Kelembagaan DAS

Romagia

PENGUATAN KELEMBAGAAN BAITUL MAL WA’TANWIL (BMT)

Oleh: Romagia, SE., M.Si

Sumber: http://romagia.wordpress.com/nie/penguatan-kelembagaan-baitul-mal-watanwil-bmt/

ABSTRACT

Penelitian ini membahas pengaruh keterbukaan informasi terhadap enforcement atau penguatan kelembagaan. Enforcement atau penegakan kelembagaan adalah upaya menegakkan aturan, pengawasan, kontrol maupun check and balance antara berbagai pihak yang terlibat secara langsung dalam kegiatan operasional Baitul Maal wa Tanwil atau BMT. Keterbukaan informasi sangat efektif dalam upaya penguatan kelembagaan sehingga tercipta certainty dan dengan demikian kinerja BMT dapat ditingkatkan.

Key word: enforcement, information disclousure, perception, BMT.

1. Latar Belakang

Keberadaan Baitul Maal wa Tanwil yang selanjutnya disingkat BMT sebagai lembaga keuangan mikro non bank saat ini sangat penting untuk dibahas karena; Pertama, Indonesia tengah menggalakkan pengembangan usaha kecil menengah sehingga peran lembaga keuangan mikro juga mendapat perhatian oleh pemerintah untuk dikembangkan tidak terkecuali BMT. Kedua, mayoritas masyarakat Indonesia adalah beragama Islam, sehingga lembaga keuangan mikro yang berprinsip syariah seperti BMT ini akan menjadi pilihan bagi kebanyakan pelaku UMKM yang beragama Islam dimasa yang akan datang. Ketiga, rencana pengembangan jumlah BMT di Indonesia pada tahun 2010 oleh Asosiasi BMT seluruh Indonesia (ABSINDO) menjadi berjumlah 10.000 BMT merupakan tantangan bagi pengembangan kelembagaan BMT itu sendiri. ABSINDO yang berdiri pada tahun 2005 tersebut kedepan juga akan bertugas melakukan sertifikasi dan pemeringkatan atas BMT-BMT di Indonesia.

Menurut Pinbuk, BMT Adalah lembaga pendukung peningkatan kualitas usaha ekonomi pengusaha mikro dengan berlandaskan prinsip syariah. Kegiatan Baitul Maal adalah menerima dan menyalurkan dana zakat, infaq dan sadaqah, sedangkan kegiatan Baituttamwil mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas usaha ekonomi mikro dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan pembiayaan usaha ekonomi.

Perkembangan BMT menunjukkan pertumbuhan yang pesat dari berjumlah 879 BMT pada tahun 2002 menjadi lebih kurang 1000 BMT pada tahun 2005. pada tahun 2005 terdapat 600 BMT yang memiliki total asset 200-500 juta rupiah, 300 BMT yang memiliki total asset 500-1 milyar rupiah dan 100 BMT yang memiliki asset diatas 1 milyar rupiah (Pembaharuan Lanskap Keuangan Mikro Indonesia 2002-2005).

BMT saat ini memegang peranan penting dalam mensukseskan arahan Pemerintah dan Bank Indonesia untuk pengucuran kredit mikro. Perannya sebagai lembaga keuangan yang mendukung fungsi intermediasi bank umum dengan usaha kecil menengah menuntut BMT memiliki kinerja yang baik secara kelembagaan. Harapannya jika BMT memiliki kinerja kelembagaan yang baik, maka tujuan perbankan untuk memerankan BMT sebagai lembaga pendukung fungsi intermediasi perbankan akan tercapai dengan baik.

Pengelolaan dan penegakan institusi bagi lembaga keuangan mikro termasuk BMT merupakan hal yang penting. Hal tersebut dikarenakan lembaga keuangan mikro seperti juga perbankan dan lembaga koperasi lainnya mengalami permasalahan yang berkaitan dengan hubungan pemilik dan pengelola atau dikenal dengan hubungan antara Principles dan Agents. Kondisi ideal dari sebuah lembaga yang berjalan dengan baik ditandai dengan berjalannya pengawasan (monitoring) dan penegakan kelembagaan (enforcement). Dalam hubungan Principles dan Agents, idealnya menurut (North, 1996: 33). Principles memiliki daya untuk mendisiplinkan Agents sesuai dengan tujuan perusahaan, disamping itu, Agents dapat memonitor Principles dan menegakkan apa yang menjadi hak mereka dalam perjanjian yang diatur diawal hubungan Principles dan Agents.

