Kelembagaan DAS

Hariadi Kartodihardjo, dkk

MASALAH PONDASI PEMBANGUNAN KEHUTANAN INDONESIA

REFLEKSI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN USAHA KEHUTANAN DAN ADOPSINYA BAGI PENINGKATAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI

Tim Penyusun: Dr. Hariadi Kartodihardjo, Ir. Satria Astana MSc, Ir. Heru Khrisna Reza MSc, Ir. Agus Djoko Ismanto MSc, dan Tim Pokja Kebijakan Kehutanan APHI Masa Bakti 2004-2009.

0g0

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME atas selesainya tulisan tentang Kajian Kebijakan Kehutanan Indonesia yang berjudul Masalah Pondasi Pembangunan Kehutanan Indonesia, Refleksi Implementasi Kebijakan Usaha Kehutanan dan Adopsinya bagi Peningkatan Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi.

Tulisan ini merupakan buah pikiran Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) selaku salah satu stakeholder di bidang kehutanan yang dituangkan dalam suatu kajian yang disusun bersama dengan tim pakar untuk memberikan kontribusi/masukan kepada Pemerintah Indonesia yang baru dalam menyusun kebijakan-kebijakan di bidang Kehutanan ke depan untuk mewujudkan Sustainable Forest Management.

Kami menyadari bahwa sangat diperlukan kerjasama dan hubungan yang harmonis antara pelaku di dunia usaha kehutanan dengan pemerintah selaku regulator untuk menciptakan iklim usaha kehutanan yang kondusif. Dengan bangkitnya sektor kehutanan di masa datang diharapkan dapat memberikan kontribusi yang nyata dalam mendukung pembangunan Indonesia.

Kami menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Tim Penyusun: Dr. Hariadi Kartodihardjo, Ir. Satria Astana MSc, Ir. Heru Khrisna Reza MSc, Ir. Agus Djoko Ismanto MSc, dan Tim Pokja Kebijakan Kehutanan APHI Masa Bakti 2004-2009.

Kami mengharapkan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, dan atas perhatiannya diucapkan terima kasih.

Jakarta, 28 September 2004
Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia

Sugiono
Ketua Umum

RINGKASAN

PENDAHULUAN :

  1. Sejauh ini sebagian besar kalangan mengkaitkan kerusakan hutan dari sisi lemahnya pelaksanaan peraturan di lapangan, adanya aktor-aktor yang mensponsori pelaksanaan illegal logging, tingginya permintaan kayu domestik sebagai bahan baku industri, banyak terjadi konflik, maupun dan terutama dalam tiga tahun terakhir, faktor pelaksanaan otonomi daerah dianggap sebagai penyebabnya.
  2. Dengan kenyataan demikian, apakah berarti sistem pengelolaan hutan di Indonesia – dalam hal ini khususnya di hutan produksi – telah terbukti tidak lagi mampu menahan faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan hutan? Kajian singkat ini mencoba menelaah persoalan kerusakan hutan produksi dari sudut pandangan ekonomi kelembagaan (institutional economic), melalui sejumlah referensi, data, serta menggunakan berbagai hasil konsultasi, wawancara, maupun dalam proses-proses fasilitasi pembahasan kebijakan dalam setahun terakhir, sebagai bahan kajiannya. Ringkasan hasilnya dituangkan dalam tiga bagian sebagai berikut:

BAGIAN I: Mengungkap Makna, Memperbaiki Kerangka Pemikiran

  1. Meskipun berbagai lingkungan strategis pembangunan kehutanan telah jauh berubah, namun dalam perumusan kebijakan kehutanan belum terdapat perubahan mendasar. Hal ini disebabkan oleh suatu anggapan bahwa pengendalian perilaku pelaku usaha kehutanan dan masyarakat dapat dilaksanakan melalui instruksi yang ditunjang oleh pengawasan pemerintah. Kebijakan tanpa dilandasi pengetahuan yang cukup mengenai apa masalah yang sebenarnya terjadi di lapangan, konsep apa yang sepatutnya digunakan untuk memecahkan masalah, terbukti tidak menjadikan kebijakan tersebut berjalan secara efektif. Pelajaran dari Finlandia dapat diacu untuk kebutuhan reformulasi kebijakan ini.
  2. Sejumlah masalah pokok yang mendasari pilihan masyarakat berikut ini belum dipertimbangkan dalam memecahkan fenomena kerusakan hutan:

    a. Lemahnya hak, baik dalam bentuk perijinan, maupun hak dasar atas kawasan hutan negara yang belum sepenuhnya mendapat pengakuan masyarakat.

    b. Lemahnya kemampuan lembaga pemerintah (daerah) dalam menguasai informasi, dalam menggunakan informasi sebagai dasar pembuatan kebijakan, serta lemahnya pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan.

    c. Lemahnya hubungan antar lembaga, terutama yang menangani usaha kehutanan, sebagai prasyarat untuk meminimumkan biaya transaksi.

    Dengan tanpa dipertimbangkannya ketiga unsur yang menentukan pilihan masyarakat tersebut, maka sebagian besar masyarakat memilih jalan pintas, merusak hutan, karena:

    a. Lemahnya kepastian usaha serta lemahnya insentif untuk menjadikan hutan sebagai modal ekonomi dalam jangka panjang.
    b. Kebijakan pemerintah menjadi tidak konsisten, baik tidak sejalan dengan masalah di lapangan maupun adanya perbedaan tujuan antar satu lembaga dengan lembaga lainnya, sehingga iklim secara keseluruhan menjadi tidak kredibel. Kebijakan seperti ini tidak membangun, tetapi justru melumpuhkan social capital.

  3. Illegal logging semestinya bukanlah isu nasional yang terus diangkat. Sebab jika demikian, kebijakan kehutanan akan terjebak pada kesalahan umum dalam perumusan kebijakan, yaitu keliru dalam merumuskan masalah. Bangunan rumah kehutanan di Indonesia belumlah ditopang oleh pondasi yang kuat. Oleh karena itu, membicarakan pengendalian kerusakan bangunan di atas pondasi, hanyalah melenakan publik yang seolah-olah memberikan solusi, tetapi sebenarnya hanya memoles dan memperbarui warna dinding, yang sewaktu-waktu retak dan rontok akibat tiadanya topangan yang kokoh.

BAGIAN 2. Mengungkap Fakta, Menyempurnakan Kebijakan

  1. Kebijakan pengendalian produksi kayu tidak berjalan akibat sempitnya ruang dan arena (policy space) yang dicakup dalam kebijakan tersebut. Sistem pengendalian produksi itu sendiri diasumsikan dapat berjalan, padahal sistem tersebut disamping menimbulkan biaya transaksi tinggi juga sangat lemah kapasitasnya. Terdapat delapan bidang kebijakan dan peraturan yang semestinya disempurnakan, yaitu mengenai kerangka umum pengelolaan hutan produksi, perijinan dan pengendaliannya, hutan tanaman, keuangan, penilaian kinerja, sangsi, industri perkayuan dan tata niaga hasil hutan, serta kawasan hutan. Dalam kaitan ini sinkronisasi pelaksanaan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah perlu dilakukan, dan didalamnya perlu disinkronkan antara isi PP No. 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, serta isi PP No. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Propinsi dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah.
  2. Industri perkayuan nasional tidak mendapat insentif pasar untuk meningkatkan nilai tambahnya akibat ”kelimpahan semu” pasokan kayu sebagai bahan bakunya. Transisi pergeseran komposisi industri perkayuan untuk mengoptimumkan nilai tambahnya perlu dicanangkan dalam kebijakan jangka panjang sejalan dengan kebijakan pengelolaan hutan produksi.
  3. Pelajaran dari Finlandia tentang pengelolaan hutan produksi dapat digunakan sebagai acuan kebijakan publik di Indonesia. Pada prinsipnya, kebijakan kehutanan di Finlandia telah dapat menempatkan fungsi pemerintah, BUMN, dan swasta/masyarakat, sehingga biaya transaksi menjadi minimal.

BAGIAN 3 Prioritas Kebijakan Nasional

  1. Kehutanan Indonesia memiliki karakteristik yang khas, yaitu sebagian besar diantaranya berstatus sebagai hutan negara. Secara konseptual, karakteristik yang demikian menghendaki tingginya pengamanan hak dan tenurialnya (secure of property rights) serta menghendaki tingginya keputusan-keputusan kolektif (collective actions) dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan. Tiga masalah pokok pengelolaan hutan produksi di Indonesia, dengan demikian, adalah: pertama, soal kepastian (legalitas) kawasan hutan; kedua, kontrak dalam pengertian hubungan pemerintah – swasta, pemerintah – masyarakat, swasta – masyarakat, dan antar lembaga pemerintah; ketiga, dalam konteks kebijakan nasional yaitu lemahnya monitoring dan pengendalian berjalannya kebijakan.
  2. Oleh karena itu, tiga tujuan kebijakan nasional dalam pengelolaan hutan produksi adalah: Pertama, dapat diminimumkan biaya transaksi; Kedua, dapat dijalankan kebijakan yang lebih terfokus kepada sumber-sumber masalah; Ketiga, membangun pondasi (enabling conditions) bagi perwujudan produktivitas dan efisiensi pemanfaatan sumberdaya hutan. Sasaran kebijakan tersebut adalah:
    a. Penyempurnaan peraturan dan pelaksanaan pengukuhan kawasan serta penguatan lembaga pusat dan daerah sehingga mempunyai kredibilitas dan kapasitas secara nasional (menuju forest land governance);
    b. Menyempurnakan bentuk peraturan – perundangan terhadap pelaksanaan ijin untuk memastikan bahwa hubungan transaksional antar pihak tidak menimbulkan biaya transaksi tinggi. Etatisme dapat dihindari apabila terdapat instrumen pengendalian lima tahunan bagi unit manajemen (unit usaha) dari hasil inventarisasi menyeluruh secara berkala serta penerapan outcome-based policy.
    c. Meningkatkan efektivitas kebijakan pengelolaan hutan produksi, melalui penyempurnaan struktur organisasi di tingkat Departemen, dengan tujuan penguatan hubungan Pusat-Daerah, intensifikasi pengukuhan hutan nasional, serta penguatan pelaksanaan monotoring dan pengendalian pembangunan kehutanan.
  3. Ketiga sasaran kebijakan tersebut dapat dijabarkan lebih lanjut secara rinci, namun dalam kajian ini belum diuraikan, karena jika memang dijalankan, perlu dibahas lebih lanjut dengan berbagai pihak

BAGIAN I Mengungkap Makna, Memperbaiki Kerangka Pemikiran

1 PENDAHULUAN

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, para pemerhati dan pelaku pembangunan kehutanan, dalam diskusi- diskusinya, seringkali mengkaitkan masalah-masalah kehutanan dengan beberapa kata kunci, seperti: pemerintahan, kepemimpinan, bahkan korupsi. Kata-kata kunci tersebut secara akademis maupun sebab-akibat berdasarkan ilmu pengetahuan kehutanan konvensional tidak dapat langsung dikaitkan dengan masalah-masalah kehutanan, karena dalam ilmu pengetahuan kehutanan pada umumnya, kata-kata tersebut dianggap sudah terkendali atau seharusnya telah selesai disiapkan, dengan kata lain menjadi syarat pemungkin (enabling conditions) 1 yang tidak perlu lagi menjadi pertanyaan.

——–

1 Insentif pemungkin dapat berupa: keamanan lahan, aksesibilitas, pasar, devolusi pengelolaan sumberdaya alam, desentralisasi pengambilan keputusan, fasilitas kredit, keamanan nasional (IFAD, 1998).

Sebagian dari kita mungkin menganggap bahwa munculnya kata-kata di atas sebagai bentuk putus asa yang tidak perlu ditanggapi. Tetapi bagi sebagian yang lain, mengatakan sebaliknya, bahwa dalam upaya pemecahkan masalah-masalah pembangunan kehutanan perlu memasukkan unsur- unsur pemerintahan, kepemimpinan, dan peluang terjadinya korupsi. Apabila pembahasan kehutanan dititik-beratkan pada kawasan hutan negara, maka perwujudan penguasaan negara atas kawasan hutan telah ditetapkan dalam bentuk kewenangan-kewenangan pemerintah (Pasal 4, UU No 41/1999 tentang Kehutanan). Oleh karena itu, pembahasan mengenai pemerintahan, kepemimpinan, maupun soal-soal terjadinya peluang korupsi dalam pengelolaan hutan adalah konsekuensi yang tidak perlu dihindari. Lebih jauh yang perlu dieksplorasi adalah apakah hutan mempunyai karakteristik tertentu dibandingkan misalnya, pertanian, sehingga soal – soal pemerintahannya di kehutanan menjadi khas. Benarkah akibat menyimpang dari kekhasannya itu menjadi penyebab tidak efektifnya penyelenggaraan kehutanan sehingga menyebabkan hutan rusak?

Bagian pertama dari naskah ini mengulas pemahaman-pemahaman kelembagaan kehutanan, juga penekan-penekanannya, dengan informasi dasar yang diuraikan dalam bagian kedua. Bagian pertama pada dasarnya menjadi konsep atau kerangka pemikiran yang dijabarkan secara lebih operasional pada bagian kedua. Dengan demikian kedua bagian ini pada dasarnya tidak terpisahkan, hanya berbeda tingkat abstraksinya

2 HUTAN NEGARA , HUTAN SIAPA ?

2.1. Insentif dan Keterbukaan Informasi

Pertanyaan ”hutan negara hutan siapa” mungkin cukup sederhana untuk ditelaah. Tetapi apabila arah pembahasannya ditujukan pada pertanggungjawaban pelestarian hutan dan fungsinya, dan kewenangan dari negara – sesuai dengan Pasal 4, UU No 41/1999 tentang Kehutanan – yang telah dijalankan oleh pemerintah dalam bentuk pengelolaan hutan dan perijinan pemanfaatan hasil hutan, maka banyak pihak memegang hak/ijin yang harus pula bertanggungjawab atas kinerja pengelolaan hutan. Tetapi apakah pihak-pihak yang tidak bertindak sebagai pengelola hutan dan tidak bertindak sebagai pemegang ijin pemanfaatan hasil hutan harus dikeluarkan dari pihak-pihak yang masuk ke dalam ”pihak-pihak pemegang hak dan ijin”?

Disinilah mulai dipisahkan antara hutan secara fisik yang dapat ditentukan batas-batasnya dengan fungsi hutan berupa manfaat langsung seperti kayu, rotan, getah, dll. serta manfaat hutan tidak langsung seperti udara segar, pengendali erosi, penjaga kesuburan tanah, penyerap karbon, dll. Manfaat tidak langsung dari hutan senantiasa keluar dari batas-batas fisik hutan, dan manfaat inilah yang juga diinginkan keberlanjutannya oleh masyarakat luas, dalam hal ini yaitu pihak-pihak yang tidak mendapat hak pengelolaan ataupun ijin pemanfaatan hasil hutan.

Maka tidak keliru apabila ada yang mengatakan hutan adalah milik publik. Tetapi perlu lebih spesifik, bahwa yang menjadi milik publik dari hutan adalah manfaat tidak langsung atau fungsi hutan tidak langsung, sedangkan manfaat langsungnya dapat dimiliki secara eksklusif oleh para pemegang hak atau ijin atau para pemilik hutan hak atau hutan rakyat. Dalam konteks inilah, berdasarkan referensi ilmu kelembagaan (Schmid, 1997) dikatakan bahwa terdapat suatu barang, dalam hal ini hutan, yang dapat membangkitkan interdependensi atau ketergantungan antar pihak. Karena keberadaan manfaat tidak langsung dari hutan tersebut, masyarakat luas mempunyai ketergantungan dengan para pemegang hak atau ijin pemanfaatan hasil hutan atau para pemilik hutan atas kegagalan atau keberhasilan pengelolaan hutan. Dalam konteks inilah, secara normatif muncul pemikiran mengenai sistem insentif. Misalnya, apabila hutan rakyat menghasilkan fungsi yang dapat dinikmati oleh masyakat luas, misalnya dapat mengendalikan terjadinya banjir, maka selayaknya pemerintah daerah memberi insentif bagi masyarakat yang menanam hutan. Demikian pula, jika para pemegang ijin pemanfaatan hasil hutan rusak hutannya, dan mengurangi atau menghilangkan manfaat tidak langsung dari hutan tersebut bagi masyarakat luas, maka masyarakat luas berhak mendapat informasi dan penjelasan mengenai penetapan dan implementasi kebijakan yang dijalankan pemerintah atas hak dan ijin yang diberikan.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditunjukkan bahwa insentif bagi pembangunan hutan dan keterbukaan kebijakan pemerintah bagi publik sudah semestinya diwujudkan bukan karena desakan ekonomi, desakan masyarakat, atau trend dunia, melainkan dari penjabaran sifat hakiki sumberdaya hutan itu sendiri.

