Kelembagaan DAS

Udin S, Nugraha

LEGISLASI, KEBIJAKAN, DAN KELEMBAGAAN PEMBANGUNAN PERBENIHAN

Oleh: Udin S, Nugraha Balai Penelitian Tanaman Padi, Jalan Raya 9, Sukamandi 41256

Perkembangan Teknologi TRO VOL. XVI, No. 1, 2004 61

ABSTRAK

Tuntutan peningkatan kuantitas dan kualitas produk pertanian merupakan konsekuensi logis yang timbul dari perubahan kondisi lingkungan eksternal dan internal. Tuntutan ini juga tersirat dalam program utama pembangunan pertanian di Indonesia, yaitu peningkatan ketahanan pangan dan pengembangan agroindustri atau pembangunan sistem dan usaha agribisnis. Diantara teknologi yang telah terbukti mampu meningkatkan produktivitas dan mutu produk adalah varietas unggul. Namun manfaat dari teknologi tersebut akan dapat dirasakan oleh konsumen hanya apabila benih bermutu dari varietas unggul tersebut tersedia bagi petani. Telah dirasakan oleh berbagai pihak bahwa kondisi perbenihan saat ini belum mampu menyediakan benih sesuai dengan kebutuhan konsumen. Makalah ini menguraikan hasil review terhadap aspek-aspek legislasi, kebijakan dan kelembagaan perbenihan sebagai kontribusi pemikiran dari penulis dalam mengkaji kesesuaian sistem perbenihan untuk menghadapi tantangan masa depan.

PENDAHULUAN

Inisiasi industri benih di Indonesia di mulai pada tahun 1971. Pada tahun tersebut telah diterbitkan beberapa peraturan dan keputusan yang mencerminkan kebijakan pemerintah dalam perbenihan, seperti Peraturan Pemerintah No. 22 tentang pendirian Perum Sang Hyang Seri, Keputusan Presiden RI No.27 tentang Badan Benih Nasional Surat Keputusan Menteri Pertanian No.174 tentang pembentukan Dinas Pengawasan dan Sertifikat Benih, Surat Keputusan Menteri Pertanian No.183 tentang pembentukan Lembaga Pusat Penelitian Pertanian Cabang Sukamandi. Semua peraturan tersebut mengatur tentang kelembagaan serta mekanisme produksi dan pengawassan mutu benih dalam skala komersial.

Dampak dari implementasi kebijakan tersebut tampak jelas dari keberadaan program penelitian (terutama pemuliaan tanaman) dan pelepasan varietas padi yang produktif, diimbangi dengan produksi dan penggunaan benih bersertifikat yang terus meningkat, penyaluran sarana produksi pengawasan mutu dan penyuluhan yang intensif. Semua aktifitas tersebut secara sinergis mendukung program intensifikasi padi (BIMAS), yang akhirnya mampu memberikan kontribusi substansial terhadap peningkatan produksi padi nasional dengan tercapainya swasembada beras pada tahun 1984.

Namun setelah lebih dari dua dekade berlalu tampak bahwa keadaan telah berubah. Di satu pihak ketersediaan sumberdaya alam (antara lain lahan, air) makin terbatas sedangkan dilain pihak peningkatan produksi beras nasional makin melandai; kendala konsumsi dan pereferensi konsumen terhadap mutu makin meningkat. Kondisi seperti ini tentu menuntut kita semua untuk merenung (retrospeksi) lebih dalam, untuk menjawab apakah kebijakan perbenihan yang diformulasikan 30 tahun lalu masih applicable untuk mendukung pembangunan pertanian mendatang. Makalah ini disusun sebagai kontribusi pemikiran dari penulis dalam mengkaji kesesuaian peraturan perundangan, kebijakan dan kelembagaan perbenihan untuk menghadapi tantangan masa depan.

TANTANGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN MENDATANG

Tantangan eksternal

Tantanagan eksternal tampak makin jelas dalam decade terakhir ini (mulai tahun 1990 – an). Kesepakatan multilateral dalam perdagangan international yang telah ditandatangani, seperti Agreement of Tariff and Trade (GATT) ataupun Trade Related aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), telah membuka kompetisi global antar negara yang makin ketat. Suatu negara tidak dapat membatasi impor produk (termasuk produk pertanian) tanpa justifikasi yang dapat diterima oleh negara-negara anggota WTO lainnya. Tuntutan kesamaan perlakuan terhadap produk impor dan produk domestik menyebabkan pengawasan terhadap mutu produk impor tidak dapat dilakukan tanpa disertai dengan pengendalian mutu produk domestik yang selaras. Oleh karena itu, efektifitas pengendalian mutu benih domestik secara tidak langsung juga akan menentukan mutu benih impor yang masuk ke Indonesia, di samping akan menentukan daya saing benih domestik di pasar global

