Kelembagaan DAS

Yohanes G. Bulu, dkk.

DAYA DUKUNG KELEMBAGAAN DALAM PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN LAHAN KERING KABUPATEN LOMBOK TIMUR

Oleh: Yohanes G. Bulu, Sasongko WR dan Ketut. Puspadi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB

ABSTRAK

Kelembagaan merupakan salah satu unsur yang memegang peranan penting dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Pendekatan pembangunan yang disamakan dengan pendekatan produksi, melalui cara budidaya baru tidak dapat memecahkan masalah-masalah pertanian terutama pada sumberdaya petani miskin di daerah-daerah marginal. Banyak masalah-masalah pertanian yang hanya dapat dipecahkan oleh suatu lembaga. Sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan teknologi merupakan faktor yang saling terkait dalam pembangunan pertanian yang dipayungi oleh suatu kelembagaan yang merupakan faktor penggerak sebagai satu kesatuan sistem dalam pembangunan pertanian. Dalam penerapan teknologi belum ada keseimbangan antara sub sistem sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan kelembagaan. Pengkajian ini bertujuan menganalisis daya dukung kelembagaan penunjang pertanian pedesaan dalam pengembangan dan penerapan teknologi pertanian lahan kering. Pengkajian dilakukan pada tahun 2004 di 5 (lima) desa lahan kering di kabupaten Lombok Timur. Pendekatan yang digunakan adalah studi kasus. Pengumpulan data dengan teknik diskusi kelompok secara partisipatif dan wawancara mendalam. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan metode diskritif kualitatif. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa peranan kelembagaan penunjang pedesaan relatif kurang dalam mendukung pembangunan dan usaha agribisnis pertanian. Keberadaan lembaga penyuluhan, lembaga produksi (kelompok tani), lembaga penyedia informasi di pedesaan dan lembaga finansial realtif kurang berfungsi sehingga manfaat yang dirasakan petani miskin pada wilayah pertanian marginal relatif kurang. Sumberdaya manusia pertanian lahan kering relatif rendah dan statis dengan kemampuan, pengetahuan dan ekonomi yang terbatas sehingga kurang mampu mengelola usahatani lahan kering dengan baik. Kondisi tersebut menyebabkan penerapan teknologi relatif terbatas dan petani cenderung memodifikasi teknologi sesuai kemampuan pengetahuan, pengalaman, dan permodalan serta disesuaikan dengan kebiasaan-kebiasaan berusahatani setempat. Penyebaran teknologi pertanian lahan kering yang dilakukan selama ini belum disesuaikan dengan kebutuhan petani.

Kata kunci: kelembagaan, teknologi, lahan kering

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kelembagaan merupakan salaha satu unsur yang memegang peranan penting dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Salah satu rekayasa kelembagaan yang pernah dilakukan dalam pembangunan pertanian di Indonesia adalah keberhasilan pelaksanaan program BIMAS pada tahun 1960-an hingga mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Johnson (1985), mengemukakan bahwa sumberdaya alam, sumberdaya manusia, teknologi, dan kelembagaan merupakan empat faktor penggerak dalam pembangunan pertanian. Ke empat faktor tersebut merupakan syarat kecukupan (sufficient condition) untuk mencapai suatu tingkat/kondisi pembangunan yang dikehendaki. Artinya kalau salah satu dari keempat faktor tersebut (misalnya kelembagaan) tidak sesuai dengan persyaratan yang diperlukan maka tujuan untuk mencapai kondisi tertentu yang dikehendaki (misalnya alih teknologi dan tumbuhnya usaha agribisnis) tidak akan tercapai.
Pendekatan pembangunan yang disamakan dengan pendekatan produksi, melalui cara budidaya baru tidak dapat memecahkan masalah dalam negara-negara berkembang terutama pada sumberdaya petani miskin di daerah-daerah marginal. Disadari bahwa masyarakat pedesaan adalah sistem yang kompleks dengan dinamika yang khusus dan interaksi dari pelbagai macam komponen (Badan Litbang Pertanian, 1998).