Kembali kepada pertanyaan di atas: ”hutan negara hutan siapa; siapa bertanggungjawab?”, menjadi suatu pertanyaan yang tidak sederhana untuk dijabarkan jawabannya. Jawaban pertanyaan tersebut berkaitan dengan wujud tata pemerintahan yang memungkinkan efektifnya sistem insentif dan tersebarnya informasi kebijakan pengelolaan hutan. Sistem insentif yang efektif akan mendorong pelestarian manfaat hutan oleh pihak-pihak tanpa harus senantiasa dipaksa dari luar, misalnya berupa peraturan, sedangkan informasi yang terbuka akan menjadi wujud kontrol masyarakat terhadap penyimpangan- penyimpangan kebijakan maupun pengelolaan hutan di lapangan yang senantiasa dapat terjadi.

Dalam kebijakan pengelolaan hutan saat ini, baik terhadap hutan negara maupun hutan rakyat, insentif yang efektif belum berjalan secara luas. Hambatan kebijakan dalam bentuk insentif dalam pengelolaan hutan negara, dalam hal ini dalam pembangunan hutan tanaman, terbentur lemahnya syarat pemungkin dan akibat tersedianya pemanfaatan sumberdaya – dalam hal ini kayu hasil land clearing – mengalihkan tujuan mendapatkan untung. Penyimpangan tujuan tersebut akibat misalokasi kayu hasil land clearing yang semestinya tidak menambah pendapatan seiring luasnya membuka hutan alam (Kartodihardjo, 2003).

Dalam pengelolaan hutan alam, insentif, misalnya, diperoleh bagi pemegang ijin yang telah mendapat dan/atau sedang mengajukan sertifikasi pengelolaan hutan lestari, yang berupa pembebasan prosedur pengesahan Rencana Karya Tahunan. Tetapi dalam pelaksanaannya juga belum efektif karena lemahnya syarat pemungkin 2 . Hutan rakyat sampai saat ini belum pernah mendapat insentif, bahkan di beberapa kabupaten mendapat disinsentif karena kayu dari hutan rakyat dibebani retribusi oleh pemerintah daerah.

——–

2 Misalnya pembayaran jenis pungutan yang sama sebanyak dua kali karena wilayahnya berada dalam dua kabupaten, pungutan untuk pengesahan RKT, dll. Hasil wawancara dengan pemegang sertifikasi hutan di Pakanbaru, Riau, tgl 16 Juni 2004.

2.2. Masalah ”common interest”

Informasi tentang sumberdaya hutan menjadi kebutuhan dasar pemerintah untuk menjalankan berbagai bentuk kewenangan penyelanggaraan kehutanan. Informasi yang paling penting menyangkut kepastian hak dan batas-batas hutan negara serta isi yang terkandung di dalamnya. Tanpa adanya kesempurnaan dalam penguasaan informasi tersebut, kewenangan dapat berjalan namun tanpa obyek yang jelas sehingga penyelenggaraan kewenangan tidak akan efektif (Kartodihardjo, 1998).

Informasi berikutnya menyangkut pembagian fungsi hutan serta wilayah-wilayah yang mempengaruhi dan dipengaruhi keberadaan hutan. Dalam hal ini berbentuk keterikatan hutan dengan aspek- aspek sosial, budaya, maupun ekologi/ lingkungan, yaitu dari perwujudan manfaat tidak langsung dari hutan sebagaimana diuraikan di atas. Tanpa ada informasi yang terakhir ini maka manfaat tidak langsung dari hutan tidak dipertimbangkan dalam manajemen pengelolaan wilayah, sehingga kehutanan hanya akan terfokus secara sektoral di dalam kawasan hutan dan hanya memperhatikan manfaat langsung hasil hutan.

Tentu saja keberadaan informasi tidak dapat langsung memperbaiki penyelenggaraan kehutanan apabila informasi yang telah ada tidak digunakan dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks ini bahkan kata kuncinya bukanlah informasi, melainkan pengambilan keputusan. Manakala pengambilan keputusan tidak dilaksanakan secara obyektif – tidak pernah menjadi pembahasan publik yang dapat saling menguji fakta-fakta yang diungkapkan pihak lain – informasi menjadi tidak penting. Informasi tanpa demand akan hilang atau sekedar ada meskipun tidak berkualitas. Pengadaan alat-alat mahal untuk mendapatkan informasi juga akan terbengkalai karenanya.

Keputusan yang dihasilkan tanpa menggunakan informasi secara akurat atau tidak lengkap, akan menjadi sekedar norma, yang kebenarannya hanya terkonstruksi di dalam pikiran. Kebijakan seperti ini baik, bahkan benar, tetapi tidak berjalan, karena tidak akurat, tidak cukup, dan tidak sejalan dengan persoalan di lapangan. Informasi yang tidak akurat dan tidak cukup seringkali disebabkan oleh kekeliruan konsep yang digunakan dalam pemecahan masalah. Dalam perumusan kebijakan kehutanan selama ini, belum digunakan konsep ekonomi, kelembagaan, sosial; melainkan digunakan cara konvensional yaitu perintah dan awasi. Telaah kebijakan kehutanan dan kegagalan kebijakan pengendalian produksi, soft landing, yang diuraikan dalam Bagian II menjelaskan fenomena tersebut.

Dengan berjalannya mekanisme perumusan kebijakan yang demikian, pihak-pihak yang semestinya mempunyai andil untuk ikut memanfaatkan ataupun merasa memiliki fungsi-fungsi hutan menjadi tercerai- berai. Karena, kita secara keseluruhan telah kehilangan rasa respect satu terhadap lainnya, tidak terjadi dialog, meskipun banyak pertemuan. Pemerintah dan masyarakat dalam arti luas, sepertinya kehilangan common interest untuk mempertahankan fungsi hutan, meskipun semua tahu dan mulai tumbuh kesadaran akan kepentingannya. Menjalankan penyelenggaraan kehutanan, ketika dipertemukan dengan siapa yang bertanggungjawab, pokok masalahnya, dengan demikian, ada di dalam lingkungan pengambilan keputusan. Oleh karena pangkal kewenangan penyelenggaraan kehutanan, sebagai pengejawantahan kekuasaan negara, berada dalam lingkungan pemerintahan, maka akan berkaitan dengan soal-soal kepemimpinan, pengetahuan-pengetahuan baru yang diperbincangkan, serta hubungan-hubungan transaksional yang ada di dalamnya maupun dengan pihak-pihak lainnya ■

3 HAK DAN PENETAPAN HUBUNGAN -HUBUNGAN

alam pengelolaan hutan alam produksi, hutan tidak dapat diagunkan oleh pemegang ijinnya. Alasannya hutan alam tersebut bukan milik pemegang ijin. Peraturan-perundangan menguatkan pernyataan tersebut, dan oleh karenanya diskusi ditutup, perdebatan dihentikan. Kenyataan demikian adalah khas situasi diskusi dalam komunitas birokrasi, dan hal demikian dapat difahami karena langkah tindak pemerintah tidak mungkin menyimpang dari apa yang telah ditetapkan secara legal. Namun, bagaimana kalau yang legal tidak dapat memberi jalan keluar?

Jika diskusi tersebut dibuka kembali, pertanyaan pokoknya adalah: benarkah seseorang akan mempedulikan barang bukan miliknya? Atau dapat dibalik, benarkah apabila kepemilikan barang diperkuat, sehingga barangpun dapat dijadikan agunan, pemilik akan lebih melindunginya? Sebagai sebuah anti tesis, pertanyaan kedua akan lebih bermakna untuk dieksplorasi lebih jauh, meskipun dapat merubah konstruksi hukum, terutama yang menyangkut hak dan ijin, serta posisi pemerintah sebagai pemegang kewenangan penyelenggaraan kehutanan.

Salah satu faktor yang semestinya dipertimbangkan adalah karakteristik obyek yang dibicarakan, dalam hal ini adalah hutan negara. Masyarakat bukanlah pemilik (ownership rights) hutan negara, demikian pula pemerintah. Masing- masing mempunyai ketergantungan yang khas; pemerintah mengatur, menetapkan, dan menjalankan kebijakan; masyarakat menerima manfaat hutan, langsung dan/atau tidak langsung. Semakin tidak diperjelas hubungan pemerintah dan masyarakat terhadap hutan negara, dengan hak-hak yang jelas, kedua pihak tersebut semakin mengandalkan satu terhadap lainnya. Dan karena keduanya bukan pemilik, maka hutan seolah-olah menjadi barang tanpa pemilik (open access resources).

Hak, bukanlah satu jenis, melainkan beberapa jenis (bundle of rights). Setidaknya hak terhadap pengelolaan sumberdaya alam, terdiri dari hak memanfaatkan, hak menentukan bentuk manajemen, hak mengundang pihak lain untuk ikut memanfaatkan, dan hak untuk mengubah fungsi. Benarkah jika ada pihak tertentu yang hanya menerima satu jenis hak, yaitu hak memanfaatkan, seperti sistem HPH, telah cukup untuk menjadi landasan tumbuhnya ”rasa memiliki”? Oleh karena itu ketetapan mengenai pilihan hak-hak sangatlah penting, yang pada akhirnya menentukan hubungan antar pihak, serta perilaku pemegang hak atau ijin dari kuat lemahnya rasa memiliki terhadap sumberdaya hutan.

Karena sifat kepemilikan mempunyai akar hubungan antara pemilik dengan yang dimilikinya – misalnya hubungan anak dan orang tua yang saling memiliki (emosional), hubungan pemilik barang dan barangnya dari korbanan uang untuk membelinya (finansial) – maka ”rasa memiliki” tidak dapat dipaksakan, termasuk melalui prosedur administratif. Rasa memiliki terhadap sesuatu, memiliki selang yang cukup lebar yaitu di satu sisi ia terwujud karena ikatan emosional misalnya didapat dari satu keluarga, satu darah, satu bangsa; dan di sisi lain, kepemilikan diwujudkan dalam bentuk upaya penjagaan karena sudah ada yang dikorbankan, ada uang yang telah dibelanjakan, dan yang dikorbankan itu seharusnya tidak hilang.

Masyarakat tertentu yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan dapat mempunyai hubungan emosional dengan hutan, apalagi hutan sudah menjadi bagian dari kehidupan bukan hanya ekonomi tetapi juga sosial dan budaya masyarakat secara kolektif. Namun demikian, hubungan masyarakat dengan hutan yang demikian juga bersifat dinamis, yang sangat tergantung dari pasang- surut kelembagaan masyarakat itu sendiri dengan keputusan-keputusan kolektif yang dipengaruhi oleh dunia di luarnya. Masyarakat lainnya, dalam hal ini pengusaha, mempunyai variasi hubungan antara emosional dan finansial. Namun sebagaimana yang berlaku dalam dunia usaha, sikap pengusaha biasanya mengikuti sikap ”normal” yang didasarkan pada rasionalitas ekonomi dan finansial. Di dalam perusahaan juga terdapat hubungan-hubungan hierarki dan ketenaga- kerjaan yang tidak mudah dikoordinasikan – dan menentukan kinerja perusahaan secara keseluruhan.

Pemerintah juga mempunyai hubungan khusus dengan hutan negara. Secara substansial pemerintah bukan merupakan satu entity, melainkan terdapat hubungan hierarki yang juga terdapat masalah-masalah koordinasi. Tata hubungan pemerintahan, kepemimpinan dan masalah-masalah korupsi menjadi hal-hal yang semestinya terbuka untuk diteliti dan menjadi bagian dari pengambilan keputusan dalam kebijakan penyelenggaraan kehutanan. Dan menjadi semakin jauh lebih luas – yaitu situasi sosial politik dan peran masyarakat sipil, ketika sampai pada masalah, siapa yang akan mengontrol jika pemerintah melakukan kesalahan dalam pembuatan kebijakan penyelenggaraan kehutanan, sedangkan lembaga legislatif kurang berfungsi.

Pembagian pelimpahan kewenangan serta perwakilan yang akuntabel harus secara bersamaan terjadi, karena transfer kekuasaan tanpa diimbangi dengan lembaga perwakilan yang akuntabel adalah berbahaya. Demikian juga membangun lembaga perwakilan yang akuntabel tanpa kekuasaan adalah nihil. Kebanyakan proses desentralisasi hanya membangun salah satu dari kedua unsur tersebut. Pengalaman di Mongolia bahwa tragedi open access terhadap sumberdaya alam dipicu oleh kevakuman institusi yang tercipta oleh suatu proses desentralisasi yang tidak komplit (Means, 2002 dalam Ribot, 2002). Ini juga seperti yang terjadi di Indonesia saat ini.

Terlepas dari karakteristik pihak- pihak yang langsung berkaitan dengan pengelolaan hutan tersebut di atas, ketiganya perlu diikat oleh tata hubungan yang memungkinkan otonomi masing-masing dengan tetap berpegang pada pelestarian fungsi-fungsi publik dari hutan yang diperlukan oleh masyarakat banyak. Saat ini hubungan antara pemerintah dan pengusaha diikat melalui Surat Keputusan Menteri (pusat) atau Surat Keputusan Bupati (daerah). Sementara itu hubungan antara pemerintah dan masyarakat lokal serta hubungan antara pengusaha dan masyarakat lokal dapat dikatakan tidak terstruktur, sangat tergantung pada kasus- kasus di lapangan.

Inovasi bentuk hubungan atau kontrak di atas sangat berpengaruh terhadap kinerja yang diharapkan. Hubungan antara pengusaha dan pemerintah dalam bentuk Surat Keputusan sejauh ini tidak mampu memastikan terwujudnya rasa memiliki bagi masing-masing pihak. Sebagian besar pengusaha menebang lebih hutan negara yang mereka kelola, sebaliknya juga demikian, sebagian besar pelaku-pelaku pemerintahan mencampuri urusan pengusaha dan menciptakan biaya melalui kebijakan yang dilahirkannya untuk kepentingan kelompok dan perorangan. Di sini kedua belah pihak melaksanakan maksimasi pemanfaatan sumberdaya hutan untuk jangka pendek dan berakibat mengurangi manfaat dalam jangka panjang. Kondisi birokrasi juga menjadi terpaku untuk tidak menegakkan peraturan, karena langkah demikian itu hanya akan mengurangi kesempatannya untuk menjalankan rent seizing 3

——–

3 Rent seizing adalah konsep yang diperkenalkan oleh Ross untuk menjelaskan upaya-upaya yang dilakukan oleh birokrat untuk mendapatkan hak mengalokasikan rente untuk kepentingan individu dan kelompoknya. Lihat: Michael L. Ross. 2001. Timber Booms and Institutional Breakdown in Southeast Asia. Cambridge: Cambridge University Press. Hal. 3.

Salah satu alternatif selain dalam bentuk SK- SK di atas adalah dilakukan pengaturan hak yang lebih mendasar, misalnya dalam bentuk seperti Hak Guna Usaha dalam pertanahan. Dengan adanya ketegasan hubungan ini, di satu sisi masalah tingginya campur- tangan pemerintah dan di sisi lain kepastian usaha lebih mungkin dapat diwujudkan. Inovasi kebijakan ini memerlukan perubahan pemikiran secara mendasar, meskipun kata ”seperti” di atas tidak menunjuk kata ”sama” sehingga perlu mengubah sampai di tingkat Undang-Undang. Hubungan antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan negara berbeda dengan hubungan antara pemerintah dengan swasta. Masyarakat lokal dan hutan negara tidak dapat dipisahkan sebagaimana konsumen terhadap barang yang diproduksi produsen, yangmana konsumen tidak harus mengetahui siapa produsennya. Hubungan antara masyarakat lokal (seperti konsumen) dengan barang dan jasa yang diproduksi oleh hutan (seperti produsen) menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena lokasi dan jarak. Oleh karena itu hak atas pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat lokal tidaklah patut diberikan dengan cara kompetisi, sehingga bentuk hubungan antara masyarakat lokal dan pemerintah bukanlah berupa ijin sebagaimana yang telah diatur selama ini, melainkan lebih berupa hak kelola dengan tujuan-tujuan khusus sebagaimana yang telah berkembang di dalam masyarakat.

