Kelembagaan DAS

Sitti Nurani Sirajuddin

KEBIJAKAN KELEMBAGAAN PADA PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI PERAH di SULAWESI SELATAN

Oleh: Sitti Nurani Sirajuddin;  Staf Pengajar Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin

PENDAHULUAN

Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk menopang perekonomian nasional dan daerah, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi sejak pertengahan tahun 1997. Pilihan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa sektor pertanian telah berulangkali membuktikan diri sebagai sektor yang tahan terhadap krisis perekonomian dan merupakan suatu aset kekayaan dasar bagi kesejahteraan masyarakat serta bagi kegiatan pembangunan perekonomian secara keseluruhan. Disamping itu resources based negara memang terletak pada sektor-sektor primer (termasuk pertanian dalam arti luas), baik dari sisi kelimpahan potensi sumberdaya alam maupun besarnya potensi tenaga kerja yang tersedia, hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Juanda,B (2002) bahwa pemerintah Indonesia harus tetap mengembangkan sektor pertanian karena mempunyai peranan penting sebagai penghasil bahan makanan, penghasil devisa, memberikan kesempatan kerja dan juga sebagai pasar bagi produk-produk industri

Bidang peternakan sebagai sub sektor dari pertanian merupakan bidang usaha yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia. Hal ini terkait dengan kesiapan subsektor ini dalam menyediakan bahan pangan hewani masyarakat, yang diketahui mutlak untuk perkembangan dan pertumbuhan. Kandungan gizi hasil ternak dan produk olahannya sampai saat ini diketahui mempunyai nilai yang lebih baik dibandingkan dengan kandungan gizi asal tumbuhan. Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan peternakan untuk memenuhi kebutuhan gizi maka pembangunan peternakan saat ini telah diarahkan pada pengembangan peternakan yang lebih maju melalui pendekatan kewilayahan, penggunaan teknologi tepat guna dan penerapan landasan baru yaitu efisiensi , produktivitas dan berkelanjutan (sustainability).

Di samping itu pembangunan sub sektor peternakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan pertanian, harus dilaksanakan secara bertahap dan berencana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dilakukan antara lain melalui peningkatan produksi ternak sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat peternak dari waktu ke waktu.Untuk itu perlu mendorong peternak agar tetap mampu bersaing baik pada skala lokal, regional, nasional maupun internasional (Saragih, 2000)

Sejalan dengan hal tersebut, maka pembangunan sub sektor peternakan juga mendapatkan porsi untuk dikembangkan karena subsektor ini mempunyai peranan yang cukup penting didalam perekonomian. Pertumbuhan subsektor peternakan cukup tinggi dibandingkan dengan subsektor lainnya pada sektor pertanian sepanjang tahun 2002, yaitu hingga kuartal III tahun 2002 mengalami pertumbuhan sebesar 9,4 % (Ditjen Peternakan,2003). Sumbangan subsektor ini terhadap Produk Domestik Bruto mencapai Rp. 7.059,50 milyar rupiah atau 1,78 persen dari total PDB pada tahun 2000(Statistik Pertanian ,2000). Disamping itu secara makro perkembangan subsektor peternakan selama ini cukup menggembirakan dimana populasi dan produksi hasil ternak terus tumbuh dari tahun ke tahun.

Salah satu jenis usaha pada sub sektor peternakan yang cukup mendapat perhatian yaitu usaha sapi perah yang dikembangkan untuk memenuhi permintaan susu yang semakin meningkat dari tahun ke tahun dan juga melihat tendensi pertambahan jumlah penduduk, pendapatan dan meningkatnya kesadaran sebahagian masyarakat akan pentingnya gizi, sub sektor peternakan makin dituntut untuk berperan serta dalam rangka pemenuhan kebutuhan gizi dengan meningkatkan produksi melalui proses pengembangan budi daya. Meskipun produksi susu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun akan tetapi belum bisa mengimbangi pertumbuhan permintaan susu didalam negeri yang mencapai 1,5 miliar liter per tahun dimana 67 % masih harus diimpor karena peternak sapi lokal hanya mampu menghasilkan sekitar 500 juta liter susu per tahun. Hal ini menunjukkan antara persediaan dan permintaan susu di Indonesia terjadi kesenjangan yang cukup besar. Kebutuhan atau permintaan jauh lebih besar daripada ketersediaan susu yang ada.