Masalah-masalah pembangunan pertanian di negara-negara sedang berkembang bukan semata-mata karena ketidaksiapan petani menerima inovasi, tetapi disebabkan oleh ketidakmampuan perencana program pembangunan pertanian menyesuaikan program-program itu dengan kondisi dari petani-petani yang menjadi “klien” dari program-program tersebut (Bunch, 1991). Lebih lanjut Bunch menguraikan pentingnya lembaga-lembaga di pedesaan dalam pembangunan pertanian karena; 1) banyak masalah-masalah pertanian hanya dapat dipecahkan oleh suatu lembaga; 2) organisasi dapat memberi pada usaha-usaha pertanian karena sangat terkait dengan penyebaran dan pengembangan teknologi. Dalam jangka panjang, dalam pembangunan pertanian, kemampuan masyarakat petani untuk bekerjasama sama pentingnya dengan perolehan pengetahuan teknis; dan 3) Pada suatu waktu masyarakat desa akan bersaing dengan dunia luar, sehingga perlu mereka terorganisasi. Lembaga-lembaga tingkat desa dapat menyediakan pengalaman dalam keterampilan yang harus dipelajari masyarakat desa agar dapat mengorganisasikan diri.

Lembaga (institut) adalah badan atau organisasi yang melaksanakan aktivitas (Koentjaraningrat, 1990). Didalam masyarakat dapat ditemukan beberapa lembaga yang mempunyai fungsi mengatur sikap dan tingkah laku para warganya yang sekaligus merupakan pedoman bagi mereka dalam melakukan interaksi satu dengan yang lain, dalam kehidupan bersama. Menurut Roucek dan Warren (1962), lembaga adalah pola aktivitas yang terbentuk untuk memenuhi pelbagai kebutuhan hidup manusia. Asal mulanya adalah kelaziman yang menjadi adat istiadat yang kokoh, kemudian memperoleh gagasan kesejahteraan sosial dan selanjutnya terbentuklah suatu susunan tertentu. Berdasarkan beberapa definisi mengenai kelembagaan dapat dirangkum; institusi atau lembaga adalah mencakup sistem nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat, jaringan kerjasama, dan organisasi yang menjalankan tindakan kolektif anggota masyarakat petani.
Sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan teknologi merupakan faktor yang saling terkait dalam pembangunan pertanian yang dipayungi oleh suatu kelembagaan sebagai faktor penggerak suatu kesatuan sistem produksi guna menunjang keberlanjutan pertanian. Fungsi dari ke empat faktor tersebut saling menunjang, jika salah satunya tidak berfungsi maka akan mempengaruhi sub sistem lain. Oleh karena itu dalam penerapan teknologi harus ada keseimbangan antara sub sistem sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan kelembagaan. Kelembagaan dalam hal ini tidak saja menyangkut kelembagaan usahatani, melainkan juga peranan kelembagaan-kelembagaan penunjang dalam pengembangan pertanian yang dapat mendukung pembangunan dan usaha agribisnis.

Fokus perhatian pembangunan pedesaan pada manusia, maka hasil pembangunan pedesaan akan mencangkup spektrum kemanusiaan yang luas (Mubyarto et al. 1984). Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan (Hikmat, 2001). Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern sepertin kerja keras, hemat, keterbukaan, sikap bertanggungjawab adalah bagian pokok dari upaya-upaya pemberdayaan (Sumodiningrat, 1999). Manusia hidup tidak di dalam ruangan yang fakum tetapi, dalam lingkungan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup yang kompleks atau rumit dan kualitas kehidupannya sangat tergantung pada kualitas interaksinya dengan lingkungan dan kelembagaan.

Uraian di atas menunjukkan bahwa realita pedesaan dimana manusia sebagai salah satu komponennya, merupakan realita yang sangat kompleks, perilaku manusia yang tertangkap oleh indra merupakan resultante dari berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Untuk mendapatkan pemahaman yang benar terhadap realita tersebut, tidak dapat dengan menggunakan pendekatan dan metodologi yang terkotak-kotak.

METODOLOGI PENELITIAN

Untuk mendapatkan pemahaman tentang dinamika petani miskin di lahan kering/ marginal dan dinamika daya dukung kelembagaan penunjang pertanian, maka kegiatan ini mengkombinasikan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, dengan bentuk kuantitatif menunjang kualitatif (Brannen, 1997). Memadukan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dalam memahami suatu realita memberikan hasil yang sangat baik. Informasi kualitatif menjadi sama ilmiahnya dengan data kuantitatif malah sering lebih valid (Mikkelsen, 1999; Muhadjir, 2000).