Sebagaimana diuraikan dalam penjelasan Pasal 5 UU No 41/1999 tentang Kehutanan, masyarakat lokal mempunyai opsi mengelola hutan negara, baik dalam bentuk hutan adat maupun hutan desa. Apabila sistem pengelolaan ini terwujud, maka posisi masyarakat lokal sama dengan posisi pengusaha, yaitu sama-sama mendapat hak untuk mengelola hutan negara, meskipun mekanisme pengaturannya dapat berbeda. Dalam konteks ini, maka hubungan antara pengusaha dan masyarakat lokal dapat secara tegas ditetapkan. Pertama, dapat berupa hubungan perusahaan-buruh dengan tata-hubungan yang telah ditetapkan dalam Undang-undang, kedua hubungan ”bertetangga”, yang mempunyai hak dan kewajiban sama dalam pengelolaan hutan negara ■

4 KELEMBAGAAN : Masalah yang hendak dijawab ?

Kedua topik yang telah dibahas di atas pada dasarnya menyatakan bahwa pemerintah memegang peran penting untuk mengarahkan perilaku pengelola hutan. Peran demikian itu dapat terwujud hanya apabila pemerintah menguasai informasi tentang sumberdaya hutan dan menggunakan informasi tersebut sebagai dasar dalam pengambilan keputusan. Karena karakteristik sumberdaya hutan yang cenderung bersifat akses terbuka (open access), maka kepedulian pemerintah sendiri tidak mungkin dapat mewujudkan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Satu-satunya jalan adalah melakukan transfer hak kelola kepada pihak lain. Oleh karena itu, bagaimana kebijakan pemerintah dalam pengaturan hubungan kontrak dengan pihak lain serta bentuk pengendaliannya, agar secara bersama-sama dapat melakukan tujuan pemerintah, menjadi dasar utama kelangsungan pengelolaan hutan.

Topik di atas juga memberi pesan kuat bahwa di dalam ”tubuh” pemerintah, pengusaha, maupun masyarakat lokal, terdapat hubungan horizontal dan vertikal, yang secara keseluruhannya tidak senantiasa menjadi kesatuan pandangan, persepsi maupun langkah tindak. Oleh karenanya, manajemen tata- hubungan secara internal di dalam masing-masing pihak menjadi kebutuhan yang tidak terhindarkan. Dalam kondisi demikian itu, perusahaan swasta, mungkin mempunyai masalah yang paling sederhana. Bentuk tata kerja yang bersifat instruksional yang dipadukan dengan sistem insentif yang memadai sudah sangat dikenal, dan apabila dikaitkan dengan tujuan- tujuan tertentu, standar-standar seperti ISO dapat diacu. Cara kerja demikian itu bahkan cukup rumit apabila diterapkan dalam lingkungan yang hampir serupa, tetapi dalam perusahaan pemerintah (BUMN, BUMD). Apalagi untuk lingkungan pemerintahan itu sendiri, dan dalam hal ini bukan hanya soal hubungan kerja di dalam lingkup kantor tertentu, tetapi juga menyangkut hubungan antar instansi, pusat dan daerah.

Manakala masih terdapat masalah tata hubungan pemerintahan, bentuk instruksional kebijakan pemerintah akan menjadi tumpul, dan bukan hanya itu, pemerintah secara keseluruhan akan membentuk iklim yang menghambat berjalannya insentif untuk mencapai tujuan- tujuan pengelolaan hutan. Karena masalah hubungan tata pmerintahan dapat menyebabkan tidak dipenuhinya tiga syarat berjalannya insentif, yaitu:

  1. Kendala Formal: hukum, kebijakan dan hak-hak kepemilikan. Setiap tindakan, khususnya tindakan ekonomi, biasanya diperlukan aksi legal- formal, misalnya: pajak, subsidi, atau melegalkan dan mengatur pasar. Tidak adanya kepastian hukum, kebijakan dan hak-hak kepemilikan akan senantiasa mengarahkan eksploitasi dan konflik dalam pengelolaan sumberdaya hutan.
  2. Kendala Sosial: banyak aturan tidak tertulis yang mengarahkan perilaku sehari-hari masyarakat dalam percaturan ekonomi dan sosial. Kendala sosial berakar pada rasa percaya dari suatu sistem kepercayaan, termasuk norma budaya, kesepakatan sosial, adat istiadat, etika, tradisi dan tabu. Masyarakat patuh hukan hanya karena ikatan hukum, tetapi juga karena rasa dan kesepakatan yang terbangun.
  3. Kepatuhan (compliance): suatu bentuk insentif hanya akan efektif bila masyarakat dan para pelaku lainnya patuh/taat pada aturan mainnya. Derajat kepatuhan masyarakat/pelaku lain terhadap aturan main tertentu bervariasi dan dipengaruhi antara lain oleh konsistensi pemerintah dalam menjalankan kebijakannya.

Apabila tata pemerintahan sangat menentukan efektivitas bekerjanya insentif, tata hubungan di dalam masyarakat juga sangat menentukan bagaimana peluang-peluang dalam pemanfaatan sumberdaya hutan yang tersedia dapat diisi tanpa menimbulkan konflik dan dapat diselenggarakan dalam jangka panjang. Dalam menjalankan kebijakan pemerintah, tata hubungan di dalam masyarakat tidak dapat diasumsikan telah siap begitu saja. Masyarakat pada umumnya memerlukan pendampingan untuk memastikan bagaimana batasan-batasan maupun peluang dapat diisi bersama-sama. Dari banyak pengalaman, pendekatan instruksional dalam konteks ini tidak akan berjalan. Masyarakat membutuhkan penyesuaian-penyesuaian dan juga pengalaman untuk sampai pada kesepakatan yang dapat dipegang bersama-sama.

Harus diakui bahwa kebijakan pemerintah yang diarahkan untuk menyelesaikan masalah-masalah tata hubungan pemerintahan dan tata hubungan masyarakat sangatlah minimal. Strategi pembangunan juga tidak dijalankan dengan mempertimbangkan adanya kedua masalah tersebut. Mengapa kebijakan pemerintah seringkali dikatakan bagus tetapi tidak berjalan? Salah satu alasannya adalah, kebijakan tersebut berasumsi tidak ada masalah tata hubungan pemerintahan dan tata hubungan di dalam masyarakat.

Uraian di atas juga dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kelembagaan yang disebut dalam uraian ini bukanlah kelembagaan dalam pengertian organisasi atau perangkat keras yang dapat diukur jumlah kursi dan banyaknya tingkat eselon yang ada. Kelembagaan adalah perangkat lunak, aturan main, keteladanan, rasa percaya, serta konsistensi kebijakan. Kelembagaan melihat hukum dari sisi kemanfaatan dan rasa keadilan yang diciptakannya bukan hanya legalitasnya.

Mengambil topik pembahasan kelembagaan dalam uraian ini sekaligus juga ingin mengingatkan bahwa kita tidak dapat memperbaiki penyelenggaraan kehutanan hanya dengan melihat perangkat keras, hukum yang berlaku, dan instruksi- instruksi yang terkandung dalam kebijakan. Melainkan juga sangat tergantung pada perangkat lunak sebagai bagian penting untuk menumbuhkan rasa saling percaya, patuh karena peduli, yang dapat diwujudkan dalam bentuk-bentuk komunikasi serta keterbukaan informasi. Dari suatu referensi dikatakan bahwa rasa percaya adalah bagian dari social capital. Social capital menjadi bagian penting untuk dapat meminimumkan biaya transaksi dalam implementasi kebijakan. Semakin kecil biaya transaksi, semakin mudah pemerintah menjalankan kebijakan yang dibuatnya ■

5 MELANGKAH DARI KONDISI SAAT INI

Dalam sebuah pertemuan terbuka, seorang Bupati mengatakan: “Saya tidak bersedia ikut mengamankan hutan konservasi di daerah saya ini, karena pengelolaan kawasan tersebut bukan wewenang saya. Kecuali pemerintah menyediakan dana khusus untuk kegiatan itu”. Jika demikian, bagaimana dengan masyarakatnya. Haruskah pemerintah membagi-bagi uang kepada masyarakat agar mereka tidak ikut merusak kawasan konservasi di pinggir rumahnya?.

Kejadian di atas diungkap dengan maksud untuk menjelaskan apa akibatnya apabila kita bersikap hanya senantiasa merujuk kebijakan yang berlandaskan aturan-aturan formal. Bupati tersebut mungkin benar, berdasarkan legalitasnya, tetapi implikasi dari kata- kata yang diucapkannya dapat mendorong masyarakat untuk melakukan perusakan terhadap kawasan konservasi.

Keseluruhan realitas yang dihadapi masyarakat tidak pernah cukup untuk bisa diatur oleh kebijakan formal. Legalitas kebijakan, dengan demikian, mempunyai kekuatan sekaligus keterbatasannya sendiri. Untuk memperkecil keterbatasannya itu, kebijakan perlu diletakkan sekurang-kurangnya dalam lima aspek, yaitu: 1. Nilai-nilai (values) yang dianut. 2. Pembuktian akademis atau secara empiris sudah diketahui kebenarannya. 3. Mendapat dukungan politik, yaitu mendapat kesepakatan atau menang dalam memperoleh suara berdasarkan aturan-aturan perwakilan yang telah ditetapkan. 4. Dilaksanakan oleh organisasi/lembaga/unit kerja yang memang mampu melaksanakannya. 5. Dapat diterima oleh masyarakat secara luas, terutama masyarakat yang langsung terkena dampak berjalannya kebijakan tersebut.

Untuk berjalannya suatu kebijakan, kelima aspek di atas sama pentingnya. Oleh karena itu adalah keliru ketika ada seseorang mengatakan bahwa saat ini ilmu kehutanan tidak penting. Pembuktian akademis bahwa kebijakan memang dapat dilaksanakan di lapangan (aspek kedua), adalah jaminan utama berjalannya kebijakan. Apalagi pembuktian tersebut bukan semata-mata dapat dilaksanakan secara teknis, melainkan juga layak secara finansial, serta dengan dampak bagi lingkungan yang dapat dikendalikan. Orang mengalihkan perhatiannya terhadap ilmu kehutanan, karena orang melihat kebijakan tersebut tidak berjalan. Dalam konteks inilah semestinya perhatian berpindah kepada keempat aspek lainnya, sedangkan ilmu kehutanan tetap menjadi pegangan.

Adakah relevansi memasukkan kelima unsur di atas, dalam konteks kebijakan kehutanan?

Barangkali dapat dilihat dari sisi ekstrim, bahwa mestinya pemerintah tidak perlu membuat kebijakan apabila tidak ada masalah yang terjadi di lapangan. Kalimat tersebut mempunyai tiga makna. Pertama, apa yang anggapan pemerintah sebagai masalah, tetapi oleh masyarakat termasuk pengusaha dianggap bukan masalah. Perbedaan pandangan ini menjadi salah satu pendorong terjadinya etatisme, yaitu pemerintah terlalu mencampuri urusan swasta atau masyarakat.

Kedua, pembuatan kebijakan bukanlah pekerjaan pemerintah, terutama apabila yang dijalankan sekedar menjabarkan peraturan- perundangan yang lebih tinggi. Tentu saja aspek legalitas ini sangat penting, namun sama pentingnya dengan keakuratan kebijakan untuk dapat mengatasi masalah di lapangan. Dengan demikian, seyogyanya pemerintah tidak membuat peraturan manakala belum diketahui secara akurat apa masalah yang sebenarnya terjadi di lapangan. Dan tidaklah mungkin dapat diketahui keakuratan suatu masalah, apabila tidak terjadi komunikasi secara intensif antara pemerintah dan masyarakat, termasuk kalangan akademisi dan lembaga non pemerintah yang juga mendalami masalah-masalah di lapangan.

Ketiga, tidak sinkronnya kebijakan antar lembaga pemerintah perlu diletakkan sebagai pokok masalah. Mengingat fundamentalnya permasalahan ini, pembangunan kehutanan khususnya dan sumberdaya alam umumnya adalah permasalahan negara.

Pada saat kebijakan tidak diterima secara politik, terdapat pertentangan diantara lembaga pemerintah, dilaksanakan oleh organisasi yang tidak mampu, bahkan masyarakat luas juga menolaknya, para pembuat kebijakan perlu memberi perhatian lebih terhadap proses-proses komunikasi serta upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan organisasi/lembaga/unit kerja pelaksana kebijakan kehutanan. Oleh karenanya, sebagaimana disebut di muka, beberapa kata kunci, seperti: pemerintahan, kepemimpinan, korupsi, menjadi relevan untuk dikaji sebagai prasyarat berjalannya ilmu kehutanan yang tertuang dalam kebijakan-kebijakan teknis kehutanan.

Melangkah dari kondisi saat ini, dengan demikian, yang diusulkan adalah mengatur kelembagaan kehutanan yang bertujuan untuk membangun kapasitas yang memadai untuk dapat berdialog, menerima, memperbaiki, serta menjalankan berbagai penyempurnaan kebijakan kehutanan yang diperdalam kajiannya dalam Bagian II

DAFTAR PUSTAKA

Kartodihardjo, H. 1998. Peningkatan kinerja pengusahaan hutan alam produksi melalui kebijaksanaan penataan institusi [disertasi]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kartodihardjo, H. 2003. Telaah Kebijakan Pembangunan HTI. Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor.

Ribbot, C. J. 2000. Democratic Decentralisation of Natural Resources: Institutionalizing Popular Participation. World Resources Institute. Washington D.C.

Ross, M.L. 2001. Timber Booms and Institutional Breakdown in Southeast Asia. Cambridge: Cambridge University Press.

Schmid A A. 1987. Property, Power, and Public Choice. An Inquiry into Law and Economics, Second Edition. New York : Praeger.

BAGIAN II Mengungkap Fakta, Menyempurnakan Kebijakan

1 PENDAHULUAN

0g1

Gambar 1. Perkembangan Nilai Ekspor Produksi Industri Hasil Hutan, 1993-2002

Kinerja usaha kehutanan menjadi bagian penting dari upaya mengambil manfaat ekonomi dari sumberdaya hutan produksi secara berkelanjutan. Dalam dasawarsa terakhir usaha kehutanan telah mengalami perubahan, baik peranannya terhadap penghasil devisa bagi negara maupun komposisinya. Selama periode 1993-2002 peran kayu lapis masih dominan, yaitu sekitar 48% dari seluruh nilai ekspor hasil hutan. Namun mulai tahun 2000 peran kayu lapis telah digantikan oleh nilai ekspor kertas dan bahan-bahan dari kertas (Gambar 1). Jumlah nilai ekspor produk- produk hasil hutan hampir dua kali lipat dibandingkan ekspor produk pertanian, namun nilai ekspor hasil hutan hanya menyumbang rata-rata 18% dari nilai total ekspor sektor industri.

Usaha kehutanan sangat dipengaruhi oleh sumber bahan bakunya, dalam hal ini kayu bulat. Kecepatan penurunan potensi hutan alam yang diikuti oleh penurunan target produksi log telah secara signifikan berpengaruh terhadap legalitas sumber bahan baku bagi industri perkayuan. Meningkatnya jumlah kayu illegal mudah dideteksi, setidaknya secara akademis, karena dengan penurunan target produksi kayu bulat, dengan permintaan yang relatif tetap, harga kayu bulat tidak meningkat secara signifikan. Sejauh ini kenaikan harga kayu bulat masih disebabkan oleh faktor musim. Padahal harga kayu bulat yang tinggi, setidaknya mendekati harga internasional, akan mempunyai dampak ekonomi yang positif, baik sebagai insentif pembangunan hutan tanaman, upaya untuk menaikkan produktivitas hutan alam, maupun untuk meningkatkan efisiensi dan nilai tambah industri perkayuan itu sendiri.

Perilaku pasar kayu bulat serta lemahnya pemerintahan saat ini turut berpengaruh, bahkan sangat nyata berpengaruh, terhadap keberhasilan implementasi kebijakan pemerintah. Untuk itu dalam Bagian II ini ditelaah sejauhmana kebijakan pengendalian produksi kayu bulat dari hutan alam yang telah dijalankan pemerintah membawa hasil. Disamping itu ditelaah pula kinerja dan struktur nilai tambah industri perkayuan secara nasional untuk mengetahui bagaimana pengembangannya di masa mendatang.

