Kelembagaan DAS

Sulistya Ekawati

KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS LOKAL (SEBAGAI WACANA DALAM PENGELOLAAN SUB DAS CICATIH)

Oleh: Sulistya Ekawati

Abstrak

Sub DAS Cicatih merupakan DAS lokal yang mempunyai karaketristik sosial ekonomi yang unik, yaitu banyaknya industri yang memanfaat air yang berasal dari DAS tersebut. Dari segi finansial seharusnya pengelolaan Sub DAS Cicatih tidak ada masalah, tetapi kenyataan yang terjadi Sub DAS Cicatih belum mempunyai kelembagaan yang mapan. Masing-masing stakeholders mempunyai kepentingan yang berbeda dan belum terjalin koordinasi diantara mereka. Agar Sub DAS Cicatih terjaga kelestariannya diperlukan suatu kelembagaan, untuk mengatur perilaku seluruh stakeholders agar sejalan dengan tujuan sosial yang telah disepakati bersama, yaitu mengelola Sub DAS Cicatih secara lestari. Tujuan sosial perlu dirumuskan dan disepakati bersama karena merupakan motivator untuk membentuk suatu kelompok sosial. Kerjasama timbul apabila masing-masing pihak mempunyai tujuan yang sama dan pada saat yang sama mempunyai kesadaran untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Bentuk kelembagaan yang disarankan adalah adalah PPTPA (Panitia Pelaksana Tata pengaturan Air). Kedudukan PPTPA tersebut sebagai fasilitator diantara para pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS (operator/provider, regulator/owner, user). Hubungan PPTPA dengan stakeholders lain pada dasarnya bersifat konsultatif dan koordinatif. Penetapan kebijakan tetap dilakukan pihak regulator. Keanggotaan PPTPA juga harus terwakili oleh semua pihak. Tugas pokok dari PPTPA adalah menyusun kebijakan, rencana, koordinasi pelaksanaan dan memonitor serta mengevaluasi kegiatan pengelolaan DAS. Hasil kerja PPTPA diserahkan kepada pihak regulator (Presisen, Gubernur, Bupati/Walikota) sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan keputusan yang terkait dalam kegiatan pengelolaan DAS.

Kata kunci: kelembagaan, pengelolaan DAS, tujuan sosial, kerjasama

I. PENDAHULUAN

Sub DAS Cicatih merupakan salah satu dari beberapa Sub DAS yang ada di DAS Cimandiri. DAS Cimandiri menurut klasifikasi Ditjen RLPS (2000) merupakan DAS lokal, artinya DAS yang secara geografis terletak secara utuh berada di satu kabupaten/kota, dan/atau DAS yang secara potensial hanya dimanfaatkan oleh satu daerah kabupaten/kota. Sub DAS Cicatih termasuk ke dalam wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Sukabumi, meliputi 15 kecamatan, 107 desa, dengan total luas 53.017,319 Ha (SBRLKT Ciliwung, 1994).

Sub DAS ini mempunyai karakteristik sosial ekonomi yang unik jika dibandingkan dengan Sub DAS lain yang ada di Indonesia, yaitu maraknya industri air minum dalam kemasan yang menggunakan sumber mata air dari Sub DAS ini. Menurut (Kompas, 2004), sejak awal dekade 1990-an, bermunculan pabrik yang memproduksi air minum di Sukabumi. Pada tahun 2004, terdapat 18 perusahaan AMDK (Air Minum Dalam Kemasan) di kawasan utara Sukabumi, tepatnya di Kecamatan Cicurug, Cidahu, Parakansalak, dan Parungkuda (semua masuk dalam catchment area Sub DAS Cicatih). Sumberdaya air yang ada di Sub DAS Cicatih memberikan banyak manfaat.antara lain sebagai penggerak turbin untuk PLTA, irigasi pertanian, kebutuhan domestik dan industri. Selain sumberdaya air, pemanfaatan sumberdaya lahan di Sub DAS Cicatih juga beragam, seperti sawah, hutan, perkebunan dan sebagainya. Meskipun Sub DAS Cicatih memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup, tetapi jika aspek konservasi tidak diperhatikan akan menimbulkan konflik pemanfaatan di masa mendatang, oleh karena iti dipandang penting untuk melakukan kegiatan pengelolaan DAS terpadu.