Pengkajian dilakukan pada tahun 2004 di 5 (lima) desa lahan kering di kabupaten Lombok Timur. Pendekatan yang digunakan dalam pengkajian ini adalah studi kasus. Pengumpulan data dengan teknik diskusi kelompok secara partisipatif (focus group discussion), wawancara mendalam dan observasi. Pengumpulan data melalui pendekatan focus group discussion (FGD), yaitu pengembilan data dengan mengumpulkan sejumlah orang yang dijadikan sebagai informan dengan menggunakan teknik: (1) kelender musiman kegiatan usahatani; (2) kriteria inovasi yang dibutuhkan; (3) jenis informasi teknologi yang dibutuhkan; (4) sumber teknologi; (5) mobilitas penduduk dalam mengakses informasi teknologi; dan (6) analisis kelembagaan dengan diagram Venn.

Data dan informasi kualitatif dianalisis menggunakan metode analisis kualitatif melalui proses kodefikasi, kategorisasi, interpretasi, pemaknaan, dan abstraksi (Poerwandari, 1998).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan Usahatani dan Program Pertanian

Pemilikan dan penguasaan lahan oleh sebagian besar petani lahan kering di kabupaten Lombok Timur relative sempit dengan rata-rata luas garapan 0,20 – 0,50 ha per rumah tangga. Penguasaan lahan yang sempit berdampak pada penggunaan teknologi dan tingkat pendapatan usahatani.

Jenis usahatani yang diusahakan oleh petani pada wilayah lahan kering dataran rendah berbeda dengan yang diusahakan petani pada wilayah lahan kering dataran tinggi dengan program pengembangan usahatani yang berbeda. Pada wilayah lahan kering dataran rendah didominasi oleh tanaman pangan (padi, jagung, kedelai dan kacang hijau), dan tanaman tembakau. Sedangkan pada wilayah lahan kering dataran tinggi didominasi oleh tanaman sayur-sayuran (bawang merah, bawang putih, kubis, cabai, wortel, kentang dan buncis serta bawang daun, buah-buahan (mangga, adpokat, nangka, jeruk dan pisang) dan tanaman perkebunana tahunan (kopi, coklat, panili).

Pola tanam dan intensitas tanaman pada kedua agroekosistem tersebut relatif berbeda dan variasi pertanaman yang beragam sesuai kondisi agroekosistem dan agroklimat dari masing-masing wilayah lahan kering. Perbedaan yang mendasar adalah terletak pada jenis usahatani dominant yang diusahakan petani.

Indeks pertanaman pada wilayah lahan kering dataran rendah 1 – 2 kali dalam setahun. Pola tanam yang umum dilakukan petani adalah padi-tembakau dan jagung – kedelai/kacang hijau. Variasi pertanaman pada musim hujan dan musim kemarau relatif bervariasi. Petani yang menanam jagung selalu ditumpangsarikan dengan tanaman kacang-kacangan dan tanaman labui serta tanaman pakan ternak. Petani yang menanam tembakau pada MK I cenderung ditumpangsarikan dengan tanaman cabai dan disekeliling petakan lahan ditanami tanaman jagung. Kondisi ini menunjukkan bahwa petani pada wilayah lahan kering dataran rendah selalu berupaya mengoptimalkan produktivitas lahan yang sempit dengan memanfaatkan air hujan yang terbatas secara efesien. Indeks pertanaman untuk wilayah lahan kering dataran tinggi kususnya pada tanaman pangan dan sayur-sayuran mencapai 2 -3 kali dalam setahun dengan pola tanam padi-sayuran-sayuran terutama di Desa Sembalun Lawang dan Sembalun Bumbung. Sedangkan di Desa Sajang dengan pola tanam sayuran-sayuran; tanaman jagung ditumpangsarikan pada tanaman bawang hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Dinamika petani pada wilayah lahan kering dataran tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan petani pada wilayah lahan kering dataran rendah.