Untuk mendalami lebih jauh, bagaimana kebijakan yang terkait dengan usaha kehutanan dibenahi, dalam naskah ini juga diuraikan telaah terhadap peraturan yang mencakup delapan bidang. Mengingat pentingnya upaya untuk meningkatkan produktivitas hutan alam, ditelaah pula sistem insentif yang seyogyanya diterapkan pemerintah.

Seluruh uraian Bagian II ini menjadi penjelas bagaimana refleksi kebijakan usaha kehutanan dilaksanakan dan daripadanya diharapkan dapat teridentifikasi faktor-faktor yang menjadi penentu penurunan kinerja usaha kehutanan, serta dapat dirumuskan pokok-pokok kebijakan pemulihan usaha kehutanan ke depan ■

2. KEBIJAKAN PENGENDALIAN P RODUKSI

2.1. Pengantar

Pengendalian produksi kayu bulat merupakan bagian penting dari upaya menjalankan prinsip menuju kelestarian produksi (sustain yield principles) yang pada gilirannya menuju pelestarian usaha kehutanan (sustainable forest management/SFM), baik dalam pengelolaan hutan alam maupun tanaman. Secara konseptual, jumlah produksi kayu bulat tergantung kondisi hutan dan ditetapkan berdasarkan ketentuan etat tebangan, sehingga dalam kondisi normal, produksi kayu bulat mempunyai jumlah tertentu yang relatif tetap selama tidak ada input teknologi secara berarti.

Dalam kenyataannya, meskipun ketentuan penetapan etat harus dipenuhi, namun keputusan usaha kehutanan juga ditentukan oleh jumlah investasi yang ditanamkan serta biaya usaha yang ditanggung. Oleh karena itu perencanaan produksi dalam suatu usaha akan sangat terkait dengan perencanaan investasi, dan memerlukan kecermatan penetapan di awalnya, karena hasil perencanaan ini akan digunakan dalam jangka panjang. Penurunan jumlah produksi yang dilakukan secara tiba-tiba di tengah jalan, tanpa dapat melakukan pengurangan investasi akan meningkatkan biaya produksi, yang pada gilirannya justru akan meningkatkan jumlah produksi gelap untuk memperoleh keuntungan normal yang sewajarnya.

Kebijakan pemerintah dalam pengendalian produksi berdasarkan kuota, dengan demikian, mempunyai akibat jangka pendek maupun jangka panjang, yang sangat signifikan. Adanya kebijakan ini menunjukkan adanya sinyal, bahwa hutan yang dikelola oleh usaha-usaha kehutanan sudah menurun, sehingga produksi selayaknya diturunkan, namun penurunan produksi pada kondisi investasi yang tetap juga tidak dapat mudah dilaksanakan, akibat pertimbangan biaya produksi sebagaimana diutarakan di atas. Oleh karena itu, kajian ini dilakukan untuk memahami akibat-akibat jangka pendek dan jangka panjang diberlakukannya pengendalian produksi berdasarkan kuota tersebut.

Tujuan kajian ini adalah untuk memahami masalah tidak terkendalinya produksi kayu bulat serta melakukan analisis dampak kuota produksi bagi upaya pencapaian pelestarian hutan produksi. Kajian ini dilakukan dengan menelaah konsep pelestarian hutan produksi, memahami fenomena di lapangan, menetapkan masalah, serta mengidentifikasi kebijakan yang diusulkan.

2.2. Konsep dan Penyesuaiannya di Lapangan

Upaya pencapaian manajemen pengelolaan hutan lestari (SFM) sangat tergantung pada lima kondisi di bawah ini: • SFM – PRODUKSI: jumlah produksi kayu bulat sesuai pertumbuhan hutan, yang dijabarkan dalam bentuk etat luas maupun volume;

  • SFM – FINANSIAL: jumlah pendapatan suatu usaha atau unit manajemen/UM dapat menutup seluruh biaya untuk mendapat keuntungan normal;

    0g2

    Gambar 2. Konsep Pengelolaan Hutan Lestasi

  • SFM – SOSIAL: keberadaan UM mendapat pengakuan dan memberi manfaat bagi masyarakat;
  • SFM – INSTITUSI: aturan main dan transaksi yg berjalan mengarahkan perilaku pihak-pihak untuk dapat mengendalikan produksi kayu bulat;
  • SFM – EKOLOGI: terselanggaranya “best practices” kerja lapangan sehingga dampak negatif dapat dikendalikan.

Secara teknis, kerusakan hutan alam produksi disebabkan oleh penebangan kayu melebihi pertumbuhan hutan, yang pada gilirannya membawa dampak negatif bagi ekologi dan lingkungan. Namun keputusan teknis tersebut sangat tergantung pada aspek-aspek finansial, sosial, maupun institusional (Gambar 2).

Masalah-masalah sosial dan institusional dapat mempengaruhi aspek finansial, dalam hal ini berpengaruh langsung terhadap penambahan biaya produksi. Untuk menghindari biaya produksi per m3 yang tinggi, salah satu cara yang ditempuh adalah menambah produksi kayu bulat. Jika kondisi demikian terjadi, maka penerapan kebijakan-kebijakan teknis dan manajemen hutan untuk mengatur pelestarian pasti tidak dapat berjalan. Kondisi di lapangan berikut menunjukkan buruknya situasi institusional pemerintahan yang menunjukkan bahwa kebijakan- kebijakan teknis tidak lagi mampu mendorong perubahan.

0t1

Pertama, hubungan institusional pemeritahan saat ini belum mampu mewujudkan kesamaan langkah bagaimana hutan produksi dikelola dan dikendalikan produksinya. Angka-angka dalam Tabel 1. menunjukkan bahwa secara nasional produksi kayu yang dikonsumsi industri perkayuan lebih dari 40% berasal dari ijin-ijin Bupati serta lelang dari penangkapan illegal logging, yangmana kedua sumber ini sebenarnya tidak dapat dikontrol Departemen Kehutanan. Di lapangan, produksi ini dapat diambil dari kawasan hutan yang masih dikelola oleh HPH, bahkan dilakukan di hutan lindung maupun kawasan konservasi.

Kedua, usaha kehutanan telah lama bergelut dengan ekonomi biaya tinggi yang terhitung sebagai biaya transaksi sebesar 12%-13% dari biaya total produksi per m3 (Tabel 2). Disamping itu, pungutan resmi yang dibayar juga ditambah dengan pungutan-pungutan yang dilakukan oleh Pemda dan masyarakat, sehingga mengambil porsi antara 37%-46% dari total biaya produksi per m3. Ketiga, implikasi dari ketidak-pastian kebijakan pengelolaan hutan serta tingginya biaya transaksi yang harus ditanggung oleh usaha kehutanan, telah mengakibatkan bangkrutnya usaha HPH. Dalam Gambar 3. ditunjukkan bahwa dari tahun 1998 sampai April 2004, jumlah HPH yang tidak beroperasi per tahun rata-rata 35 perusahaan.

0t2

0g3

Gambar 3. Jumlah HPH Tidak Beroperasi Per Tahun (’98 – ’04)

Namun demikian, kebangkrutan terse-but tidak dapat dilihat sebagai fenomena lima tahun belakangan ini. Perhitungan untuk mengetahui produksi kayu bulat yang tidak dilaporkan dari tahun 1977 sampai tahun 1998 menunjukkan bahwa selama periode tersebut rata-rata produksi kayu bulat dari HPH yang tidak dilaporkan sebesar 12,8 juta m3 per tahun (Kartodihardjo, 2002). Realitas tersebut menunjukkan bahwa pengusaha HPH sendiri juga telah melakukan pengurasan sumberdaya hutan melebihi jatah tebangan yang ditetapkan pemerintah cukup lama, sehingga menyebabkan kebangkrutannya saat ini.

2.3. Tujuan dan Instrumen Kebijakan Soft Landing

Tujuan kebijakan soft landing sangat bagus, karena dipertimbangkan berdasarkan semakin rusaknya kondisi hutan alam produksi, sehingga dengan kebijakan ini diharapkan tekanan terhadap hutan alam produksi menjadi berkurang. Penetapan kuota produksi tersebut adalah kebijakan baru yang belum pernah dilakukan oleh Departemen Kehutanan sebelumnya. Kebijakan yang biasa berjalan adalah pengendalian produksi melalui pengesahan Rencana Karya Tahunan (RKT) setiap perusahaan.

Kuota produksi yang menetapkan jumlah produksi kayu setiap propinsi ditetapkan berdasarkan 185 HPH pada tahun 2001 yang masih senantiasa memberikan laporan administratif kepada Departemen Kehutanan. Untuk tahun 2002 ditetapkan dengan cara mengurangi sebesar 25%, tahun 2003 15%, tahun 2004 10% dan tahun 2005 5%. Alokasi jumlah kuota propinsi kepada setiap HPH ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan oleh Pemda. Dengan demikian, kebijakan ini ditinjau dari aspek manajemen hutan tidaklah tepat, karena tidak didasarkan pada inventarisasi mengenai potensi tegakan hutan di setiap unit usaha/manajemen.

Implementasi kuota produksi seolah- olah dapat berjalan, bahkan rencana produksi kayu bulat berdasarkan RKT yang dilaporkan berada dibawah kuota 4 . Meskipun di atas kertas hal ini dapat terjadi, namun secara faktual kenyataan ini sulit diterima, mengingat masih tingginya permintaan kayu. Dan lebih jauh daripada itu, kenyataan tersebut bertentangan dengan ketidaksepakatan kebijakan ini oleh pengusaha dan pemerintah daerah sebelumnya, yang dianggap dapat mematikan HPH dengan penetapan produksi kayu bulat yang sangat kecil 5 .

——–

4 Penjelasan lisan oleh pegawai Departemen Kehutanan pada tanggal 15 Juli 2004 di Bogor. Pernyataan ini dibenarkan oleh seorang pengusaha HPH di Jakarta, tgl 30 Juli 2004. Lihat Tabel 5, halaman 31.

5 Keempat Gubernur empat propinsi di Kalimantan pernah membuat kesepakatan untuk menolak kuota atau jatah penebangan hutan yang telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan (Kompas, 7 Januari 2004)

Di lapangan, sisa kuota dapat ”diperdagangkan” oleh Pemda dengan memberikan ijin pemanfaatan kayu dengan berbagai bentuk 6 . Sementara itu HPH tetap berproduksi sebagaimana investasi dan peralatan yang tersedia di lapangan. Dalam hal ini HPH lebih menggunakan kaedah SFM-Finansial daripada menggunakan batasan produksi sebagaimana yang telah ditetapkan pemerintah. Kenyataan demikian ini dapat diyakini karena dengan berjalannya batasan produksi oleh pemerintah tidak mengakibatkan kenaikan harga kayu 7 .

Hal-hal di atas menunjukkan bahwa kebijakan soft landing tidak memberi dampak positif dalam arti mampu mengendalikan produksi kayu bulat, sebaliknya justru memberi peluang adanya ijin-ijin oleh Pemda yang meningkatkan pasokan kayu bulat (lihat kembali Tabel 1). Oleh karena itu kebijakan tersebut perlu disertai implementasi instrumen kebijakan lainnya agar tujuan kebijakan tersebut dapat tercapai.

————

6 Informasi dari Didik Prasetyo yang dikemukakan melalui maillinglist rimbawan interaktif tgl 3 Agustus 2004, untuk kasus di Kalimantan Timur. Juga penjelasan peserta seminar di Jambi pada saat konsultasi publik konsep pembangunan kehutanan oleh Bank Dunia, 14-15 September 2004.

7 Kenaikan harga kayu bulat dari hutan alam masih dipengaruhi oleh alasan klasik, yaitu kelangkaannya akibat sulitnya transportasi melalui sungai. Hal ini disebabkan musim kemarau. Selama periode diterapkannya kebijakan pembatasan produksi, harga kayu bulat tidak beranjak naik. Penjelasan ini diberikan oleh seorang pengusaha HPH di Jakarta, tgl 30 Juli 2004.

2.4. Cakupan Kebijakan Pengendalian Produksi

0g4

Gambar 4. Pengaruh Pengendalian Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Hutan terhadap Implementaasi Kuota

Skema dalam Gambar 4 diajukan untuk memahami cakupan kebijakan pengendalian produksi yang seyogyanya dijalankan.

Pertama, kuota semestinya dilakukan verifikasi untuk setiap unit usaha/manajemen melalui inventarisasi tegakan setiap unit manajemen.

Kedua, pengendalian produksi dilakukan baik melalui terobosan penegakan hukum, misalnya melalui Perpu tentang pengendalian illegal logging, serta melalui hubungan-hubungan pemerintahan (pusat dan daerah) yang memungkinkan terwujudnya kesamaan tujuan dan cara bagaimana pengelolaan hutan produksi dijalankan.

Ketiga, perlu ada negosiasi untuk menjalankan kebijakan yang memungkinkan Pemda mendapat income langsung dari pengusahaan hutan, namun proses-proses administrasi yang dilakukan oleh Pemda, misalnya dalam pengesahan RKT, ditiadakan. Tujuan proses yang ketiga ini di satu sisi diharapkan dapat menghilangkan peluang terjadinya ekonomi biaya tinggi, dan di sisi lain Pemda mendapat income langung dari pelaksanaan pengusahaan hutan produksi. Apabila dipetakan secara nasional, hubungan Pemerintah, Pemda, pengusaha, dan masyarakat dapat mengikuti skema pada Gambar 5.

0g5

Gambar5. Klasifikasi Hubungan Pemerintah, Pemda, Pengusaha, dan Masyarakat

Hubungan keempat pihak yang dianggap sentral dalam upaya pengendalian produksi tersebut dapat mengikuti kombinasi antara setuju dan tidak setuju terhadap tujuan pengelolaan hutan produksi, serta setuju dan tidak setuju terhadap cara yang akan ditempuh. Maka dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok 8 , yangmana setiap kelompok memerlukan kebijakan yang berbeda-beda untuk menyelesaikan masalah-masalah hubungan pemerintahan yang ada.

Kelompok pihak-pihak yang sepakat tujuan, dalam situasi saat ini, masih sangat terbatas, diperkirakan sekitar 20% 9 . Dari kelompok ini yang telah sepakat baik tujuan maupun cara bagaimana hutan produksi dikelola dan dikendalikan produksinya, hanya 5%. Terhadap kelompok yang terakhir ini, upaya yang dilakukan relatif paling mudah, yaitu dengan menjalankan ketentuan-ketentuan manajemen hutan. Yang perlu dilakukan pemerintah adalah memperkuat kondisi yang telah ada dan menjalankan kebijakan bagi usaha kehutanan yang sifatnya memberi insentif bagi unit manajemen, sehingga produksi dapat dikendalikan dan produktivitas hutan alam dapat ditingkatkan. Sedangkan kelompok yang sepakat tujuan namun tidak sepakat cara yang perlu ditempuh adalah dengan melakukan komunikasi untuk mendapat input bagi kemungkinan alternatif kebijakan pengelolaan hutan produksi di wilayah ini.

————

8 Dalam hal ini dianggap tidak dimungkinkan adanya kelompok yang tidak setuju terhadap tujuan tetapi setuju terhadap cara yang akan ditempuh dalam pengelolaan hutan produksi.
9 Pertimbangan situasi lapangan dan hasil diskusi dengan salah satu pegawai di Departemen Kehutanan.

Pendekatan kebijakan di atas didasarkan pada suatu kenyataan bahwa kebijakan yang bersifat instruksional terbukti tidak berjalan (Lihat Tabel 3). Aspek legalitas menjadi kehilangan daya kemanfaatan, bahkan mungkin daya keadilannya; meskipun di lapangan juga sangat banyak terjadi pelanggaran terhadap kebijakan nasional yang dilakukan bukan untuk kepentingan daerah atau kepentingan orang banyak, namun lebih sebagai usaha untuk memperjuangkan kepentingan individu dan/atau kelompok (rent seeking behavior) 10 . Banyaknya pelanggaran untuk kepentingan individu/kelompok tersebut berbalik mengeliminasi argumen kemanfaatan dan keadilan sebagai alasan melakukan pelanggaran. Sebab argumen seperti itu tidak selayaknya dimanfaatkan untuk kepentingan individu/kelompok.

————

10 Menurut Ross, rent seeking mempunyai dua pengertian, yaitu: pertama, pengusaha yang mencari rente yang ada karena kebijakan pemerintah dengan melakukan penyuapan kepada politisi atau birokrat; dan kedua, politisi atau birokrat yang mencari rente yang telah dimiliki oleh swasta dengan mengancam pengusaha dengan regulasi yang mahal. Michael L. Ross. 2001. op cit.