Pengelolaan DAS terpadu mensyaratkan keterpaduan antar sektor, multi disiplin dan antar wilayah. Pengelolaan DAS merupakan suatu kegiatan yang kompleks yang melibatkan multi stakeholders (banyak pihak terkait), beragam kepemilikan dan multi interest (banyak kepentingan) sehingga penuh dengan permasalahan yang membutuhkan penyelesaian yang mengakomodir kepentingan banyak pihak. Beragamnya kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam DAS dan beragamnya kepemilikan lahan yang ada di DAS (private, common dan state property) memerlukan kelembagaan sebagai pedoman dan aturan main dalam pengelolaan DAS, agar Sub DAS Cicatih dapat lestari.

Peran kelembagaan untuk mewujudkan pengelolaan DAS terpadu adalah penting. Kelembagaan dalam tulisan ini merujuk pada definisi dari Ruttan dan Hayami (1984), yaitu sebagai aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan dimana setiap orang dapat bekerja sama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan. Kelembagaan ini berperan untuk mengarahkan perilaku seluruh stakeholders agar sejalan dengan tujuan umum (public goal) yang ditetapkan.

Tulisan ini mencoba untuk memberikan gambaran kondisi pengelolaan Sub DAS Cicatih yang ada saat ini dan memberikan wacana bentuk kelembagaan pengelolaan Sub DAS Cicatih ke depan. Diharapkan informasi ini menjadi bahan pertimbangan bagi para stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan Sub DAS Cicatih dalam menyusun kelembagaan DAS.

II. KONDISI PENGELOLAAN DAS SAAT INI

Sub DAS Cicatih dikelola dan dimanfaatkan oleh banyak pihak (multistakeholsers). Pihak-pihak tersebut adalah :

a. Lembaga pemerintah (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai/BPDAS, Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, Bapedalda, Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air/DPSDA, dan sebagainya)

b. BUMN/BUMD (Perusahaan Listrik Negara/PLN, Perusahaan Daerah Air Minum/PDAM, Perum Perhutani)

c. Lembaga Non Pemerintah, ada 2 yaitu dunia usaha/swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

d. Masyarakat

Masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang berbeda, bahkan kadang-kadang bertentangan, sehingga tidak mengherankan ada kecenderungan DAS dikelola secara terfragmentasi. Sebagai contoh Pemerintah Daerah Sukabumi berusaha menarik investor untuk menaikkan PAD-nya. Salah satu jalan yang ditempuh adalah dengan memberi ijin kepada beberapa perusahaan AMDK (Air Minum Dalam Kemasan).

Di sisi lain menurut Suara Pembaharuan (2003), sejak tiga tahun terakhir, ada sebagian masyarakat di daerah tersebut mengeluh kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Saat musim kemarau, sebagian sumur milik warga mengalami kekeringan. Diduga keberadaan industri AMDK, menjadi penyebab utama kekeringan di desa itu. Sementara itu, pihak industri AMDK mengatakan bahwa pengambilan air oleh perusahaannya sama sekali tidak berdampak pada sumur penduduk karena lapisan air (aquifer) yang dijadikan sumber bahan baku AMDK sangat berbeda dengan lapisan air yang menjadi sumber air sumur penduduk. Selain itu Industri Aspadin (Asosiasi Perusahaan AMDK Indonesia) juga merasa menyelesaikan semua kewajiban dan tangung-jawabnya seperti: membayar retribusi kepada pemerintah daerah dan pemberdayaan masyarakat sekitarnya.

Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Sukabumi mengungkapkan, seharusnya ada pembatasan penggunaan air baku maksimal 70 persen dari total kapasitas yang ada. Tetapi yang menjadi masalah adalah pihak dinas belum mengetahui berapa kapasitas air baku yang ada di daerah sentra industri AMDK itu.

Dilihat dari sudut pandang ekonomi dan pembangunan, keberadaan pabrik-pabrik AMDK di wilayah tersebut seharusnya bisa mengangkat taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Namun pada kenyataannya, hampir sebagian besar masyarakat yang tinggal di Kecamatan Cidahu, masih hidup di bawah garis kemiskinan. Kondisi tersebut diperparah lagi dengan belum tersedianya infrastruktur desa berupa jalan yang memadai (Sinar Harapan, 2003). Menanggapi kenyataan tersebut Kabupaten Sukabumi mengeluhkan merosotnya perolehan PAD dari industri AMDK karena sesuai Keppres sebagian pendapatannya harus disetor ke pemerintah provinsi. Ini membuat pemasukan pajak dari AMDK untuk Sukabumi sangat sedikit. Padahal, masyarakat setempat yang paling merasakan dampak lingkungan eksploitasi air (Kompas, 2004).