Perkembangan Sapi Perah di Sulawesi Selatan

Keberhasilan usaha ternak sapi perah tergantung dari faktor sumberdaya manusia dan sumberdaya alam. Di samping itu juga, pengembangan usaha sapi perah dan peningkatan produksi susu memerlukan dorongan baik dari pihak pemerintah ataupun swasta seperti industri-industri persusuan dan sarana-sarana lain yang diperlukan dan prospek atau masa depan pengembangan usaha ternak sapi perah merupakan saat yang “favourable” . Berdasarkan kondisi tersebut, usaha sapi perah untuk menghasilkan susu segar sangat prospektif dikembangkan di Indonesia.

Salah satu kebijakan produksi susu dalam negeri ini adalah desentralisasi pengembangan sapi perah. Sejak awal pengembangan sapi perah di Indonesia hanya terpusat di pulau Jawa saja. Namun teriring semangat desentaralisasi dan otonomi daerah tersebut, maka pengembangan sapi perah mulai diarahkan keluar pulau Jawa dengan membentuk sentra-sentra baru yang cocok untuk pengembangan komoditi ini. Ada beberapa provinsi di Indonesia yang mampu mencapai tingkat keberhasilan yang tinggi dalam pelaksanaan program-program pembangunan dan pertumbuhan ekonominya dengan keterkaitan antar wilayah dan antar masyarakat, misalnya pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan yang melakukan strategi pembangunan kawasan sub sektor peternakan yang menunjukkan pentingnya keterkaitan antara wilayah perdesaan dan perkotaan dengan program pembangunan masyarakat Sulawesi Selatan, hal ini ditunjukkan dengan peningkatan PDRB disub sektor peternakan yaitu tahun 2005 sebesar 758.491,72 juta rupiah dan tahun 2006 sebesar 842.747,22 juta rupiah (BPS, 2007).

Salah satu komoditas peternakan yang dikembangkan dengan prinsip keterkaitan antara daerah yaitu sapi perah yang diusahakan dalam skala peternakan rakyat dengan pola pengusahaan yang masih sebagai sambilan di kabupaten Enrekang dimana saat ini populasi sapi perah telah mencapai 900 ekor yang bertujuan mengembangkan produksi susu untuk mendukung kegiatan pengolahan dangke yang merupakan makanan khas Sulawesi Selatan khususnya di Kabupaten Enrekang. Disamping nilai gizi yang tinggi, produk olahan susu ini disukai oleh masyarakat kabupaten Enrekang karena penduduk Enrekang tidak terbiasa mengkonsumsi susu segar. Dangke diproduksi secara tradisional dengan teknologi yang sederhana yang dimulai sejak tahun 1991. Pemasaran dangke tidak hanya di daerah Sulawesi Selatan tetapi bahkan sampai ke Kalimantan, Jakarta, Papua, Malaysia dan daerah-daerah dimana komunitas masyarakat Enrekang berada oleh karena itu pengembangan usaha dangke memerlukan dukungan dari semua masyarakat agar dapat berhasil

Sejak tahun 2001 pemerintah Sulawesi Selatan mencoba mengembangkan sapi perah di kabupaten Sinjai melalui bantuan ternak dari Direktorat Jenderal Peternakan dengan jumlah peternak yang semakin meningkat dimana pada tahun 2004 berjumlah 40 orang dan tahun 2007 berjumlah 168 orang dengan kepemilikan sapi perah 330 ekor dan produksi susu berfluktuasi sekitar 350 liter perhari, sasaran utama produksi adalah produk susu pasteurisasi untuk konsumsi masyarakat sampai ke Kota Makassar (Dinas Peternakan Sul-Sel, 2007). Variasi produksi yang tinggi dan penurunan ini sangat dipengaruhi oleh pakan yang diberikan petani terutama yang berasal dari konsentrat. Petani yang tidak mampu membeli konsentrat mempunyai produksi susu yang rendah, demikian pula dengan penggantian komposisi dan peningkatan komponen lokal bahan pakan menyebabkan penurunan produksi.Dengan demikian petani sangat mengharapkan adanya pembinaan menyangkut perbaikan pakan tersebut.