Kenyataan-kenyataan di atas menunjukkan bahwa upaya pengendalian produksi kayu bulat, yang secara teknis dapat dilakukan dengan pendekatan-pendekatan rasional menggunakan instrumen manajemen hutan hanya akan efektif di wilayah yang sempit. Dan untuk memperluas wilayah itu yang diperlukan adalah pendekatan- pendekatan institusional khususnya hubungan pemerintahan yang lebih luas. Bagaimana pendekatan yang terakhir ini dapat berjalan tergantung di satu pihak, hubungan-hubungan antar sektor, dan di pihak lain sangat tergantung leadership setiap lembaga, terutama lembaga pemerintah (daerah).

0t3

2.5. Sintesis

Kajian singkat ini sampai pada kesimpulan bahwa fenomena pengelolaan hutan alam produksi saat ini sejalan dengan apa yang telah digambarkan oleh Garret Hardin lebih dari tiga puluh lima tahun yang lalu yaitu sebagai fenomena tragedy of the common. Setiap pihak cenderung memaksimalkan keinginannya untuk memanfaatkan sumberdaya milik umum, sehingga kawasan hutan yang berstatus dikuasai negara seperti barang tanpa pemilik. Pada saat semua keinginan tersebut terpenuhi, tidak seorangpun dirugikan, tetapi perilaku yang demikian itu sebenarnya sebuah tragedi yang menghancurkan siapa saja di kemudian hari (will ruin to all).

Dengan fenomena tersebut, salah satu kepastian jalan yang semestinya ditempuh bukanlah jalan sederhana, sebatas urusan penetapan produksi maupun berbagai bentuk instrumen manajemen hutan lainnya. Melainkan, sebuah jalan yang memungkinkan kembali tersusunnya hak-hak dasar atas sumberdaya hutan, baik bagi pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan, maupun bagi pengusaha. Hak-hak dasar tersebut secara fundamental dapat membangkitkan insentif dalam bentuk rasa memiliki, dan bersama dengan sistem insentif lainnya, terutama ekonomi, rasa memiliki tersebut dapat ditingkatkan menjadi melindungi dan meningkatkan asset hutan.

Semakin taktis dan simple jalan yang ditempuh, dan semakin pendek time horizon yang digunakan oleh para pembuat kebijakan pengelolaan hutan, semakin cepat hutan akan rusak. Karena bentuk kebijakan apapun, yang tidak menyentuh perbaikan hak-hak dasar atas sumberdaya hutan tidak akan mempunyai pengaruh signifikan terhadap upaya pengendalian produksi kayu dari kawasan hutan negara. Meskipun masih perlu ditunjukkan oleh kajian yang lebih mendalam, terutama secara kuantitatif, kebijakan soft landing justru meningkatkan kerusakan hutan, serta menurunkan pendapatan negara dari sumberdaya hutan. Hal ini disebabkan oleh: 1/. Jumlah produksi yang ditetapkan tidak didasarkan atas hasil inventarisasi yang benar dari setiap unit manajemen, 2/. Penurunan produksi dengan investasi yang tetap akan memicu produksi gelap, untuk menutupi tingginya biaya tetap, 3/. Perilaku rent seizing yang dilakukan oknum birokrat meningkatkan daya jual kayu-kayu yang semestinya belum saatnya ditebang berdasarkan rute etat tebangan yang semestinya, 4/. Periode dijalankannya kebijakan soft landing tidak disertai periode meningkatnya harga kayu, sehingga soft landing tidak menurunkan pasokan kayu, baik dalam skala wilayah maupun skala nasional, 5/. Jatah tebangan yang diajukan dalam RKT berada dibawah jatah produksi akan mengurangi pendapatan negara dari pungutan kayu.

Fenomena di atas juga menunjukkan, jika tidak menjalankan kebijakan untuk memperbaiki hak-hak dasar, sikap yang lebih bijaksana adalah, diam. Sebab, arahan legalitas sebenar apapun yang sifatnya satu arah, dan tidak menyangkut hak-hak dasar, tidak akan ditanggapi pihak lain. Situasi demikian sejatinya sudah melampaui urusan hukum. Kejadian seperti itu sudah berupa kerusakan institusi sebagai modal sosial, dimana pihak yang satu tidak pernah percaya kepada pihak lainnya, dan akibat kesalahan kebijakan, ketidak- percayaannya itu terbukti tidak mendatangkan resiko berat yang harus ditanggungnya.

Terakhir dalam sintesis ini kembali ditegaskan bahwa meskipun topik yang dibahas hanyalah aspek teknis tentang pengendalian produksi hutan alam, namun keberhasilan upaya yang ditempuh sangat tergantung dari leadership yang akan menjalankan bagaimana tata pemerintahan pengelolaan hutan dapat diperbaiki. Jangkauan masalah kebijakan yang sangat luas seperti ini barangkali akan menjadi tantangan baru bagi profesi kehutanan baik yang ada di pemerintahan, dunia usaha, akademisi maupun lembaga non pemerintah ■

3. OPTIMASI KOMPOSISI INDUSTRI PERKAYUAN

3.1. Pengantar

Pada awalnya pengembangan Industri Kehutanan Indonesia diharapkan dapat memenuhi kebutuhan kayu dalam negeri, meningkatkan nilai tambah dan penerimaan devisa, mendorong petumbuhan pembangunan, menciptakan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha serta meningkatkan kualitas kayu olahan. Harapan tersebut terlihat pada perkembangan industri kehutanan diawali pada era tahun 1980-an yang diawali dengan pesatnya pembangunan industri lanjutan dan industri penggergajian kayu, kayu lapis, industri pulp dan industri Medium Density Fibreboard (MDF) serta mencapai puncaknya pada tahun 1993. Perkembangan pesat tersebut diperoleh dari keunggulan komparatif berupa bahan baku yang murah akibat melimpahnya pasokan.

0t4

Industri di sektor kehutanan saat ini adalah cukup beragam, seperti industri gergajian, industri vinir, industri kayu lapis, industri pulp dan industri chip kayu yang pada saat ini secara signifikan mengalami penurunan. Berbagai masalah serius mengancam kelangsungan hidup industri kehutanan, seperti permasalahan bahan baku, keamanan usaha, isu lingkungan, ketenagakerjaan, ketidakstabilan rupiah.

Kondisi ini menjadikan kondisi dilematis dengan memperhatikan jumlah industri kehutanan yang sangat besar seperti terlihat pada Tabel 4, dibandingkan dengan produksi kayu bulat pada tahun 2001 hanya sebesar 21.2 juta m 3.

Kebijakan Dephut yang memberlakukan jatah penebangan terbatas (soft landing) menjadi langkah kontra produktif karena Dephut sebagai regulator tidak memberikan alternatif penyediaan bahan baku bagi industri kehutanan yang legal dan disisi lain tidak mampu mengendalikan industri kehutanan yang illegal yang secara eksplisit mengindikasikan tidak efektifnya instrumen kebijakan lingkup industri perkayuan.

3.2. Nilai Tambah

Sebagaimana yang tertuang dalam Tabel 4, bila dibandingkan produksi kayu bulat dengan kapasitas terpasang rata-rata industri hanya berjalan 65 %. Kondisi ini akan terlihat semakin tidak rasional bilamana dibandingkan dengan JPT yang terlihat pada Tabel 5.

0t5

Realisasi produksi kayu bulat pada tahun 2002 dan 2003 hanya sebesar 37,58 % dan 38,55 % dari rencana JPT, padahal jumlah kapasitas terpasang industri perkayuan masih tetap dan juga bila dibandingkan antara realisasi JPT untuk tahun 2002 dan 2003 hanya sebesar 9,86 % dan 8,09 %, serta bila dibandingkan antara rencana JPT untuk tahun 2004 dan 2005 hanya sebesar 17,48% dan 16,62%. Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar serta membuktikan bahwa kebijakan soft landing menjadi kontra produktif khususnya bagi Industri Kehutanan Indonesia serta menambah rangkaian panjang persoalan bahan baku khususnya sebagai trigger illegal logging. Hal tersebut terlihat bahwa dari agregat nasional alokasi kayu dari hutan alam yang terkait dengan holding company sebesar 30%, pasar bebas 10%, dan sumber-sumber yang tidak tercatat 60%. Dari fakta ini menunjukkan bahwa, kalau pemerintah membuat kebijakan, maka kebijakan itu tidak akan efektif, karena 60% dari perdagangan kayu bulat di dalam negeri justru berasal dari sumber-sumber yang tidak dapat dikontrol pemerintah. Fakta lainnya menunjukkan bahwa telah terjadi mis-alokasi dan inefisiensi sumberdaya hutan secara nasional, dimana 34% (dari jumlah nasional) kayu bulat yang masuk ke plywood hanya menghasilkan 27% peran ekspor, sedangkan alokasi kayu bulat yang diolah menjadi lumber dan woodworking hanya sebesar 25% (dari total nasional) tetapi mempunyai 34% peran ekspor. Sehingga dari struktur alokasi bahan baku nasional sebetulnya perlu ada perubahan, dari plywood menjadi woodworking, seperti terlihat pada Gambar 6.

0g6

Gambar 6. Misalokasi Bahan Baku dan Peran Ekspor

Selain itu diketahui juga ada persoalan alokasi di daerah, misalnya tidak terpenuhi permintaan kayu untuk pengembangan ekonomi lokal, sementara hutan berada di lokasi tersebut. Kalau kita melihat tendesinya sampai saat ini, perkembangan industri kecil, sawmill, dll. yang efisien dan menurut sejumlah ekonom pada saat resesi Indonesia sangat berperan – di sanalah letak penyelamatan ekonomi makro Indonesia – tetapi dalam kontek kebijakan industri kehutanan justru perkembangan industri kecil tidak pernah mendapat kepastian dukungan bahan baku. Dari perspektif industri perkayuan kiranya kita dapat melihat posisi nilai tambah dilihat dari keuntungan yang dihasilkan dari 1.000 m 3 bahan baku per jenis industri perkayuan pada tahun 2001, seperti pada Tabel 6.

0t6

0t7

Pada Tabel 7. terlihat total produksi industri perkayuan pada tahun 2001 sebesar 11.807.742 m 3 sedangkan produksi kayu bulat sebesar 21.244.572,81 m 3 , sehingga dengan asumsi rendemen rata-rata 50% maka pasokan illegal bahan baku lebih kurang sebesar 2.370.911,19 m 3 .

0t8

Pada Tabel 8 ditunjukkan total produksi industri perkayuan tahun 2002 sebesar 13.396.668 m 3 , akan tetapi produksi kayu bulat sesuai dengan realisasi JPT tahun 2002 sebesar 3.238.060 m 3 sehingga dengan asumsi rendemen rata-rata 50% maka pasokan bahan baku di luar JPT lebih kurang sebesar 23.555.276 m 3 . Dengan demikian terjadi kenaikan pasokan bahan baku yang bersumber dari luar JPT hutan alam sebesar 21.184.364,81 m 3 atau 893,51 %.

3.3. Kelayakan Finansial

Dari data perdagangan kayu dunia, yang nilainya terus naik adalah pulp dan paper serta wood based panels (termasuk plywood). Sedangkan kayu gergajian turun 20% dan kayu bulat turun 15%. Sementara itu share hutan tanaman terus naik. Nilai perdagangan hasil hutan dunia sekitar 150-200 milyar US$ per tahun selama ini sebagian besar diisi oleh negara-negara maju. Sementara itu industri perkayuan Indonesia masih belum mampu bersaing dan belum dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalannya sendiri.

Kelayakan finansial industri perkayuan secara umum sudah sangat rapuh, terlihat industri- industri kehutanan seperti plywood, blockboard, sawmill, pulp, kertas, serta industri logging/HPH sebagian besar atau lebih dari 50% sudah ditangani BPPN. BPPN menguasai 59% kapasitas industri plywood, 83% kapasitas industri pulp, 60% kapasitas industri kertas, 8% kapasitas industri sawmill, dan 25% areal HPH. Selain itu kita juga bisa melihat besarnya performa kredit macet di sektor industri kehutanan, sementara itu kebijakan antara BPPN, Dephut, dan Deperindag untuk menyelesaikan persoalan- persoalan kredit macet dan restrukturisasi industri belum sinkron.

Posisi utang debitur kehutanan per Mei 2002 adalah Rp. 30,26 trilyun dengan utang pokok sebesar Rp. 22,69 trilyun. Jumlah total debitur adalah 228 perusahaan. Maka yang menjadi penting adalah ketika DepHut akan mengeluarkan SK tentang Penyelenggaraan dan Restrukturisasi Industri Perkayuan Primer, semestinya isi SK tersebut dapat memastikan bahwa lembaga- lembaga di Pusat, terutama Deperindag, Depkeu dan DepHut sendiri dapat berjalan bersama memastikan arah industri perkayuan di masa depan.

3.4. Penutup

Berdasarkan realitas di atas, langkah- langkah operasional yang mengarah kepada optimasi komposisi industri perkayuan Indonesia, adalah sebagai berikut :

  1. Penataan industri melalui pedekatan law enforcement, yang meliputi : a. Pencabutan ijin usaha terhadap industri yang tidak melakukan kegiatan produksi, b. Pemberian sanksi bagi industri pengguna bahan baku illegal, c. Penertiban industri illegal.
  2. Evaluasi ulang keberadaan BRIK.
  3. Evaluasi ulang terhadap kebijakan soft landing

Perlu segenap kebijakan untuk mengantisipasi dampak negatif apabila solusi dilakukan, seperti:

  1. Penurunan devisa
  2. Hilangnya kesempatan kerja
  3. Berkurangnya pasokan Dalam Negeri
  4. Image negatif bagi calon investor asing

4 TELAAH DELAPAN BIDANG PERATURAN

4.1. Pengantar

Dengan semakin tingginya kerusakan hutan negara dewasa ini menunjukkan lemahnya lembaga publik, terutama pemerintah, yang semestinya dapat membangun sinergi dan mampu mencegah berbagai kepentingan melakukan perusakan hutan. Tuntutan ini wajar mengingat penyelenggaraan pengelolaan hutan negara, menurut Undang-undang, dilakukan oleh pemerintah.

Secara teknis kerusakan hutan akibat dilanggarnya batas jumlah produksi, sehingga kemampuan hutan terus menerus menurun untuk kembali pada kondisi yang diinginkan. Dengan demikian, upaya pokok yang diperlukan adalah menjalankan tata pemerintahan pegelolaan hutan yang mampu pengendalikan produksi kayu bulat, terutama dari hutan alam produksi maupun dalam penyelenggaraan rehabilitasi hutan melalui pembangunan hutan tanaman. Tidak terkendalinya produksi kayu bulat bukan hanya berakibat biofisik hutan tidak dapat kembali pulih dalam waktu yang secara ekonomis dapat diterima, tetapi juga merusak pasar kayu bulat, sehingga rendahnya rata-rata harga kayu bulat tahunan tidak lagi menjadi insentif untuk melindungi asset hutan dan/atau membangun hutan tanaman.

Dengan tata pemerintahan pengelolaan hutan yang sangat lemah, kebijakan pengelolaan hutan yang masih menggunakan pendekatan rasional-manajemen hutan, yang hanya dapat berjalan jika hubungan pemerintah, pemerintah daerah, pengusaha dan masyarakat berjalan normal, terbukti tidak berjalan. Untuk itu, salah satu jalan yang perlu melakukan evaluasi kebijakan, dan salah satunya berkaitan dengan PP No. 34 tertanggal 8 Juni 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan.

4.2. Telaah Delapan Bidang

0g7

Gambar 7. Keterkaitan Delapan Bidang Peraturan Perundangan dalam menentukan Kinerja Usaha Kehutanan

Baik secara langsung maupun tidak langsung, PP 34/2002 telah terjabarkan ke dalam peraturan yang lebih rendah tingkatnya, meski juga terdapat acuan peraturan- perundangan lain. Untuk mendalami substansi peraturan-peraturan tersebut, berikut dikupas berdasarkan delapan bidang, yang Page 44 37 mempunyai implikasi saling kait terkait (Gambar 7). Seluruh peraturan perundangan tersebut menentukan kinerja usaha kehutanan, yangmana tingkat efektivitas peraturan-perundangan tersebut ditentukan oleh situasi yang dapat dikendalikan atau prasyarat yang harus dipenuhi. Rincian dijabarkan untuk setiap 54 Surat Keputusan disajikan dalam Lampiran 1.