Dari uraian di atas nampak bahwa ada beberapa konflik kepentingan antara pemerintah, kalangan industri dan masyarakat. Fenomena di atas makin diperparah dengan kurang berjalannya mekanisme pengelolaan DAS terpadu. Mekanisme kerja lembaga pengelolaan DAS tidak terlepas dari fungsi-fungsi pengelolaan yaitu : perencanaan, pelaksanaan dan monitoring evaluasi.

A. Perencanaan

Perencanaan di tingkat kabupaten pada masing-masing dinas disusun secara intern dalam lingkup dinas/kantor yang bersangkutan berdasarkan tupoksinya. Sebagai contoh Dinas Pertanian menyusun perencanaan di bidang tanaman pangan dan perkebunan, Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air menyusun perencanaan di bidang pengelolaan sumberdaya air, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) menyusun perencanaan di bidang pengendalian dampak lingkungan dan sebagainya. Masing-masing dinas di kabupaten memiliki Rencana Strategis Menengah (5 tahun) dan Rencana Jangka Pendek (1 tahun). Rencana-rencana tersebut kemudian dikoordinir oleh Badan Perencanaan Daerah (Bappeda), selanjutnya dibahas dalam Rakorbang (Rapat Koordinasi Pembangunan).

Bappeda sebagai salah satu fasilitator dalam perencanaan pembangunan hanya bertindak sebagai kompilator dari rencana-rencana yang disusun oleh masing-masing institusi yang ada di kabupaten. Oleh karena itu diperlukan pencermatan ulang tupoksi Bappeda, sehingga bukan hanya sebagai fasilitator dan koordinator dari perencana pembangunan di daerah, tetapi juga harus sebagai pelaksana penyusun rencana induk (master plan) daerah.Untuk mengoptimalkan penyusunan rencana induk tersebut diperlukan koordinasi yang baik dari semua instansi terkait sehingga rencana induk yang disusun mendapat dukungan dari semua pihak.

Belum semua institusi yang ada di Kabupaten menyusun perencanaannya dalam satuan ekosistem (DAS, SWS, dan sebagainya). Kegiatan sektoral yang disusun berdasarkan hamparan, belum mengacu pada konsep pengelolaan DAS dengan Sub DAS sebagai satuan pengelolaan. Konsep rehabilitasi hutan dan lahan dengan penanganan Sub DAS prioritas kurang relevan di era otonomi daerah. Konsep pemerataan lebih dipilih dibandingkan penanganan Sub DAS prioritas. Kegiatan pengelolaan DAS dengan penanganan Sub DAS prioritas akan membuat suatu kegiatan terkonsentrasi pada daerah tertentu saja. Hal ini juga merupakan alasan mengapa kegiatan di daerah dilaksanakan berdasarkan hamparan. Disamping itu dengan konsep pemerataan, pemerintah daerah berharap agar kegiatan tersebut menjadi stimulan agar masing-masing daerah agar masing-masing daerah termotivasi untuk melakukan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan secara swadaya.

B. Pelaksanaan

0t1

Pelaksanaan kegiatan pengelolaan DAS ditingkat kabupaten masih bersifat sektoral. Koordinasi antar stakeholders belum berjalan dengan baik. Koordinasi antar stakeholder hanya terbatas pada saat pembahasan di rapat-rapat. Padahal dalam kegiatan pengelolaan DAS harus dilakukan secara terpadu (multi sektor) dan menyeluruh (hulu-hilir). Di beberapa kabupaten di DAS Oyo dan DAS Progo (Propinsi DIY dan Jawa Tengah), sudah dibentuk Tim Koordinasi/Konsultatif Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. Tujuan dibentuknya tim konsultatif/forum koordinasi adalah untuk menjalin komunikasi yang sederajat dan meningkatkan koordinasi agar lebih intensif, tetapi dalam implementasinya tim tersebut tidak berjalan. Sebenarnya ada beberapa institusi di kabupaten yang mengemban tugas dalam koordinasi kegiatan pembangunan seperti terlihat pada Tabel 1 sebagai berikut.

