Kelembagaan DAS

Syahyuti (1)

PETUNJUK TEKNIS ASPEK KELEMBAGAAN

Oleh: Syahyuti

(masukan untuk Badan Planologi Kehutanan, DEPHUT, untuk Studi Pemetaan Sosial Budaya Masyarakat Pinggiran Hutan di Indonesia)

I. Konsep Operasional Kelembagaan

1.1. Makna kelembagaan

“Kelembagaan” merupakan satu konsep yang tergolong membingungkan, dan dapat dikatakan belum memperoleh pengertian yang mantap dalam ilmu sosiologi. Dalam banyak literatur teoritis, baik berbahasa Inggris maupun Indonesia, istilah “kelembagaan” (social institution) selalu disilangkan dengan “organisasi” (social organization). Kedua kata ini sering sekali menimbulkan perdebatan di antara para ahli. “What contstitutes an ‘institution’ is a subject of continuing debate among social scientist….. The term institution and organixation are commonly used interchangeably and this contributes to ambiguityand confusion” 1. “…belum terdapat istilah yang mendapat pengakuan umum dalam kalangan para sarjana sosiologi untuk menterjemahkan istilah Inggris ‘social institution’……. Ada yang menterjemahkannya dengan istilah ‘pranata’ ….. ada pula yang ‘bangunan sosial’” 2.

Meskipun belum sepakat, namun dapat diyakini bahwa kelembagaan adalah social form ibarat organ-organ dalam tubuh manusia yang hidup dalam masyarakat. Kata “kelembagaan” 3 menunjuk kepada sesuatu yang bersifat mantap (established) yang hidup (constitued) di dalam masyarakat. Suatu kelembagaan adalah suatu pemantapan perilaku (ways) yang hidup pada suatu kelompok orang. Ia merupakan sesuatu yang stabil, mantap, dan berpola; berfungsi untuk tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat; ditemukan dalam sistem sosial tradisional dan modern, atau bisa berbentuk tradisional dan modern; dan berfungsi untuk mengefisienkan kehidupan sosial.

——–

1 Norman Uphhof. 1986. hal. 8. Uphoff, Norman. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Cases. Kumarian Press.

2 Soemardjan dan Soemardi, 1964. hal. 61. Soemardjan, Selo dan S. Soemardi. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi (Kumpulan Tulisan). Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

3 Dalam bahasa Indonesia, Koentjaraningrat (1997. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta), mengusulkan istilah pranata sebagai padanan kata “institution”, dan pranata sosial untuk “social institution”.

———

Tiap kelembagaan memiliki tujuan tertentu, dan orang-orang yang terlibat di dalamnya memiliki pola perilaku tertentu serta nilai-nilai dan norma yang sudah disepakati yang sifatnya khas. Kelembagaan adalah kelompokkelompok sosial yang menjalankan masyarakat. Tiap kelembagaan dibangun untuk satu fungsi tertentu. Karena itu kita mengenal kelembagaan pendidikan, kelembagaan-kelembagaan di bidang ekonomi, agama, dan lain-lain. Jadi, dunia berisi kelembagaan-kelembagaan. Semua manusia pasti masuk dalam kelembagaan. Tidak satu, tapi sekaligus dalam banyak kelembagaan, mulai dari di rumah, di sekolah, di tempat kerja, di tempat ibadah, dan lain-lain. Di

kalangan agen-agen pembangunan pedesaan dan pertanian, kelembagaan umumnya dipersempit terutama hanya menjadi kelembagaan kelompok tani, koperasi, subak, kelompok petani peserta program, dan kelompok pengrajin. Sebagian besar literatur hanya membanding-banding apa beda “kelembagaan” dengan “organisasi”. Setidaknya ada empat bentuk cara membedakan yang terlihat. Pertama, kelembagaan cenderung tradisional, sedangkan organisasi cenderung modern 4. Pembedaan atas tradisional dan modern ini sejalan dengan pembedaan yang diajukan oleh Horton dan Hunt: “… institution do not have members, they have followers” 5.

