaan kemitraan

Kelembagaan kemitraan merupakan strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu, untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan, menguntungkan dan memperkuat dengan memperhatikan tanggung jawab moral dan etika bisnis yang merupakan landasan awal pelaksanaan kemitraan (HAFSAH, 1999). Mengacu pada pengertian tersebut, maka analisis kelembagaan kemitraan akan ditinjau dari dasar etika bisnis yang terjalin antar kelembagaan yang meliputi: (1) karakter (akhlak atau budi pekerti); (2) kepercayaan (saling menghargai); (3) komunikasi yang terbuka; (4) adil (tidak memihak); dan (5) keseimbangan antara insentif dan risiko.

Di lokasi penelitian terdapat dua pelaku kegiatan usahaternak ayam ras pedaging yaitu: (1) peternak mandiri; dan (2) peternak kemitraan, yang terbagi ke dalam kemitraan atas dasar kesepakatan lisan dan peternak bermitra secara resmi tertulis.

Peternak mandiri

Peternak mandiri prinsipnya menyediakan seluruh input produksi dari modal sendiri dan bebas memasarkan produknya. Pengambilan keputusan menckup kapan memulai berternak dan memanen ternaknya, serta seluruh keuntungan dan risiko ditanggung sepenuhnya oleh peternak. Adapun ciri ciri peternak mandiri adalah mampu membuat keputusan sendiri tentang: (a) perencanaan usaha peternakan; (b) menentukan fasilitas perkandangan; (c) menentukan jenis dan jumlah sapronak yang akan digunakan; (d) menentukan saat penebaran DOC di dalam kandang; (e) menentukan manajemen produksi; (f) menentukan tempat dan harga penjualan hasil produksi; serta (g) tidak terikat dalam suatu kemitraan.

Peternak bermitra secara lisan

Peternak bermitra secara lisan terbentuk karena peternak yang semula mandiri ternyata dalam perjalanan usahaternak mengalami kesulitan modal sebelum mencapai periode panen atau finisher. Dalam kesulitan ini peternak meminta bantuan kepada Poultry Shop (PS) untuk meminjamkan kebutuhan pakan dan obat-obatan yang dibayar kemudian setelah ayam dipanen melalui kesepakatan lisan. Dalam kemitraan ini peternak tidak harus menjual ternaknya kepada PS, namun syaratnya usaha ternak dapat di monitor oleh fihak PS.

Mencermati kemitraan tersebut tercermin adanya komunikasi yang terbuka dan saling percaya serta karakter akhlak/budi pekerti yang kental terutama dari fihak PS. Kemitraan ini dirasakan sangat membantu peternak walaupun sebetulnya pemilik PS juga mempunyai kepentingan yaitu agar dagangannya terjual. Hal ini merupakan bukti bahwa antara peternak dan PS saling membutuhkan. Harga input yang dipinjam peternak diperhitungkan sama dengan harga pasar dan produk juga dibeli dengan harga pasar kalau mereka menjual hasil panen ke PS, sehingga kemitraan ini tergolong adil. Adapun persyaratan harus bersedia di monitor dimaksudkan oleh fihak PS sebagai insentif bagi peternak karena pada saat memonitor sekaligus diberikan bimbingan. Bimbingan dan monitoring usahaternak dilakukan oleh seorang Technical Service (TS) yang disediakan oleh PS. Bimbingan berupa pemberian ”Daftar Harian Kandang” yang terdiri dari jadwal harian pemberian obat, pencatatan ternak yang mati, jumlah pakan yang diberikan, serta jadwal penyemprotan kandang. Monitoring meliputi perkembangan kesehatan ternak, penimbangan berat badan dan perhitungan Feed Conversion Ratio (FCR). Semua hasil monitoring dicatat dan diinventarisir sehingga dari hasil monitoring tersebut PS dengan mudah dapat mengetahui apakah ternak diusahakan dengan manajemen yang dianjurkan atau tidak sehingga hasil monitoring sekaligus merupakan cermin kejujuran peternak.

Peternak bermitra secara resmi

Peternak bermitra secara resmi dan tertulis dilatarbelakangi oleh sejarah munculnya kemitraan yang kembali bangkit dan berkembang setelah terjadi krisis moneter pada tahun 1997. Kondisi bisnis broiler pada saat itu sangat tidak menentu, posisi produsen lemah dan tidak punya posisi tawar (bargaining position) sehingga kandang broiler kosong karena peternak tidak mampu membeli input yang mahal. Pedagang input (perusahaan) lesu karena rendahnya daya beli peternak, demikian pula pedagang produk yang semula berjaya menjadi vakum. Akhirnya peternak, pedagang input dan perusahaan menjalin kemitraan untuk memperoleh keuntungan dan kesejahteraan serta menanggung risiko bersama.

