Kelembagaan DAS

Hadijah

Kelembagaan dan Kebijakan Pengelolaan Hutan dalam Otonomi Daerah di Kabupaten Tana Toraja

Organization and Forestry Management Policies under Local Autonomy of Tana Toraja Regency

Oleh: HADIJAH, Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin

Abstract

This research was carried out in order to learn about which institutions take part in the forest management of Tana Toraja, the forestry policies – consistent with the existence of regional autonomy of Tana Toraja district, as well as their impact on environment and local society. Institutions who are involved in the forest management of Tondon Nanggala subdistrict are the regional government (Pemda) of Tana Toraja district, forestry and plantation office, government body of Saddang watershed (BP DAS Saddang), community self-reliance institution (LSM), traditional society/leader group, and farmer group. Policies by the regional government involve timber utilization permits from private land, community forest program, social forestry program, and strategic planning of forestry and plantation office of Tana Toraja district. The positive impacts of these policies are new job opportunities for the society, prosperity elevation for some of the society, increase in locally derived revenue and an increase in society’s knowledge and awareness of forest land and environment. The negative impacts are illegal loggings, destructions of forest and environment, increasing amount of critical lands, as well as conflicts on land use and water resources in the society. Keywords: Regional Autonomy, institutional, policy, forest.

I. Pendahuluan

Sumber Daya Alam Hutan di Tana Toraja adalah seluas 156.906 ha terdiri dari hutan lindung 138.101 ha dan hutan produksi 18.805 ha. Selain hutan negara Kabupaten Tana Toraja memiliki potensi hutan rakyat (milik) seluas 77.154 Ha, khusus untuk tanaman Pinus merkusii seluas 12.510 Ha. Dalam kawasan hutan tersebut terdapat lahan kritis seluas 38.712 Ha dan lahan kritis di luar kawasan hutan 29.477 Ha (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tana Toraja, 2003).

Sejak sistem pemerintahan otonomi daerah (Otoda) secara resmi diberlakukan diseluruh wilayah Indonesia muldi 1 Januari 2001, kelembagaan kehutanan pada tingkat provinsi dan kabupaten juga mengalami perubahan demikian pula dengan kebijakan pengelolaan hutan. Pemerintah pusat selama ini mempunyai kewenangan  penuh menetapkan setiap bentuk kebijakan yang bersifat prinsipil dan strategis selanjutnya harus melimpahkan sebahagian kewenangannya kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah dapat mengeluarkan beberapa perizinan yang berkaitan dengan pemungutan dan pemanfaatan hasil hutan; merumuskan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan berdasarkan keadaan daerah; dan memberikan usulan-usulan tentang kebijakan makro ke pemerintah pusat. Pengaturan pengalihan beberapa kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah secara terperinci diatur melalui Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah dan disempurnakan dengan Undang-undang No 32 tahun 2004 yang mulai diundangkan dan berlaku pada tanggal 15 Oktober 2004; Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004; Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom; dan Undang-undang Pokok Kehutanan Nomor 41 tahun 1999. Dengan demikian terjadi perubahan paradigma pembangunan dari sentralistik menjadi desentralistik.

Dalam pengelolaan hutan, penerapan Otoda tidak hanya memberikan dampak positif tetapi juga dampak negatif. Beberapa pengaruh positif yang bisa diperoleh pemerintah daerah dengan pelaksanaan otoda, yaitu: kelembagaan kehutanan daerah bersifat mandiri dengan tugas dan fungsi yang jelas, mempunyai legitimasi untuk menentukan kebijakan-kebijakan dibidang kehutanan sesuai dengan kondisi dan potensi spesifik daerah, kebijakan-kebijakan kehutanan yang dikeluarkan lebih banyak berpihak kepada masyarakat, dan membuka peluang pengembangan pusat-pusat perekonomian di daerah. Adapun dampak negatif yang mungkin terjadi, yaitu: pemanfaatan sumberdaya hutan secara besar-besaran oleh daerah sebagai upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), konflik antara dua daerah otonom dengan tujuan pengelolaan berbeda terhadap sumberdaya alam yang dimiliki secara bersama, dan tarik ulur kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah.