Tantangan internal

Kondisi internal di negeri kita juga berubah. Penciutan luas lahan subur karena konversi sawah menjadi prasarana industri telah membuat ketersediaan sumberdaya lahan makin terbatas. Pencetakan sawah dan ekstensifikasi budidaya tanaman ke lahan-lahan baru menghadapi masalah baru, sehingga kendala yang menghambat peningkatan produksi juga meningkat. Lahan bermasalah (keracunan Fe, Al, pH rendah) seperti lahan gambut, pasang surut dan podsolik merah kuning, dan lahan rawan kekeringan (drought-prone) yang terpaksa harus dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi padi misalnya, juga memendam masalah yang lebih kompleks daripada lahan sawah subur yang makin menyempit.

Pada awal periode “revolusi hijau” (akhir 1960-an sampai akhir 1970-an) penggunaan varietas unggul dan perbaikan tehnik budidaya telah mampu meningkatkan produktivitas secara nyata. Hasil padi per satuan luas meningkat dari 2 – 3 ton/ha menjadi 4 – 6 ton/ha. Namun setelah tahun 1980- an, peningkatan produk-tivitas menjadi semakin sedikit. Peningkatan hasil melalui penggunaan varietas unggul yang semula memberikan kontribusi substansial, kini makin melandai.Sejak tahun 1986, tahun ketika varietas IR 64 dilepas, potensi hasil varietas unggul umumnya sebanding dengan IR 64. Bila terjadi peningkatan potensial hasil (missal 10% diatas IR 64), biasanya diikuti dengan pengorbanan keunggulan lain missal penurunan rendemen beras giling atau peningkatan kehampaan.

Selain hal-hal tersebut di atas, peningkatan konsumsi sebagai akibat dari peningkatan jumlah penduduk, dan perubahan preferensi konsumen makin menambah kompleksitas tantanagan dalam pembangunan pertanian.

Konsekuensi ke depan

Tuntutan peningkatan kuantitas dan kualitas produk pertanian (missal beras) merupakan konsekuensi logis yang timbul dari perubahan kondisi lingkungan eksternal dan internal seperti yang telah dijelaskan dalam paragraf diatas.

Tuntutan ini juga telah tersirat dalam program utama pembangunan pertanian di Indonesia, yaitu pening- katan ketahanan pangan dan pengem- bangan agroindustri atau pengembang- an sistem dan usaha agribisnis. Produktivitas, efisiensi, dan mutu produk akan menentukan keseimbang- an antara arus ekspor dan impor suatu komoditi. Bila produktivitas domestik tidak mampu mengimbangi kebutuhan beras dalam negeri misalnya, maka otomatis beras-beras impor akan membanjiri pasar dalam negeri. Demikian pula bila efisiensi produksi dan mutu produk dalam negeri belum mampu menumbuhkan daya saing, maka invasi produk-produk impor ke pasar domestik tidak akan dapat dibendung. Dua alat untuk menangkal invasi produk asing ke pasar domestik (atau untuk meningkatkan daya saing) dan untuk memenuhi preferensi pelanggan (konsumen) melalui peningkatan produktivitas efisiensi dan mutu produk adalah dengan teknologi manajemen. Di antara teknologi yang telah terbukti mampu meningkatkan produktivitas dan mutu produk adalah varietas unggul. Penemuan-penemuan varietas unggul padi (ingat istilah “wonder rice”, “miracle rice”) dan gandum (menghasilkan hadiah nobel pada penemunya) yang menggelorakan revolusi hijau di negara-negara berkembang serta penggunaan varietas unggul padi di Indonesia, merupakan bukti peranan varietas yang tidak terbantahkan.

Manajemen modern yang memfokuskan perhatian pada kepuasan pelanggan (customer’s satisfaction) melalui mekanisme perbaikan berkesinambungan, missal Sistem Mutu ISO 9000 Series atau Total Quality Management, telah diterapkan di negara-negara maju secara meluas dalam industri barang dan jasa termasuk industri berbasis pertanian. Untuk mengembangkan dan mempertahankan eksistensi industri benih domestik, kompetisi dalam produktivitas, efisiensi dan mutu produk merupakan hal yang harus diperhatikan oleh semua pihak terkait.