Atas dasar tersebut maka pengembangan sapi perah di kabupaten Sinjai dan kabupaten Enrekang dipertimbangan pemilihan lokasi adalah berdasarkan kondisi agroklimat wilayah yang optimal untuk pertumbuhan dan produksi sapi perah , ketersediaan lahan untuk mendukung pengembangannya dan ketersediaan pasar. Atas dasar tersebut maka pengembangan sapi perah perlu dilakukan dengan peningkatan kemampuan dibidang pengolahan dan pemasaran serta kelembagaan. Peningkatan kemampuan pengolahan dimaksudkan untuk memperpanjang masa simpan dan pemasaran susu segar dan susu pasteurisasi. Peningkatan kemampuan pemasaran dimaksudkan untuk memperluas jangkauan pemasaran dan meningkatkan retensi resapan pasar terhadap produk-produk susu koperasi. Peningkatan kemampuan kelembagaan ditujukan terutama untuk memperkuat kelembagaan dan memperbaiki manajemen pengelolaan kelompok tani dan koperasi.perlu dilakukan dengan peningkatan kemampuan dibidang pengolahan dan pemasaran serta kelembagaan

Peran Kelembagaan

Kelembagaan (institution) sebagai aturan main (rule of game) dan organisasi, berperan penting dalam mengatur penggunaan/alokasi sumberdaya secara efisien, merata dan berkelanjutan.Sebagai hasil dari pembagian pekerjaan dan spesialisasi pada sistem ekonomi maju sering mengarah kepada keadaan dimana orang-orang menjadi hampir tidak mampu lagi berdiri sendiri dalam arti mereka tidak dapat menghasilkan barangbarang dan jasa yang dibutuhkan untuk kehidupan(konsumsinya) sehingga pemenuhan kebutuhannya diperoleh dari orang/pihak lainnya yang bespesialisasi melalui suatu pertukaran yang dalam ekonomi disebut transaksi ekonomi.Agar transaksi ekonomi dapat berlangsung perlu adanya koordinasi antar berbagai pihak dalam sistem ekonomi yang sekaligus juga mencakup aturan representasi dari pihak-pihak yang berkoordinasi tersebut.Pada dasarnya ada dua bentuk koordinasi utama yaitu koordinasi untuk keperluan;(1) transaksi melalui sistem pasar, dimana harga-harga menjadi panduan dalam mengkoordinasikan alokasi sumberdaya-sumberdaya tersebut jadi harga-harga berperan sebagai pemberi isyarat dan sebagai pembawa informasi yang mengatur koordinasi alokasi sumberdaya kepada pembeli dan penjual,(2) transaksi tersebut dilakukan dalam sistem organisasi-organisasi yang berhirarki di luar sistem pasar dimana wewenang kekuasaan berperan sebagai koordinator dalam mengatur alokasi sumberdaya tersebut.

Suatu kelembagaan adalah suatu pemantapan perilaku yang hidup pada suatu kelompok orang yang merupakan sesuatu yang stabil, mantap dan berpola; berfungsi untuk tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat; ditemukan dalam sistem sosial tradisional dan modern atau bisa berbentuk tradisional dan modern dan berfungsi mengefisienkan kehidupan sosial (Syahyuti, 2006)

Kelembagaan menurut Schmid(1972) dalam Pakpahan(1989) adalah suatu himpunan hubungan yang tertata diantara orang-orang dengan mendefenisikan hakhaknya, pengaruhnya terhadap hak orang lain, privilage dan tanggung jawab. Tiga hal utama yang mencirikan suatu kelembagaan :