Sejalan dengan berlakunya UU. No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 25 tentang Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, maka Pemerintah Kabupaten Tana Toraja mempunyai kewenangan di dalam mengatur dan mengelola potensi sumber daya alamnya untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan rakyat dan sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dalam Bidang Kehutanan Pemerintah Kabupaten Tana Toraja telah membuat beberapa kebijakan yang mengatur masalah pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang ada di Kabupaten Tana Toraja.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelembagaan-kelembagaan yang berperan dalam pengelolaan hutan dan kebijakan-kebijakan dalam bidang kehutanan sejalan dengan berlakunya otonomi daerah di Kabupaten Tana Toraja serta dampak yang ditimbulkannya.

II. Bahan dan Metode

Penelitian ini dilaksanakan di Lembang Turunan Kecamatan Sangalla dan Kecamatan Tondon Nanggala di Kabupaten Tana Toraja.

Data yang dikumpulkan adalah berupa data primer melalui wawancara, survey lapangan dan dokumentasi dan data sekunder yang diperoleh dari instansi-instansi yang berkaitan dengan data yang diperlukan dalam penelitian ini seperti kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, keadaan umum wilayah (data monografi), laporan-laporan dan dokumen-dokumen yang terkait dengan materi penelitian serta hasil penelitian terdahulu yang relevan.

Data ini akan dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan bagaimana peranan kelembagaan dan kebijakan pengelolaan hutan di lokasi penelitian serta dampak yang ditimbulkannya.

III. Hasil dan Pembahasan

1. Gambaran Umum Lokasi

(1) Lembang Turunan

Lembang Turunan merupakan salah satu Lembang yang terdapat di Kecamatan Sangalla yang merupakan hasil pemekaran dari Lembang Bulian Massa’bu pada tahun 2004. Lembang Turunan ini terletak pada koordinat 02°05’10” Lintang Selatan dan 119°54’38” Bujur Timur dengan ketinggian ± 800 meter dari permukaan laut (dpl).

Luas wilayah Lembang Turunan adalah 1340 ha dengan jumlah kampung/dusun sebanyak 4 buah yaitu : Dusun kalembang, Dusun Pasang, Dusun Bassang dan Dusun Boto’ Turunan.

Jumlah penduduk Lembang Turunan 1737 jiwa (laki-laki 875 jiwa, perempuan 862 jiwa) dengan jumlah kepala keluarga 417 jiwa (BPS Kabupaten Tana Toraja 2005).

(2) Kecamatan Tondon Nanggala

Kecamatan Tondon Nanggala terletak sekitar 12 km dari kota Rantepao dan 30 km dari ibukota kabupaten (Makale) yang mempunyai letak geografis pada posisi antara 2°53’ sampai 3°06’ Lintang Selatan dan 119°57’ sampai 120°05 Bujur Timur. Kecamatan Tondon Nanggala berada pada ketinggian 500 sampai 1600 m diatas permukaan laut.

Secara administratif wilayah kecamatan Tondon Nanggala memiliki batas-batas berikut :

  • Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Sa’dan Balusu dan Kabupaten Luwu.
  • Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu.
  • Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Buntao Rantebua dan Kecamatan Sanggalangi.
  • Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sanggalangi’, Kecamatan Rantepao dan Kecamatan Sesean.

Luas wilayah Kecamatan Tondon Nanggala adalah 12.000 ha dan terdiri dari 10 lembang yaitu Pitung Penanian (2.000 ha), Karre Limbong (1.900 ha), Nanggala (1.700 ha), Tondon Matallo (930 ha), Tondon (925 ha), Tondon Siba’ta (775 ha), Tondon Langi’ (970 ha), Nanggala Sampiak Salu (700 ha), Tandung Nanggala 1.100 ha) dan Lilikira (1.000 ha). Jumlah penduduk Kecamatan Tondon Nanggala sejumlah 19.736 jiwa dengan 4.199 KK. Jumlah ini terdiri atas laki-laki sebanyak 9.799 jiwa dan perempuan sebanyak 9.937 jiwa (BPS Kabupaten Tana Toraja, 2003).