Berlatar belakang kondisi tersebut diatas maka prinsip kemitraan bukan suatu usaha bagi hasil tetapi menanggung risiko bersama sehingga yang menentukan keberhasilan usaha adalah kerjasama yang bagus antara produsen, pedagang dan perusahaan, dan bukan harga. Garis besar alasan peternak beralih menjadi plasma kemitraan, yaitu (a) kekurangan modal usaha; (b) mengurangi risiko kegagalan/ kerugian; (c) untuk memperoleh jaminan kepastian penghasilan; (d) untuk memperoleh jaminan kepastian dalam pemasaran; (e) untuk mendapatkan jaminan kepastian supply sapronak; dan (f) untuk memanfaatkan kandang yang sedang kosong. Perbedaan implementasi dasar etika bisnis dalam kemitraan dari ke dua sistem kemitraan dikemukakan pada Tabel 1.

0t1

Untuk menjadi mitra peternak harus mendaftarkan diri ke kantor Inti dengan membawa Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) dan menunjukkan telah memiliki lokasi untuk kandang. Selanjutnya lokasi kandang di survei oleh inti, setelah disetujui peternak mempersiapkan kandang dan setelah kandang dan peralatan tersedia fihak inti segera mengirim DOC dan pakan. Seorang mitra diberi kartu untuk mencatat jumlah pakan dan obat-obatan yang dikirim sekaligus untuk mengetahui prestasi yang dicapai. Hal penting yang harus diketahui oleh peternak adalah harga pakan, obat-obatan dan harga ayam saat dipanen sudah ditentukan pada saat kontrak.

Hak dan kewajiban

Dalam kemitraan terdapat hak dan kewajiban. Kemitraan lisan tidak secara tersurat menjelaskan hak dan kewajiban peternak. Dalam kemitraan resmi secara jelas dan tertulis mencantumkan hak menerima input produksi (bibit, pakan, obat-obatan dan bahan kimia) dari inti, sedangkan kandang dan peralatan disiapkan oleh peternak plasma. Kewajiban peternak adalah memelihara ternak dengan baik termasuk menyediakan tenaga kerja dan menjual produk kepada inti dengan harga yang telah disepakati dalam kontrak resmi. Inti memasarkan produk melalui pedagang pengumpul dalam bentuk ayam hidup maupun memotong di RPA milik Inti, dan memasarkan dalam bentuk daging ke berbagai konsumen. Bentuk jalinan kemitraan yang ada dikemukakan dalam Tabel 2.

0t2

Tabel 2 menjelaskan hubungan kemitraan pola PIR (inti plasma) yakni perusahaan sapronak (sebagai inti) dengan peternak ayam (sebagai plasma). Inti mensuplai sapronak dengan harga kontrak, dan peternak menyediakan kandang dengan peralatan selengkapnya serta melakukan pemeliharaan ayam. Seluruh hasil produksinya wajib dijual kembali kepada inti dengan harga standar sesuai kontrak, selanjutnya inti menjual kepada pedagang ayam (bakul) atau pemotong ayam dengan harga pasar.

Kinerja kelembagaan kemitraan

Bentuk kerjasama dalam pemasaran ternak maupun daging dikemukakan pada Gambar 1. Dari Gambar tersebut tampak bahwa peternak inti/perusahaan dan PS menjual ayam dalam keadaan hidup maupun daging kepada para bakul yang kemudian memasarkan kepada pengecer di pasar konvensional. Pemasaran dalam bentuk daging broiler ditujukan ke pasar modern, industri pengolahan maupun ke berbagai konsumen lembaga (rumah sakit, rumah makan/restoran dan hotel). Peternak mandiri umumnya memasarkan produk melalui pedagang pengumpul, pedagang pengecer (bakul) di pasar konvensional maupun langsung ke RPA. Peternak bermitra secara lisan disamping cara tersebut juga dapat memasarkan ke PS, sementara peternak bermitra secara resmi berkewajiban memasarkan produknya kepada inti.

0g1

G ambar 1. Kelembagaan yang berperan dalam pemasaran broiler hidup, broiler dan hasil olahan broiler

Dengan sistem kemitraan dan pemasaran yang telah dikemukakan terdapat perbedaan keuntungan (Rp/ekor/satu kali proses produksi) seperti dikemukakan pada Tabel 3. Peternak mandiri memerlukan input terendah walaupun tenaga kerja dinilai tiga kali lipat daripada peternak lainnya. Dengan demikian mempunyai potensi keuntungan yang lebih besar jika memperoleh bimbingan seperti halnya peternak bermitra secara lisan.

