Kelembagaan DAS

C.Yudilastiantoro dan Tony Widianto

KONSEP LEMBAGA PENGELOLAAN DAS TINGKAT LOKAL DAN REGIONAL DI DAS SADDANG-BILAWALANAE, SULAWESI SELATAN

Oleh : C.Yudilastiantoro dan Tony Widianto

Abstract

Decentralize era results the change of local government competency in the form of institutional reinforcement of watershed management. Governmental administration problems have to be managed according to administration boundary and on the other side watershed need to be managed with the boundary of watershed itself, locally and regionally.The aim of this research is to studying about watershed management in local and regional level,seen from human resources, organization and law.

This research located in South Sulawesi Province, especially at Saddang and Bilawalanae Watershed. The research was done in DAS Jeneberang and Bilawalanae from August until December 2005; with studying fundamental duty and institution function which related in watershed management. To gain data of the aim above, this research used survey method, through direct interview and filling questionair to the respondent. Primary and secondary data analyzed with Stakeholder Analysis Method and SWOT Analysis Method.

With this research can be known institution that take part in watershed management. Can be recommended that institute of local watershed management formed in every regency, not in the form of independent institution but under an appropriation to Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten in this time. This is because the human resources, organization and legislation supporting enough . For regional watershed management, some regency wish the form of selfsupporting Otorita that still under conducting Governor as province leader.

Keyword: institution, watershed management , local, regional, national

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dengan terbitnya UU 32/2004 tentang kewenangan Pemerintah Daerah, sebagian besar kewenangan Pusat diserahkan ke daerah. Menurut PP 25/2000 kewenangan pemerintah pusat pada sektor Kehutanan adalah perencanaan dan pengukuhan hutan, manajemen konservasi dan pengaturan perdagangan atau gerakan kayu antar propinsi. Kewenagan sektor publik kehutanan pusat mengecil setelah Otonomi Daerah memerlukan penyesuaian.

Di satu sisi Otonomi Daerah akan lebih memberdayakan pemerintah daerah untuk lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam bentuk peningkatan pelayanan umum, namun di sisi lain akan berpotensi menimbulkan masalah pada lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS). Masalah akan timbul jika pengelolaan Sumber Daya Alam DAS tidak memperhatikan sifat/karakter spesifik wilayah DAS yang pada umumnya lintas wilayah administrasi, sehingga diperlukan pengelolaan DAS terpadu. Sumberdaya DAS, lahan, vegetasi, air dan manusia, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan karakter DAS.

Chay Asdak (2003) mengelompokan DAS berdasarkan hamparan wilayah dan fungsi strategisnya, yaitu : DAS Lokal : terletak secara utuh dalam satu daerah kabupaten/kota dan atau DAS yang secara potensial hanya dimanfaatkan oleh daerah kabupaten /kota. DAS Regional : letaknya secara geografis melewati lebih dari satu daerah kabupaten/kota; dan atau DAS lokal yang atas usulan pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan, dan hasil penilaian ditetapkan untuk didayagunakan (dikembangkan dan dikelola oleh propinsi) dan atau DAS yang secara potensial bersifat strategis bagi pembangunan regional.

Kebijakan desentralisasi perlu didukung dengan penguatan kelembagaan pengelolaan DAS. Hal ini menjadi penting karena terjadinya tumpang tindih antara wilayah administrasi pemerintahan dengan wilay DAS, pada DAS-DAS yang sifatnya DAS Regional. Tumpangtindih tersebut perlu diakomodasikan berdasarkan karakter wilayah DAS.

DAS Saddang dan Bila-Walanae adalah dua DAS besar di Sulawesi Selatan yang termasuk dalam DAS-DAS perioritas satu. Kedua DAS tersebut mencakup beberapa kabupaten yang cukup kompleks permasalahannya. Akibatnya koordinasi menjadi penting dalam mengoptimalkan keberhasilan pengelolaan DAS dan mengkolaborasi pelaksanaan kegiatan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah.

B. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji sumberdaya manusia di instansi terkait, stuktur organisasinya dan perundang-undangan dalam rangka pengelolaan DAS pada tingkat lokal, dan regional.

C. Sasaran

Sasaran penelitian adalah tersedianya data atau informasi untuk penyusunan konsep lembaga pengelolaan DAS tingkat lokal dan regional ditinjau dari segi sumberdaya manusia, perundang-undangan dan organisasi.

II. METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada tahun 2005 di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Bila-Walanae dan Saddang di Propinsi Sulawesi Selatan. DAS Saddang meliputi Kabupaten Tana Toraja, Pinrang Sidrap, dan Enrekang, Sedangkan DAS Bila-Walanae meliputi Kabupaten Wajo, Maros, Soppeng dan Bone.

B. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang diperlukan antara lain peta administrasi, peta tata ruang wilayah, peta jaringan sungai, dll. Alat yang diperlukan untuk memperlancar penelitian ini antara lain berupa buku catatan, kuesioner, alat tulis,kamera dan alat perekam suara.

C. Metode / Rancangan Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan metode survei. Wawancara dilakukan ke responden pejabat yang mewakili instansinya. Instansi dipilih berdasarkan peran nya terhadap pengelolaan DAS. Data primer antara lain :

  • Bentuk lembaga pengelolaan DAS yang dipilih responden seperti yang ditawarkan apakah Otorita, BUMD, Badan Koordinator, Badan Pengelolaan DAS Daerah,dll.
  • Inventarisasi data SDM, Organisasi dan Perundang-undangan dalam pelaksanaan pengelolaan DAS yang akan dilakukan oleh lembaga tersebut. Antara lain jumlah dan tingkat pendidikan SDM, Struktur Organisasi, payung hukum, TUPOKSI, kewenangan, tata hubungan kerja dengan instansi lain, sistem pendanaan dll.

Data sekunder antara lain : Inventarisasi bentuk-bentuk lembaga pengelolaan DAS, berupa studi pustaka dan pembahasan/diskusi tim peneliti dan perguruan tinggi.

D. Analisis Data

1. Analisis Stakeholder:

Analisis ini dimulai dengan menyusun stakeholder pada matriks dua kali dua menurut Interest (minat) stakeholder terhadap suatu masalah dan Power (kewenangan) stakeholder dalam mempengaruhi masalah tersebut (Bryson, 2003). Posisi tiap instansi ditempatkan berdasarkan data tupoksi dan kewenangan masing-masing instansi. Kemudian dimasukan dalam kolom Subyek (Subject), Pemain Utama (Players), Perencana makro (Contest Setter) dan Penonton (Crowd).

2. Analisis SWOT

Hasil identifikasi faktor-faktor internal maupun eksternal untuk menganalisis berbagai permasalahan dan peluang dalam upaya pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS dalam tingkat lokal dan regional adalah sebagai berikut :

Identifikasi Faktor-Faktor Internal: Dari hasil kajian yang dilakukan akan diperoleh kondisi internal dengan faktor-faktor kekuatan dan kelemahan, yang dimiliki oleh masing-masing lembaga /instansi yang berperan dalam pengelolaan DAS, sebagai berikut : Kekuatan (Strengths) dan Kelemahan (Weaknesses).

Identifikasi Faktor-Faktor Eksternal. Dari hasil kajian akan diperoleh kondisi eksternal dengan faktor-faktor: peluang dan ancaman, yang dimiliki oleh masing-masing lembaga /instansi yang berperan dalam pengelolaan DAS. sebagai berikut : Peluang (Opportunities) dan Ancaman (Threats)

Berdasarkan hasil identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal tersebut, dapat dikemukakan 4 strategi dalam upaya pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS tingkat lokal dan regional. Dengan menggunakan analisis SWOT untuk mendapatkan  beberapa strategi, yaitu : Strategi SO, Strategi ST, Strategi WO dan Strategi WT.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Analisis Stakeholder.

Analisis stakeholder berdasarkan hasil analisis tugas pokok dan fungsi dari tiap instansi di tingkat kabupaten, yang dirangkum dari beberapa kabupaten, yaitu Kabupaten Tator (Tana Toraja), Enrekang, Pinrang, Sidrap (Sidenreng-Rappang), Maros, Soppeng, Wajo, dan Bone. Hasil analisisnya seperti pada tabel 1.

0t1

Hasil analisis stakehoders menunjukan bahwa Dinas Kehutanan dan Perkebunan/ Dinas PKT lebih berperan dalam menyelenggarakan pengelolaan sumberdaya alam terutama pada daerah aliran sungai yang meliputi pengelolaan hutan, tanah dan air.