  1. Batas kewenangan (jurisdiksi) adalah menyangkut masalah kewenangan setiap anggota didalam kerjasama seperti wewenang menentukan harga output dan lainlain, mempunyai arti penting dan cukup besar pengaruhnya dalam keberhasilan produksi.
  2. Hak Kepemilikan (Property right) adalah mengandung makna sosial yang berimplikasi ekonomi. Dalam hubungan dengan property right yang paling penting adalah faktor kepemilikan terhadap sumberdaya seperti lahan, hasil produksi dan lain-lain. Hak pemilikan yang lebih jelas akan dapat menentukan besarnya bargaining power atau kekuatan menawar terhadap suatu persoalan
  3. Aturan representasi dipersoalkan mengenai masalah sistem atau prosedur mengenai suatu keputusan. Dalam proses ini bentuk partisipasi lebih banyak ditentukan oleh keputusan kebijaksanaan organisasi dalam membagi beban dan manfaat/keuntungan terhadap anggota yang terlibat dalam organisasi tersebut (Anwar, 2006).

Intervensi pemerintah dalam pengembangan kelembagaan pertanian ke depan masih diperlukan. Akan tetapi bentuk campur tangan pemerintah tidak bersifat koersif, namun lebih bersifat memfasilitasi sehingga mampu meransang pertumbuhan kelembagaan yang bersifat kohesif.Aturan yang berkembang pada kelembagaan lokal hendaknya bersifat kepemimpinan dengan aturan dan undang-undang yang terkait dengan kelembagaan yang ada (Suradisastra, 2006).

Kelembagaan tidak bisa terlepas dari konsep biaya transaksi atau kesepakatan yang memiminimisasi biaya transaksi. Dalam pandangan North, kelembagaan yang menurunkan biaya transaksi adalah kunci dari keberhasilan indikator ekonomi. Pengembangan kelembagaan sangat bersifat keterkaitan antar periode sehingga tidak semua kelembagaan bersifat efisien dan kelembagaan yang tidak efisien inilah yang menghambat pertumbuhan ekonomi (Fauzi, 2004)

Ada dua katalis yang berperan penting dalam pengembangan kelembagaan yakni perubahan dalam harga relatif (relative price) dan inovasi teknologi. Dalam merespon kedua perubahan ini salah satu atau kedua belah pihak mungkin akan melihat lebih menguntungkan untuk mengubah aturan (Rules of agreement) yang kemudian berujung pada perubahan kelembagaan yang akan menguntungkan salah satu atau kedua belah pihak. Demikian juga halnya dengan inovasi teknologi yang akan menurunkan biaya transaksi dan perubahan dalam biaya informasi merupakan sumber utama dalam pengembangan kelembagaan.

Kebijakan Kelembagaan pada Usaha Sapi Perah

Pengkajian tentang kelembagaan pada usaha sapi perah sangat penting sesuai yang dikemukakan oleh Anwar (2002) dalam Saptati A.R(2004), bahwa penentuan kelembagaan yang tepat akan dapat mengatur penggunaan dan alokasi sumberdaya atau input kearah efisiensi yang tinggi, keadilan (fairness) kearah pembagian yang lebih merata dan aktifitas ekonomi dapat langgeng. Langkah awal guna mencapai efisiensi dalam alokasi sumberdaya secara optimal adalah perlunya pembagian pekerjaan sehingga setiap pekerjaan dapat dilaksanakan secara profesional dengan produktifitas yang tinggi. Peningkatan pembagian pekerjaan selanjutnya akan mengarah kepada spesialisasi ekonomi, sedangkan kelanjutan spesialisasi adalah peningkatan efisiensi dan produktivitas yang semakin tinggi.

Kekurangan produksi susu segar dalam negeri merupakan peluang besar peternak susu untuk mengembangkan usahanya. Namun demikian peternak masih menghadapi permasalahan antara lain yaitu rendahnya kemampuan budidaya khususnya menyangkut kesehatan ternak dan mutu bibit yang rendah, dalam hal pemasaran dimana industri pengolahan susu menjadi jauh lebih kuat dibandingkan peternak sehingga terjadi besarnya ketergantungan peternak terhadap industri pengolahan susu dalam memasarkan susu segar yang dihasilkannya.