4.3. Sintesis Hasil

4.3.1. Kerangka Pendekatan: SSBP Secara sederhana kebijakan dapat diartikan sebagai ”resep” untuk mengatasi suatu persoalan nyata, sehingga kinerja yang diharapkan tidak dapat tercapai. Dengan demikian hal pertama yang dihadapi para penentu kebijakan adalah bagaimana mereka dapat menemukan masalah yang benar- benar sebagai masalah, atau akar masalah – dan bukan symptom dari suatu masalah, agar ”resep” yang dirumuskan dan dijalankan dapat benar-benar mendatangkan perubahan nyata untuk meningkatkan kinerja. Oleh karena itu kebijakan yang baik dapat dicirikan oleh kemampuannya untuk mendatangkan perubahan.

Kebijakan yang baik bukanlah kebijakan yang bunyinya tepat/baik, atau kebijakan yang secara normatif baik. Maka, tidak dapat dikatakan kebijakannya baik tetapi pelaksanaannya buruk. Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang dapat dilaksanakan, mendatangkan perubahan, dan memperbaiki kinerja sebagaimana yang diinginkan. Kebijakan yang bunyinya tepat/baik tetapi tidak berjalan adalah tipe kebijakan yang dirumuskan ditengah-tengah situasi 11 yang tidak tepat; dengan kata lain, situasi tersebut tidak menjadi pertimbangan pada saat kebijakan dirumuskan. Kondisi inilah yang nampak paling banyak terjadi dalam perumusan peraturan, dalam hal ini SK Menteri. Mengapa sebagian besar SK-SK Menteri Kehutanan tidak berjalan, karena tidak dipertimbangkannya sejumlah situasi penting sewaktu SK- SK tersebut dirumuskan.

——–

11 Dalam policy analysis, kata “situasi” mempunyai makna khusus. Yaitu keadaan yang selama periode kebijakan tersebut berjalan, keadaan tersebut tidak berubah atau dianggap tidak berubah. Misalnya, kondisi pemerintahan yang korup, anggaran biaya yang cair tidak tepat waktu, hutan yang mempunyai sifat open access, adalah suatu situasi yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan – yang biasanya berupa strategi yang telah built in dalam kebijakan tersebut. Situasi adalah fakta, sehingga tidak dapat diasumsikan tidak terjadi. Situasi saat ini, misalnya, mencabut IUPHHK yang buruk kinerjanya sekalipun justru akan merusak hutan, karena sifat open access dari hutan. Membuat kebijakan yang sangat panjang rantainya serta yang diasumsikan berjalan hanya jika pengawasannya berjalan, juga akan gagal, karena situasinya tidak mendukung.

Tiga faktor yang membentuk situasi dan seyogyanya dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan kehutanan adalah:

  1. Hutan – khususnya hutan negara – secara de facto mempunyai sifat open access. Dikatakan de facto, karena secara de jure, hutan negara ada penguasanya, yaitu pemerintah. Open access adalah sifat sumberdaya yang dalam hal ini seolah-olah tanpa pemilik. Implikasi dari situasi open access ini adalah perlunya sikap kehati- hatian dalam memutuskan pencabutan suatu ijin atau hak kelola, sebelum adanya kepastian siapa yang akan mendapat ijin atau hak kelola berikutnya. Bentuk sangsi administrasi tertentu dapat mewujudkan open access hutan, sehingga sangsi yang dijatuhkan justru dapat membawa dampak buruk yaitu semakin meningkatkan laju kerusakan hutan;
  2. Situasi pemerintahan yang tidak solid, baik hubungan pusat – daerah maupun antar sektor, hubungan legislatif dan eksekutif, serta lemahnya peran legislatif yang semestinya menjalankan mandat pelaksanaan kontrol terhadap jalannya pembangunan adalah sejumlah situasi yang dalam 5 sampai 10 tahun ke depan besar kemungkinan tidak berubah;
  3. Norma pengambilan keputusan oleh setiap pelaku. Pengambilan keputusan oleh pengusaha adalah bagaimana keuntungan diperoleh. Masyarakat sangat dipengaruhi oleh batasan anggaran (budget constrain) yang dipunyai. Dalam batas tertentu (atau semestinya) sikap legislatif sangat tergantung dari masyarakat pemilihnya. Norma ini mempunyai peran dalam menanggapi suatu ”perintah” yang dipesankan oleh suatu peraturan sebagai suatu bentuk kebijakan. Oleh karena itu yang ”diperangi” oleh kebijakan adalah kejahatan dan pengingkaran (moral hazard), tetapi kebijakan tidak dapat melawan norma yang dianut para pelaku yang diharapkan berubah perilakunya, agar tertuju kepada tujuan yang telah ditetapkan.

Kebijakan apapun yang tidak diposisikan untuk dapat berjalan di tengah-tengah situasi di atas, dipastikan akan gagal, meskipun secara normatif dapat disebut sebagai kebijakan yang baik.

Situasi berbeda dengan masalah yang akan dipecahkan oleh suatu kebijakan. Apabila kebijakan dianalogikan dengan resep, masalah dapat disamakan dengan sumber penyakit. Oleh karena itu yang dihadapi oleh para pembuat kebijakan berikutnya adalah bagaimana menemukan ”sumber penyakit” melalui suatu diagnosa yang tepat. Misalnya, dalam suatu analogi, dokter yang baik bukanlah ahli membuat resep, melainkan ahli melakukan diagnosa untuk menemukan sumber penyakit sehingga resep yang dibuatnya tepat. Oleh karenanya tidak keliru sekiranya ada banyak referensi yang mengatakan bahwa sumber kesalahan kebijakan lebih disebabkan oleh salah dalam menentukan masalah, atau menjawab pertanyaan yang keliru, dan bukan salah dalam menentukan kebijakan setelah masalahnya ditetapkan 12 .

———-

12 Baca antara lain William N. Dunn, 1994. Public Policy Analysis: An Introduction. Second Edition Prentice-Hall Inc. New Jersey.

Dalam kaitan ini, penjabaran Undang-Undang dan/atau Peraturan Pemerintah sekedar melengkapi peraturan dapat menjadi pertanyaan besar, ketika tambahan peraturan- peraturan yang lebih rinci tidak dikaitkan dengan masalah-masalah yang akan dipecahkan oleh adanya peraturan-peraturan tersebut. Yang dapat terjadi, dengan kondisi demikian adalah, semakin banyak peraturan hanya semakin banyak beban adminstrasi, tetapi tidak berkait dengan pemecahan masalah nyata di lapangan.

Berdasarkan kerangka pendekatan diatas, maka kebijakan untuk memecahkan suatu masalah berada diantara situasi, norma/perilaku dan kinerja yang akan dicapai. Kerangka pendekatan inilah yang kemudian terkenal disebut sebagai pendekatan SSBP atau Situation (situasi) – Structure/policy – Behavior/norma – Performance (kinerja).

4.3.2. Kerangka dan Landasan Kebijakan Pengelolaan Hutan

Berdasarkan telaah peraturan- perundangan di atas, nampak bahwa belum terdapat kejelasan kerangka dan landasan kebijakan pengelolaan hutan ke depan, terutama dikaitkan dengan situasi yang melilit kebijakan pengelolaan hutan saat ini.

0g8

Gambar 8. Arah dan Instrumen Kebijakan Pengelolaan Hutan Produksi dengan Memperhatikan Situasi yang Dihadapi Saat ini

Sebagaimana dijelaskan dalam sub- bab sebelumnya, tiga faktor pembentuk situasi, yaitu hutan yang open access, norma pelaku, dan situasi pemerintahan menjadi pertimbangan utama dalam menetapkan kerangka landasan kebijakan pengelolaan hutan. Apabila ketiga faktor tersebut dipertimbangkan dalam perumusan kerangka umum kebijakan pengelolaan hutan, maka arah kebijakan yang diberlakukan semestinya mengandung dua hal secara simultan. Pertama, menguatkan dan/atau mengganti pemegang ijin (IUPHHK). Untuk itu bagi IUPHHK yang berpotensi dapat mencapai pengelolaan hutan secara lestari perlu insentif bagi peningkatan produktivitas hutan alam serta peningkatan kepastian kawasan. Sedangkan bagi Pemda perlu ada insentif langsung atau income langsung dari pengelolaan hutan produksi. Kedua, menjalankan kebijakan dengan kontrol jangka panjang (5 tahunan) dengan melakukan inventarisasi tegakan menyeluruh secara berkala, serta menerapkan kriteria dan indikator lima tahunan sebagai pelaksanaan jaminan kinerja (performance bond) (Gambar 8). Pada tahap ini peran Pemda dalam melakukan kontrol langsung terhadap IUPHHK – yang selama ini menyebabkan ekonomi biaya tinggi – dapat ditiadakan.

Alasan dikemukakannya dua kelompok kebijakan serta cara menjalankan kebijakan di atas adalah sebagai berikut:

  1. Kebijakan harus mempunyai kredibilitas. Kredibilitas tersebut dapat ke arah luar, yaitu kearah pemegang IUPHHK sebagai subyek yang diatur, serta ke arah dalam, yaitu rangkaian birokrasi dari pusat sampai ke daerah sebagai regulator. Kebijakan harus tegas dalam mendukung maupun menghukum, baik ke luar maupun ke dalam. Cara memberikan dukungan atau hukuman disamping berpedoman pada peraturan (catatan: peraturan saat ini perlu diperbaiki) juga dilaksanakan dengan melakukan komunikasi, baik secara tertutup maupun terbuka, untuk menjaga kredibilitas kebijakan serta mendapat dukungan dari pihak- pihak yang selama ini diam (silent mass);
  2. Dalam situasi saat ini kebijakan yang sifatnya memerintah atau mengkomando dan kemudian mengawasi pelaksanaannya (command and control policy) tidak akan efektif. Oleh karena itu arah perjalanan IUPHHK diserahkan kepada pemegangnya, pilihan diberikan kepada mereka. Untuk itu kebijakan cukup memberikan syarat-syarat maupun ikatan- ikatan yang menjadi koridor kemana perjalanan IUPHHK seharusnya ditempuh. Evaluasi 5 tahunan dapat diterapkan untuk hal ini, yang disertai dengan pelaksanaan inventarisasi, kriteria dan indikator penilaian, penyelesaian ketidak-pastian kawasan, serta performance bond.
  3. Agar ”kemandirian yang bertanggungjawab” yang dituntut kepada para pemegang IUPHHK dapat diwujudkan, maka dalam pengelolaan hutan produksi pemerintah (daerah) tidak perlu terlalu mencampuri urusan swasta (private). Hal ini dapat ditempuh dengan melakukan inovasi terhadap bentuk SK Menteri sebagai bentuk kontrak antara pemerintah dan pemegang IUPHHK menjadi bentuk lainnya (setara HGU) untuk memastikan ketegasan hak (property rights) dan batas yurisdiksi diantara keduanya;
  4. Kesamaan visi antara jajaran pemerintahan menjadi syarat khusus atau menjadi kondisi pemungkin (enabling conditions) dan menentukan keberhasilan berjalannya kebijakan di atas. Penyediaan kondisi pemungkin ini sangat tergantung leadership yang dapat melakukan komunikasi dan penyelesaian masalah-masalah birokrasi dan hubungan pemerintahan, serta melakukan komunikasi dengan pemegang IUPHHK dan masyarakat luas.

Implikasi dari disepakatinya arah kebijakan pengelolaan hutan di atas adalah diperbaikinya segenap peraturan yang selama ini di berlakukan. Dalam hal ini, yang perlu ditekankan adalah, perbaikan peraturan yang tidak berjalan selama ini tidak mungkin dapat dilakukan, apabila kerangka kebijakan pengelolaan hutan produksi tidak dirumuskan terlebih dahulu.

4.3.3. Substansi PP 34/2002

PP No. 34/2002 berorientasi pada pengembangan perijinan untuk melakukan pemanfaatan dan penggunaan sumberdaya hutan, baik berupa kayu maupun non kayu. Pelaksanaan PP tersebut belum diikuti oleh PP-PP lain sebagai penjabaran dari UU No 41/1999 seperti PP Perencanaan Kehutanan, PP Partisipasi Masyarakat, PP Hutan Adat, dll. Dengan demikian, pembentukan PP tersebut tidak disertai arah pelaksanaan sistem pengelolaan hutan yang akan ditempuh, padahal dengan hutan alam yang sudah rusak dan banyak konflik, sistem pengelolaan hutan yang berjalan saat ini bisa dikatakan sudah collapse.

Di pihak lain, dalam pelaksanaan otonomi daerah, ketidak-adilan akibat sentralisasi yang telah menjadi sumber kerusakan hutan, hanya diselesaikan dengan merebut faktor sentralisasinya menjadi desentralisasi. Namun tidak menyentuh pokok soal mengapa hutan negara dirusak oleh para ”pemiliknya” (seluruh pihak). Dengan pertentangan kepentingan Pusat dan Daerah – utamanya dalam sektor kehutanan – yang berkepanjangan hingga kini, semakin terlupakanlah urgensi membatasi produksi sesuai dengan kapasitas hutan, maupun mencegah rusaknya kawasan lindung. Maka, dalam hal ini, dikotomi sentralisasi- desentralisasi menjadi tidak relevan. Yang diperlukan adalah jalinan pemerintahan kolektif Pusat-Daerah dalam melakukan penyelenggaraan kehutanan.

PP tersebut telah terbukti memperlebar jarak kepentingan Pusat dan Daerah, membuka ruang konflik baru antara Pusat dan Daerah, maka harapan adanya PP dari UU Kehutanan yang dapat menjadi instrumen efektif untuk mengatasi permasalahan kerusakan hutan, menjadi tidak terwujud.

Dalam PP tersebut, kewenangan daerah untuk mengelola dan memanfaatkan hutan produksi ditarik kembali. Ijin pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan alam dan tanaman, misalnya, tetap dipegang Menteri Kehutanan. PP juga memberi kewenangan kepada Menteri Kehutanan sampai pada hal-hal teknis di lapangan, seperti penetapan teknis perlakuan atas usaha pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan non kayu. Bahkan ketentuan mengenai pemungutan hasil hutan kayu untuk memenuhi kebutuhan individu dan/atau fasilitas umum penduduk sekitar hutan, juga diatur dengan keputusan Menteri Kehutanan (SK MenHut No. 6886/Kpts-II/2002, lihat Lampiran 1).

Peran BUMN Kehutanan diperkuat melalui PP tersebut, dengan argumen sangat umum, yaitu perlunya kemampuan khusus dalam pengelolaan hutan sehubungan dengan kekhasan daerah, kondisi sosial dan lingkungan yang sangat berkait dengan kelestarian hutan, serta kepentingan masyarakat luas. Kita mengetahui bahwa BUMN Kehutanan saat ini lemah dalam menjalankan fungsinya, akibat inefisiensi dan masalah legitimasi. Maka yang diperlukan sebenarnya adalah arah perjalanan BUMN Kehutanan ke depan. Lebih spesifik, yang diperlukan adalah bagaimana penajaman fungsi BUMN Kehutanan setelah otonomi daerah berjalan.

Selain berpotensi menimbulkan konflik di kalangan pemerintahan sendiri, PP tersebut juga mempunyai kelemahan dalam memecahkan masalah kehutanan secara fungsional. Misalnya pada saat terdapat inovasi kebijakan untuk melakukan restorasi hutan alam produksi, yang kini telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. 159/Menhut-II/2004 tentang Restorasi Ekosistem di Kawasan Hutan Produksi, benturannya ada di PP 34/2002.