Peranan benih sebagai delivery mechanism

Para pemulia tanaman telah banyak menghasilkan varietas dari berbagai jenis tanaman yang memiliki keunggulan dalam daya hasil, resistensi terhadap hama dan penyakit, toleransi terhadap cekaman abiotik, dan mutu hasil. Keunggunlan tersebut disalurkan dari tangan pemulia kepada pelanggan (customers) melalui benih. Artinya suatu varietas unggul akan dirasakan manfaatnya oleh pelanggan hanya bila benih bermutu dari varietas tersebut tersedia dalam skala komersial. Bermutu berarti benih tersebut harus asli (genuine, authentic, true-to-variety) agar mampu mencerminkan karakteristik varietas yang diwakilinya sesuai dengan deskripsi, hidup (viable) agar tumbuh bila ditanam, sehat (healthy) agar tidak menyebarkan penyakit terbawa benih (seed-borne diseases) dan bersih (terutama dari biji gulma) agar tidak menjadi sumber infestasi gulma.

Untuk tanaman padi, dominasi varietas unggul di Indonesia ≥ 80%. Artinya lebih dari 80 % luas sawah ditanami varietas unggul (Tabel 1). Penggunaan varietas unggul ini telah memberikan kontribusi substansi terhadap peningkatan rata-rata produksi padi nasional yang saat ini telah mencapai sekitar 4,5 t/ha.Peranan benih sebagai delivery mechanism akan tetap penting seperti tergambar dari pergeseran Preferensi konsumen terhadap varietas unggul (Tabel 2)

0t1

0t2

Pergeseran dari paradigma pengendalian mutu menuju manajemen mutu

Tidak diragukan lagi bahwa selama proses produksi dan distribusi benih, mutu benih harus tetap ter- lindungi agar keunggulan dari varietas dapat sampai ketangan pelanggan. Salah satu cara pengendalian mutu yang telah lazim digunakan dibanyak negara selama puluhan tahun adalah sertifikat benih berdasarkan OECD Scheme (ISTA, 1971) yang didukung oleh pengujian mutu benih bebasis ISTA Rules (ISTA, 1985). Dampak dari penerapan sertifikat benih telah terlihat dari peningkatan volume per- dagangan internasional benih rumput dan legumes (pada tahun 1968/1969 mencapai 41 juta kilogram benih dari 1000 varietas). Di negara-negara Eropa (ISTA 1971), keberhasilan sertifikat memacu komersialisasi benih rumput, telah mendorong pengembangan sertifikat pada benih-benih sereals dan tanaman lain. Pada tahun 1971, OECD Scheme telah diterapkan disemua negara anggota OECD ditambah Yugoslavia, Cyprus, Israel, New Zealand, Polandia dan Afrika Selatan. Sertifikat benih juga telah diakui memainkan peranan penting dalam meningkatkan produktifitas pertanian Amerika (Weimortz, 1985).

Tujuan utama dari sertifikat benih adalah untuk melindungi keaslian varietas dan kemurnian genetik agar varietas yang telah dihasilkan pemulia sampai ketangan petani dengan sifat- sifat unggul seperti tertulis pada deskripsinya (Otto, 1985, Weimortz, 1985). Sampai dengan tahun 1980-an, sertifikat benih masih dianggap sebagai alat pengendalian mutu yang efektif dan efisien, namun anggapan tersebut kini telah berubah. Keharusan pengujian terhadap setiap lot benih yang diproduksi memerlukan biaya tinggi, sehingga kini disadari sebagai hal yang dapat menghambat peningkatan efisiensi produksi dan daya saing benih.

Sebagai antisipasi persaingan global, banyak negara berkembang di Asia yang mengikuti jejak negara- negara maju untuk melindungi kepemilikan varietas melalui legislasi perlindungan varietas tanaman (AS & PM, 2000). Penerapan PVT terbukti telah mendorong partisipasi swasta dalam pemuliaan tanaman (Oto, 1985), dan perusahaan swasta yang bergerak dalam industri benih makin bertambah. Banyak diantara mereka yang elah mengembangkan program pengen- dalian mutu internal (in- house quality contro programs) yang efektif dan efisien sehingga tidak lagi memerlukan sertifikat benih untuk menjamin kemurnian genetik (Weimortz, 1985). Namun demikian, perlindungan bagi petani seperti yang ditawarkan oleh sertifikat benih (Voris, 1985) dan peningkatan daya saing produk untuk menghadapi persaingan global sangat perlu untuk diperhatikan dalam industri barang dan jasa telah berkembang suatu manajemen yang berorientasi pada mutu dan kepuasan pelanggan yang disebut dengan manajemen mutu.