Jumlah penggunaan tenga kerja pada wilayah lahan kering dataran rendah maupun pada lahan kering dataran tinggi hampir sama terutama pada usahatani tanaman tembakau dan syur-sayuran. Secara umum ketersediaan tenaga kerja untuk kegiatan pertanian realtif terbatas. Hal ini disebabkan oleh tenaga kerja produktif berumur muda lebih memilih bekerja di sektor luar pertanian dan menjadi TKI di luar negeri.

Keragaan Kelembagaan

Kelembagaan penunjang pertanian yang ada di pedesaan sangat beragam. Lembaga-lembaga tersebut meliputi lembaga produksi (kelembagaan tani), lembaga penyedia sarana produksi (kios-kios pupuk dan obat-obatan serta KUD), lembaga penyuluhan pertanian, lembaga pelayanan permodalan atau lembaga finansial (Bank, LKP, Koperasi simpan pinjam dan UPKD), lembaga ketenagakerjaan, lembaga pengolahan hasil pertanian, lembaga pelayanan jasa mekanisasi dan lembaga pemasaran hasil pertanian.

Lembaga-lembaga penunjang pertanian tersebut hampir terdapat di semua desa yang menjadi lokasi penelitian. Akan tetapi keberadaan lembaga pertanian tersebut tidak semua mempunyai daya dukung yang sama dalam program pembangunan pertanian. Daya dukung kelembagaan adalah besarnya kemampuan kelembagaan untuk mendukung (secara berkelanjutan) berlangsungnya suatu program pembangunan pertanian. Peranan lembaga-lembaga itu dalam pembangunan pertanian belum terintegrasi secara baik dalam mendukung keberlanjutan pembangunan pertanian.

Lembaga-lembaga penunjang pertanian di pedesaan pada wilayah lahan kering relatif lebih statis dibandingkan dengan yang berada di wilayah lahan basah. Dinamika lembaga penunjang pertanian pada wilayah lahan kering mempunyai hubungan dengan dinamika petani lahan kering dalam melakukan aktivitas usahatani. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa daya dukung kelembagaan penunjang pertanian pada wilayah lahan kering tergolong memiliki daya dukung subsisten dan sub-optimum.

Lembaga Produksi (Kelembagaan Tani)

Keberadaan kelompok tani belum berfungsi optimal untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam kegiatan pertanian. Kegiatan-kegiatan kelompok untuk menjaring informasi teknologi-teknologi baru pada sumber teknologi hampir tidak pernah dilakukan. Anggota kelompok tani belum menganggap kelompok tani sebagai media belajar dan penyelesaian masalah-masalah yang berkaitan dengan pengelolaan usahatani. Teknologi-teknologi yang diterapkan petani selama ini merupakan hasil belajar sendiri dan keaktifan mereka untuk mencari informasi teknologi diantara mereka sendiri. Petani padi memperoleh saprodi di kios yang terletak di ibukota kecamatan, sedangkan penjualan hasil pertanian dilakukan kepada pedagang pengumpul yang datang ke desa. Hal ini menunjukkan bahwa pemberdayaan kelompok tani belum optimal. Banyak teknologi-teknologi yang belum mapu diakses petani dan penyebaran teknologi belum mampu menjangkau semua lapisan petani.

Keaktifan anggota kelompok tani untuk mendukung kegiatan kelompok sebagai media belajar bagi mereka relatif sangat rendah. Hal ini dibuktikan dengan jumlah persentase kehadiran yang sangat sedikit dalam setiap pertemuan kelompok tani. Peserta yang hadir kurang memberikan kontribusi saran dan pendapatnya. Keaktifan kegiatan kelompok tani yang ada tidak terlepas dari berjalannya sistem penyuluhan. Kegiatan penyuluhan diharapkan dapat memberi motivasi kelompok tani untuk melakukan perubahan-perubahan yang lebih produktif dan efesien.

Tingkat penerapan teknologi oleh petani sayur-sayuran pada lahan kering dataran tinggi relatif tinggi, demikian juga tingkat penerapan teknologi oleh petani tembakau pada wilayah lahan kering dataran rendah juga relatif tinggi. Sedangkan tingkat penerapan teknologi untuk tanaman pangan, tanaman buah-buahan, tanaman perkebunan dan peternakan masih relatif sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa daya dukung kelembagaan produksi dalam penggunaan teknologi sifatnya tidak statis karena sangat tergantung pada jenis komoditas yang dinilai oleh mereka mempunyai peluang pasar yang tinggi.