Dengan permasalahan-permasalahan tersebut maka perlu dilakukan :

  1. Pemerintah perlu memberikan dukungan nyata untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil ternak(susu) kepada para peternak. Daya saing susu yang dihasilkan peternak hanya dapat ditingkatkan apabila produktivitas dan kualitas tersebut ditingkatkan. Untuk itu, penelitian dan pengembangan khususnya mengenai teknis dan manajemen produksi perlu ditingkatkan. Gerakan nasional seyogyanya diikuti dengan aktivitas nyata berupa bantuan antara lain dalam bentuk pelatihan dan penyuluhan budidaya sapi perah yang baik, mendorong tersedianya bibit sapi unggul, kemudahan untuk pemanfaatan lahan, akses dan ketersediaan modal, serta pengembangan beragam industri pengolahan susu sehingga harga di tingkat peternak menjadi relatif lebih stabil
  2. Perlu dibentuk wadah kemitraan Sistem peternakan kontrak (contract farming) merupakan satu mekanisme kelembagaan yang memperkuat posisi tawar menawar peternak dengan cara mengkaitkannya secara langsung ataupun tidak langsung dengan badan usaha yang secara ekonomi relatif lebih kuat. Melalui kontrak, peternak kecil dapat beralih dari usaha tradisional/subsistem ke produksi yang bernilai tinggi dan berorientasi ekspor. Hal ini tidak hanya berpotensi meningkatkan penghasilan peternak kecil yang ikut dalam kontrak tetapi juga mempunyai efek berlipat ganda bagi perekonomian di perdesaan maupun perekonomian dalam skala yang lebih luas. Contract farming dapat juga dimaknai sebagai sistem produksi dan pemasaran berskala menengah, dimana terjadi pembagian beban resiko produksi dan pemasaran berskala menengah dimana terjadi pembagian beban resiko produksi dan pemasaran diantara pelaku agribisnis dan peternak kecil, kesemuanya ini dilakukan dengan tujuan mengurangi biaya transaksi dan kerjasama antar peternak dan peternak dengan pihak kedua dapat terjalin secara baik bila terdapat saling ketergantungan yang saling menguntungkan. Dengan kata lain, adanya contract farming dalam bidang peternakan dapat menguntungkan kedua belah pihak yaitu peternak dan perusahaan. Contract farming memungkinkan adanya dukungan yang lebih luas serta dapat mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan minimnya informasi dan mengurangi resiko bagi peternak. Mereka memiliki kepastian bahwa produknya akan dibeli pada saat panen. Dalam jangka panjang mereka juga memperoleh manfaat yaitu peluang kemitraan di masa depan serta akses terhadap program-program pemerintah, hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Key dan Runsten (1999) dalam Daryanto (2007) bahwa manfaat dari keikutsertaan dalam kontrak yaitu pengembangan akses pasar, kredit dan tekonologi, manajemen resiko yang lebih baik, memberikan kesempatan kerja yang lebih baik bagi anggota keluarga dan secara tidak langsung, pendayagunaan perempuan serta pengembangan dari budaya berniaga yang berhasil. Dilihat dari perusahaan beberapa manfaat dengan adanya sistem contract farming yaitu mereka memperoleh akses untuk mendapatkan buruh dan tanah yang lebih murah untuk menumbuhkan produk yang bernilai tinggi. Pasokan bahan mentah dapat terjaga dengan batasan yang rasional dan memiliki kendali terhadap dasar produksi dan perlakuan pasca panen. Selain itu juga memiliki kendali terhadap kualitas produk dan memiliki kesempatan memperoleh dan memperkenalkan varietas baru serta peningkatan kemungkinan pemenuhan kebutuhan konsumen secara spesifik
  3. Koperasi susu perlu didorong dan difasilitasi agar dapat melakukan pengolahan sederhana susu segar antara lain pasteurisasi dan pengemasan susu segar, pengolahan menjadi yogurt, keju dan sebagainya. Hal ini disertai dengan program promosi secara luas kepada masyarakat terutama anak-anak tentang manfaat mengkonsumsi susu segar dan produk-produk olahannya. Pendirian pabrik pengolahan susu yang dimiliki koperasi juga perlu didorong. Langkah ini diperlukan untuk mengantisipasi makin menguat dan relatif stabilnya nilai kurs rupiah terhadap US dolar yang dapat mengakibatkan industri pengolahan susu kembali mengimpor sebagian besar bahan baku susunya dari luar negeri.
  4. Pemerintah Pusat maupun Daerah seyogyanya mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mampu memperkuat posisi tawar peternak sapi perah khususnya dan pengembangan agribisnis berbasis peternakan umumnya. Ini antara lain dapat dilakukan dengan menghapuskan retribusi yang menyebabkan ongkos produksi bertambah mahal, menghapuskan pajak pertambahan nilai bila pengolahan masih dilakukan oleh peternak serta pemberlakuan tarif bea masuk terhadap susu impor untuk melindungi produksi dalam negeri.