Perubahan dari pengendalian mutu menuju manajemen dalam industri benih telah dan sedang terjadi. Pengendalian mutu adalah tehnik dan kegiatan operasional yang digunakan untuk memenuhi persyaratan mutu, sedangkan manajemen mutu merupakan seluruh kegiatan yang menetapkan kebijakan mutu, sasaran dan tanggungjawab serta penerapannya melalui perencanaan mutu (DSN 1996). Di antara system mutu yang kini diterapkan dalam produksi barang dan jasa adalah Sistem Mutu ISO 9000 Series dan Total Quality Management. Beberapa perusahaan benih di negara lain telah mendapat sertifikat system mutu ISO 9002, dan beberapa perusahaan benih di Indonesia juga mulai terlihat mengarah pada pengaturan system mutu ISO 9000 Series.

KONDISI SISTEM PERBENIHAN DI INDONESIA SAAT INI

Hasil review yang berkaitan dengan kebijakan, legislasi dan kelembagaan perbenihan dirangkum dalam paragrap dibawah ini.

Kekuatan (faktor penghela atau pendorong) dalam aspek kebijakan, legislasi dan kelembagaan antara lain :

  • Kebijakan peningkatan ketahanan pangan, pengembangan agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan, berkerakyatan dan lebih terdesen- tralisasi, kebijakan multilateral yang menuntut peningkatan produktivitas, efisiensi dan mutu produk
  • Undang-undang system budidaya tanaman (Nomor 12/1992), Peraturan Pemerintah Nomor 44/ 1995 tentang perbenihan, dan peraturan lain yang terkait untuk fasilitas penerapan sertifikat benih
  • Perubahan paradigma penelitian dan pengembangan dari lembaga peme- rintah (Badan Litbang Pertanian) dengan program pemuliaan tana- mannya yang produktif mengarah pada inovasi, komersialisasi dan komunikasi.
  • Pembentukan Direktorat Perbenihan Tanaman Pangan, Pusat Standarisasi & Akreditasi (Pertanian), Direktorat Perbenihan Hortikultura, Balai Pengawasan dan Sertifikat Benih (lab. benih, analis benih, pengawas benih) yang tersebar diseluruh negeri
  • Penerapan sertifikat benih berdasarkan OECD Scheme dan ISTA Rules sebagai mekanisme pengendalian mutu dan daya saing produk.
  • Akreditasi lab uji benih, pem- bentukan Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu dalam produksi benih, dan inisiasi sertifikasi system mutu dari perusahaan-perusahaan benih yang membuka alternatif pengawas- an mutu melalui penerapan manajemen mutu.
  • Perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual (HaKI), perlindungan terhadap varietas tanaman (PVT), pembentukan Direktorat Patent (Ditjen HKI, Deperindag) dan KP-KIAT (Kantor Pengelolaan Kekayaan Intelektual dan Ahli Teknologi) di UPT-UPT yang memacu komersialisasi teknologi
  • Pelaksanaan program pembinaan lab dan perlindungan HaKI oleh Kantor Menteri Negara Riset dan eknologi yang membantu pengembangan lab terakreditasi (ISO 17025) dan pengusulan patent untuk hasil-hasil penelitian.
  • Peluang bisnis benih yang sangat feasible. Volume permintaan (market size) benih sangat menarik, missal volume pasar untuk benih padi mencapai lebih dari 200.000 ton/tahun (Nugraha, 2000), dan cukup banyak jenis dan volume benih hortikultura yang diimpor setiap tahun.

Kelemahan (faktor penghambat) antara lain :