Lembaga Penyedia Sarana Produksi

Jumlah pedagang sarana produksi dan kios yang terdapat setiap desa di kabupaten Lombok Timur cukup sebanyak. Kios sarana produksi menyediakan sarana produksi untuk petani meliputi benih, pupuk dan obat-obatan tanaman. Jenis benih dan pupuk yang banyak dijual adalah benih padi sawah, benih jagung dan pupuk Urea, SP36, ZA dan NPK. Jenis saprodi yang relatif kurang diperdagangkan oleh kios-kios saprodi di desa-desa adalah obat-obatan ternak. Sebagian peternak masih merasa kesulitan untuk memperoleh obat-obatan ternak. Sementara keberadaan KUD yang sebagian besar berada di kota kecamatan yang berfungsi sebagai penyalur saprodi kepada anggota relatif tidak aktif lagi.

Kios sarana produksi tersebut tidak semua menjual setiap hari, sangat tergantung musim dimana saprodi dibutuhkan petani atau disesuaikan musim tanam. Kios saprodi yang berada di kota kecamatan relatif menjual saprodi setiap hari dengan daya jangkau sasarannya lebih luas. Daya dukung lembaga penyedia sarana produksi pada program pertanian ditentukan oleh waktu atau musim dan jenis komoditas yang diusahakan petani.

Sistem pembayaran untuk pembelian saprodi oleh pedagang ke distributor adalah bervariasi yaitu ada yang membayar kontan dan yang bayar sebagian (sistem panjar). Sistem pembayaran untuk penjualan saprodi juga bervariasi; ada yang dibayar kontan, dipanjar yang baru akan dibayar lunas setelah panen, dan sistem ijon dengan bungan 30 – 40% per musim. Misalnya ijon pupuk Urea sebanyak 1 kw dibayar setelah panen senilai Rp. 250.000,-.

Di bidang peternakan mutu bibit akan menentukan tingkat produksi yang lebih baik dalam usahata ternak. Kualitas bibit ternak sapi Bali masih sangat rendah bahkan petani/ peternak sudah mengalami kesulitan untuk memperoleh mutu bibit sapi Bali yang baik. Untuk memperoleh bibit sapi yang berkualitas harus didukung oleh penerapan teknologi dan kelembagaan. Akan tetapi kelembagaan yang secara khusus memproduksi dan menyediakan bibit sapi Bali yang berkualitas di pedesaan belum ada.

Peningkatan kualitas sapi Bali melalui penerapan teknologi budidaya perlu menjadi prioritas. Kelembagaan pembibitan sapi Bali yang secara khusus memproduksi bibit sapi Bali yang berkualitas belum tersedia. Bibit sapi Bali yang dihasilkan yang kurang terseleksi dengan mutu yang kurang terjamin akibatnya sering muncul masalah reproduksi, dan tingkat kematian anak tinggi.

Lembaga Penyuluhan dan Informasi Teknologi

Penyuluhan dan pembinaan petani yang dilakukan oleh lembaga-lembaga terkait masih relatif kurang. Daya dukung lembaga ini sangat tergantung pada komoditas dominan yang di tanam dan tingkat intensifikasi yang diterapkan. Akhir-akhir ini kegiatan PPL untuk melakukan penyuluhan pada kelompok tani semakin berkurang. Hal ini sebagai dampak dari daya dukung yang optimum dari kelembagaan ini selama revolusi hijau serta perubahan kebijakan pemerintah pusat dalam memberikan otonomi kepada pemerintah daerah.

Kurangnya kegiatan penyuluhan di pedesaan menyebabkan arus transformasi inovasi teknologi yang dibutuhkan petani mengalami penurunan. Selama tiga tahun terakhir ini kegiatan penyuluhan dan pembinaan kelompok tani tidak pernah dilakukan PPL. Kegiatan penyuluhan terutama dari PPL tanaman pangan relatif kurang. Sampai dengan saat ini kelembagaan informasi teknologi di pedesaan yang secara khusus melakukan kegiatan transfer teknologi, memberikan pelayanan konsultasi teknologi dan pemberdayaan kelembagaan tani belum ada. PPL perkebunan melakukan pembinaan kepada petani binaannya yang menjadi mitra dari perusahaan tembakau.