Fungsi koordinasi  tersebut sudah mulai berjalan, tetapi masih perlu ditingkatkan. Fungsi koordinasi tersebut seharusnya juga mengarah ke pengelolaan DAS terpadu, walaupun sampai saat ini masih harus dipertimbangkan siapa yang menjadi inisiator/motivator/fasilitatornya.

C. Monitoring dan Evaluasi

Monitoring kegiatan pada kabupaten dilaksanakan secara on site, belum bersifat off site, karena satuan pelaksanaan kegiatan pengelolaan DAS berdasarkan hamparan. Masing-masing sektor melakukan monitoring dan evaluasi berdasarkan sektor masing-masing. Kegiatan monev belum dilakukan secara holistik. Bapedalda memonev dampak lingkungan yang lebih mengarah ke kualitas air, demikian juga BPSDA memonev pengelolaan sumberdaya air. Belum ada suatu institusi yang memonev kegiatan pengelolaan DAS secara terpadu. BPDAS hanya mengadakan monitoring dengan memasang SPAS dan mengamati perubahan tata guna lahan pada mikro DAS kecil, sehingga belum mencerminkan karakteristik DAS secara keseluruhan.

III. BENTUK KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS YANG DIHARAPKAN

Untuk mengatur dan mengarahkan perilaku stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan DAS perlu suatu kelembagaan. Menurut Soekanto (1999), fungsi kelembagaan adalah :1) sebagai pedoman bagi masyarakat untuk bertingkah laku, 2) menjaga keutuhan masyarakat dan 3) sebagai sistem pengendalian sosial (social control), artinya sistem pengawasan dari masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya.

Ada beberapa alternatif bentuk kelembagaan dalam pengelolaan DAS, antara lain membentuk kelembagaan bersama (colaborative), membentuk lembaga baru atau memanfaatkan lembaga yang sudah ada. Bentuk kelembagaan bersama (dalam bentuk forum/badan koordinasi) merupakan salah satu alternatif yang paling memungkinkan dalam pembentukan kelembagaan pengelolaan DAS saat ini. Pernyataan tersebut didukung oleh beberapa kondisi yang mendukung, antara lain:

  1. Sesuai dengan perundangan-undangan yang ada (UU No 7 tahun 2004).
  2. Kegiatan pengelolaan DAS melibatkan banyak stakeholders, lintas sektoral, multidisiplin dan lintas wilayah, oleh karena itu kelembagaan yang disusun hendaknya kelembagaan yang bersifat independent dan mewakili banyak pihak.
  3. Permasalahan yang paling menonjol dalam pengelolaan DAS saat ini adalah koordinasi, oleh karena itu pengelolan DAS ke depan perlu suatu wadah untuk mengikat, menyatukan dan menselaraskan semua sektor dan wilayah agar dapat mewujudkan pengelolaan DAS yang berkelanjutan. Kedudukan kelembagaan bersama tersebut kaitannya dengan stakeholder lainnya dapat dilihat pada gambar berikut.

    0g1

    Gambar 1. Koordinasi Stakeholders dalam Pengelolaan Sub DAS Cicatih

Karena DAS Cimadiri merupakan DAS lokal (DAS dalam satu kabupaten), maka sesuai perundangan yang ada nama kelembagaan pengelolaan DAS adalah PPTPA (Panitia Pelaksana Tata Pengaturan Air). PPTPA yang telah terbentuk pada beberapa DAS memang belum menunjukkan hasil yang maksimal. Beberapa faktor yang menjadi hambatan adalah belum terumuskannya tujuan sosial (social goal), keanggotaan yang belum mewakili semua pihak dan belum disepakatinya aturan main yang jelas. Jika di sub DAS Cicatih belum terbentuk PPTPA maka bisa mulai dirintis, apabila PPTA sudah ada tetapi belum berfungsi sebagaimana yang diharapkan maka perlu diadakan pembenahan pada bentuk, keanggotaan, tugas pokok dan fungsi serta mekanisme kerja dari PPTA.