2. Kondisi Hutan di Lembang Turunan

Hutan yang ada di Lembang Turunan merupakan Hutan Rakyat Tongkonan yang dibangun oleh masyarakat Toraja yang terhimpun dalam satu kekerabatan dan diwariskan secara turun-temurun. Hutan rakyat tongkonan ini terbentuk karena adanya  dorongan untuk mencukupi kebutuhannya akan tanaman kayu-kayuan sebagai bahan dalam pembuatan rumah tongkonan, lumbung dan upacara-upacara adat. Selain itu juga berasal dari proyek penghijauan pada tahun 1976-1984 dengan nama P3RP DAS (Proyek Perencanaan Pembinaan Reboisasi dan Penghijauan). Jenis yang diberikan yaitu : Eucalyptus, Pinus, Johar dan Akasia. Pada tahun 1984 – 1998 P3RP DAS berubah nama menjadi sub BRLKT (Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah) Saddang dan jenis bibit yang diberikan yaitu Gmelina, kemudian berubah nama lagi menjadi unit RLKT (Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah) Saddang dan pada tahun 2002 hingga sekarang instansi tersebut menjadi BP DAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) Saddang. Bantuan bibit di Kecamatan Sangalla hanya sampai tahun 1998 namun di Kecamatan lain seperti Tondon Nanggala tetap berlangsung (Staff BP DAS Saddang, 2005).

Jenis hutan rakyat tongkonan adalah hutan rakyat campuran. Pola yang ada yaitu : Buangin/Cemara Gunung (Casuarina junghuhniana), Aren (Arenga pinnata), Uru (Elmerilia sp), Sengon (Paraserianthes falcataria), Bambu (Bambusa sp), Suren (Toona sureni) dan sebagainya. Untuk tanaman perkebunan yaitu Langsat (Lancium domesticum), durian (Durio zibethinus), cengkeh, kopi (Coffea robusta), coklat (Theobroma cacao), vanili (Vanilla fragrans)dan sebagainya. Untuk tanaman pekarangan adalah ubi jalar, talas, mangga, nangka, jeruk dan sebagainya. Jenis bambu yang ada di lokasi ini yaitu pattung, parrin, tallang, bulo dan bambu Ao’/Aur.

Kondisi hutan rakyat tongkonan yang ada di Lembang Turunan secara umum masih baik namun kemungkinan luasnya akan berkurang karena masyarakat tidak terdorong untuk melakukan penanaman tanaman kayu-kayuan dengan alasan akan tumbuh sendiri dan jika ditanam waktunya cukup lama untuk dapat dipanen. Sementara disisi lain kebutuhan akan tanaman kayu-kayuan terus meningkat terutama untuk bahan bangunan tongkonan dan rumah. Untuk tanaman bambu biasanya akan tumbuh sendiri dengan tunasnya, tetapi adanya penggunaan bambu yang cukup besar apalagi jika diadakan upacara-upacara adat seperti rambu solo, rambu tuka, ma’rara banua dan sebagainya akan mengakibatkan jumlah tanaman bambu akan terus berkurang . Hasil wawancara dengan 15 orang responden yang merupakan petani pengelola hutan rakyat diperoleh informasi bahwa mereka rata-rata lebih memilih menanam tanaman-tanaman perkebunan seperti : coklat, kopi, dan vanili dengan alasan tanaman tersebut lebih cepat menghasilkan bila dibandingkan tanaman-tanaman kehutanan. Kenyataan di lapangan terlihat adanya perubahan penggunaan lahan dari lahan hutan berubah menjadi tanaman perkebunan seperti ubi kayu, selain itu lahan hutan tersebut mulai ditanami tanaman coklat.