Kebijakan pemerintah yaitu perubahan struktur organisasi lembaga pemerintah dimana saat ini PPL berada di bawah Pemerintah Daerah menyebabkan tidak dilakukan lagi program penyuluhan, kegiatan PPL terbatas bahkan tidak ada kegiatan sama sekali. Dengan adanya Undang-Undang Otonomi Daerah maka segala urusan pemerintahan diatur oleh Pemerintah Daerah Kabupaten termasuk ujung tombak pembangunan pertanian di lapang yaitu PPL. Tugas PPL saat ini tidak hanya sebagai penyuluh pertanian, namun sebagian waktunya untuk menyelesaikan administrasi kantor sehingga program penyuluhan praktis tidak ada. Penyuluhan dilakukan apabila ada kegiatan proyek di wilayah kerjanya.

Kegiatan pembinaan kelompok khusus pada tanaman tembakau yang masih berjalan adalah yang dilakukan oleh Penyuluh Lapang Perkebunan (PLP) yang merupakan tenaga teknis dari perusahaan tembakau relatif aktif memberikan bimbingan kepada petani tembakau baik petani yang tergabung dalam kelompok binaan maupun petani swadaya.

Lembaga Pelayanan Permodalan

Lembaga finansial yang dominan biasa ada di desa adalah lembaga finansial non formal seperti koperasi tani, kelompok simpan pinjam, KUB, UPKD, UKM dan LKM serta yang paling dominan selalu ada di pedesaan yaitu yang bersifat perorangan seperti rentenir. Lembaga finansial non formal selain yang bersifat perorangan tidak semua terdapat di desa dan pelayanan permodalan kepada petani untuk kegiatan usahatani sangat kurang. Bahkan terdapat sebagian lembaga finansial non formal yang tidak aktif lagi. Daya jangkau dari lembaga-lembaga tersebut relatif terbatas pada wilayah dusun atau desa. Kekuatan permodalan yang dimiliki sangat terbatas dan tidak mampu melayani kebutuhan petani. Daya dukung kelembagaan ini untuk melayani kegiatan program-program pertanian sangat terbatas.

Lembaga permodalan atau lembaga finansial formal seperti BRI, BPR dan LKP sebagian besar terdapat di kota kecamatan. Daya jangkau lembaga tersebut hanya di sekitar kota kecamatan dan belum mampu melayani kegiatan program pertanian. Lembaga-lembaga tersebut lebih dominan melayani perkreditan di sektor-sektor lain di luar pertanian. Lembaga permodalan lain seperti BNI dan bank-bank lain hanya terdapat di daerah tertentu dimana kegiatan usahatani petani yang memiliki dinamika lebih tinggi seperti di Kecamatan Sembalun yang merupakan sentra produksi sayur-sayuran dan di Kecamatan Aikmel yang menjadi sentra produksi jagung untuk di lahan sawah irigasi.

Akses masyarakat ke bank khususnya di daerah lahan kering dataran tinggi seperti di Kecamatan Sembalun relatif cukup baik yaitu ke BRI dan BNI yang ada Kecamatan Aikmel atau ibukota kabupaten yaitu Selong. Nasabah BRI dan BNI cukup banyak di Desa Sembalun Lawang dan Sajang. Berbeda dengan masarakat petani di wilayah lahan kering dataran rendah yang relatif lebih kering, akses mereka pada Bank sangat kurang. Hal ini disebabkan oleh persyaratan-persyaratan untuk peminjaman modal relatif rumit dirasakan bagi petani dan tidak dapat dijangkau oleh petani kecil atau petani miskin.