a) Umum

  • Terdapat kerancuan persepsi mengenai sertifikat benih, OECD Scheme, ISTA Rules yang meng- hambat perkembangan industri benih. Beberapa prinsip sertifikat benih tidak diterapkan, reprodu- cibility hasil uji laboratorium belum mendapatkan perhatian yang memadai. Tidak terdapat pemilihan antara mekanisme produksi benih komersial dengan produksi benih untuk rescue programs (misal antisipasi kekeringan, penang- gulangan eksplosi hama). Akibat- nya, penerapan sertifikat benih belum mampu memberikan jaminan mutu sebagaimana mestinya.
  • Belum terdapat kebijakan yang jelas mengenai pemilihan peranan antara sector swasta dengan pemerintah dengan perbenihan. Pemerintah bersaing dengan swasta dalam produksi dan distribusi benih komersial, padahal partisipasi swasta juga ingin ditingkatkan. Inisiasi upaya perbaikan dari kelemahan ini telah mulai tampak.
  • Implementasi kebijakan pem- bangunan pertanian, masih sangat terfokus pada peningkatan kualitas produk. Komitmen terhadap kebijakan yang terkait dengan peningkatan mutu produk pertanian baru mulai tampak jelas dalam beberapa tahun terakhir.
  • Perlindungan HAKI (hak atas kekayaan Intelektual), masih lemah, perlindungan varietas tanaman belum efektif menyebabkan partisipasi swasta dalam penelitian (pemuliaan) dan dalam industri benih sangat terbatas.
  • Beberapa peraturan perundangan terlalu ketat dan tidak practicable dan kontradiktif. Contoh: dalam Undang-undang no.12/1992 semua benih bina (varietas unggul) yang diperdagangkan harus disertifikasi tanpa memperhatikan skala, komersialisasinya; sertifikat benih (berdasarkan OECD Scheme) merupakan satu-satunya mekanisme pengawasan mutu dalam produksi dan distribusi benih, padahal telah terbit PP 15 1991, Keppres 12/1992, SK Mentan 303/1994 tentang standardisasi yang membuka peluang penerapan manajemen mutu

b) R & D : plasmanutfah dan pelepa- san varietas

  • Perlindungan dan pengelolaan (terutama karakterisasi, dokumentasi dan konservasi) plasma nutfah masih lemah. Ketersediaan plasma nutfah untuk pemuliaan menjadi lebih terbatas.
  • Pengembangan varietas oleh lembaga penelitian milik pemerintah belum banyak berorientasi pasar, sehingga volume permintaan benih dari banyak varietas tidak feasible secara komersial karena varietasnya kurang sesuai dengan preferensi pasar.
  • DUS (distinctness, uniformity, stability) test belum diterapkan dalam evaluasi varietas. Tanpa DUS, varietas akan sulit diidenti- fikasi secara objektif sehingga akan menimbulkan masalah dalam serti- fikat benih dan dalam perlindungan varietas tanaman.
  • Penyusunan dan revisi berkala terhadap daftar varietas komersial atau varietas yang layak untuk sertifikasi belum dilaksanakan secara efektif. Sertifikasi benih diterapkan terhadap semua varietas (komersial dan non komersial) tanpa memperhatikan kelayakannya, sehingga menimbulkan inefisiensi.
  • Kegiatan produksi dan penyimpanan BS (breeder seed) dari varietas- varieats yang telah dilepas sangat lemah, fasilitas sangat tidak memadai sehingga kontinuitas ketersediaan BS bagi produsen benih tidak terjamin.
  • Mekanisme pengendalian mutu dalam produksi dan distribusi BS belum mengikuti jalur formal (sertifikasi benih berdasarkan OECD Scheme, ISTA Rules atau system mutu ISO seri 9000), sehingga belum mampu menunjuk- kan jaminan mutu.

c) Produksi dan pemasaran

  • Efisiensi produksi benih bersertifikat masih rendah. Nisbah anatara volume benih lulus uji lab dengan luas tanaman lulus inspeksi lapangan sangat rendah dan beragam. Untuk FS, SS dan ES kedelai di Jawa pada MK 93 dan MH 93/94 berkisar antara 23 kg/ha – 1500 kg/ha dan untuk padi MK 97 dan MH 97/98 berkisar antara 1,10 ton/ha – 5,82 ton/ha (Nugraha, 2000), sehingga belum memadai untuk menghadapi persaingan sehat dalam bisnis.
  • Penyebab rendahnya efisiensi adalah produktivitas (seed yield) rendah, pembatalan kontrak sepihak oleh penangkar karena harga calon benih tidak menarik, penjualan sebagai calon benih untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (khusus kasus di BBI, BBU), dan pengendalian mutu tidak efektif (tingkat ketidak-lulusan tinggi)
  • Pada tahun 2000, total produksi benih padi (ES) diperkirakan mencapai 38% dari kebutuhan (lebih dari 90.000 ton/tahun), dan hanya sekitar 8 varietas yang penyerapan pasarnya (annual seed sale) lebih dari 1800 ton/tahun (PT, SHS, 1999)