3. Manfaat Hutan Rakyat Tongkonan Bagi Masyarakat

(1) Manfaat Langsung

  • Kayu
    • Untuk pembuatan rumah tongkonan, rumah tempat tinggal, lumbung, kayu bakar dan sebagainya.
    • Dapat dijual bila ada keperluan mendesak dan kayunya telah siap panen
    • Jenis-jenis pohon yang sering digunakan :
      1. Uru/Cempaka (Elmerillia sp), sebagai papan untuk dinding dan lantai untuk rumah termasuk rumah tongkonan, meubel, bahan kerajinan/hiasan (ukir-ukiran).
      2. Buangin/Cemara Gunung (Casuarina junghuhniana), sebagai tiang penyangga, balok dan bahan konstruksi lain yang memerlukan kekuatan menerima beban berat. Cabang dan rantingnya digunakan sebagai kayu bakar.
      3. Sengon Merah/Solo’ Rarang (Paraserianthes sp), sebagai balok untuk tiang rumah tongkonan, juga sebagai dinding dan lantai rumah.
      4. Sengon putih/Solo’ Busa (Paraserianthes falcataria), sebagai papan untuk dinding dan lantai rumah tongkonan
      5. Pinus (Pinus merkusii), sebagai balok dan papan
      6. Suren (Toona sureni), sebagai papan dan balok untuk bangunan rumah. Tidak umum digunakan di rumah tongkonan. Jarang dijual, hanya untuk keperluan pemiliknya.
      7. Sendana/Angsana (Pterocarpus indicus), sebagai tiang rumah tongkonan, terutama tiang tengah yang dinamakan a’riri posi’.
      8. Banga (Pigafetta filaris), sebagai tiang lambung. Dapat ditebang setelah berumur 20 tahun.
      9. Durian (Durio zibethinus), sebagai papan mall saat mengecor bangunan, biasanya ditebang setelah sangat tua dan sudah tidak menghasilkan buah.
      10. Bambu Pattung (Bambusa sp), sebagai tiang, dinding dan lantai rumah/pondok
      11. Bambu Parrin (Bambusa sp), sebagai lantai kandang, pondok pada saat upacara (lantang), pijakan pada saat membuat bangunan.
      12. Bambu Tallang (Bambusa sp), sebagai bahan atap, tempat masakan dalam bambu (piong), untuk lantai dan dinding rumah/pondok, dibuat alat musik bambu, tempat minuman ballo’/tuak, bambu yang kerdil digunakan untuk tokesan (salah satu bagian atap pada rumah tongkonan dan lumbung).
      13. Bulo (Bambusa sp), untuk tokesan hanya untuk lambung, tidak boleh untuk rumah, bahan seruling.
      14. Bambu Ao (Bambusa sp), sebagai tali pengikat, utamanya untuk pengikat padi lokal (bunu’) saat panen.
      15. Nangka (Arthocarpus heterophylus), penggunaannya sama dengan sendana, tetapi hanya untuk a’riri posi’. Selain itu digunakan untuk rando-rando (salah satu asesoris rumah tongkonan), juga digunakan untuk membuat tau-tau (patung).
  • Bunga
    1. Aren/Induk (Arenga pinnata), penggunaannya kebanyakan untuk diambil tuaknya (Ballo) belum diolah menjadi gula aren karena harganya sudah tinggi dan jumlahnya kadang-kadang tidak mencukupi. Tuak di konsumsi pada pesta adat dan pada saat berkumpul untuk berdiskusi, juga untuk sehari-hari.
  • Buah
    • Pangi (Pangium edule)
      • Harganya Rp.2.000/5 buah
      • Kulitnya 1 baka/bakul = Rp.35.000
      • Kalongko (setelah kulit) 1 bakul kecil = Rp. 25.000
      • Pamerrasan (isi) 1 tempat sabun cuci = Rp. 5.000
      • Digunakan untuk bahan masakan
    • Durian (Durio ziberthinus)
    • Langsat (Lancium domesticum)

(2) Manfaat Tidak Langsung

  • Sebagai sumber mata air Ada beberapa mata air yang terdapat di Lembang Turunan yaitu :
    • Mata air Sarambu (mata air terbesar dan dikelola oleh PDAM)
    • Mata air Kalimbuang
    • Mata air Pa’parepek
    • Mata air Tallomanuk
  • Pemandangan yang indah
  • Penghasil oksigen

4. Sejarah Pengelolaan Hutan Nanggala

Menurut informasi yang diperoleh dari salah seorang tokoh adat di Kecamatan Tondon Nanggala (Bapak Y.Langsa, 63 tahun), sejak dahulu kala masyarakat Nanggala sudah mengenal manfaat hutan. Mereka mengerti bahwa semua yang hidup dan kehidupan ini mempunyai hubungan erat antara satu sama lain dan dengan lingkungannya. Hidup dan kehidupan ini disebut ‘Tallulolona” (tiga unsur) yaitu hidup manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Berdasarkan paham tersebut maka masyarakat Nanggala mengenal bahwa hutan adalah sumber kehidupan bagi makhluk hidup di muka bumi ini. Hutan menurut istilah adat Nanggala yaitu ‘umpabu’tu mata uai, umpabu’tu kalimbuang boba sia uai susunna angge maritik’ artinya hutan adalah sumber mata air dan diibaratkan sebagai air susu bagi semua makhluk hidup. Air yang mengalir secara teratur dengan adanya hutan dapat difungsikan untuk pengairan yang menurut adat Nanggala dikatakan “nasaba’ mora pangkalo Puang, nalempan mora pamuso deata ussakkai’ padang kalua’ nadipalolong tama uma ma’kambuno lumu’na dipalempang tama panampo dokedokean, napakendekki lompona padang napalonganni lupa’na panaungan” yang artinya air yang mengalir akan difungsikan untuk pengairan yang akan dialirkan ke sawah-sawah yang akan menyuburkan tanah untuk dapat memberikan hasil. Dahulu kala nenek moyang masyarakat Nanggala takut mengambil kayu di hutan tanpa seizin Toparengge’ (Pemangku adat) karena takut terkena kutukan, menurut adat Nanggala Toparengnge’ lidahnya berbisa yang menurut istilah adat “Toparengnge’ malada pudukna, Toparengnge dipama’tei lilana” yang artinya Toparengnge’ mulutnya pedis dan lidahnya berbisa. Hal ini membuat masyarakat sangat segan dan mematuhi semua peraturan yang dibuat oleh Toparengnge’.