4.3.4. Sintesis Delapan Bidang

Dalam Tabel 9. berikut disajikan ringkasan telaah analisis kebijakan 8 bidang yang berkaitan dengan pengelolaan dan usaha kehutanan. Dari hasil telaah ke 8 bidang tersebut dapat ditunjukkan mengapa kebijakan pengelolaan hutan produksi kurang efektif, yaitu:

  1. Kebijakan yang baik – normatif – tidak berjalan akibat di satu pihak tidak dipertimbangkannya situasi 13 , di pihak lain belum didukung oleh tata-kerja birokrasi yang efektif dan efisien. Dalam hal ini, kembali kepada ulasan sebelumnya, karena pemerintah belum mempunyai kerangka umum (framework) yang jelas.
  2. Penyusunan peraturan masih bertumpu pada isi peraturan diatasnya serta reaktif terhadap kasus-kasus yang terjadi, sebaliknya belum meninjau akar masalah yang akan dipecahkan dengan melakukan inovasi kebijakan. Hal ini menyebabkan di satu bidang tertentu peraturan cepat berubah (misal bidang perijinan), di bidang lain peraturan tidak berubah (misal bidang kawasan hutan) meskipun peraturan tersebut belum berjalan sebagaimana yang diharapkan.
  3. Perumusan kebijakan dianggap selesai manakala telah disusun peraturan yang isinya sudah searah dengan tujuan. Misalnya kebijakan umum tentang penetapan jatah produksi kayu secara nasional (soft landing). Padahal berjalannya kebijakan tersebut sangat tergantung situasi tata pemerintahan apakah mendukung atau tidak, serta norma pelaku yang terkena peraturan tersebut (layak atau tidak). Hal yang terakhir ini belum secara eksplisit dipertimbangkan dalam perumusan kebijakan.
  4. Para penyusun kebijakan – khususnya dalam pengesahan ijin-ijin – masih terperangkap dalam bias kepentingan, sehingga senantiasa menambah urusan yang harus ditanganinya. Banyaknya urusan ini mempunyai implikasi terbentuknya relasi birokrat- pengusaha secara personal yang mendatangkan moral hazard dalam bentuk kolusi. Yang menjadi korban kemudian adalah nama serta kredibilitas pemerintah (daerah) di mata masyarakat.

———

13 Pengertian “situasi” seperti dalam catatan kaki no. 11.

0t9

4.4. Implementasi Penyempurnaan Kebijakan

Sebelum melaksanakan penyempurnaan kebijakan, skema kerangka umum sebagaimana dituangkan dalam Gambar 8 perlu disepakati terlebih dahulu. Karena penyempurnaan kebijakan tersebut terkait satu bidang dengan lainnya yang menjadi satu kesatuan yang utuh. Sasaran-sasaran yang akan dicapai dalam skema penyempurnaan kebijakan tersebut adalah:

  1. Meningkatkan kepastian hak dalam pengelolaan hutan produksi dan menurunkan biaya transaksi dalam pelaksanaan kebijakan;
  2. Meningkatkan efektivitas pelaksanaan monitoring yang diselenggarakan pemerintah baik terhadap unit manajemen maupun lembaga lainnya yang terkait (LPI, Pemda);
  3. Memberikan kepastian diterimanya insentif bagi unit manajemen yang telah melakukan upaya-upaya nyata dalam mewujudkan pengelolaan hutan lestari dan kepastian diterimanya disinsentif bagi yang tidak melakukannya.

Dengan sasaran-sasaran yang demikian, maka dalam pelaksanaan penyempurnaan kebijakan, pemerintah hendaknya melibatkan sekurang-kurangnya pihak-pihak yang terkait langsung, seperti Pemda, unit manajemen, dan LPI. Sedangkan untuk mendapatkan jastifikasi ilmiah serta rumusan – rumusan masalah aktual di lapangan, pemerintah seyogjanya melibatkan akademisi dan lembaga non pemerintah ■

5 HUTAN TANAMAN

5.1. Inisiatif dan Kebijakan

Pada pertengahan tahun 1980an, pemerintah dihadapkan pada dua kondisi yang saling kontradiktif. Pertama, banyak HPH yang hutannya rusak dan tidak diperpanjang serta pengelolaannya dilimpahkan kepada BUMN, sehingga pemerintah harus melaksanakan mekanisme baru dalam upaya rehabilitasi hutan alam. Kedua, penerimaan devisa melalui ekspor kayu olahan, khususnya kayu lapis, serta daya serap tenaga kerja oleh HPH dan industri perkayuan harus dipertahankan.

Menghadapi kenyataan demikian, pembangunan HTI dianggap sebagai suatu solusi untuk meningkatkan produktivitas hutan produksi, sehingga insentif pembangunan HTI diwujudkan, dan kenyataannya sangat menarik swasta, terutama adanya subsidi dari Dana Reboisasi. Namun demikian, karena pasokan kayu dari hutan alam terus ‘melimpah’ – karena juga dipasok dari kayu illegal – yang menyebabkan harga kayu HTI sangat murah, maka perusahaan HTI tidak pernah diperhitungkan layak secara finansial, jika ia mandiri. Kebijakan pemerintah tersebut telah dimanfaatkan oleh sejumlah investor nakal untuk mendapatkan fasilitas pembangunan HTI yang tujuannya memperolah kayu dari hutan alam yang dijadikan lokasi HTI serta memperoleh subsidi dari dana reboisasi.

Menghadapi kenyataan demikian, pemerintah seharusnya melakukan perbaikan monotoring dan pengendalian sistem pengusahaan hutan alam produksi (HPH), sebagai penyebab utama rusaknya hutan alam. Perbaikan tersebut tidak kunjung dilakukan karena berbagai sebab. Oleh karena itu, dari visi pemerintah, kebijaksanaan pembangunan HTI diinterpretasikan sebagai suatu jalan penyelesaian masalah. Rusaknya hutan alam di dalam kawasan HPH dikeluarkan dari kawasan HPH dan menjadi kawasan HTI, sehingga kinerja HPH seolah-olah tidak menurun akibat adanya kerusakan hutan di dalam kawasannya. Dengan kebijakan ini, sistem pengusahaan hutan alam produksi (HPH) dapat dipertahankan, karena terbebas dari buruknya kinerja akibat hutan yang rusak. Kebijakan pembangunan HTI secara implisit melegitimasi rusaknya hutan alam yang dilakukan oleh HPH. Pembangunan HTI tidak pernah ada, seandainya HPH mampu mengelola hutan alam dengan baik. Oleh karena itu tidak heran apabila kebijakan HTI tersebut dianggap sebagai suatu blunder oleh kalangan organisasi non pemerintah.

Dengan dimasukkannya dana reboisasi ke dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 1998, atas permintaan IMF, menurut pemerintah, pembangunan HTI akan mengalami hambatan. Karena kredit yang ada dengan bunga paling rendah 12% akan mengakibatkan pembangunan HTI tidak layak secara finansial.

Pernyataan pemerintah tersebut belum tentu benar, mengingat terdapat 22 perusahaan yang mengelola sekitar 1,2 juta Ha HTI justru tidak menggunakan fasilitas subsidi dari DR yang ditawarkan pemerintah. Salah satu direktur dari perusahaan kelompok ini, mengungkapkan alasannya bahwa adanya subsidi dana reboisasi yang diikuti oleh masuknya BUMN dalam manajemen perusahaan meningkatkan inefisiensi perusahaan. Karena menambah biaya manajemen perusahaan dan biaya lainnya untuk urusan administratif yang berkaitan dengan pencairan dana reboisasi. Pada umumnya perusahaan-perusahaan yang tidak menerima subsidi sudah mempunyai kepastian pasar hasil kayu dari HTInya, utamanya untuk industri perkayuan yang sudah ada maupun untuk ekspor.

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa, bagi perusahaan-perusahaan tertentu, adanya subsidi pembangunan HTI dianggap tidak memberikan manfaat karena biaya transaksinya tinggi. Oleh karena itu, dari sudut pandang ini, masuknya DR ke dalam APBN yang meniadakan pinjaman DR tanpa bunga bukanlah hambatan pembangunan HTI seperti yang dikatakan pemerintah. Karena apa yang terjadi di lapangan, hambatannya bukan pada suku bunga pinjaman yang tinggi, melainkan pada tingginya biaya transaksi 14 serta lemahnya kesiapan insentif pemungkin.

————

14 Biaya transaksi (transaction cost) adalah biaya untuk mengukur nilai atribut barang dan jasa (information cost) yang akan dipertukarkan, biaya untuk melindungi hak atas barang (exclusion cost), biaya untuk menetapkan kontrak/perjanjian (contractual cost) dan biaya untuk menjalankan perjanjian (policing cost) (North, 1991). Dalam pembangunan HTI, termasuk ke dalam biaya transaksi adalah berbagai urusan yang dilakukan oleh pengusaha untuk melakukan berbagai transaksi dengan pemerintah, serta melakukan transaksi dengan masyarakat misalnya untuk menyelesaikan sengketa penggunaan lahan, dll.

Berdasarkan permasalahan pembangunan HTI seperti diuraikan di atas, secara umum kelemahan kebijakan pembangunan HTI disebabkan tingginya intervensi pemerintah di satu pihak dan lemahnya policy setting di pihak lain. Sebaliknya, permasalahan pembangunan HTI bukan disebabkan oleh kegagalan penerapan teknologi di lapangan.

Dalam Gambar 9. ditunjukkan berbagai pengaturan pembangunan HTI.

0g9

Gambar 9. Pokok-pokok Pengaturan Pembangunan Hutan Tanaman

Apabila pengaturan pembangunan HTI tersebut secara teknis sudah dapat diterima, pertanyaannya adalah : “Mengapa segenap peraturan tersebut tidak dapat menghasilkan kinerja HTI secara nasional seperti yang diharapkan? (Tabel 10)”

0g10

Lemahnya implementasi pengaturan HTI tersebut terletak pada dua pokok masalah kelembagaan pembangunan HTI yaitu :

  1. Pilihan kelembagaan yang menggabungkan antara “keharusan membangun HTI” atas inisiatif pemerintah dan “pilihan-pilihan alokasi investasi” yang menjadi dasar keputusan swasta, yang keduanya dikemas dalam bentuk lembaga patungan antara swasta dan BUMN bukanlah solusi yang dapat mengatasi permasalahan- permasalahan investasi HTI. Bentuk kelembagaan seperti itu juga telah mengaburkan tugas dan fungsi pemerintah sebagai lembaga publik, dan di pihak lain membebani swasta yang benar-benar ingin berinvestasi untuk menghadapi masalah semakin kurangnya kayu untuk memasok kebutuhan bahan baku industrinya.
  2. Sepanjang kinerja pengelolaan hutan alam masih seperti saat ini, dimana kayu dari hutan alam dapat dengan leluasa memasok, tanpa mampu dikendalikan, industri perkayuan secara nasional yang sudah over capacity, maka insentif bagi pembangunan HTI secara ekonomi tidak akan berfungsi secara efektif. Nilai insentif dari Dana Reboisasi yang relatif besar jumlahnya, dengan sistem pencairan yang lemah akuntabilitasnya, justru mendorong terjadinya moral hazard.

Kinerja pembangunan HTI yang dinilai oleh LPI dapat dilihat dalam Tabel 10.

5.2. Perkembangan HTI Dunia : Benchmark Keberhasilan

Luas HTI di dunia tahun 2000 sudah mencapai sekitar 135 juta Ha, dengan pertumbuhan sekitar 10% per tahun. Dari HTI seluas itu sekitar 75% berada di daerah temperate dan sisanya berada di daerah tropis. Tetapi dalam sepuluh tahun terakhir laju pembangunan HTI di daerah tropis jauh lebih tinggi daripada di daerah temperate. Di negara-negara lain yang sudah maju dalam pembangunan HTI, hampir seluruhnya ditopang oleh kemajuan teknologi termasuk bioteknologi yang memungkinkan tingginya produktivitas tanaman. Salah satu kondisi mengapa perkembangan mereka sudah sampai pada taraf demikian, adalah adanya “iklim kelangkaan” sumber-sumber ekonomi (a.l. kayu) di satu pihak, dan adanya kepastian hak di pihak lain.

Oleh karena itu tidak heran apabila pelaku pembangunan HTI di dunia sudah terjadi pergeseran dari pemerintah menuju ke swasta. Swastalah yang memaksimalkan penggunaan faktor produksi seperti lahan, tenaga kerja dan modal kerja yang semakin mahal dengan cara meningkatkan setinggi-tingginya produktivitas hasil.

Harus diakui bahwa kondisi pengelolaan hutan di Indonesia sampai saat ini masih terjebak pada “iklim kelimpahan” sumberdaya hutan, khususnya kayu, dari banyaknya kayu illegal. Tentu saja kelimpahan ini bersifat semu, akibat dari lemahnya kelembagaan yang dapat mempermudah diperolehnya hasil hutan (kayu) meskipun hasil hutan itu sudah semakin berkurang jumlahnya. Di pihak lain, harus diakui pula bahwa iklim kepastian usaha belum mendukung dunia usaha kehutanan secara umum. Implikasi dari kondisi demikian adalah rendahnya apresiasi terhadap prestasi kerja di lapangan, karena berbagai kemudahan bisa didapatkan tanpa harus menunjukkan prestasi kerja sebagai unsur penilaian utama.

Melihat kenyataan-kenyataan demikian, masalah pembangunan HTI di Indonesia bukan terletak pada masalah-masalah teknis/teknologi, melainkan terletak pada masalah kelembagaan.

5.3. Klasifikasi Permasalahan HTI dan Opsi Kebijakan

Fokus penyempurnaan kebijakan pembangunan HTI adalah mewujudkan kepastian usaha dan kelayakan pembangunan HTI. Pembenahan kebijakan yang perlu dilakukan menyangkut tiga aspek pokok yaitu : kebijakan subsidi/sistem pendanaan, kebijakan patungan, dan kebijakan penyelesaian konflik penggunaan lahan.

Secara operasional apa yang dapat dijalankan saat ini adalah melakukan evaluasi kinerja perusahaan HTI utamanya yang mendapat subsidi Dana Reboisasi. Appraisal dilakukan baik terhadap kondisi tanaman, kemungkinan adanya konflik dengan masyarakat, maupun manajemen pengusahaannya. Penyehatan perusahaan HTI perlu dilakukan untuk mencari solusinya kasus demi kasus. Opsi kebijakan untuk HTI yang sudah dibangun dapat dikelompokkan seperti dalam Lampiran 2.

Telah diketahui bahwa banyak HTI yang mubazir akibat belum aksesibel terhadap industri yang dapat memanfaatkan hasilnya, lokasi yang tidak tepat, terjadi kebakaran, konflik penggunaan lahan, dll. Dalam keadaan demikian dan apabila swasta sudah tidak berminat mengelolanya, maka perlu segera dicari solusi pemecahannya, baik dengan pendekatan administratif maupun hukum. Unit usaha HTI harus mengembalikan Dana Reboisasi apabila pembangunan tanaman HTInya gagal.

Apabila lembaga patungan (swasta-BUMN) justru menjadi penghambat swasta untuk melanjutkan pengusahaan HTI secara efisien, maka perlu segera dilakukan pembenahan menjadi usaha swasta murni. Insentif pembangunan HTI harus dapat diimplementasikan secara selektif, karena subsidi terbukti tidak selalu menjadi hal yang penting dalam pembangunan HTI. Terhadap HTI yang mempunyai prospek untuk dipertahankan, perlu segera dilakukan penyelesaian berbagai masalah, utamanya yang menyangkut konflik penggunaan lahan ■

6 PENGALAMAN FINDLANDIA

6.1. Kondisi Umum

Finlandia sebuah negara di kawasan Skandinavia, terletak antara Swedia, Kutup Utara dan Rusia, adalah salah satu negara yang menjadikan hutan sebagai salah satu sumber perekonomian bangsanya. Banyak hal yang dapat diambil pelajaran dari kehutanan di Finlandia, meskipun lahan hutan umumnya berbatu dan sinar mata hari yang terbatas serta daur teknis tanaman diatas 100 tahun, dapat mengembangkan hutan dan industri kehutanan yang maju.

0t11

Dari luas seluruh luas daratan yang mencapai 338.000 Km2 atau 33.800.000 Ha, sebanyak 61% berupa hutan dan 10 % berupa perairan, sisanya dimanfaatkan untuk infrastruktur, pemukiman, dan pertanian.

Negeri ini berpenduduk 5,2 juta jiwa dengan pertumbuhan sebesar 0,2% pertahun. Sebanyak 79 % dari penduduknya tinggal di perkotaan dan 1.000.000 jiwa (25%) diantaranya tinggal di Helsinki. Tingkat kepadatan penduduk rata-rata adalah 17 jiwa per satu Km2 dengan rata- rata ukuran rumah tangga sebesar 2,2 jiwa. Pemerintah menanggung sepenuhnya biaya pendidikan dasar dan seluruh biaya kesehatan sejak bayi dalam kandungan hingga usia tua, oleh sebab itu tingkat pendidikan dan harapan hidup masayarakat termasuk yang tertinggi di Eropa. Sebanyak 72% dari penduduk berusia 25-64 tahun telah menamatkan SMA dan 32 % diantaranya tamat perguruan tinggi, angka ini merupakan angka terbesar di Eropa.