d) Pengawasan dan pengendalian mutu

  • Beberapa prinsip dari sertifikasi berdasarkan OECD Scheme seperti evaluasi kelayakan varietas untuk sertifikasi, penentuan kelas benih, verifikasi varietas dalam produksi benih (BS, FS, SS, dan ES), dan sealing belum diterapkan secara lugas.
  • Beberapa prinsip dalam pengujian mutu benih berdasarkan ISTA Rules seperti standardisasi metode (validitas, reproducibility), sealing, standardisasi alat, lab acuan yang terakreditasi, dan efisiensi pengujian belum mendapatkan perhatian yang memadai.
  • Penerapan sertifikasi benih tanpa memperhatikan feasibility-nya, dan tanpa dikaitkan dengan kaidah- kaidah komersialisasi.
  • Efisiensi pengendalian mutu internal masih rendah seperti terlihat dalam tingkat kelulusan inspeksi lapangan dan kelulusan uji lab yang rendah. Untuk benih padi (kelas ES), kelulusan inspeksi lapangan berkisar antara 78 – 86 %, dan kelulusan uji lab antara 73 – 99 % (Nugraha, 2000).
  • Penerapan sistem standardisasi nasional dalam produksi benih, misal sertifikasi sistem mutu berdasarkan ISO seri 9000) belum dilakukan secara lugas, missal LSSM dan lab uji belum diakreditasi, kompetensi personel dan mutu produk belum teruji, sehingga jaminan mutu belum dapat diharapkan.

e) Kelembagaan

  • Beberapa lembaga yang diperlukan untuk menerapkan sertifikasi benih dengan efektif tidak tersedia, missal Lab Acuan yang diakreditasi oleh ISTA, lembaga yang menangani variety maintenance dan foundation seed program. Akibatnya, kontinuitas ketersediaan benih sumberuntuk produksi ES tidak terjamin.
  • Beberapa lembaga yang diperlukan untuk mendukung penerapan system standarisasi nasional dalam produksi benih belum terbentuk, misal Lembaga Sertifikasi Personel, Lembaga Sertifikasi Produk, dan Laboratorium Acuan terakreditasi.

PEMECAHAN MASALAH

Penyeragaman persepsi tentang industri benih, komersialisai, sertifikasi benih (limited generation, pengujian mutu, verifikasi varietas), OECD Scheme /ISTA Rules, Standardisasi Nasional Indonesia (SNI), sistem standardisasi nasional, sistem mutu (ISO seri 9000 dan lain-lain), dan truth- in-labelling agar kebijakan dan peraturan yang dirumuskan selaras dengan kaidah-kaidah baku. Penye- ragaman persepsi berdasarkan referensi baku dapat dilakukan melalui antara lain : Lokakarya. Pelatihan, Sosialisasi. Kegiatan ini sangat crucial untuk menjamin pemahaman dan penerapan peraturan sertifikasi benih atau sistem standarisasi nasional berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah dengan benar dan selaras dengan tuntutan komersialisasi.

Merumuskan kebijakan perbenihan nasional yang dengan jelas mengatur peranan pemerintah dan swasta, membangun iklim kompetisi bisnis yang sehat, dan memperhatikan insentif bagi swasta dalam penelitian dan industri benih.

Harmonisasi kebijakan dan peraturan perundangan dalam pembangunan pertanian, penelitian, dan perbenihan dengan prinsip-prinsip agribisnis/agroindustri, komersialisasi dan perlindungan HaKI, tanpa mengabaikan kepentingan-kepentingan strategis (crash program) untuk mendukung pembangunan pertanian missal :

  • Meningkatkan proporsi penelitian (pemuliaan) yang berorientasi pasar (market-oriented, client-oriented research).
  • Fasilitasi penerapan system standardisasi nasional dalam produksi benih.
  • Formulasi ketentuan yang mencer- minkan aturan main yang adil dan insentif yang jelas bagi investor dalam industri benih.
  • Pemilahan system produksi dan distribusi (terutama mekanisme pengendalian mutu) antara benih komersial dengan benih non komersial untuk mendukung crash program (lihat Gambar 1), dan antara benih (true seeds, sexual propagules) dengan bibit (vegetative propagules). Sertifikat benih berdasarkan OECD Scheme dan ISTA Rules hanya diterapkan untuk benih-benih komersial (commercial ture seeds).
  • Ketentuan distinct, uniform, stable (dan novelty) untuk calon varietas yang akan dilepas harus diterapkan (dievaluasi secara formal) agar sertifikasi dan PVT dapat dilaksanakan dengan benar.
  • Menghilangkan semua peraturan perundangan yang menimbulkan disinsentif bagi komersialisasi dan privatisasi (subsidi tidak adil, beban tugas non komersial yang berlebihan terhadap perusahaan milik pemerin- tah, keharusan mengembalikan semua pendapatan institusi pemerintah sebagai setoran kas Negara, PNBP atau PAD, penentuan standar tanpa melalui consensus stake holders, dan lain-lain).