Hal tersebut terjadi sebelum tahun 1932, kawasan hutan Nanggala merupakan kawasan hutan Adat dan dikelola berdasarkan adat. Namun pada tahun 1932 berdasarkan Domain Verklaring maka hutan adat Nanggala diserahkan dan dijadikan hutan negara melalui upacara adat antara pemerintah kolonial Belanda dengan tokoh-tokoh adat setempat dan sesuai posisi dan fungsinya sejak dari dulu sudah menjadi ‘menara air’ karena menjadi hulu dari beberapa sungai besar di Sulawesi Selatan. Akhirnya melalui SK Zelf Besteuur No. 13 dan No. 14 tahun 1932 hutan Nanggala ditetapkan sebagai hutan Lindung dan kekuasaan Toparengnge’ terhadap hutan menjadi lemah.

Pada masa pemerintahan orde baru yaitu tahun 1982, Departemen Kehutanan melalui Proyek Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) melakukan penataan tapal batas hutan tanpa melibatkan masyarakat lokal. Beberapa areal hutan Nanggala terpaksa harus terlepas dari kawasan lindung, tapi di sisi lain beberapa areal perkampungan masyarakat dimasukkan dalam kawasan (sehingga luas kawasan tidak berkurang), hal ini menimbulkan konflik dalam masyarakat Dengan adanya kebijakan tersebut maka ada anggapan bahwa satu-satunya instansi yang berhak atas pengelolaan dan pengawasan hutan adalah pemerintah (Departemen Kehutanan). Akses pengawasan masyarakat lokal dibatasi dan peluang tersebut dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu terutama oknum yang kebal hukum untuk mengeksploitasi hutan yang tidak sesuai dengan kearifan tradisional. Hal ini menyebabkab fungsi hutan lindung mulai terabaikan, apalagi masyarakat lokal pun turut melakukan perambahan hutan. Kondisi hutan ini semakin diperburuk dengan adanya kemajuan teknologi berupa mesin pemotong kayu (chain saw). Dalam waktu singkat, puluhan bahkan ratusan pohon dapat ditumbangkan. Wilayah hutan lindung mulai beralih fungsi menjadi perkebunan rakyat, persawahan dan pemukiman.

5. Kondisi Hutan di Kecamatan Tondon Nanggala

Kawasan hutan lindung Nanggala yang mempunyai luas kurang lebih 16.200 ha merupakan salah satu kawasan hutan negara dari beberapa kelompok hutan yang ada di Tana Toraja. Secara geografis kawasan ini berada diantara 119°57’26” sampai 120°05’00” Bujur Timur dan 02°56’08” sampai 03°04’25” Lintang Selatan dengan ketinggian berkisar 800 hingga 1639 meter dari permukaan laut (Walda, 2003)

Jenis vegetasi yang ada meliputi jenis vegetasi hutan yang merupakan hutan campuran seperti aren (Arenga pinnata), bambu (Bambusa sp), Uru (Elmerellia ovalis), nibung, nyatoh, agathis (Agathis bornensis warb), buangin (Casuarina jughuhniana), iyasah (Castanopsis buruana), semak belukar dan lain-lain. Pada beberapa tempat vegetasi hutan bercampur dengan jenis tanaman perkebunan seperti kopi, coklat dan vanili. Vegetasi hortikultura buah seperti durian, langsat, jambu, mangga yang umumnya berada dekat dengan pemukiman penduduk.