0t3

Peternak bermitra secara resmi memperoleh keuntungan terendah dibanding peternak bermitra secara lisan dan mandiri, namun demikian jika terjadi wabah masih ada kompensasi dan jika ada kegagalan tidak menanggung risiko biaya input. Karena alasan mencegah risiko kegagalan tersebut peminat peternak mitra semakin meningkat, walaupun mereka belum mengerti sepenuhnya arti dan strategi kemitraan. Hal ini menyebabkan peternak inti mengalami berbagai masalah diantaranya:

  1. Sulitnya membina dalam manajemen karena perbedaan latar belakang peternak. Untuk mengatasi masalah ini inti memfasilitasi tenaga “Technical Service” (TS) yang bertugas membina sekaligus memonitor perkembangan usaha.
  2. Terkait kejujuran peternak, khususnya dalam hal memanen ayam walaupun yang mati dibawah 5 persen dilaporkan 5 persen bahkan lebih terutama saat harga ayam di pasaran lebih mahal dari pada harga kontrak. Pada saat harga kontrak lebih mahal mereka berusaha menjual ayam “kost” (milik peternak lain).
  3. Pemanfaatan bahan makanan yang seharusnya hanya untuk ternak yang diterima (disepakati) tetapi juga dimanfaatkan untuk babi dan bahkan ada DOC bukan dari inti yang dijadikan satu dalam kandang ( diistilahkan ternak kost).
  4. Peternak pemula yang belum mempunyai kandang berlomba mendaftarkan diri menjadi mitra dan mencari pinjaman di Bank untuk modal biaya kandang dan peralatan.

Peternak pemula tersebut disamping modalnya terbatas juga belum berpengalaman sehingga umumnya produktifitasnya belum optimal sehingga keuntunganpun relatif kecil dibanding yang sudah berpengalamanan. Keuntungan yang kecil tersebut belum mampu menanggulangi dana yang harus dikembalikan ke Bank dan bahkan ada peternak yang hanya mampu membayar bunganya saja dari penghasilan beternak. Peternak kelompok ini mayoritas mengeluh beratnya menanggung biaya kandang dan peralatan sehingga menghimbau disediakannya kandang dan peralatan disamping input yang sudah diberikan.

Untuk mengatasi masalah tersebut peternak inti mencoba memberikan punishment dan reward. Tahapan punishment dari inti mulai dari ditegur, mengurangi jumlah ternak pada dropping selanjutnya, diistirahatkan sementara atau dropping ternak diundur dan jika sudah tidak bisa diperbaiki maka kemitraan diberhentikan. Adapun reward diberikan kepada peternak yang mencapai FCR optimal/efisien yaitu 1,8 serta mortalitas rendah (< 5%).

Disisi lain mitra mengeluhkan tingginya harga input yang diberikan oleh inti dibanding harga pasar. Peternak belum mengetahui bahwa harga input sengaja dibuat lebih tinggi oleh inti untuk menghindari adanya penjualan input tersebut oleh mitra kepada peternak lain untuk kepentingan lain.

Berdasarkan permasalahan tersebut, diperlukan kelembagaan yang dapat membina peternak khususnya pada peternak pemula untuk dapat mengantisipasi penyalahgunaan input. Untuk membantu pembinaan teknis kepada peternak pemula dapat dilakukan kerjasama dengan pihak Dinas Peternakan setempat yang mempunyai petugas lapang seperti PPL maupun Kepala Cabang Dinas (KCD). Para PPL dan KCD juga dapat membantu peternak inti untuk melakukan sosialisasi program kemitraan yang ditawarkan oleh inti secara intensif dan efektif. Dengan sosialisasi yang jelas dan dimengerti oleh peternak plasma, dapat dihindari berbagai kemungkinan penyalahgunaan input yang diberikan serta persepsi kurang adil yang dirasakan peternak.

KESIMPULAN DAN SARAN

Terdapat dua jenis kemitraan yaitu kemitraan secara lisan dan secara resmi. Ditinjau dari dasar etika bisnis, kemitraan secara resmi dianggap belum memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada mitra dan komunikasi belum utuh sehingga mitra merasakan kurang adil. Disamping itu peternak bermitra secara resmi memperoleh keuntungan yang paling rendah (Rp. 2.377) dibanding secara lisan (Rp. 5.565) maupun peternak mandiri (Rp. 3.851). Namun demikian jika terjadi wabah masih ada kompensasi dari pihak inti dan jika ada kegagalan tidak menanggung risiko biaya input. Sementara itu bagi peternak mitra secara lisan dan peternak mandiri apabila terjadi peristiwa tersebut risiko ditanggung sepenuhnya oleh peternak. Peternak pola kemitraan melalui inti memiliki akses langsung ke pasar modern dan konvensional sementara peternak mandiri umumnya melakukan penjualan melalui pedagang pengumpul.