Permasalahan-permasalahan diatas, yang dalam pandangan Moldoveanu and Martin (2001:7) merupakan permasalahan agency (agency problem) yang berpengaruh terhadap efisiensi organisasi, dimana salah satunya disebabkan oleh ketertutupan informasi dalam organisasi yang mencakup antara lain; Pertama, ketertutupan informasi yang membatasi shareholder dari informasi yang mereka butuhkan agar perusahaan memiliki kompetensi yang baik. Kedua, ketertutupan informasi yang membatasi pihak pengelola Agents dari informasi yang penting dan relevan tentang jalannya perusahaan. Ketiga, ketertutupan informasi yang membatasi manajer dari informasi yang dipegang oleh pekerja.

2. Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori

Penelitian kelembagaan terhadap lembaga microfinance umumnya telah pernah diteliti oleh Hartarska (2004) yang berjudul Governance and Performance of Microfinance Institutions in Central and Eastern Europe and the Newly Independent State. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah bahwa dalam pengelolaan dan kinerja lembaga keuangan mikro di Eropa tengah, Eropa Timur dan Negara-negara persyarikatan menunjukkan bahwa dalam mekanisme pengeloalaan yang dipengaruhi oleh faktor eksternal hanya auditing yang berpengaruh sedangkan kebijakan dan pemeringkatan tidak berpengaruh. Keragaman orang-orang yang berada pada dewan pengelola dapat meningkatkan capaian dan keberlangsungan sedangkan keberadaan dewan independen hanya berpengaruh kecil terhadap keberlangsungan lembaga. Sementara itu kinerja yang didasarkan atas konpensasi tidak begitu efektif dalam menyikapi kepentingan manajer dan para stakeholder, sedangkan konpensasi yang kecil justru berdampak pada menurunnya capaian yang diperoleh lembaga.

Arsyad (2005) juga pernah melakukan penelitian kelembagaan pada lembaga microfinance khususnya pada LPD di Bali dengan judul An Assesment of Microfinance Institution Performance: The Importance of Institutional Environmen. Penelitiannya Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah bahwa terdapat indikator kinerja kelembagaan yang baik yang dipengaruhi oleh faktor informal khususnya nilai kebudayaan dan norma yang berlaku pada masyarakat Bali umumnya.

2.1 Institutions and New institutional Economics

Beberapa pemikir ekonomi kelembagaan membangun defenisi sendiri-sendiri tentang kelembagan sesuai dengan konsentrasi yang digeluti oleh mereka. North (1996: 3) mendefinisikan kelembagaan sebagai aturan-aturan yang membatasi perilaku menyimpang manusia (humanly devised) untuk membangun struktur interaksi politik, ekonomi, dan sosial.

Pemikir lainnya Rutherford (1994), memaknai kelembagaan dalam pengertian yang hampir sama dengan North (1996), bahwa kelembagaan sebagai regulasi perilaku yang secara umum diterima oleh anggota kelompok sosial , untuk perilaku spesifik dalam situasi yang khusus, baik yang dapat diawasi sendiri maupun yang dimonitor oleh otoritas luar (external authority) (lihat Yustika, 2006: 40). Dari dua pengertian diatas dapat dilihat baik North (1996) maupun Rutherford (1994) sama-sama menekankan kata kunci aturan dan atau regulasi sebagai inti dari pengertian kelembagaan itu sendiri.

Dalam pengertian yang lebih praktis menurut defenisi Brinkerhoff and Goldsmith (1992) dan juga menurut World Bank (2002, institusi adalah aturan prosedur yang mempengaruhi bagaimana orang-orang berinterkasi, institusi juga adalah organisasi yang mengimplementasikan aturan untuk mencapai keinginan bersama dalam organisasi (lihat Arsyad, 2005:42).