Birokrasi yang dipandang agak berbelit-belit dari lembaga keuangan formal dan adanya sistem jaminan di sebagian lembaga keuangan formal menyebabkan petani merasa kesulitan mengakses lembaga keuangan formal. Dalam mengatasi masalah keuangan, secara cepat, mudah dan tanpa jaminan, hanya dengan modal saling percaya dan kejujuran adalah melalui rentenir dan pengijon. Mereka merasa lebih bebas untuk meminjam uang atau sarana produksi di kios saprodi, tetangga, dan keluarga, serta pelepas uang (istilah petani bank rontok/bank subuh/bank keliling) dengan bunga yang relatif tinggi. Lemahnya lembaga keuangan di tingkat desa sehingga petani tidak bisa melepaskan diri dari sistem ini merupakan salah satu penyebab kemiskinan berkesinambungan di desa.

Modal usahatani terutama usahatani tembakau di wilayah lahan kering dataran rendah sebagian kecil bersumber dari usahatani padi dan usaha ternak. Kekurangan modal umumnya diperoleh dengan meminjam dari perusahaan atau gudang dalam bentuk sarana produksi dan pelepas uang dengan bunga yang relatif tinggi, bunga pinjaman yang dikenakan oleh pelepas uang atau rentenir yaitu bisa mencapai 100 persen dalam satu musim tanam, sehingga dikenal dengan istilah bank empat enam artinya meminjam empat bagian dikembalikan sebesar enam bagian. Pelayan permodalan atau perkreditan berupa saprodi (bibit/benih, pupuk dan obat-obatan) dari perusahan tembakau relatif terbatas dan tidak mampu melayani semua petani tembakau. Jangka waktu pinjaman sekitar enam bulan atau pembayaran dilakukan setelah panen dan langsung diperhitungkan dari hasil penjualan tembakau di tambah bunga 12,5%.

Ketergantungan petani kepada rentenir dan ijon tidak hanya untuk memperoleh modal usahatani, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Keterbatasan sumberdaya dan tidak adanya lembaga keuangan formal yang dapat diakses petani menyebabkan ijon menjerat petani di segala bidang kehidupan. Untuk memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga maka segala jenis komoditi pertanian seperti, pisang, panili, kopi dan bahkan anak sapi yang masih dalam kandungan terpaksa diijonkan petani.

Lembaga Pemasaran

Secara umum pasar untuk hasil pertanian dan peternakan telah tersedia. Jumlah pedagang yang membeli hasil pertanian baik dari tingkat desa sampai tingkat kabupaten dan propinsi cukup banyak dan mempunyai jaringan pemasaran yang kuat dalam sistem pemasaran. Pedagang jagung, tembakau, sayur-sayuran dan pedagang ternak misalnya mempunyai jaringan yang kuat dalam sistem pemasaran. Volume pembelian dan penjualan hasil cukup tinggi dengan tingkat harga yang bersaing. Beberapa komoditas tertentu seperti ternak sapi, bawang putih, bawang merah, jagung, tembakau, kopi, kakao, dan panili telah bersaing di pasar regional dan internasional.

Komoditas tembakau merupakan salah satu komoditas yang dikembangkan di wilayah kering dataran rendah (lahan sawah tadah hujan) yang telah membangun pola kemitraan dengan perusahaan tembakau mulai dari produksi sampai pemasaran hasil yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak.

Petani yang sebagian besar memiliki permodalan yang sangat terbatas mengharapakan dari pola kemitraan usahatani tembakau ini mendapat dukungan penyediaan sarana produksi (pupuk dan obat-obatan) dan pemasaran hasil. Namun demikian dalam hubungan kemitraan ini petani berada pada posisi yang lemah, seperti misalnya dalam penentuan harga jual yang berdasarkan grade. Keberadaan kelembagaan tani relatif lemah dan dalam meningkatkan posisi tawar. Hal ini karena semua yang bergerak dalam bisnis tembakau masing-masing menerapakan strategi untuk mencari keuntungan. Dalam dunia bisnis bahwa setiap pelaku bisnis akan menerapkan strateginya sendiri untuk memperoleh keuntungan walaupun itu dilakukan dengan tidak jujur.

Lembaga Ketenagakerjaan Pertanian

Daya dukung kelembagaan ketenagakerjaan pertanian bersifat tidak statis karena sangat tergantung pada waktu, jenis pekerjaan dan jadwal kegiatan pertanian yang ada. Dukungan lembaga ini yang tergantung pada waktu adalah kegiatan pengolahan tanah, tanam, penyiangan dan panen untuk tanaman padi dilakukan menjelang dan selama dan akhir musim hujan; kegiatan pengolahan tanah, penanam, penyiraman dan panen pada tanaman tembakau dan tanaman sayur-sayuran.