PPTA diharapkan merupakan wadah yang terstruktur dan independen dari perwakilan para pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS untuk saling berkomunikasi, berkonsultasi dan berkoordinasi dalam kegiatan pengelolaan DAS. Kedudukan PPTPA tersebut sebagai fasilitator diantara para pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS (operator/provider, regulator/owner, user). Hubungan PPTPA dengan stakeholders lain pada dasarnya bersifat konsultatif dan koordinatif. Penetapan kebijakan tetap dilakukan pihak regulator.

Keanggotaan PPTPA juga harus terwakili oleh pihak-pihak di atas. Tugas pokok dari PPTPA adalah menyusun kebijakan, rencana, koordinasi pelaksanaan dan memonitor serta mengevaluasi kegiatan pengelolaan DAS. Hasil kerja PPTPA diserahkan kepada pihak regulator (Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota) sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan keputusan yang terkait dalam kegiatan pengelolaan DAS. Fungsi PPTPA adalah :

  1. Menyusun rencana dan program pengelolaan DAS secara kolaboratif
  2. Mengkaji permasalahan-permasalahan yang timbul akibat kegiatan pengelolaan DAS, misalnya bencana alam dan sebagainya.
  3. Memberi saran/pertimbangan kepada regulator dalam kegiatan yang terkait dalam kegiatan pengelolaan DAS, misalnya pemberian ijin penambangan galian dalam DAS, pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya air, pengendalian bencana alam (longsor, banjir dan sebagainya).
  4. Memfasilitasi kegiatan koordinasi dalam bentuk rapat-rapat seluruh stakeholders
  5. Melakukan pengawasan dalam bentuk monitoring dan evaluasi kegiatan pengelolaan DAS oleh seluruh stakeholders apakah sesuai dengan rencana yang disusun secara kolaboratif atau tidak.

Tetapi sebelum beberapa pembenahan itu dilakukan sebaiknya diperoleh kesepakatan dari seluruh stakeholders untuk merumuskan tujuan bersama, karena pada esensinya kelembagaan dibentuk untuk mengatur dan mengarahkan perilaku seluruh stakeholder agar mengarah pada tujuan yang sama, yaitu mengelola Sub DAS Cicatih secara berkelanjutan. Kesepakatan itu penting untuk terbentuknya tujuan social (social goal) untuk memulai suatu kerjasama.

Lomis and Lomis (1991) mengartikan tujuan sosial (social goal) sebagai perubahan yang diharapkan oleh anggota-anggota sistem sosial tersebut yang ingin dicapai melalui interaksi dengan anggotanya. Gerungan (2000) menyatakan bahwa tujuan atau motif yang sama dan keinsyafan akan perlunya kerjasama untuk tujuan tersebut merupakan faktor penting terbentuknya kelompok sosial. Tetapi tidak hanya motif yang sama saja yang mengikat dan menyatukan sejumlah orang menjadi suatu kelompok sosial, sebab adanya motif yang sama harus disertai keinsyafan bahwa tujuan-tujuan tersebut harus dicapai dengan kerjasama antara orang-orang bermotif sama. Apabila tidak terdapat keinsyafan tersebut maka tujuan yang sama akan dikejar sendiri-sendiri. Hal itu mudah menimbulkan pertengkaran, pemborosan tenaga dan perpecahan kelompok.

Hal senada disampaikan (Santosa, 1999), tujuan sosial merupakan motif dari para anggotanya untuk berkelompok. Tujuan sosial hanya dapat dicapai jika para anggota kelompok tersebut bekerja sama atau berinteraksi dalam satu kelompok. Tanpa adanya interaksi, tujuan kelompok tidak mungkin dapat dicapai. Tujuan bersama tersebut merupakan perpaduan/kepentingan masing-masing individu anggota kelompok, sehingga masing-masing individu anggota menyediakan tenaga untuk saling membantu dan saling memberi/menerima pengaruh dari anggota yang lain

Kerjasama timbul apabila individu menyadari mempunyai tujuan yang sama/kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian diri untuk memenuhi kebutuhan tersebut (Soekanto,1990). Berdasarkan beberapa teori tentang pembentukan kelompok sosial di atas, maka langkah pertama yang perlu ditekankan dalam merumuskan kelembagaan pengelolaan Sub DAS Cicatih adalah merumuskan tujuan bersama (social goal) dan bersepakat bekerjasama untuk mencapai tujuan tersebut.