Peran institusi atau kelembagaan dalam dunia ekonomi dipandang sangat penting. Pandangan Neo klasik yang menanggap kelembagaan tidak begitu penting selama ini ternyata tidak terbukti. Pada kenyataannya kelembagaan sangat berperan dalam berjalannya proses ekonomi pasar yang ternyata banyak mengalami kegagalan terutama di negara berkembang. Dalam pandangan North (1996:6), peranan utama institusi ditekankan pada pengurangan ketidakpastian yang terjadi dalam masyarakat dengan cara menyelenggarakan suatu interaksi manusia yang stabil.

New Institutional Economic menekankan pada kendala yang menghalangi proses penciptaan/ pengkondisian kelembagaan dan utamanya memfokuskan kepada pentingnya kelembagaan sebagai kerangka interaksi antar individu (Yustika, 2006: 56). New Institutional Economic menggunakan pendekatan yang multidisiplin yang meliputi aspek economi, hukum, teori organisasi, ilmu politik, sosiologi dan antropologi (Klein, 1999: 456).

New Institutional Economics secara spesifik menurut Klein bertujuan untuk menjelaskan apa itu institusi, bagaimana institusi tersebut berkembang, apa tujuan institusi tersebut hadir, bagaimana institusi tersebut berubah dan diperbaiki (Klein, 1999:456). Lebih lanjut menurut Klein, New Institutional Economic adalah sebuah pendekatan yang interdisipliner yang merupakan perpaduan antara ekonomi, hukum, teori organisasi, teori politik, sosiologi dan antropologi untuk memahami kelembagaan social, politik dan kehidupan bisnis.

Dalam pandangan New Institutional Economics aturan formal dan informal yang jelas, terbuka dan ditegakkan akan menghasilkan kepastian atau certainty. Dengan adanya kepastian ini, maka kinerja kelembagaan akan meningkat, Hal ini selanjutnya akan mendorong produktifitas kerja lembaga dan orang-orang dalam lembaga tersebut. Secara ringkas model pembahasan penguatan kelembagaan pada BMT ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1: Alur Penegakan Institusi atau Enforcement pada BMT

3. Pembahasan

Mengacu pada pendekatan yang lazim digunakan oleh New Institutional Economics dalam menilai sebuah lembaga maka ada beberapa aspek yang mendasar yang dapat dijadikan indikator antara lain adalah permasalahan propety right, transaction cost, hubungan Principles dan Agent, dan sejauh mana enforcement dan information disclousure ditegakkan. Begitu pula dalam pembahasan penguatan kelembagaan pada BMT, hal-hal mendasar tersebut diatas dijadikan acuan bagi upaya penguatan kinerja kelembagaan pada BMT.

3.1 Property Right

Ekonomi Kelembagaan memberi perhatian khusus terhadap permasalahan propery right atau hak kepemilikan. Hak kepemilikan menurut Furubotn dan Richter (2000) dapat diartikan sebagai hak untuk menggunakan (right to use), hak untuk mengubah bentuk dan isi (to change its form and substance), dan hak untuk memindahkan seluruh hak atas asset (to transfer all right in asset) (Yustika, 2006: 160).

Permasalahan hak kepemilikan menjadi penting karena hal ini terkait dalam persoalan ketidakpastian dari luar (exsternality uncertainty) yang muncul yang akan mempengaruhi secara negatif perekonomian. Menurut Coase (1960) menyatakan bahwa eksternalitas dapat diinternalitaskan dalam kegiatan ekonomi jika hak kepemilikan telah dikelola dengan baik (lihat Kherallah and Kirsten, 2001: 14).

Kelembagaan BMT akan berjalan baik jika property right ini ditegakkan dan informasi yang berkaitan dengan hak kepemilikian dibuka setranspraran mungkin. Upaya menegakkan property right dalam BMT dapat berupa penyelenggaraan Rapat Umum Tahunan Anggota yang melaksanakan fungsi pertanggungjawabannya secara akuntabel dan transparan sehingga hak kepemilikan anggota terhadap modal yang ditanamkannya pada BMT dapat dijamin. Lebih lanjut, jika poperty right ditegakkan, Hal ini senada dengan pandangan Coase (1990) bahwa, capaian akan lebih baik bagi orang-orang yang memiliki hak kepemilikan secara baik pula (lihat Kherallah and Kirsten, 2001: 14).