Penutup

Salah satu kunci keberhasilan pengembangan sapi perah yaitu melakukan penguatan kelembagaan antara lain dengan peternakan kontrak yang bertujuan adanya (a) hubungan yang saling menguntungkan antara peternak dengan perusahaan agribisnis,(b) memberikan insentif kepada peternak untuk meningkatkan produknya dengan memperbaiki grades dan standar,(c) memperbaiki sarana dan iklim investasi untuk bidang peternakan sapi perah, dan (d) pemerintah menyediakan infrastruktur publik seperti jalan, jembatan, listrik, telekomunikasi, pasar dan penegakan hukum dalam perjanjianperjanjian usaha sehingga penggunaan/alokasi sumberdaya pada usaha sapi perah tercipta secara efisien, merata dan berkelanjutan (sustainable). Untuk melakukan penguatan kelembagaan pada usaha sapi perah diperlukan kerjasama antara peternak, perusahaan dan Pemerintah Daerah serta Pemerintah Pusat. DAFTAR PUSTAKA

Anwar, 2006. Peranan Kelembagaan Dalam Pemanfaatan Sumber Daya Lokal. Makalah. Insititut Pertanian Bogor. Bogor.

Eaton, C and Shepherd,. 2001. Contract Farming: Partnership for Growth.FAO

Agricultural Services Buletin. 145. Food and agrivcultural Organization of United Natio. Rome.

Daryanto,A. 2007. Peningkatan Dayasaing Industri Peternakan. PT Permata Wacana Lestari(Penerbit Majalah Trobos). Jakarta.

Fauzi,A. 2004. Pengembangan Kelembagaan Kelautan dan Perikanan. Perspektif Ekonomi Kelembagaan. Makalah.

Juanda,B, 2002. Pertumbuhan Ekonomi dan Pergeseran Struktural Dalam Industrialisasi di Indonesia. Jurnal Ekonomi, Volume 9 tahun V .Institut Pertanian Bogor.

Luh Putu Suciati, Affendi Anwar dan Akhmad Fauzi.2006. Strategi Peningkatan Kinerja Kelembagaan dan Pembiayaan Pengelolaan Irigasi. Forum Pasca sarjana. Volume 29 Nomor 1 .ISSN 0216-1886

Pakpahan. 1989. Mengubah Pertanian Tradisional Dalam Pembangunan Jangka Panjang. Tahap kedua : Pendekatan Kelembagaan. Makalah. Institut Pertanian Bogor.

Rustiadi, Saefulhakim, Panuju. 2006. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bahan Kuliah. Institut Pertanian Bogor.

Saragih, B. 2000.Agribisnis Berbasis Peternakan.Kumpulan Pemikiran.USESE Foundation dan Pusat Studi Pembangunan IPB, Bogor.

Saptati,A.R. 2004. Kajian Ekonomi Wilayah dan Kelembagaan Usaha Peternakan Broiler di kabupaten Bogor. Tesis. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Sirajuddin.S.N. 2007.Prospek Usaha Sapi Perah di Sulawesi Selatan. Buletin Peternakan.Edisi XXVII.Dinas Peternakan Propinsi Sulawesi Selatan

Syahyuti, 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. Penjelasan tentang Konsep, Istilah, Teori dan Indikator serta Variabel.PT. Bina Rena Pariwara. Jakarta.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.