Kelompok-kelompok kerja buruh tani adalah kelompok buruh tanam dan panen tanaman padi dan tembakau, dengan jumlah satu kelompok kerja berkisar 8 – 12 orang. Kelompok-kelompok kerja tersebut cenderung bersifat parmanen karena pembentukan kelompok didasarkan domisili anggota. Mobilitas tenaga kerja juga sangat tergantung pada jenis komoditas dan tingkat intensifikasi. Komoditas tembakau dan sayur-sayuran (bawang merah, bawang putih, cabai dan kubis) misalnya membutuhkan penyerapan tenaga kerja yang tinggi.

Lembaga Pelayanan Jasa Mekaniasi Pertanian

Pelayanan jasa alsintan yang biasa ada pada kegiatan pertanian adalah penyewaan traktor pada kegiatan pengolahan tanah, penyewaan huller untuk penggilingan gabah, penyewaan mesin pemipil jagung serta penyewaan alat open untuk pengeringan daun tembakau. Pemilikan alat-alat mekanisasi tersebut umumnya bersifat perorangan kecuali terdapat sebagian kecil huller maupun traktor yang merupakan milik KUD dan kelompok.

Kemampuan dan keterbatasan tenaga kerja manusia untuk melakukan pekerjaan tersebut secara manual serta waktu penyelesaian pekerjaan yang relatif lama maka daya dukung dari kelembagaan ini akan meningkat.

KESIMPULAN

  1. Penggunaan teknologi yang semakin meningkat maka daya dukung kelembagaan akan mencapai pada titik optimum, namun lama-kelamaan daya dukungnya akan menurun.
  2. Daya dukung kelembagaan pendukung pertanian cenderung bersifat tidak statis karena sangat tergantung pada perubahan kelembagaan itu sendiri, ruang dan waktu.
  3. Daya dukung kelembagaan pertanian sangat tergantung pada potensi kesuburan lahan, jenis komoditas yang diusahakan dan tingkat penerapan teknologi.
  4. Daya dukung kelembagaan pendukung pertanian juga dapat ditentukan oleh faktor luar pertanian seperti lembaga ketenagakerjaan, pemasaran dan permodalan.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbang Pertanian. 1990. Analisis Agro-ekosistem untuk Pembangunan Masyarakat Pedesaan Irian Jaya. Badan Litbang Pertanian, Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Cendrawasih dan The Ford Foundation, Jakarta.

Badan Litbang Pertanian. 1998. Panduan Lokakarya Pemahaman Pedesaan Secara Partisipatif. Badan Litbang Pertanian, Tim Ahli BPTP- PATAAP, Jakarta.

Brannen J. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Nuktah Arfawi, Imam Safei, Noorhaidi penerjemah. Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta. Terjemahan dari: Mixing Methods: Qualitative and Quantitative Research.

Bunch Rolland. 1991. Dua Tongkol Jagung. Pedoman Pengembangan Pertanian Berpangkal pada Rakyat, Ilya Moelyono penerjemah. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Terjemahan dari:Two Earns of Corn, Aguide to People-Center Agricultural Improvements.

Hikmat Harry. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama Press, Bandung.

Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Antropologi, Rineka Cipta. Jakarta.

Mikkelsen Britha. 1999. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan. Sebuah Buku Pegangan bagi Para Praktisi Lapangan. Matheos Nalle, penerjemah. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Terjemahan dari: Methods for Development Work and Research: Aguide for Practitioners.

Mubyarto, Loekman Soetrisno, Michael Dove. 1984. Nelayan dan Kemiskinan. Studi Antropologi di Dua Desa Pantai. CV Rajawali, Jakarta.

Muhadjir Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Penerbit Rake Sarasin, Yogyakarta.

Poerwandari EK. 1998. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jakarta.

Roucek dan Warren, 1962. Sosiology Intriduction. Little Field Adams & Co, Paterson.

Sumodiningrat Gunawan. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaringan Pengaman Sosial. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.