Mengefektifkan operasionalisasi Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman untuk memacu partisipasi sector swasta dalam pemuliaan dan industri benih. Mengamandemen dan menye-derhanakan peraturan perundangan yang terkait dengan perbenihan (UU 12/1992, PP 44/1995, dan lain-lain), contoh :

  • Pengaturan implementasi sertifikat benih berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah yang memadai (fasilitas penerapan OECD Scheme dan ISTA Rules dengan benar).
  • Sertifikat benih hanya diterapkan terhadap varietas yang memenuhi syarat untuk maksud tersebut (antara lain distinct, uniform, and stable; menunjukkan nilai agronomis atau value for crop and utilization).
  • Penerapan system standadisasi nasional dengan memperhatikan aspek manajemen berdasarkan manajemen mutu (missal ISO 9002) dan aspek teknis berdasarkan OECD Scheme dan ISTA Rules secara konsisten.
  • Prosedur pengujian mutu benih (missal: pengujian mutu genetic, mutu fisiologis, dan mutu fisik) tidak perlu diatur dalam UU atau PP, melainkan dalam hierarki yang lebih bawah seperti SK Menteri atau SK Dirjen agar lebih mudah bila diperlukan perbaikan.

Pembentukan dan pemberdayaan kelembagaan perbenihan diselaraskan dengan prinsip-prinsip untuk mening- katkan daya saing, komersialisasi perdagangan dan perlindungan HaKI:

  • Pemberdayaan institusi perbenih-an untuk menstimulasi privatisasi industri benih (Badan Benih Nasional, Direktorat Perbenihan, Litbang, Pendidikan, Pelatihan dan Penyuluhan)
  • R dan D (antara lain pemuliaan tanaman) yang berorientasi pasar (preferensi konsumen komersial).
  • Pembentukan unit-unit produksi breeder seeds di lembaga-lembaga penyelenggara pemuliaan (terutama milik pemerintah) yang berorientasi komersial dan menerapkan system mutu untuk melayani kebutuhan pelanggan.
  • Memperkokoh lembaga pengujian mutu benih (lab uji) menjadi lab uji terskreditasi yang mampu memberikan jaminan mutu atas hasil-hasil ujinya.
  • Membentuk lembaga-lembaga sertifikasi system mutu, sertifikasi produk, dan sertifikasi personel, serta mendorong kompetisi sehat diantara lembaga-lembaga sejenis.
  • Melatih asesor system mutu, dan asesor lab uji yang memiliki latar belakang teknis (produksi, pengolahan, pengendalian mutu, dan analisis mutu benih) memadai untuk mendukung penerapan Sistem Standadisasi Nasional (Audit internal, sertifikasi, asesmen dan akreditasi) dengan benar.
GAMBAR1

Gambar 1. Diagram Pengendalian Mutu Benih.

Meningkatkan implementasi kebijakan pembangunan pertanian yang menuntut peningkatan mutu, efisiensi, dan daya saing produk, seperti misalnya: pengembangan agribisnis dan industri pengolahan berbasis pertanian, peningkatan ekspor, dan pengembangan mekanisasi pertanian. Memperkuat program pengelolaan plasmanutfah tanaman agar dapat meningkatkan keragaman genetic untuk mendukung program pemuliaan.

DAFTAR PUSTAKA

AS & PM.,2000. PVP Status: PVP Asia in balance. Asia Seed & Planting Material, 7 (3) : 18 – 19

DSN, 1996. Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-8402-1992: Manajemen mutu dan jaminan mutu, kosakata. Dewan Standadisasi Nasional

ISTA, 1971. OECD Standards, Scheme and Guides Relating to Varietal Certification of Seed: OECD Scheme for the Varietal Certification of Cereal Seed Moving in International Trade. Proceedings of the International Seed Testing Association, 36 (3) : 471 – 494. International Seed Testing Association. Vollebekk, Norway.

ISTA, 1985. International Rules for Seed Testing: Rules 1985. Seed Science and Technology, 13 (2) : 299 – 355.

Nugraha, U.S., 2000. Beberapa pemikiran untuk pengembangan industri benih. Makalah dalam “Diskusi dan Sosialisasi Program  Pengembangan Sistem Perbenihan”  yang diselenggarakan oleh Biro  Perencanaan Departemen Pertanian dan BAPPEDA Provinsi Bali.  Denpasar, 11 Oktober 2000.

