Kelembagaan DAS

Saptana, dkk.

TRANSFORMASI KELEMBAGAAN TRADISIONAL UNTUK MENUNJANG EKONOMI KERAKYATAN DI PEDESAAN: Studi Kasus di Propinsi Bali dan Bengkulu

Anggota Tim Penelitian: Saptana,  Tri Pranadji, Syahyuti, Roosgandha E.M.

Penyunting: Syahyuti

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, DEPTAN, Bogor. 2003

Bab I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Sektor pertanian sesungguhnya dapat menjadi salah satu strategi untuk recovery sekaligus memberikan landasaan bagi perkembangan sektor riil dari krisis ekonomi yang dialami Indonesia semenjak tahun 1997. Hal ini dibuktikan oleh daya hidupnya yang tinggi, ketika sektor-sektor lain ambruk. Salah satu ciri khas usaha pada sektor pertanian adalah melibatkan begitu banyak orang dengan pemilikan sumber daya dan keterampilan yang rendah, serta social network yang kurang mendukung, khususnya untuk memasuki ekonomi modern saat ini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk pengembangan network tersebut adalah melalui strategi pendekatan kelembagaan, yang selama ini tampaknya belum mendapat penanganan yang memadai.

Secara umum, kinerja ekonomi pedesaan yang didominasi usaha pertanian cenderung lemah yang, salah satunya, diindikasikan oleh rendahnya kapasitas kelembagaannya. Hal ini disebabkan antara lain oleh pelaksanaan program pembangunan pertanian yang tidak berbasiskan kelembagaan lokal yang telah ada, sehingga kondisinya semkain memudar. Introduksi kelembagaan dari luar yang terasa asing bagi masyarakat berimplikasi kepada lemahnya partisipasi masyarakat dalam kelembagaan tersebut. Akibatnya, partisipasi masyarakat secara keseluruhan lemah dalam aktfitas pembangunan.

Kelembagaan ekonomi di pedesaan yang dibentuk dari nilai-nilai tradisional memiliki akses yang kecil terhadap kelembagaan modern, sehingga interaksi antar kelembagaanrendah. Karena itulah, tranformasi kelembagaan tradisional menjadi suatu yang esensial, demi tercapainya sinergi otpimum dalam aktivitas jaringan ekonomi di tingkat lokal. Usaha tranformasi pertanian tradisional ke arah pertanian modern, yang merupakan perubahan perilaku, tidak hanya melalui perubahan struktur tapi juga menyangkut perubahan berbagai aspek abstrak yang membentuk perilaku tersebut, yaitu berupa perubahan sistem nilai, norma, orientasi, tujuan, dan lain-lain.

Disisi lain, kebijakan otonomisasi daerah yang dimulai tahun 2001 saat ini baru sampai pada bagaimana struktur dan tata hubungan pemerintahan tingkat II dengan struktur di atasnya. Lebih jauh dari itu, yaitu bagaimana tata hubungannya ke bawah — dari sisi sosial, ekonomi, dan politik — tampaknya masih kurang. Tataran ini menjadi penting dirumuskan, khususnya dalam konteks pengembangan ekonomi kerakyatan yang tentunya akan sangat spesifik lokal. Bagaimana masyarakat lokal ikut terlibat dalam memaknai (mengisi) otonomi daerah tersebut, khususnya untuk kepentingan ekonominya sendiri, masih merupakan bidang yang perlu ditemukan model pengembangannya.

Upaya penguatan jaringan ekonomi kerakyatan di pedesaan perlu dipandang sebagai suatu keharusan, dimana penguatannya merupakan salah satu titik perhatian dari studi kelembagaan. Membangun kelembagaan untuk memperkuat jaringan ekonomi kerakyatan di pedesaan yang berbasis sumberdaya pertanian setempat, adalah juga berarti mengembangkan budaya non-material untuk meningkatkan dayasaing modal sosial (social capital) di pedesaan. Dari kacamata ekonomi, penguatan kelembagaan pedesaan harus mempunyai makna peningkatan dayasaing ekonomi pertanian di pedesaan.

1.2. Perumusan Masalah

Strategi pembangunan ekonomi nasional yang sentralistis, bias mengejar pertumbuhan, bias kawasan atau wilayah, kurang memperhatikan aspek keadilan dan keberlanjutan. Hal ini sering disebut sebagai pola pembangunan konvensional, yang ternyata telah menghasilkan kinerja ekonomi yang rapuh (Salim, 1991). Berbagai dampak negatif lanjutannya antara lain adalah terjadinya kontraksi perekonomian nasional, degradasi sumberdaya alam (lahan dan air), terbatasnya kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, mempertajam kesenjangan antar golongan masyarakat, serta memudarnya kelembagaan tradisional. Pada akhirnya ini berimplikasi kepada lemahnya struktur sosial ekonomi masyarakat pertanian di pedesaan. Pengembangan agribisnis sebagai strategi utama pembangunan pertanian di Deptan merupakan usaha untuk mendorong petani meninggalkan konsep pertanian primitif subsistensi dengan produktivitas rendah dan pertanian diversifikasi yang terbatas; menuju pertanian “modern” yang produksinya tinggi, terspesialisasi (komoditas komersial), yang hampir  secara keseluruhan untuk memenuhi pasar komersial 1.

Usaha mentransformasikan pertanian tradisional ke arah pertanian modern tersebut tidak hanya melalui perubahan struktur ekonomi pertanian belaka, namun juga menyangkut perubahan struktur dan perilaku sosial masyarakat pedesaan (= kelemba-gaan). Tanpa itu pengembangan pertanian hanya akan menimbulkan kesenjangan yang makin lebar di antara golongan masyarakat. Dalam konteks inilah, maka kajian transformasi kelembagaan tradisional untuk memperkuat jaringan ekonomi kerakyatan di pedesaan dapat dipandang sebagai hal yang urgen.