3.2 Transaction cost

New Institutional Economics juga membahas transaction cost sebagai salah satu hal yang dianggap penting dalam upaya membangun institusi yang baik. Tujuan pembahasan transaction cost dalam kajian New Institutional Economic adalah agar biaya transaksi dapat dikurangi sehingga tercipta efisiensi biaya. Pembahasan transaction cost salah satunya dimulai oleh Coase (1937), yang berpendapat bahwa transaksi ekonomi yang terjadi di pasar menghasilkan biaya yang tinggi. Coase (1937) juga berpendapat bahwa kepentingan perusahaan untuk meminimalisir biaya sangat dipengaruhi oleh kecenderungan transaction cost yang muncul dalam perusahaan tersebut (lihat Kherallah and Kirsten 2001 : 19). Williamson (1993) juga berpandangan yang sama dengan Coase, menurutnya kelangkaan ekonomi dihasilkan oleh penyebab antara biaya koordinasi dan hirarki organisasi dalam perusahaan dan antara biaya transaksi dan bentuk kontrak dalam pasar. Kelangkaan ini menurut Williamson dipengaruhi oleh kecenderungan transaction cost yang muncul (lihat Kherallah and Kirsten 2001 : 19). Seiring dengan hal tersebut, Grindle (2001) berpendapat bahwa transaction cost dapat mengefisienkan hubungan-hubungan pertukaran dalam ekonomi (exchage relationship) (lihat Dufhues dkk, 2002 : 3).

Biaya hal dihasilkan dari kondisi ketersediaan informasi merupakan kunci dari transaction cost (North, 1996: 27). Oleh sebab itu mengurangi biaya yang muncul akibat kondisi ketersediaan informasi ini berarti adalah upaya untuk mengurangi transaction cost. Didalam BMT, pengurangan transaction cost ini dapat dilakukan dengan membuat aturan yang transparan tentang mekanisme pengajuan kredit sehingga bagian kredit pada BMT tidak melakukan praktik pungutan liar dan biaya tambahan diluar ketentuan yang berlaku terhadap mitra BMT yang akan mengajukan kredit. Harus dihindari terjadinya information asymmetry dimana informasi hanya dimiliki dan diketahui secara lengkap oleh seseorang atau sekelompok orang saja. Keterbatasan ini tentunya akan menghasilkan konflik kepentingan yang berakibat buruk pada pengelolaan lembaga atau perusahaan, disamping itu akan merugikan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap lembaga atau perusahaan.

3.3 Principles-Agents, Information and Enforcement

Agency theori adalah salah satu hal yang juga mendapat perhatian penting dalam ekonomi kelembagaan. Menurut Eisenhardt (1989:1), agency theory bertendensi menjelaskan tentang hubungan organisasional antara Principles dan Agents. Dalam agency theory, Agents diharapkan dapat memenuhi kepentingan dari Principles, namun Agents dalam hal ini sering mengambil keputusan dan menjalankan keputusan yang tidak sesuai dengan kepentingan dari Principles (Padilla, 2002).

Kondisi ideal dari sebuah lembaga yang berjalan dengan baik ditandai dengan berjalannya pengawasan (monitoring) dan penegakan kelembagaan (enforcement). Dalam hubungan Principles dan Agents, idealnya menurut North (1996:33), Principles memiliki daya untuk mendisiplinkan Agents sesuai dengan tujuan perusahaan, disamping itu, Agents dapat memonitor Principles dan menegakkan apa yang menjadi hak mereka dalam perjanjian yang diatur diawal hubungan Principles dan Agent. Enforcement adalah alat yang penting untuk mencapai fungsi institusi yang berjalan dengan baik. Burky, and Perry (1998) berpendapat bahwa enforcement institution adalah cara tepat untuk meyakinkan bahwa agent akan bertindak sesuai dengan kepentingan principal’s (lihat Jaya, 2005: 129).
Pemecahan masalah informasi antara Principles dan Agents ini menurut Arrow (1985) mensyaratkan pembuatan aturan terhadap hambatan-hambatan sruktur dan perilaku yang mendorong orang-orang dalam lembaga atau perusahaan membuka informasi sehingga dapat memmonitor kinerja perusahaan dan kinerja Agents setiap waktu (lihat Moldoveanu and Martin 200l : 9-10).