2. Analisis SWOT

Hasil identifikasi faktor-faktor internal maupun eksternal untuk menganalisis berbagai permasalahan dan peluang dalam upaya pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS dalam tingkat lokal adalah sebagai berikut:

2.1.Faktor Strategis

a. Analisis Lingkungan Internal

Kekuatan atau Strenghts (S) :

  • Sumberdaya Manusia Kehutanan tersedia
  • Adanya potensi dan sumberdaya kehutanan dan SDA lainnya
  • Adanya Perundang-undangan/PERDA/Petunjuk Teknis
  • Tersedianya Organisasi UPT

Kelemahan atau Weaknesses (W) :

  • Kualiatas Sumberdaya Manusia Kehutanan masih rendah
  • Pengelolaan Kehutanan belum menerapkan TPI
  • Masih rendahnya dukungan permodalan dari Pemdakab
  • Kesadaran hukum masyarakat sekitar hutan dan perambah hutan masih rendah

b. Analisis Lingkungan Eksternal

Peluang atau Opportunities (O) :

  • Pergeseran pola kebutuhan hidup/konsumerisme masyarakat sekitar hutan
  • Adanya komoditi primadona/spesifik lokal.
  • Kebutuhan bahan baku kayu yang terus meningkat
  • Adanya pangsa pasar dalam dan luar negeri yang luas
  • Adanya dukungan swasta/ investor untuk bermitra

Ancaman atau Threats (T) :

  • Krisis ekonomi yang berkepanjangan
  • Kondisi keamanan yang kurang stabil
  • Kebutuhan bahan makan semakin tahun semakin besar
  • Kerusakan sumber daya alam (hutan,tanah dan air) akibat perambahan liar
  • Pencurian kayu /illegal loging yang semakin marak
  • Sangsi hukum lemah sehingga tidak membuat jera bagi pelaku pelanggaran

2.2.Matriks Analisis IFAS DAN EFAS

0t2

2.3. Analisis Strategis dan Pilihan

0t3

2.4. Analisis Pilihan Faktor Penentu Keberhasilan

Strategi S-O

Dengan tersedianya SDM Kehutanan yang terampil dan profesional akan mampu mengelola SDA hutan, tanah dan air; untuk menghasilkan produksi komoditi primadona spesifik lokasi yg mampu bersaing. Dengan terbentuknya lembaga pengelolaan DAS tingkat lokal, diharapkan hutan tetap lestari, lahan di kawasan hutan tidak dirambah dan menjadi lahan kritis, rawan erosi dan longsor, serta dapat menjaga pasokan air sepanjang tahun untuk masyarakat diwilayahnya.

Strategi W-O

Untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM kehutanan, dalam rangka menyiapkan lembaga atau bidang Pengelolaan DAS ditingkat lokal, maka perlu disekolahkan atau dikursuskan baik oleh Pemda maupun pihak swasta/donor.

Strategi (S-T)

Dengan Perda/aturan-aturan yang ada maupun yang akan dibuat oleh DPRD Kabupaten, tentang sangsi hukum pelanggaran kerusakan lingkungan DAS atau pencurian kayu dikawasan hutan negara, dapat membuat jera para pelanggar aturan.

Strategi (W-T)

Dengan menerapkan sistem Tebang Pilih Indonesia dan usaha konservasi hutan, tanah dan air; maka diharapkan hasil hutan bukan  kayu (HHBK) tetap lestari dan tingkat kesejahteraan masyarakat dapat meningkat.

3. Hasil analisis :

  • Ditinjau dari strategi-strategi diatas, maka Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten mempunyai peran sebagai pelestari lingkungan SDA hutan, tanah dan air serta daerah aliran sungai bagian hulu.
  • Ditinjau dari Sumber Daya Manusia yang ada, yang terbagi atas Tenaga Struktural dan Fungsional (Penyuluh Kehutanan, PLR, Polhut dan Teknisi Kehutanan).
  • Ditinjau dari Struktur Organisasinya; dipimpin oleh seorang Kepala Dinas (eselon II), dibantu oleh 5 pejabat Sub Din (eselon III), masing-masing Sub Din dibantu oleh 3 kepala seksi (eselon IV) dan tiap seksi dibantu oleh 2 staf. Kelompok Jabatan Fungsional merupakan ujung tombak kegiatan teknis lapangan.
  • Ditinjau dari Perundang-undangan yang mendasari tentang struktur organisasi suatu lembaga, maka dapat dimungkinkan adanya satu UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah) yang berada langsung dibawah Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten. Sehingga lembaga pengelolaan DAS tingkat Lokal dapat ditampung di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten. Atau berdiri sendiri berdasarkan SK Bupati.
  • Bentuk lembaga Pengelolaan DAS tingkat Lokal adalah bagian dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten, yang bertanggungjawab langsung kepada Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten. Atau berupa sebuah Kantor yang berdiri sendiri dibawah Bupati, bertanggungjawab langsung ke Bupati.