Kedua, kelembagaan dari masyarakat itu sendiri dan organisasi datang dari atas. Cara pembedaan ini relatif mirip dengan pembedaan di atas, namun ini tidak dalam konteks tradisional-modern, namun bawah-atas. Pendapat ini digunakan misalnya oleh Tjondronegoro: ”… lembaga semakin mencirikan lapisan bawah dan lemah, dan organisasi mencirikan lapisan tengah dengan orientasi ke atas dan kota” 6.

Ketiga, kelembagaan dan organisasi berada dalam satu kontinuum, dimana organisasi adalah kelembagaan yang belum melembaga. Menurut Norman Uphoff, tujuan akhir adalah organisasi yang melembaga, atau kelembagaan yang memiliki aspek organisasi. Jadi, mereka hanya berbeda dalam tingkat penerimaan di masyarakat saja. Organisasi dipandangnya hanyalah sebagai sesuatu yang akan dilembagakan 7. Pendapat ini sedikit banyak juga berasal dari dari Huntington yang menyatakan: “Organization and procedures vary in their degree of institutionalization……Institutionalization is the process by which organizations and procedures acquire value and stability” 8. Keempat, organisasi merupakan bagian dari kelembagaan 9. Dalam konteks ini, organisasi merupakan organ dalam suatu kelembagaan. Keberadaan organisasi menjadi elemen teknis penting yang menjamin beroperasinya kelembagaan.

Jika ditelusuri perkembangan dalam khasanah ilmu sosiologi, pada awalnya istilah ‘institution’ dan ‘organization’ cenderung tidak dibedakan dan bahkan adakalanya digunakan secara bolak balik 10. Lalu, semenjak tahun 1950-an, mulai tampak pembedaan yang semakin tegas, bahwa “kelembagaan” dan “keorganisasian” berbeda. Artinya, terjadi perubahan dari pengertian yang “luas dan baur” menjadi “sempit dan tegas”.

——–

4 “Some institutional manifestations are indigenous or diffuse and thus are difficult to adress in terms of technical or financial assistance, so we are focusing on organizational structure or channels which have been, or could be, more readily institutionalized” (Uphhof, 1986. Hal. 8)

5 Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt. 1984. Sociology. Sixth Edition. McGraww-Hill Book Company; Sidney, Tokyo, dan lain-lain. Hal. 211.

6 Tjondronegoro, SMP. 1999. Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa. Dalam: Keping-Keping Sosiologi dari Pedesaan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Hal. 22.

7 Uphoff, 1986. hal. 8.

8 Huntington, Samuel P. 1965. Political Development and Politic Decay. World Politics 17 (3). Hal. 378

9 Dari kacamata ekonomi, Binswanger dan Ruttan mengemukakan pandangan, bahwa: “An institution is usually defined as the set of behavioral rules that govern a particular pattern of section and relationship. An organization is generally seen as a decision making unit – a family, a firm, a bureau – that exercise control of resources….. the concept of institution will include that of organization” (Binswanger, Hans P. dan VW. Ruttan. 1978. Induced Innovation: Technology, Institutions and Development. The Johns Hopkins University Press, Baltimore and London. Hal. 329).

10 Sumner pada tahun 1906 misalnya, masih memasukkan unsur “struktur” di bawah entry kelembagaan. Ini karena kelembagaan merupakan bagian yang ia nilai jauh lebih penting dari suatu kelompok sosial, karena menjadi nyawa kehidupan sosial. Sebaliknya, Durkheim (tahun 1897) dan Cooley (tahun 1909) memasukkan unsur-unsur nilai, norma, dan kepercayaan ketika mengkaji organisasi sosial. Pembedaan yang mulai tegas terlihat misalnya pada Mac Iver dan Page setelah setengah abad kemudian, yaitu pada bukunya yang terbit tahun 1949, serta L. Broom dan P. Selznik tahun 1950. (Dalam: Mitchell, G. Duncan. ed. 1968. A Dictionary of Sociology. Routledge and Kegan Paul, London).