IV. PENUTUP

Kelembagaan pengelolaan DAS merupakan aturan dalam kelompok masyarakat yang ada di dalam DAS/masyarakat di luar DAS tetapi yang mempunyai kepentingan dengan DAS tersebut. Kelompok masyarakat tersebut terdiri dari banyak pihak yang berkepentingan (multistakeholders). Masing-masing stakeholders mempunyai kepentingan yang berbeda-beda, bahkan seringkali bertentangan, oleh karena itu diperlukan suatu kelembagaan untuk mengatur perilaku seluruh stakeholders agar sejalan dengan tujuan sosial yang telah disepakati bersama, yaitu mengelola Sub DAS Cicatih secara lestari.

Tujuan sosial perlu dirumuskan dan disepakati bersama karena merupakan motivator untuk membentuk suatu kelompok sosial. Tujuan sosial hanya dapat dicapai jika para anggota kelompok tersebut bekerja sama atau berinteraksi/berkoordinasi dalam satu kelompok. Kerjasama timbul apabila masing-masing pihak mempunyai tujuan yang sama dan pada saat yang sama mempunyai kesadaran untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Kondisi pengelolaan DAS yang ada saat ini adalah Sub DAS Cicatih dikelola secara terfragmentasi dan koordinasi belum berjalan dengan baik, oleh karena itu diperlukan kelembagaan koordinatif dalam bentuk forum atau badan koordinasi. Menurut UU No 7 Tahun 2004 tentang sumberdaya air, sudah ditunjuk suatu bentuk kelembagaan di tingkat kabupaten yaitu PPTPA, maka disarankan bentuk kelembagaan Sub DAS Cicatih adalah PPTPA.

Seluruh stakeholders perlu bersepakat untuk merumuskan tujuan sosial untuk selanjutnya bekerjasama untuk mencapai tujuan tersebut melalui suatu wadah PPTPA untuk saling berkomunikasi, berkonsultasi dan berkoordinasi dalam kegiatan pengelolaan DAS. Kedudukan PPTPA tersebut sebagai fasilitator diantara para pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS (operator/provider, regulator/owner, user). Hubungan PPTPA dengan stakeholders lain pada dasarnya bersifat konsultatif dan koordinatif. Penetapan kebijakan tetap dilakukan pihak regulator.

Keanggotaan PPTPA juga harus terwakili oleh pihak-pihak di atas. Tugas pokok dari PPTPA adalah menyusun kebijakan, rencana, koordinasi pelaksanaan dan memonitor serta mengevaluasi kegiatan pengelolaan DAS. Hasil kerja PPTPA diserahkan kepada pihak regulator (Presisen, Gubernur, Bupati/Walikota) sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan keputusan yang terkait dalam kegiatan pengelolaan DAS.

DAFTAR PUSTAKA

Ditjen RLPS. 2000. Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Departemen Kehutanan Jakarta.

Gerungan,W.A. 2000. Psikologi Sosial.Refika Aditama. Bandung:

Kompas, 2004. Air Pegunungan Sukabumi Semakin Bernilai. Jum’at, 20 Agustus 2004.

Kompas, 2004.Jalan Hancur, Investor Angkat Kaki. Jum’at, 20 Agustus 2004.

Kompas, 2004. Aspadin Ikut Menjaga Kelestarian Alam. Jum’at, 20 Agustus 2004.

Loomis,C.P and Loomis, Z.K. 1991. Modern Social Theories. Selected American Writers.:D. Van Nostrand Company Inc. Princeton-New Jersey

Ruttan VW and Hayami, Y. 1984. Toward a theory of induced institutional innovation. Journal of Development Studies. Vol. 20:203-33.

Santosa,S. 1999. Dinamika Kelompok. Bina Aksara. Jakarta.

SBRLKT Ciliwung, 1993. RTL RLKT Sub DAS Cicatih. DAS Cimandiri. SBRLKT Ciliwung. Bogor. Sinar Harapan, 2003. Air Mata dari Kawasan Sumber Mata Air

Soekanto, S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta:

Suara Pembaharuan,2003. Warga Desa Babakan Pari Mengeluh Kekurangan Air Bersih, 29 Pebruari 2003.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.