Kondisi hutan di beberapa tempat di Lembang Nanggala memperlihatkan kerusakan hutan yaitu terjadi di Dusun Nanna’ terjadi kerusakan hutan akibat pembabatan seluas ± 3 ha, kebakaran ± 25 ha, tanah kosong ± 0,25 ha dan danau dalam hutan ± 0,20 ha; di Dusun Rura terjadi penebangan hutan disekitar pengairan Batu Tampo; di Lembang Tandung Nanggala terjadi kerusakan sekitar 20 % dimana terdapat beberapa tempat yang pernah terbakar seperti Kulindang, Payung Langi dan Bungin Dawa (Walda, 2002).

6. Kelembagaan Pengelolaan Hutan

(1) Lembang Turunan

Kelembagaan pengelolaan hutan rakyat yang ada di Lembang Turunan hanya dilakukan oleh keluarga yang ditunjuk untuk tinggal pada tongkonan. Dalam sebuah tongkonan biasanya dikelilingi oleh kombong (hutan rakyat di sekitar tongkonan).

Masyarakat di Tana Toraja mengenal dua golongan warisan yang dinamakan mana’ yang sangat erat kaitannya dengan adat dan kehidupan pengabdian kepada tongkonan dan upacara-upacara di Tana Toraja (Tangdilintin, 1974). Sistem mana’ yaitu harta warisan yang dianggap sakral dalam masyarakat Toraja termasuk keris, emas dan tanda-tanda kerajaan yang menyimbolkan status tongkonan (Litbang Kehutanan dan UNHAS, 1997).

Sistem mana’ juga berlaku dalam hal pemilikan lahan yang menjadi tanggung jawab tongkonan. Sebidang tanah diwariskan kepada anak cucu. Akan tetapi untuk kombong yang merupakan sumber kemakmuran rakyat, hak pembagian harta warisan (mana’) tersebut tidak berlaku dan diatur secara tradisional lewat tongkonan. Kombong ditanami pohon-pohonan yang merupakan bahan baku pembuatan rumah adat seperti uru, buangin, bambu dan lain-lain. Untuk pengelolaannya dipercayakan kepada seorang anggota keluarga yang ditunjuk dan dipercayakan untuk mengelolanya. Kayu dari kombong tersebut hanya dapat digunakan untuk pembuatan dan perbaikan rumah tongkonan serta keperluan upacara-upacara adat Pemanfaatan kayu-kayu dari hasil kombong secara individu (pribadi) oleh anggota keluarga dimungkinkan dengan seijin pengelola.

Kelembagaan lokal seperti Karang Taruna, PKK, Kelompok Dasawisma, Kelompok Tani tidak aktif langsung dalam pengelolaan hutan rakyat di Lembang Turunan, sepenuhnya dilakukan oleh keluarga yang ditunjuk dan dipercayakan untuk mengelolanya. Tokoh adat, tokoh masyarakat dan tokoh agama serta PPL Kehutanan hanya memberikan bimbingan dan himbauan agar masyarakat tetap menjaga kelestarian hutan karena merupakan anugerah Tuhan yang sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Kelembagaan pemasaran seperti KUD tidak dimanfaatkan oleh masyarakat, mereka memasarkan langsung ke pasar atau melalui pedagang-pedagang pengumpul. (2) Kecamatan Tondon Nanggala

Kelembagaan yang terlibat dalam pengelolaan hutan di lokasi penelitian terdiri dari lembaga formal dan non formal. Secara formal, pengelolaan kawasan hutan dilakukan oleh dinas kehutanan bekerjasama dengan instansi terkait seperti Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS), dinas pertanian, dinas peternakan dan lain sebagainya. Lembaga non formal (lembaga lokal) seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (Walda), karang taruna, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) membimbing masyarakat dalam pengelolaan hutan. Selain itu di daerah ini terdapat kelompok masyarakat adat yang telah ada sejak dahulu. Peranan kelompok adat ini sangat besar dalam kehidupan masyarakat adat Nanggala sangat mematuhi norma-norma atau aturan-aturan adat yang berlaku. Wilayah adat ini disebut “To Annan Karopi’na Nalili’ Misa Ba’bana” yang berarti 6 (enam) wilayah adat yang luas yang terikat dalam satu kesatuan adat. Ke enam wilayah adat ini disebut karopi’ yang masing-masing dipimpin oleh pemangku adat (Toparengnge) yang disebut “Petulak”. Struktur dalam Tongkonan yang mengepalai beberapa karopi’ dengan pimpinan tertinggi yang disebut dengan To Dua yaitu To Lumika dan To Pao. Menurut Rombelayuk (2005), peran dan fungsi To Dua adalah sebagai berikut :