———

Secara sederhana, sesuatu sosial relation dapat disebut sebagai sebuah kelembagaan apabila memiliki empat komponen, yaitu adanya:

  1. Komponen person. Orang-orang yang terlibat di dalam satu kelembagaan dapat diidentifikasi dengan jelas.
  2. Komponen kepentingan. Orang-orang tersebut sedang diikat oleh satu kepentingan atau tujuan, sehingga di antara mereka terpaksa harus saling berinteraksi. Misalnya, sesama anggota kelompok tani diikat oleh kepentingan yang sama secara horizontal, namun antara seorang petani dengan pedagang gabah diikat oleh kepentingan vertikal. Keduanya sama-sama ”dipaksa” untuk berinteraksi.
  3. Komponen aturan dan aturan. Setiap kelembagaan mengembangkan seperangkat kesepakatan yang dipegang secara bersama, sehingga seseorang dapat menduga apa perilaku orang lain dalam lembaga tersebut.
  4. Komponen struktur. Setiap orang memiliki posisi dan peran, yang harus dijalankannya secara benar. Orang tidak bisa merubah-rubah posisinya dengan kemauan sendiri.

1.2. Kelembagaan Berisi Dua Aspek, yaitu: ‘Aspek Kultural’ dan ‘Aspek Struktural’

Kebanyakan tulisan hanya membandingkan dan membedakan mana yang disebut dengan organisasi dan mana yang kelembagaan. Penulis belum menemukan tulisan yang mengupas bagian dalam dari kedua bentuk tersebut. Menghadapi itu, penulis mengajukan satu konsep yang mudah dan lebih operasional. Adalah tidak produktif jika hanya sekedar membedakan bahwa subak adalah kelembagaan, kelompok tani adalah organisasi.

Secara keilmuan, seluruh apa yang dikenal dengan organisasi formal dan nonformal, lembaga formal dan nonformal, institusi, asosiasi, maupun kelembagaan; penulis sebut saja dengan “kelembagaan”. Jalan ini ditempuh, karena seluruhnya mengandung aspek yang sama. Dua aspek yang dimaksud yakni ”aspek kultural” dan ”aspek struktural”. Dalam buku terdahulu, penulis sebut dengan “aspek kelembagaan” dan “aspek keorganisasian” 11. Aspek kultural terdiri dari hal-hal yang lebih abstrak yang menentukan “jiwa” suatu kelembagaan yaitu nilai, norma, dan aturan, kepercayaan, moral, ide, gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi, dan lain-lain 12.

———

11 Secara panjang lebar hal ini telah penulis bahas secara tersendiri dalam buku: Syahyuti. 2003. “Bedah Konsep Kelembagaan: Strategi Pengembangan dan Penerapannya dalam Penelitian Pertanian”. Dicetak oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

12 Misalnya Norman Uphoff (1992. Local Institutions and Participation for Sustainable Development. Gatekeeper Series SA31. IIED, London) dan A. Fowler (1992. Prioritizing Institutional Development: A New Role for NGO. Centres for Study and Development. Sustainable Agriculture Programme Gatekeeper Series SA35. IIED, London) terbaca bahwa kelembagaan adalah “a complex of norms and behaviours that persist overtime by serving some socially valued purpose”. Juga Soejono Soekanto (1999. Sosiologi: Suatu Pengantar. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Cet ke 28 ), yang menyatakan bahwa kelembagaan adalah sebagai jelmaan dari kesatuan norma-norma yang dijalankan.

——–

Sementara, aspek struktural lebih statis, yang berisi struktur, peran, hubungan antar peran, integrasi antar bagian, struktur umum, perbandingan struktur tekstual dengan struktur riel, struktur kewenangan, hubungan kegiatan dengan tujuan, aspek solidaritas, keanggotaan, klik, profil, pola kekuasaan, dan lain-lain.