4. Pembahasan Hasil Analisis:

a. Kondisi Sumberdaya Manusia pada instansi yang terkait dalam pengelolaan DAS

Instansi yang melaksanakan program/kegiatan terkait langsung maupun tidak langsung terhadap pengelolaan DAS. Pelaksanaan program ini didukung oleh SDM instansi yang ada. Dilihat dari jumlahnya, SDM yang ada di instansi pada umumnya dirasakan cukup. Akan tetapi secara kualitas, SDM yang ada dirasakan masih kurang memadai. Tingkat pendidikan, latar belakang  keilmuan dan keahlian serta proporsi penempatan yang kurang tepat masih menjadi salah satu hal yang kurang mendukung kegiatan teknis. Banyak pejabat sebagai decision maker tidak memiliki background pendidikan yang cukup dan sesuai dengan tupoksi institusinya. Beberapa kegiatan yang bersifat teknis seringkali justru melibatkan pihak ketiga. Bila dilaksanakan sendiripun, hasilnya kurang maksimal. Untuk itu masih sangat diperlukan peningkatan kualitas SDM di instansi daerah, terutama untuk bidang teknis,berupa pendidikan formal ke jenjang yang lebih tinggi, maupun bentuk pelatihan-pelatihan teknis untuk pegawai fungsional yang terjun langsung di lapangan.

b. Peran dan posisi instansi pemerintah dalam pengelolaan DAS

Dari hasil analisis stakeholder dan SWOT di kedua DAS tersebut, instansi yang paling memiliki peran besar terhadap pengelolaan DAS adalah Dinas Kehutanan, Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah (PKT) dan Bapedalda Kabupaten. Dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan DAS, instansi tersebut saling berhubungan jika ditinjau dari tupoksinya. Dinas Kehutanan/PKT berperan langsung sebagai leading sector kegiatan pengelolaan DAS, yaitu penghijauan, rehabilitasi lahan, GNRHL, pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dan sebagainya. Sedangkan Bapedalda bertindak sebagai koordinator dalam kegiatan penanggulangan dampak lingkungan. Instansi lain yang berperan secara tidak langsung tetapi turut mendukung keberhasilan pengelolaan DAS di antaranya adalah BAPPEDA, Dinas Tata Ruang dan Permukiman. BAPPEDA memiliki wewenang menyusun rencana anggaran kegiatan yang diajukan oleh masing-masing leading sector, termasuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan. Sedangkan Dinas Tata Ruang dan Permukiman lebih banyak berperan dalam penataan areal pemukiman yang disesuaikan dengan kondisi dan wilayah/areal pertanian dan juga kehutanan, dengan tujuan agar pemukiman tidak saling tumpang tindih (overlapping) dan mengganggu tata guna lahan.

Walaupun antar instansi seharusnya berhubungan erat dalam pengelolaan DAS, dalam kenyataannya tidak demikian. Semua sektor berjalan sendiri-sendiri, melaksanakan program dan melakukan monitoring evaluasi sendiri. Hal ini menyebabkan tidak ada standar keberhasilan program yang diakui banyak pihak karena kinerjanya dinilai sendiri oleh masing-maisng instansi. Untuk konsep pengelolaan DAS terpadu, hal ini sebaiknya diperbaiki, karena untuk mendukung keberhasilan pengelolaan DAS terpadu membutuhkan komitmen dan kerjasama yang sinergis pada seluruh pihak dalam setiap tahapan kegiatan. Pengelolaan DAS Terpadu pada dasarnya merupakan pengelolaan partisipasi berbagai sektor / sub sektor yang berkepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam pada suatu DAS, sehingga diantara mereka saling mempercayai, ada keterbukaan, mempunyai rasa tanggungjawab dan saling ketergantungan (inter-dependency). Demikian pula dengan biaya kegiatan pengelolaan DAS, sebaiknya tetap ditanggung oleh Pemerintah Pusat.