Pengembangan kemitraan peternak ayam ras pedaging dalam rangka meningkatkan pendapatan peternak dapat dilakukan dengan menata kembali aturan main dalam pelaksanaan kemitraan sesuai dengan etika bisnis.

DAFTAR PUSTAKA

AGUSTIAN, A. dan B. RAHMAN. 1994. Aspek Penyaluran Sapronak, Pemasaran Hasil dan Pola Kerjasama dalam PIR Perunggasan di Jawa Barat dan Jawa Timur. Forum Penelitian Agro Ekonomi 12(2). Puslitbang Sosek Pertanian, Bogor.

CASLEY, D.J. dan K. KUMAR. 1988. The Collection, Analysis and Use of Monitoring and Evaluation Data. A World Bank Publication. Johns Hopkin University Press. Baltimore and London.

HAFSAH, M.J. Kemitraan Usaha: Konsepsi dan Strategi. Penerbit Swadaya, Jakarta.

RUSASTRA, I.W.R., Y. YUSDJA dan SUMARYANTO. 1990. Analisis Kelembagaan Perusahaan Inti Rakyat Perunggasan Nasional. Forum Penelitian Agro Ekonomi 8(1). Puslitbang Sosek Pertanian, Bogor.

SAPTANA, R. SAYUTI dan K.M. NOEKMAN. 2002. Industri Perunggasan: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Forum Penelitian Agro Ekonomi 20(1). Puslitbang Sosek Pertanian, Bogor.

SIGIT, S. 1999. Pengantar Metodologi Penelitian Sosial-Bisnis-Manajemen. Fakultas Ekonomi Universitas Sarjanawiyata. Yogyakarta.

SIMATUPANG, P. 1995. Industrialisasi Pertanian sebagai Strategi Agribisnis dan Pembangunan Pertanian dalam Era Globalisasi. Orasi pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Puslitbang Sosek Pertanian, Bogor.

SITORUS, MT.F., E. SOETIRTO, D.P. LUBIS, I. AGUSTA dan R. PAMBUDY. 2003. Agribisnis Berbasis Komunitas: Sinergi Modal Ekonomi dan Modal Sosial. PT Sanghyang Seri Persero, Jakarta dan Pusat Kajian Lembaga Agraria, LPM-IPB. Bogor. Pustaka Wirausaha Muda.

SUMARYANTO, I.W. RUSASTRA dan A. JATIHARTI. 1989. Analisis Usaha ayam Petelur Peternak Plasma di Jawa Barat dan Lampung. Forum Penelitian Agro Ekonomi 17(2). Puslitbang Sosek Pertanian, Bogor.

SUPARTA, N. 2001. Perilaku Agribisnis Dan Kebutuhan Penyuluhan Peternakan Ayam Ras Pedaging. Disertasi. Program Pascasarjana IPB.

SYAHYUTI. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan. Strategi Pengembangan dan Penerapannya dalam Penelitian Pertanian. Puslitbang Sosek Pertanian, Bogor.

SYAM, A. 1998. Analisis sistem agribisnis ayam ras broiler di Jawa Barat (Kasus Kabupaten Ciamis dan Tasik Malaya). Pros. Dinamika Ekonomi Pedesaan dan Peningkatan Daya Saing Sektor Pertanian. Buku II. Puslitbang Sosek Pertanian, Bogor. hlm. 465 – 477.

SYUKUR, M. 1995. Kemitraan usaha sebagai strategi pemasaran. Dalam Peluang dan tantangan Agribisnis Perkebunan, peternakan dan Perikanan. Pros Agribisnis. Puslitbang Sosek Pertanian, Bogor. hlm. 60 – 75. WARISO, R.M. 2000. Faktor Penghambat Pengembangan Pertanian dan Pendekatan Sosial Budaya. Cakra Hasta Konsultan dan AHT Internasional. 16 hlm.

YUSDJA, Y., E. BASUNO., I W. RUSASTRA, M. ARIANI, SUHARSONO dan P. SIMATUPANG. 2004. Penelitian Dampak Sosek Krisis Avian Influenza terhadap Sistem Industri Unggas di Indonesia dengan fokus Utama Peternak Kecil mandiri. Puslitbang Sosek Pertanian, Direktorat Keswan, Ditjen Bina Produksi Peternakan Jakarta dan FAO-RAPA. Bangkok.

YUSDJA, Y. 1997. Profil dan Permasalahan Broiler Rakyat Setelah deregulasi tahun 1990. Kebijakan Pembangunan Pertanian. Aanalisis Kebijakan Antisipatif dan Responsif. Monograf Series No 17. Puslitbang Sosek Pertanian, Bogor .

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.