Kedua aspek ini secara bersama-sama membentuk dan menentukan perilaku seluruh orang dalam kelembagaan tersebut. Keduanya, merupakan komponen pokok yang selalu exist dalam setiap kelompok sosial, selemah atau sekuat apapun ia. Keduanya ibarat dua sisi mata uang dalam sebuah kelembagaan.

Jika dianalogkan dengan sebuah gedung. Maka aspek kultural adalah berbagai bentuk aktivitas manusia yang bekerja di dalamnya, yang aliran manusia di dalamnya dikendalikan dan dibatasi oleh dinding, tangga, dan pintu. Bangunan itu sendiri, berupa dinding, tangga, dan pintu-pintunya itulah yang dimaksudkan dengan aspek strukturalnya.

Dan, jika dianalogkan kepada sistem komputer, maka aspek kultural adalah software-nya, dan aspek struktural adalah hardware-nya. Hardware memberi kesempatan software apa yang dapat dioperasikannya, namun sekaligus juga membatasi. Demikian pula dalam kelembagaan. Aspek struktur organisasi misalnya merupakan wadah sehingga seluruh orientasi dan gagasan dapat dijalankan, namun bersamaan dengan itu ia pun membatasi apa yang dapat diwadahinya.

Pembedaan atas aspek kultural dan aspek struktural akan sangat membantu untuk memahami untuk mendiagnosa apa “penyakit” yang sedang dihadapi sebuah kelembagaan. Sehingga kita tahu apa yang harus diperbaiki. Berdasarkan pembedaan itu pula, kita dapat mempelajari bagaimana sebuah kelembagaan terbentuk.

Apa yang selama ini dikenal sebagai “kelembagaan tradisional” adalah kelembagaan yang terbentuk secara alamiah, dimana aspek-aspek kultural lebih dulu terbentuk dibandingkan aspek-aspek strukturalnya. Lawannya adalah “kelembagaan introduksi” yang dibentuk melalui rekayasa sosial, dengan mendahulukan pembentukan struktur dan pengurusnya saja (aspek struktural). Pada kondisi ini, yang ada baru rangkanya saja, isinya belum. Ibarat kantor, yang ada baru gedungnya, namun orang-orangnya belum.

Di kalangan ahli ilmu ekonomi berkembang apa yang disebut dengan “ekonomi kelembagaan”. Menurut Douglass C. North 13, kelembagaan ekonomi dibentuk oleh aturan-aturan formal (formal constraints) berupa rules, laws, dan constitutions; dan aturan informal (informal constraints) berupa norma, kesepakatan, dan lain-lain. Seluruhnya merupakan penentu bagaimana terbentuknya struktur masyarakat dan kinerja ekonominya yang spesifik. Tidak berbeda dengan North, menurut Lionel Robin 14, institutions adalah “the rules of the game in economic, political and social interactions”. Ia merupakan wadah atau lingkungan dimana organisasi-organisasi hidup. (“Institutions determine social organization”).

——-
13 Douglass C. North. “Prize Lecture: Lecture to the memory of Alfred Nobel, December 9, 1993. (http://nobelprize.org/economics/laureates/1993/north-lecture.html., 27 April 2005).

14 Lionel Robbins. “Understanding Institutions: Institutional Persistence and Institutional Change”. (http://www.lse.ac.uk/collections/LSEPublicLecturesAndEvents/events/2004/ 20031222t0946z001.htm., 27 April 2005).

——-
Di kalangan ilmu ekonomi, “ekonomi kelembagaan” menurut Prof. Mubyarto adalah ilmu yang memperhatikan perbedaan-perbedaan budaya di masyarakat yang dipelajarinya. Sementara menurut Douglass C. North, kelembagaan ekonomi dibentuk oleh formal constraints berupa rules, laws, dan constitutions; dan informal constraints berupa norma, kesepakatan, dan lainlain; sedangkan institution adalah “the rules of the game”. Hal ini sejalan dengan Lionel Robin, yang menyatakan bahwa institutions adalah “the rules of the game in economic, political and social interactions. Jadi, kelembagaan merupakan wadah tempat organisasi-organisasi hidup.