c. Koordinasi dalam pengelolaan DAS Lintas Sektoral (DAS Tingkat Lokal)

Sesuai dengan tupoksinya, sebenarnya banyak pihak yang seharusnya turut berperan dalam pengelolaan DAS. Akan tetapi yang terjadi selama ini belum menunjukkan adanya kerjasama yang sinergis antar instansi-instansi pemerintah yang terkait. Egosektoral selalu menjadi masalah klasik yang sampai saat ini belum dapat dieliminir. Perbedaan kepentingan selalu membatasi keberhasilan program dan pencapaian tujuan yang telah direncanakan. Sebagian besar pihak menilai bahwa tanggung jawab pengelolaan DAS lebih banyak dibebankan terutama pada Dinas Kehutanan dan Badan Pengelola DAS. Koordinasi memang sering dilaksanakan dengan melibatkan berbagai pihak, akan tetapi belum secara spesifik terfokus pada pengelolaan DAS. Andaikan telah ada, itupun hanya terbatas pada tahap perencanaan saja, misalnya dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (MUSRENBANG) kabupaten. Di dalamnya dibahas mengenai rencana-rencana kegiatan yang akan dilaksanakan masing-masing leading sector. Kemudian setelah rencana itu disepakati bersama, pelaksanaan kegiatannya berjalan sendiri-sendiri hingga pada tahap monitoring dan evaluasinya, oleh masing-masing instansi terkait. Akibatnya keberhasilan program yang selama ini telah dilaksanakan tetap menjadi sebuah pertanyaan besar, karena belum ada kontrol terpadu terhadap hasil pelaksanaan dan monev program. BAPPEDA sebagai salah satu badan yang seharusnya menjadi koordinator dan memiliki fungsi kontrol terhadap setiap tahap perencanaan hingga monitoring program justru seringkali tidak dilibatkan sehingga tidak tahu menahu terhadap progress program yang dilaksanakan tiap leading sector. Instansi lain seperti PDAM juga seolah tidak mau tahu terhadap pentingnya DAS sebagai penyedia air dan perlindungannya, karena selama ini mereka sebagai pemanfaat air hanya tahu sebatas pemakaian dan pendistribusian air untuk kepentingan masyarakat. Dari kenyataan ini menunjukkan bahwa koordinasi instansi terkait pengelolaan DAS dalam lingkup kabupaten belum mampu mendukung pengelolaan DAS secara efektif. Padahal, koordinasi menjadi sebuah elemen penting dalam pengelolaan DAS karena melibatkan multi sumberdaya, multi-kelembagaan dan multi stakeholder.

d. Koordinasi dalam pengelolaan DAS Lintas Wilayah (DAS Tingkat Regional):

Koordinasi antar wilayah juga menjadi hal yang mutlak diperlukan mengingat keberadaan DAS yang lintas batas (administrasi dan ekosistem). Kenyataan yang terjadi saat ini justru permasalahan koordinasi lintas wilayah turut menjadi kendala dalam pengelolaan DAS. Selain egosektoral, perbedaan kepentingan tiap wilayah selalu dipertahankan, sehingga koordinasi sulit diwujudkan. Ketika menyinggung masalah daerah hulu-hilir, maka akan selalu ada perbedaan kepentingan yang bertolak belakang. Daerah hulu selalu ingin dibantu oleh daerah hilir dalam perbaikan kondisi hutan sebagai penghasil air dan pemberi manfaat bagi daerah hilir. Sedangkan daerah hilir menuntut tanggung jawab daerah hulu terhadap sedimentasi dan banjir yang selama ini terjadi. Untuk itu diperlukan suatu bentuk koordinasi lintas sektor dan lintas kepentingan, yang seharusnya mencakup koordinasi kebijakan (perumusan kebijakan berdasarkan kepentingan masing-masing sektor) dan koordinasi kegiatan (perumusan jenis kegiatan /program). Koordinasi ini diharapkan mampu menghindari tumpang tindih kebijakan dan kepentingan baik lintas sektor maupun lintas wilayah.