Rata-rata harapan hidup pria mencapai 71 tahun sementara wanita 82 tahun. Sementara itu 64 % rumah tangga Finland mempunyai Komputer pribadi dan 51 % rumah tangga mempunyai sambungan internet, selain itu 95% rumah tangga mempunyai telepon seluler. Pada tahun 2003 Produk Domestik Bruto Finlandia mencapai 143 milyard Euro dengan perumbuhan 2.0% pertahun, pendapatan perkapita rakyat Finland rata-rata mencapai 27.500 Euro pertahun. Sektor kehutanan mempunyai peran yang penting dalam ekonomi nasional. Namun demikian kemajuan dalam bidang industri elektronika dan Teknologi Informasi yang sangat cepat, menyebabkan rasio peran sektor kehutanan makin kecil dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pergeseran tersebut menunjukkan adanya perubahan struktur perekonomian Finlandia.

6.2. Dinamika Kehutanan Finlandia

Kinerja kehutanan yang berhasil dicapai saat ini adalah buah dari komitmen semua pihak yang konsisten dan tindakan yang tepat dalam memperlakukan hutan di negara ini. Pada tahun 1960 keadaan hutan sempat mengalami gangguan yang mengancam kelestariannya, akan tetapi dengan kebijakan pemerintah yang tepat, dalam jangka waktu singkat masalah tersebut telah dapat diatasi.

Jika pada tahun 1960 total penebangan melampaui riap tahunannya, tahun 1970 telah diseimbangkan dan pada tahun 2002 riap tahunannya telah tumbuh jauh melampaui total penebangan yang juga tumbuh sangat nyata. Penebangan yang melebihi kapasitas tidak menyebabkan industri mengalami kemunduran, melainkan dalam jangka panjang tindakan- tindakan yang tepat dapat mendorong industri tumbuh pesat.

Pemerintah secara konsisten memfasilitasi pembangunan hutan dengan mendorong investasi di hutan melalui bantuan keuangan baik yang berupa pinjaman maupun subsidi. Nilai subsidi rata-rata setiap tahunnya mencapai 50 juta EUR atau sekitar 550 Milyar rupiah. Beberapa jenis subsidi yang diberikan pemerintah antara lain meliputi:

  1. Regenersi hutan
  2. Pencegahan busuk akar
  3. Pemeliharaan tegakan muda
  4. Penagkasan cabang
  5. Pemanenan kayu bakar
  6. Pemupukan
  7. Pembersihan gulma
  8. Konstruksi dan pemeliharaan jalan hutan

Untuk memastikan bahwa investasi di hutan dapat terus dipertahankan sejak tahun 1999 telah dicapai komitmen untuk meningkatkan nilai subsidi hingga 60 juta EUR setiap tahun.

0t12

Di Finlandia hak atas properti hutan telah terstruktur dan terdelineasi dengan baik. Masing-masing pihak telah mengetahui apa yang menjadi miliknya, dan masing-masing juga menghargai hak-hak pihak lain dengan baik. Kepemilikan hutan didominasi oleh hutan perorangan yang mencapai 62%, hutan negara 25%, hutan perusahaan 9%, dan lainnya 4%.

Batas-batas kepemilikan hutan telah diketahui dan sebagian besar dipetakan secara digital, sehingga memudahkan perencanaan maupun pengelolaannya. Oleh sebab itu konflik kepemilikan hampir tidak pernah terjadi, kalaupun terjadi perbedaan atau keraguan maka para pihak dapat saling membicarakan dan menyelesaikan bersama. Keadaan demimikan membuat segalanya menjadi sangat mudah bagi semua pihak yang berkepentingan.

Hutan juga mempunyai fungsi sosial, oleh karena itu undang-undang Finlandia memberikan hak kepada semua orang (everyman right) tanpa mengurangi hak ekslusi para pemiliknya (perorangan, negara, dan perusahaan). Setiap orang diberi hak oleh undang-undang untuk menikmati barang publik (public goods) seperti hasil hutan bukan kayu, blue berries, linggo berries, hak untuk lewat atau bermalam di hutan. Namun demikian Undang-undang juga memberikan perlindungan atas hak ekslusi kepada pemilik atas lahan dan hasil hutan, pengambilan kayu, membakar api, membuat bangunan dan melewati jalan hutan dengan kendaraan bermesin, hanya diperbolehkan bila atas seijin pemiliknya.

Pemilik hutan dapat melakukan tranfer atas hutan dan hasil hutan kepada pihak lain melalui transaksi jual beli. Kepemilikan atas hutan dapat dipindah tangankan baik melalui transaksi jual beli, pewarisan atau jenis transfer lainnya tanpa campur tangan dari pihak pemerintah. Demikian pula halnya dengan hasil hutan, proses transaksi cukup melibatkan penjual dan pembeli, hak kepemilikan beralih pada saat proses transaksi selesai.

Satu hal penting yang memberikan landasan bagi para pihak di Finlandia adalah disahkannya Nasional Forest Program (NFP) oleh Pemerintah pada tahun 1999 yang disusun sejak tahun 1998 melalui proses partisipasi yang luas dan konsultasi yang intensif kepada para ahli yang menekankan pada kerjasama dan transparansi. Target yang akan dicapai pada tahun 2010 antara lain adalah :

  1. Meningkatkan konsumsi kayu domestik untuk industri 5-10 juta m3 pertahun
  2. Menggandakan nilai ekspor industri kayu
  3. Meningkatkan penggunaan kayu untuk produksi sebesar 5 juta M3 pertahun
  4. Meningkatkan efisiensi penelitian dan penyuluhan
  5. Membangun forum inovasi untuk mengembangkan kerjasama dan interaksi antara para pihak yang terlibat dalam inovasi sektor kehutanan.

Fungsi pemerintah sebagai institusi publik dan sebagai pemilik atau pengelola hutan dipisahkan secara tegas sehingga akuntabilitasnya dapat dinilai. Pengelolaan hutan negara diserahkan kepada BUMN, sementara pemerintah sebagai institusi publik berkonsentrasi pada regulasi, kebijakan dan program. Oleh karena itu campur tangan pemerintah didalam pengelolaan hutan sangat sedikit, dan peraturan menjadi sederhana.

Di bidang produksi diberlakukan aturan bahwa pemilik bertanggung jawab untuk merehabilitasi hutannya masing-masing, pemerintah akan mengawasi pelaksanaan kewajiban ini. Tidak ada kuota produksi, aturan yang berlaku adalah minimum bidang dasar dan komposisi jenis yang harus ditinggalkan ketika dilakukan penebangan.

Falsafah yang dianut dalam menjalankan konservasi adalah semakin pengelolaan hutan yang dipraktekkan, maka akan semakin sedikit hutan yang harus dilindungi secara mutlak.

Sistem kehutanan yang berlaku dapat menekan biaya transaksi yang tidak diperlukan dan menghindari free riders dan rent seekers, sehingga secara keseluruhan mendorong peningkatan daya saing industri kehutanannya ■

BAGIAN III Prioritas Kebijakan Nasional

1 KEBIJAKAN DAN ARTI PENTING KELEMBAGAAN

Kelembagaan sering dipersempit tafsirannya hanya sebatas lembaga dan hubungan kerja di dalam dan antar lembaga. Sebenarnya pengertian kelembagaan lebih jauh dari tafsiran tersebut, yaitu berkenaan dengan konsep-konsep tentang koordinasi, integrasi perusahaan, kontrak, struktur pasar, biaya dari suatu perubahan, serta aturan main baik tertulis maupun tidak, yang dapat mempengaruhi keputusan- keputusan yang diambil oleh individu maupun kelompok. Kelembagaan juga menyangkut hubungan sosial masyarakat, rasa percaya, tindakan bersama, serta pengaruh hak-hak terhadap kearifan pengelolaan sumberdaya hutan 15 .

15 Persepektif dan perkembangan penelitian dalam lingkup kelembagaan dapat dilihat dalam buku Institutions, Contracts dan Organizations: Perspective fron New Modern Economic (2000) oleh editornya Claude Menard, Edward Elgar, USA.

Dalam kajian ini, mengupas masalah kelembagaan kehutanan Indonesia, hanya dilakukan dalam relung yang sangat sempit, yang menyangkut pelaksanaan kebijakan pengelolaan hutan produksi. Dari ungkapan makna berbagai kebijakan yang telah ada dan yang sedang berjalan dapat ditunjukkan bahwa kerangka pemikiran (mind set) yang selama ini digunakan belum menyentuh pertimbangan aspek kelembagaan, dan oleh karenanya menjadi salah satu aspek fundamental yang perlu diperbaiki. Informasi dan pengetahuan adalah unsur utama dalam kelembagaan. Bagaimana masyarakat akan merespon suatu instruksi yang tertuang dalam suatu peraturan, ditentukan oleh informasi dan pengetahuan yang dimilikinya.

Pertimbangan manfaat-biaya hanyalah salah satu cara, bagaimana respon akan dilakukan, tetapi untuk sampai kepada pertimbangan yang sesungguhnya, informasi dan pengetahuan sangat dibutuhkan. Demikian pula sebaliknya bagi para pembuat kebijakan. Hukum positif sebagai sarana legalitas dan kepastian kebijakan yang akan dilahirkan sangat penting, namun kepastian kebijakan yang dijalankan dengan sasaran masalah yang keliru tidaklah menjadi “resep” yang manjur. Dalam menetapkan masalah yang benar, pengambil keputusan perlu menggunakan pengetahuan, konsep dan cara pandang yang sejalan dengan kenyataan di lapangan. Konsep- konsep kelembagaan dapat digunakan untuk ini. Oleh karena itu, hubungan formal maupun informal antara pembuat keputusan dengan sumber-sumber pembuat masalah menjadi kebutuhan.

Kesalahan dalam membuat kebijakan memang bukanlah kesalahan kriminal, karena tidak melanggar hukum. Namun implikasi kebijakan yang keliru seringkali mempunyai dampak yang jauh lebih dahsyat, daripada kesalahan kriminal. Kerusakan ekologi, konflik sosial dan anarki, diantaranya banyak terjadi antara perusahaan dan masyarakat lokal, adalah implikasi dari langkanya informasi, lemahnya pengetahuan, serta klaim legalitas yang tidak sejalan dengan realitas di lapangan.

Karena luasnya permasalahan, maka kebijakan kehutanan bukanlah monopoli kebijakan Departemen Kehutanan. Penataan kelembagaan penyelenggaraan kehutanan akan menyangkut setidak- tidaknya aspek pertanahan, keuangan pusat dan daerah, kewenangan daerah, dan penataan birokrasi, sehingga upaya mensinergikan keseluruhannya menjadi kunci utama.

Mengetengahkan aspek kelembagaan dalam pengelolaan hutan produksi ini, pada akhirnya, ditujukan untuk mencari jalan keluar dari seluruh persoalan yang ada. Kita perlu meyakini bahwa seluruh kejadian tidaklah baru sama sekali, apalagi seringkali dikatakan bahwa kejadian- kejadian di lapangan tidak pernah ada texbooknya. Pernyataaan tersebut sama sekali keliru dan perlu dihindari. Karena masih banyak cara yang tidak digunakan, atau tidak diketahui, maka tidak ada alasan untuk senantiasa pesimis menatap kinerja dunia kehutanan ■

2 PRIORITAS KEBIJAKAN

Apabila dilihat dari sudut kelembagaan, hutan di Indonesia mempunyai karakteristik yang khas, selain memberikan manfaat tidak langsung yang meunculkan adanya hak publik, juga sebagian besar berstatus hutan negara. Dengan luasnya sumberdaya dan tujuan jangka panjang pengelolaan, tingkat kepentingan pengelolaan hutan di Indonesia memerlukan tingkat kepentingan hak tenurial (secure of property rights) dan keputusan- keputusan kolektif (collective actions) yang tinggi (Gambar 10; Dick & Gregorio, 2004). Dalam bab-bab sebelumnya ditunjukkan bahwa kerusakan hutan disebabkan oleh lemahnya hubungan tata pemerintahan serta meningkatnya hutan produksi menjadi open access.

Oleh karena itu kebijakan prioritas semestinya difokuskan terhadap tiga masalah pokok, yaitu :

  1. Kepastian (legalitas) kawasan hutan produksi;
  2. Kontrak, hubungan antara pemerintah dan swasta, pemerintah dan masyarakat, serta swasta dan masyarakat, dan sesama lembaga pemerintah;
  3. Monitoring dan pengendalian perijinan

Diusulkan tiga program pokok untuk mengatasi masalah tersebut, yaitu :

  1. Penyempurnaan peraturan dan pelaksanaan pengukuhan kawasan serta Gambar 10. Struktur Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya penguatan lembaga pusat dan daerah sehingga mempunyai kredibilitas dan kapasitas secara nasional (menuju forest land governance);

    0g10a

    Gambar 10. Struktur Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya

  2. Menyempurnakan bentuk Surat Keputusan terhadap pelaksanaan ijin untuk memastikan bahwa hubungan transaksional antar pihak tidak menimbulkan biaya transaksi tinggi. Etatisme dapat dihindari apabila terdapat instrumen pengendalian lima tahunan bagi unit manajemen (unit usaha) dari hasil inventarisasi menyeluruh secara berkala.
  3. Meningkatkan efektivitas kebijakan pengelolaan hutan produksi, melalui penyempurnaan struktur organisasi di tingkat Departemen, dengan tujuan penguatan hubungan Pusat-Daerah, intensifikasi pengukuhan hutan nasional, serta penguatan pelaksanaan monotoring dan evaluasi pembangunan kehutanan.

Tujuan tiga program tersebut akan terfokus pada tiga hal. Pertama, dapat diminimumkan biaya transaksi, kedua, dapat dijalankan kebijakan yang lebih terfokus kepada sumber- sumber masalah. Ketiga, membangun pondasi (enabling conditions) bagi perwujudan produktivitas dan efisiensi pemanfaatan sumberdaya hutan.

Implikasi dari ketiga program tersebut adalah perlunya sejumlah kegiatan, antara lain menyangkut penyempurnaan peraturan yang telah berjalan selama ini. Fokus penyempurnaan peraturan seyogyanya ditujukan kepada bidang-bidang: keranga umum pelaksanaan kebijakan (lihat sub bab 4.3.2), perijinan, pengukuran kinerja, sangsi, dan penetapan kawasan.

Terakhir, yang perlu disampaikan dalam naskah ini adalah bahwa tanpa menjalankan kebijakan untuk menangani masalah-masalah fundamental, pengelolaan hutan produksi dari waktu ke waktu akan senantiasa menghadapi masalah- masalah yang sama, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sama. Dan hal demikian itu sudah terjadi dalam dua dasawarsa terakhir. Juga perlu ditegaskan bahwa ketiga program tersebut perlu dilaksanakan dalam jangka panjang dan memang akan memerlukan waktu yang tidak sedikit. Tetapi sebaliknya, apabila program pemerintah hanya diarahkan pada hal-hal yang populis, jangka pendek, maka harapan untuk menatap kehutanan dengan kondisi lebih baik mungkin tidak pernah akan terwujud ■

DAFTAR PUSTAKA

Dick, RSM and Gregorio, MD. 2004. Collective Choice and Property Rights for Sustainable Development. International Food Policy Research Institute. USA.

Dunn, W.N. 1994. Public Policy Analysis: An Introduction. Second Edition Prentice-Hall Inc. New Jersey.

ICW dan Greenomics Indonesia, 2004. Praktik Korupsi Bisnis Eksploitasi Kayu. Jakarta.

Kartodihardjo, H. 2002. Structural Problem on Implementing New Forestry Policies, dalam Which Way Forward : People, Forest, and Policy Making Process in Indonesia. CIFOR. Bogor.

Ross, M.L. 2001. Timber Booms and Institutional Breakdown in Southeast Asia. Cambridge: Cambridge University Press.

2 Comments »

  1. Slamat Pagi bapak, saya ijin utk mengkopi tulisan bapak ini. Saya ingin belajar lebih dalam tentang kelembagaan. Maturnuwun. Berkah Dalem Gusti.

    Comment by C.Yudiloastiantoro — February 17, 2011 @ 1:43 am

  2. Hutan memang harus dibangun, sebagai paru-paru dunia yang dapat mendulang emas hijau, makasih pak Har dkk, atas tulisannya buat tambah pengetahuan dan bahan materi penyuluhan KTH cuma pelaku pengawal dan pendamping kebijakan dilapangan terhadap pelaku utama dan pelaku usaha hutan kurang greget lho, tahunya cuma illegal logging dari hulu sampai hilir yang ter”ekspose”

    Comment by nuranto asri — August 8, 2015 @ 8:39 am


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.