Menurut Syahyuti (2003), kelembagaan/organisasi terdiri atas dua aspek, yakni: “aspek kelembagaan” (=“aspek kultural”) dan “aspek keorganisasian” (=”aspek struktural”). Aspek kultural merupakan aspek yang dinamis yang berisikan hal-hal yang abstrak, dan merupakan “jiwa” kelembagaan; yang berupa nilai, aturan, norma, kepercayaan, moral, ide, gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi, dan lain-lain. Sementara aspek struktural merupakan aspek yang statis namun lebih visual yaitu berupa struktur, peran, keanggotaan, hubungan antar peran, integrasi antar bagian, struktur kewenangan, hubungan kegiatan dengan tujuan, aspek solidaritas, klik, profil, pola kekuasaan, dan lain-lain. Gabungan antara keduanya akan membentuk “perilaku kelembagaan” atau “kinerja kelembagaan”.

II. Analisis Kelembagaan

Analisis kelembagaan pada prinsipnya adalah menggunakan aspekaspek kultural dan struktural dalam memahami sebuah kelembagaan, karena setiap kelembagaan memuat kedua aspek tersebut sekaligus. Penelitian kelembagaan pada sebuah desa misalnya, berarti mempelajari seluruh kelembagaan yang eksis di desa tersebut. Berbagai kelembagaan yang ada di pedesaan di antaranya adalah: kelompok tani, koperasi, kelembagaan permodalan, kelompok arisan warga, kelompok simpan pinjam, kelompok pengguna air irigasi (P3A), pemerintahan desa, kelembagaan pengolah hasil, kelembagaan perdagangan pupuk, kelembagaan perdagangan hasil-hasil pertanian, dan lain-lain.

Analisis kelembagaan pada sebuah di desa dilakukan pada tiga level, yaitu:

  1. Level superstruktur, yaitu mempelajari berbagai aturan dan kebijakan yang diciptakan pemerintah serta kondisi sosial, ekonomi, politik dan lingkungan alam yang memiliki pengaruh kepada bagaimana berjalannya sebuah kelembagaan/organisasi.
  2. Level desa, yaitu mempelajari karakteristik sosial ekonomi masyarakat dimana kelembagaan tersebut hidup. Hal ini dipelajari melalui kuesioner “Community Profile” (lihat contoh kuesioner pada lampiran).
  3. Level internal kelembagaan, yaitu mempelajari secara mendalam kondisi dan keberadaan kelembagaan yang ada di desa satu per satu. Hal ini dipelajari melalui kuesioner “Organizational Profile”, dimana satu kuesioner untuk tiap kelembagaan (lihat contoh kuesioner pada lampiran).
Re-exposure of 01

Re-exposure of 02

Re-exposure of 03

Re-exposure of 04

Re-exposure of 05

06

Re-exposure of 07

Re-exposure of 08

6 Comments »

  1. trim’s

    Comment by Indra — June 8, 2010 @ 2:16 am

  2. Terima kasih banyak

    Comment by Eno Suwarno — October 15, 2010 @ 12:48 am

  3. Terima kasih… infonya mantap… saya jadikan referensi Pak.

    Comment by Urip Rahmani — October 19, 2011 @ 5:42 pm

  4. terima kasih atas infonya.. tapi mengenai buku milik bapak yang berjudul “Bedah Konsep Kelembagaan”. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. 2003. apa diperjualbelikan pak… ?? terima kasih

    Comment by mehdi — January 4, 2012 @ 9:46 am

  5. terima kasih mas
    sangat bermanfaat….
    Jazzakumullah…

    Comment by abdul haris jauhari — November 18, 2012 @ 12:10 pm

  6. ALHAMDULILAH,,,dapat bahan buat laporan pelatihan, terima kasih pak. Membuka inspirasi (Nia – BPTP Jabar)

    Comment by nia rachmawati — October 23, 2014 @ 4:45 am


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.