e. Perundangan dalam Pengelolaan DAS terpadu

Selama ini, belum ada Petunjuk Teknis atau Petunjuk Pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan DAS lokal, regional maupun nasional yang tertuang dalam bentuk peraturan pemerintah, Keppres, Kepmen, SK Gubernur, Perda dll. Diharapkan perangkat peraturan tersebut dapat dijadikan koridor dalam pengelolaan wilayah dengan DAS sebagai batasannya. Komitmen seluruh kelembagaan dan stakeholder yang terkait dengan pengelolaan DAS akan dapat ditumbuhkan bila ada payung hukum yang jelas Misalnya hak dan kewajiban masing-masing sektor di tiap kabupaten dapat diatur dengan PERDA dari tingkat Kabupaten atau Propinsi. Aturan yang jelas mengenai posisi dan bentuk peran tiap sektor dan wilayah akan dapat mengikat semua pihak untuk kemudian diimplementasikan dengan lebih baik.

Perdaprop Sulsel No.10 thn 2003, yang mengatur tentang Pengelolaan Lingkungan Partisipatif (termasuk DAS), dengan perencanaan pembangunan yang dimulai dari bawah (masyarakat) yang bersifat bottom up, yaitu berasal dari warga desa yang diwakili oleh 2 orang tiap kelurahan/desa, kemudian dimusyawarahkan di tingkat kecamatan sampai tingkat kabupaten. Kemudian disahkan di DPR Kabupaten, secara bersamaan dibuatkan payung hukumnya dan diundangkan. Namun dalam pelaksanaannya belum seluruhnya dikerjakan.

f. Alternatif Lembaga Pengelolaan DAS terpadu

Dalam penelitian ini dihimpun keinginan dan pendapat stakeholder terkait tentang bentuk lembaga pengelolaan DAS terpadu yang ideal diantara pilihan bentuk Badan Koordinasi, BUMD, Otorita, Forum atau lainnya. Pada umumnya para responden menginginkan dibentuknya sebuah lembaga pengelolaan DAS terpadu yang baru, yang secara khusus menangani segala bentuk pengelolaan DAS.

Alternatif Bentuk Lembaga Pengelolaan DAS menurut Lampiran SK Menhut 52/Kpts-II/2001 yang mempunyai tugas operasional dapat dipilih dari tiga bentuk lembaga : Badan Koordinasi , Badan Otorita dan Badan Usaha. Proses dan tahapan pengelolaan DAS yang sedemikian rumit menuntut dukungan lembaga pengelolaan DAS yang mantap. Lembaga pengelolaan DAS harus mampu mengidentifikasi permasalahan pengelolaan DAS, menyusun rencana pengelolaan yang logis dan memonitor dampak pelaksanaan kegiatan dan memberikan umpan balik bagi penyusunan perencanaan berikutnya. Lembaga tersebut harus didukung oleh SDM yang memadai, organisasi yang tepat dan perundang-undangan yang kuat.

g. Harapan stakeholder terhadap pengelolaan DAS terpadu

Beberapa harapan dan keinginan yang berasal dari seluruh responden, untuk pengelolaan DAS terpadu yang lintas sektoral dan lintas wilayah adalah sebagai berikut :

  • Koordinasi lintas sektor perlu ditingkatkan (dimulai dari lingkup kabupaten terlebih dahulu)
  • Koordinasi lintas wilayah (kabupaten dan propinsi) perlu dijembatani oleh level pemerintahan yang lebih tinggi. Misalnya, koordinasi lintas kabupaten difasilitasi oleh pemerintah propinsi.
  • Perlu peningkatan kualitas sumberdaya manusia secara khusus di bidang teknis pengelolaan DAS.
  • Diperlukan payung hukum atau aturan yang jelas dari level pemerintahan yang lebih tinggi untuk pengelolaan DAS terpadu agar dapat mengikat komitmen dari pihak-pihak yang terlibat di bawahnya.
  • Dibutuhkan lembaga pengelolaan DAS dengan sifat yang lebih profesional.
  • Perlu alokasi dana khusus dari masing-masing sektor dan wilayah untuk program-program pengelolaan DAS.
  • Mekanisme proses pengelolaan DAS harus jelas dan melibatkan semua stakeholder (termasuk masyarakat) dalam semua tahap (perencanaan, implementasi dan monev).
  • Perlu sosialisasi program secara dini dan jelas kepada seluruh stakeholder, terutama masyarakat di daerah yang akan ikut berperan dalam implementasi program.
  • Pemahaman dan komitmen bersama terhadap pengelolaan DAS yang bersifat lintas sektor dan lintas wilayah perlu ditingkatkan agar ada keterpaduan kerjasama antara daerah hulu dan hilir.