Begitu pula seharusnya di BMT, dimana Principles yakni pengurus sebagai perwakilan yang ditunjuk anggota BMT dan Agents yakni pihak pengelola memiliki pola hubungan yang terbuka sehingga pengurus dapat menjaga kepentingan Principles secara keseluruhan termasuk anggota BMT. Maka yang perlu dipelajari secara mendasar pertama kalinya masalah aturan yang mengatur pola hubungan pengurus sebagai Principles dan dan pengelola sebagai Agent dalam BMT. Aturan tersebut harus memuat kejelasan tentang hak dan kewajiban antara pengurus dan pengelola BMT sesuai dengan prinsip-prinsip transparency, accountability, responsibility, independence and fairness.

Aturan yang tertuang dalam UU No. 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian yang sejauh ini masih menjadi payung hukum BMT saja belumlah cukup untuk menjamin baiknya pola hubungan Prrnciples dan Agent dalam BMT. Untuk mewujudkan sebuah kelembagaan yang kuat dalam BMT, maka masih diperlukan rule of the game di internal BMT. Selain itu diperlukan pengungkapan informasi (information disclousure) yang transparan antar berbagai pihak. Termasuk ketersediaan informasi yang berkaitan dengan hubungan pengawas dan pengurus.

Ketersediaan informasi pada BMT mencakup berbagai aspek antara lain; Pertama, ketersediaan informasi yang berkaitan dengan hubungan pengawas dan pengurus, Kedua, ketersediaan informasi yang berkaitan dengan hubungan pengurus dan pihak pengelola, Ketiga, ketersediaan informasi yang berkaitan dengan hubungan antara pihak pengelola dan anggota koperasi.

Ketersediaan informasi yang berkaitan dengan hubungan pengurus dan pihak pengelola, dalam hal ini, pengurus yang ditugaskan sebagai wakil anggota dalam pengelolaan BMT. Oleh sebab itu Pengurus bertanggung jawab mengenai segala kegiatan pengelolaan BMT dan usahanya kepada Rapat Anggota atau Rapat Anggota Luar Biasa. Dalam hal ini yang paling krusial bagi tugas pengurus adalah melakukan tindakan dan upaya bagi kepentingan dan kemanfaatan BMT sesuai dengan tanggung jawabnya dan keputusan Rapat Anggota.

Ketersediaan informasi yang berkaitan dengan hubungan antara pihak pengelola dan anggota BMT dimana dalam hal ini anggota BMT mempunyai hak untuk mendapatkan keterangan mengenai perkembangan BMT secara transparan melalui forum rapat anggota.

Pengawas syariah memiliki hak untuk mengetahui proses pengelolaan BMT karena pengawas syariah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijaksanaan dan pengelolaan BMT agar sesuai syariah oleh sebab itu, hal yang paling krusial bagi pengawas syariah adalah mendapatkan segala keterangan yang diperlukan terkait upaya penegakan prinsip syariah di BMT.

Upaya enforcement dalam BMT berkaitan dengan upaya untuk yang menegakkan aturan formal, informal dan keterbukaan informasi sehingga pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) terhadap BMT memiliki informasi. Pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan BMT tersebut harus melakukan kontrol dan pengawasan sehingga hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan rapat anggota, kualitas pelaporan pertanggungjawaban, intensitas pelaporan bulanan dan perkembangan tingkat bagi hasil serta pengungkapan pengelolaan mekanisme kredit dapat benar-benar dijalankan secara baik.

Dengan upaya menjalankan mekanisme pengelolaan BMT ini secara terbuka dan transparan, maka keragu-raguan antara stakeholder BMT akan dapat diatasi sehingga kepastian atau certainty dapat terwujud. Karena kunci pengelolaan BMT adalah trust, maka jika certainty terwujud, maka peningkatan kinerja BMT menjadi lebih baik.