  1. Penguasa seluruh Nanggala tongkonan Layuk (tongkonan tertinggi)
  2. Mengatur serta mengayomi aturan adat yang disepakati oleh kombongan (musyawarah adat)
  3. Menyelesaikan perselisihan antar to parengnge’ (Petulak)
  4. Memelihara hubungan dengan adat tetangga atau pemerintahan formal
  5. Memimpin kombongan Kalua seluruh Nanggala yang menyangkut evaluasi kembali aturan yang ada, mencabut, mengubah atau membuat peraturan adat yang baru
  6. Bertanggung jawab apabila ada pelaksanaan aturan adat yang tidak sesuai dengan hasil musyawarah (kombongan)
  7. Memimpin sidang adat (pendamai) atas kasus yang tidak diselesaikan pada tringkat karopi’
  8. Menjadi panutan Setelah To Dua terdapat To Parengnge’ sebagai pemimpin 6 (enam) wilayah adat (karopi’) yaitu sebagai berikut:
    1. Karopi’ Kawasik dengan Tongkonan Langkanae dipimpin oleh To parengnge Kawasik,
    2. Karopi’ Rante dengan Tongkonan Tondok Puang dipimpin oleh To parengnge Rante,
    3. Karopi’ Basokan dengan Tongkonan Belo Langi dipimpin oleh To parengnge Basokan,
    4. Karopi’ Nanna dengan Tongkonan Buntu dipimpin oleh To parengnge Nanna,
    5. Karopi’ Alo dengan Tongkonan Dalonga dipimpin oleh To parengnge Alo,
    6. Karopi’ Barana dengan Tongkonan Sendana dipimpin oleh To parengnge Barana.

Fungsi dan peran To Parengnge’

  1. Mengatur serta mengayomi aturan adat atau kesepakatan hasil kombongan dalam lingkup karopi’ masing-masing
  2. menyelesaikan perselisihan antara anggota masyarakat dalam lingkup karopi’ masing-masing
  3. Memimpin dan mengatur serta bertanggungjawab atas pelaksanaan upacara adat dalam karopi’ masing-masing
  4. Memimpin pelaksanaan kerja gotong royong (siarak) dalam penanggulangan bencana, pembuatan pondok upacara dan lainnya
  5. Menjadi pengayom masyarakat (Untarek Lindopio)

Khusus dalam pengelolaan hutan, to parengnge berfungsi sebagai pemberi izin kepada masyarakat yang ingin mengambil kayu di hutan sebagai bahan pembuatan tongkonan, selain itu juga membuat larangan untuk mengambil kayu pada jantung hutan dan pada kemiringan tertentu.

Dalam masing-masing karopi’ terbagi lagi menjadi wilayah-wilayah kecil yang disebut saroan. Kelompok masyarakat ini sangat berperan dalam kegiatan pengelolaan hutan seperti Social Forestry ataupun kegiatan Hutan Kemasyarakatan (HKm). Hal ini terlihat pada kelompok tani yang terlibat dalam kegiatan di daerah ini dibentuk berdasarkan saroan-saroan dalam wilayah adat (karopi’) Nanggala. Berikut adalah Struktur Kelompok Masyarakat Adat Nanggala :

01

Mereka pada mulanya adalah perambah hutan kemudian diorganisir menjadi kelompok tani dalam setiap kegiatan. Dengan demikian kelompok tani ini merupakan kelompok yang permanen sesuai dengan kelompok masyarakat adat setempat. Wilayah kerja kelompok adat ini tidak hanya berlaku pada wilayah adat masing-masing, tetapi juga sampai ke kawasan hutan. Kelompok tani inilah yang merupakan lembaga yang paling berperan dalam pengelolaan hutan karena mereka yang terlibat langsung dalam kegiatan pengelolaan hutan, LSM yang mendampingi mereka dan bersama Penyuluh Kehutanan memberikan bimbingan dan penyuluhan.