IV. KESIMPULAN

A. Kesimpulan :

  1. Lembaga Pengelolaan DAS tingkat Lokal di tiap Kabupaten di wilayah DAS Saddang dan Bilawalanae belum terbentuk namun sudah melekat di tugas pokok dan fungsi pada Dinas Kehutanan Kabupaten /Dinas PKT.
  2. Lembaga Pengelolaan DAS tingkat Regional di wilayah DAS Saddang dan Bilawalanae belum terbentuk.
  3. Kondisi SDM di Dinas Kehutanan Kabupaten /Dinas PKT, memadahi dari segi kuantitas, namun perlu peningkatan kualitas melalui pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi serta pelatihan-pelatihan di bidang teknis.
  4. Koordinasi lintas sektoral lingkup kabupaten selama ini masih lemah karena adanya egosektoral. Koordinasi lintas wilayah juga belum terlaksana dengan baik karena benturan kepentingan antar wilayah / kabupaten.
  5. Perundangan yang ada hanya mengatur kegiatan yang bersifat teknis, belum mengatur pengelolaan DAS di tingkat Lokal maupun regional.
  6. Peran dan kinerja lembaga pengelola DAS yang telah ada dirasakan masih kurang maksimal. Untuk itu diperlukan lembaga pengelola DAS yang baru, yang lebih concern dan lebih fokus terhadap upaya pengelolaan DAS diwilayah nya.

B. Rekomendasi.

  1. Lembaga Pengelolaan DAS tingkat Regional, diartikan bahwa dalam satu DAS terdapat paling sedikit dua kabupaten (lintas kabupaten). Lembaga Pengelolaan DAS merupakan :
    • Suatu Organisasi Pengelolaan DAS tingkat propinsi yang berkedudukan di salah satu kabupaten (hasil kompromi). Lembaga/Instansi ini harus dapat menampung dan menyelesaikan segala masalah DAS lintas kabupaten yang menjadi tugas dan tanggungjawabnya. Dibentuk dan dibiayai oleh propinsi/pusat, bentuk lembaganya berupa Lembaga Otorita.
    • SDM belum tersedia sesuai dengan harapan agar lembaga/instansi tersebut dapat bertugas dengan optimal. Hal ini menyangkut SDM yang ada dan dana yang terbatas di tingkat kabupaten.
    • Perundang-undangan yang mendukung terbentuknya suatu lembaga/ dinas di tingkat propinsi, sudah optimal. Sehingga perlu peraturan tersendiri atau payung hukum oleh Gubernur.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB. Bogor.

Asdak, C. 2003. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada Univeristy Press. Yogyakarta.

Bryson, JM. 2003. What To Do When Stakeholders Matter: A Guide to Stakeholder Identification and Analysis Techniques. A paper presented at the London School of Economics and Political Science. London.

BPPTPDAS IBT. 2003. Pemantapan Kelembagaan Pengelolan DAS Dalam Konteks Desentralisasi. Laporan Hasil Penelitian, tidak dipublikasi. Makassar.

Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. 1999, Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta.

Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. 1999, Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pmerintah Pusat dan Daerah. Jakarta.

Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. 2000, Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Jakarta

Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1999, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta.

Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. 2000. Peraturan Pemerintah RI No. 25 tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Jakarta.

Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2001. Keputusan Menteri Kehutanan No: 52/Kpts-II/2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Donie,S., Sukresno dan Paimin. 2003. Perencanaan Pengelolaan DAS dalam Otonomi Daerah. Makalah Prosiding Lokakarya Perencanaan Pengelolaan DAS. 2 Desember 2003. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS Indonesia Bagian Barat. Surakarta.

Rangkuti,F.,2001.Analysis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis Untuk Menghadapi Abad 21. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Setiawan B Bobi,Phd.(2004).Lingkungan dan Banjir Jakarta. Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM. KOMPAS Senin 28 Juni 2004. Gramedia Group, Jakarta.

Wardojo, Wahyudi, dkk., 2000, Laporan Gugus Tugas Kelembagaan Dalam Rangka Desentralisasi.

Wastra,S.S.,(2003). Perencanaan Pengelolaan DAS di Tingkat Kabupaten. Lokakarya sehari, 2 Desember 2003. BPPTPDAS IBB.Solo.Jawa Tengah.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.