1.3. Justifikasi Penelitian

Uraian di atas memperlihatkan bahwa dalam pembicaraan yang berkaitan dengan pembangunan pertanian di pedesaan, analisis yang terkait  dengan aspek kelembagaan merupakan salah satu faktor penting. Hal ini karena secara soiologis, kelembagaan ibarat organ-organ dalam tubuh manusia yang menjalankan masyarakat tersebut. Setiap fungsi dalam masyarakat pasti dijalankan oleh sebuah (atau lebih) kelembagaan. Untuk kebutuhan hidup, dalam hal berproduksi dan distribusi, dijalankan oleh kelembagaan ekonomi. Setiap orang yang terlibat di dalamnya diikat oleh suatu pola nilai dan norma sebagai pedoman bersikap dan berperilaku, yang dimantapkan kemudian dengan adanya struktur yang baku. Struktur merupakan visualisasi dari siapa orang yang terlibat dan posisionalnya.

Perubahan lingkungan eksternal menuntut perubahan cara beroperasi kelembagaan-kelembagaan, termasuk di tingkat lokal. Karena itu, seluruh 1 Hal ini didasarkan konsep Todaro (1983), yang menggambarkan suatu garis evolusi pertanian dari pertanian primitif ke pertanian diversifikasi, dan akhirnya menuju pertanian modern.

kelembagaan yang ada, baik kelembagaan lokal-tradisional yang hidup dan telah diterima oleh komunitas (voluntary sector), kelembagaan pasar (private sector) yang dijiwai ideologi ekonomi terbuka, dan kelembagaan sistem politik atau sistem pengambilan keputusan di tingkat publik (public sector); perlu mentransformasikan diri sehingga kemudian menjadi sesuai dengan kebutuhan yang selalu berkembang. Inilah yang dimaksud dengan trasformasi kelembagaan.

Trasformasi tersebut tidak hanya harus dilakukan secara internal, namun juga tata hubungan dari keseluruhan kelembagaan tersebut. Karena itulah, penelitian ini perlu dilakukan untuk memberikan sumbangan dalam merumuskan strategi pembangunan pertanian di pedesaan dalam kerangka otonomi daerah dan dalam menghadapi globalisasi ekonomi. Selanjutnya, upaya memperkuat jaringan ekonomi rakyat dipedesaan baik dari aspek struktur atau konfigurasinya (jaringan yang efisien), keanggotaan (tingkat partisipasi), dan peranan atau fungsi (pembagian kerja secara organik), akan membawa dampak pada peningkatan produksi, nilai tambah, dan pendapatan petani secara signifikan.

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini mencoba mentransformasikan kelembagaan tradisional (pertanian tradisional) untuk memperkuat jaringan ekonomi kerakyatan di pedesaan sehingga dapat terwujud pertanian modern, yang tidak hanya menyangkut perubahan struktur ekonomi pertanian, tetapi menyangkut perubahan struktur sosial, perilaku sosial, dan tata hubungan baik secara internal maupun antar kelembagaan yang eksis dalam masyarakat pedesaan. Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan pemecahan masalah pertanian di pedesaan secara lebih mendasar.

1.4. Tujuan dan Keluaran Penelitian

Tujuan penelitian:

  1. Mempelajari karakteristik dan kinerja kelembagaan tradisional, khususnya kelembagaan yang terkait dengan aktifitas ekonomi di pedesaan.
  2. Mempelajari berbagai program yang berkaitan dengan pengembangan ekonomi kerakyatan di pedesaan, khsususnya dari sisi pengembangan kelembagaannya.
  3. Mempelajari struktur dan pola interaksi antar tiga pilar masyarakat yang terdiri dari kelembagaan sosial, ekonomi, dan politik; yang mendukung ekonomi kerakyatan di pedesaan.
  4. Mendapatkan simpul-simpul kritis transformasi kelembagaan tradisional guna memperkuat ekonomi kerakyatan di pedesaan dalam konteks globalisasi ekonomi dan otonomi daerah.
  5. Membuat model transformasi untuk kelembagaan ekonomi pedesaaan yang bercorak tradisional untuk menghadapi globalisasi ekonomi dan otonomi daerah.

Keluaran penelitian:

  1. Memberikan informasi tentang bangun struktur sistem sosial masyarakat pertanian di pedesaan, baik di tingkat kelembagaan komunitas (voluntary sector), kelembagaan pasar atau ekonomi (private sector), maupun kelembagaan politik dan administrasi lokal (public sector).
  2. Memberikan rekomendasi untuk memperkuat kelembagaan tradisional melalui penguatan jaringan ekonomi kerakyatan di pedesaan, sehingga perekonomian rakyat di pedesaan dapat diintegrasikan ke dalam ekonomi pasar terbuka.
  3. Dapat dirumuskannya model transformasi kelembagaan tradisional guna memperkuat sistem jaringan ekonomi kerakyatan yang dapat menumbuhkembangkan perekonomian daerah dan pedesaan secara berkelanjutan.

Hasil penelitian ini akan berguna apabila ada political commitment pemerintah dan pihak legislatif baik di pusat maupun di daerah, serta adanya kesadaran masyarakat tentang pentingnya transformasi kelembagaan tradisional untuk memperkuat jaringan ekonomi kerakyatan di pedesaan.
*****

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.