Otto, H.J., 1985. The current status of  seed certification in the seed industry.In: M.B. McDonald, Jr  and W.D. Pardee (eds.). The Role  of seed Certification in the Seed Industry. CSSA Special Publication  No.10:9-17.  CSSA  Inc.,  Wisconsin, USA.

PT. SHS., 1999. Perlu dukungan  penyuluhan untuk menciptakan  perluasan pasar benih. PT. Hang  Hyang Seri, Jakarta.

Voris, M., 1985. Seed certification in  the next 10 years – A seedsman’s view. In:M.B. McDonald, Jr and

W.D. Pardee (eds.). The Role of Seed Certification in the Seed  Industry. CSSA Special Publication  No.10:41-46.  CSSA  Inc.,  Wisconsin, USA.

Weimortz, E.D., 1985. An international  view of seed certification. In: M.B. Mcdonald, Jr and W.D Pardee  (eds.). The Role of seed  Certification in the Seed Industry.  CSSA  Special Publication No.10:25-28.  CSSA  Inc.,  Wisconsin, USA.

1 Comment »

  1. Assalamu’aliakum Wr Wb
    Pak Udin, bicara OECD Scheme, sertifikas benih, ISTA,Akreditasi Lab, rasanya makin lama kok nggak pinter-pinter. bagaimana bicara OECD Scme.., sementara banyak hal-hal yang semakin saya nggak ngerti. Kemarin saya mendapat Permentan tengtang produksi benih kedelai, kacang hijau dan kacang tanah, terdapat poly generation flow.. ini memang bagus karena memang kebutuhan dan ketersediaan benih untuk komoditi ini memang kurang. Namun…. masih ada lagi pemurnian dalam tanda kutip. Areal lapangan yang tidak jelas benih sumber yang hanya berdasar rekomendasi yang mengatakan asal muasal benih dulunya dari… dan masih sempat diperiksa pada saat fase berbunga diberi kelas benih sebar dengan label biru.Artinya dari areal konsumsi asal masih sempat diperiksa pada fase berbunga bisa naik kelas menjadi benih bersertifikat..
    Dalam rangka produksi benih memang seharusnya sudah mengarah ke sistem manajemen mutu, beberapa perusahaan yang telah mendapatkan kewenanangan melakukan sertifikasi mandiri dengan menerapkan sistem manajemen mutu dengan konsisten telah semakin berkembang , sayang menurut pengamatan kami belum semuanya demikian. hal ini terbukti masih terdapat komplain dari para petani, yang benihnya tidak seragam, yang daya tumbuh rendah dsb. memang hal-hal seperti ini cepat ditangani oleh perusahaan dengan memberi ganti rugi. Namun menurut saya bukan itu solusinya. Bagamana perusamaan menerapkan sistem manajemen mutu dengan konsisten, dari awal sampai akhir.
    Pengujian laboratoris…, memang sering menjadi kambing putih, yang jangka waktu pengujiannya terlalu lama, beayanya mahal, yang tidak valid dsb. Lama tidaknya jangka waktu pengujian diukur dari kacamata produsen , metode uji yang diperlukan. Lama … karena tidak konsisten menerapkan SMM tadi , benih 3 hari lagi mau dikirim keluar dengan alasan kapal segera berangkat baru diujikan ke laboratorium. Bukannya membela Analis tapi kadang-kadang melukai hati Analis. Untuk uji cepat saja membutuhkan waktu minimal 2 hari. kemudian beaya uji mahal…? pemerintah telah banyak memberikan subsidi untuk pengujian benih secara laboratoris.. hanya Rp 6 ,- per kg. demikian pula untuk uji-uji yang lain. Sementara perhatian pemerintah terhadap akreditasi laboratorium belum memadai. Anggaran untuk memelihara akreditasi ke KAN seperti iuran wajib, beaya surveylen dsb seringkali terabaikan, kalaupun terbayarkan , dibayarkan dari anggaran lain nota bene pengaturan … lha…ini awal dari kesalahan. belum lagi semua kegiatan-2 untuk memelihara penerapan SMM ISO/IEC 17025:2005 merupakan kegiat volunter bagi personel laboratorium, karena tidak digunakan untuk bukti fisik kenaikan pangkat (Belum terkover didalam butir-2 kegiatan fungsional PBT)
    Kemudian masalah sealing, penandaan belum sepenuhnya dilakukan
    Maaffffff, bicara masalah benih yang ada dilapang rasanya nggak habis-habis
    Sekali lagi maaf, ini unek-unek kami
    Wasalam

    Comment by Sri Susila Djauhari — February 15, 2010 @ 3:39 pm


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.