4. Penutup

Hubungan BMT dan anggotanya adalah hubungan yang dilandasi oleh prinsip trust. Dalam hal ini, kredibilitas menjadi hal yang paling utama. Kasus BMT gelap yang beroperasi di Lampung beberapa waktu lalu yang merugikan masyarakat merupakan preseden buruk bagi masa depan BMT di Indonesia umumnya jika tidak cepat disikapi secara baik. Oleh sebab itu, sudah saatnya BMT saat ini memiliki upaya untuk melakukan penguatan kelembagaan dengan menjalankan prinsip-prinsip kelembagaan yang baik. Kepatuhan dalam menjalankan aturan formal, aturan informal dan ketersediaan informasi yang dapat memenuhi keinginan dan hak masing-masing stakeholder BMT adalah kunci utama dari penegakan kelembaan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, Lincolin, 2005, An Assessment Of Performance And Sustainability Of Microfinance Institutions: A Case Study of Village Credit Institutions in Gianyar, Bali, Indonesia, Unpublished PhD Thesis, Adelaide, Australia: Flinders University

Babbie, Earl, 2004, The Practice of Social Research, Tomson Wadworth, United State of America

Bernstorff, Alexandra von, 2004, Dissertation zur Erlangung der Doktorwürde durch den Promotionsausschuss Dr. rer. pol. der Universität Bremen, Fachbereich Wirtschaftswissenschaft. Dalam http://elib.suub.unibremen.de/ publications/dissertations/ EDiss1259_Bern storff.pdf# search=%22information%
20asymmetry%20and%20NIE%20i n%20microfinance%22

Dufhues, Thomas , dkk 2002 International Symposium, Sustaining Food Security and Managing Natural Resources in Southeast Asia – Challenges for the 21st Century in Chiang Mai, Thailand. Dalam http://www.unihohenheim.de/i490a/dps/2001/dp4_01.pdf#search=%22N IE%20and%20%20policy%20microfinance%20institution%20filetype% 3Apdf%22

Eisenhardt, M, K. (1989), Agency Theory, Appalachian State University and York University, dalam http:// www. babson. edu/entrep/ fer/ papers96/ shane/ shane3. htm

Hartarska, Valentina, 2004, Governance and Performance of Microfinance Institutions in Central and Eastern Europe and the Newly Independent States, Aurburn University

Jaya, Wihana Kirana, 2005, Dysfunctional Institution in the Case of Local Elite Behavior in Decision-Making about Local Governance Budget in Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Kherallah, Mylène and Kirsten, Johann, 2001 New Institutional Economics: Applications For Agricultural Policy The Research In Developing Countries, MSSD Discussion Paper NO. 41 International Food Policy Research Institute

Klein, Peter G, New Institutional Economics, 1999 dalam http://www.cec.zju.edu.cn/~yao/uploadfile/papers/p007.pdf#search=%22 new%20instiutional%20economic%20journal%22

Pembaharuan Lanskap Keuangan Mikro Indonesia 2002-2005, Kerjasama Bank Indonesia dan Departemen Keuangan RI dalam http:// www. profi.or.id/ ind/ downloads/ Thirdwindow_ APPENDIX%203_ Ind_.pdf# search =%22lembaga%20keuangan%20mikro%20di%20Indonesia%22

PINBUK, Baituttanwil, Jakarta

Moldoveanu, Mihnea and Martin, Roger, 2001, Agency Theory and the Design of Efficient Governance Mechanisms, Rotman School of Management University of Toronto, dalam http://www. rotman. utoronto. ca/rogermartin/Agencytheory.pdf#search=%22ageny%20theory%22

North, Douglas C., 1995, The New Institutional Economics and Third World Development, Rontledge, London.

_________________1996, Institutions, Institutional Change, and Economic Performance, Cambridge, MA: Harvard University Press

Padilla, Alexandre, 2002 The Property Economics of Agency Problems Metropolitan State College of Denver – Department of Economics; Faculté d’Economie Appliquée – Centre d’Analyse Economique.

Rock, Rachel dkk, 1998 Principless and Practices of Microfinance Governance, Microenterprise Best Practise, USA

Tabachnick, Barbara G., dan Fidel, Linda, S. 2001, Using Multivariat Statistic, Allyn and Bacon United State of America.

Undang – Undang No 25 tahun 1992 Tentang Perkoperasian, Sekretaris Negara Republik Indonesia.

Yustika, Ahmad Erani, 2006, Ekonomi Kelembagaan, Defenisi, Teori dan Strategi, Bayumedia, Malang.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.