Untuk kelembagaan pemasaran yang ada di kecamatan Tondon Nanggala, menurut informasi yang diperoleh dari masyarakat mereka langsung memasarkan di pasar di Rantepao ataupun melalui pedagang-pedagang pengumpul yang datang di tempat mereka, belum ada koperasi yang berperan dalam pemasaran.

7. Kebijakan-Kebijakan Bidang Kehutanan

Untuk mengatasi permasalahan yang terjadi maka dikeluarkan sebuah kebijakan yaitu melalui Proyek Pengembangan Social Forestry pada tahun 1987 hingga tahun 1990 yang berlokasi di Dusun Rura desa Nanggala. Program ini merupakan merupakan kerjasama Departemen Kehutanan dengan The Ford Foundation yang dilaksanakan oleh masyarakat dan fasilitasi oleh LSM setempat (WALDA), Petugas Dinas Kehutanan dan Catherine MacKenzie, seorang volunteer dari LSM Kanada yang diperbantukan di Departemen Kehutanan. Proyek ini berhasil mengidentifikasi kebun rakyat dalam hutan serta hutan lindung yang perlu dilestarikan yang disebut “Bufferzone”. Untuk menarik masyarakat agar mau keluar dari hutan, dikembangkan usaha tani terpadu yang produktif di luar kawasan hutan. Sayangnya program ini hanya melibatkan satu dusun dengan areal hanya 900 ha dari luasan 16.000 ha hutan Nanggala.

Sejak tahun 2000, dilakukan lagi Program Pengembangan Hutan Kemasyarakatan (HKm). Program ini mencakup seluruh wilayah adat Nanggala I, II dan III dan meliputi 3 wilayah adat yaitu:

  1. Wilayah Adat To Annan Karopi’na Nalili’ Misa’ Ba’bana (Nanggala) meliputi 3 lembang yaitu Lembang Nanggala, Nanggala Sampiak Salu dan Tandung Nanggala.
  2. Wilayah adat To Bokin Pitung Penanian yang meliputi 3 lembang yaitu Lembang Bokin, Pitung Penanian dan Karre Limbong.
  3. Wilayah adat To Patang Penanian yang meliputi Lembang Buntao’ Patang dan Limbong Buntao’ Misa’ Ba’bana.

Pada tahun 2004, dikeluarkan lagi kebijakan Sosial Forestry yang berlokasi di kompleks hutan lindung Nanggala, Kecamatan Tondon Nanggala kegiatan ini dilaksanakan oleh Balai Pengelolaan DAS Saddang. Luas lokasi pilot proyek Social Forestry Nanggala adalah 2.500 ha dengan perincian 2000 ha dalam kawasan hutan dan 500 ha di luar kawasan hutan. Sesuai dengan laporan fisik kegiatan tahun 2004 kegiatan yang sudah dilaksanakan adalah pembuatan persemaian 2 unit dan penanaman 75 ha di dalam kawasan hutan (kelola kawasan) yaitu 47 ha di Lembang Karre Limbong dan 28 ha di Lembang Nanggala serta bantuan lebah madu sebanyak 40 koloni jenis Apis cerana. Jenis tananam kayu-kayuan yang telah ditanam yaitu uru dan kasuarina dan untuk tanaman multiguna adalah durian, rambutan, nangka, pete dan pangi. Pengadaan benih untuk persemaian terdiri dari benih tanaman uru, kasuarina dan sengon.

Kebijakan penanaman tanaman pada hutan rakyat juga telah dilaksanakan sejak tahun 2003 yang dilaksanakan oleh BP-DAS Saddang yang berlokasi di Lembang Nanggala Sampiak Salu yaitu di Kambuno seluas 25 ha dan di Lembang Tandun Nanggala seluas 25 ha hingga sekarang. Jenis tanaman yang diberikan yaitu sengon, suren, kasuarina, durian, rambutan dan petai.

Setelah berlakunya UU. No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan adanya perubahan kewenangan yang diatur dalam PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, maka Pemerintah Kabupaten Tana Toraja mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengelola sumber daya alamnya termasuk sumber daya alam hutan yang dimiliki serta membuat beberapa kebijakan.

Kebijakan Pemerintah yang khusus mengatur tentang pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Tana Toraja setelah berlakunya Otonomi Daerah yaitu dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) yaitu Perda Kab. Tana Toraja No. 19 tahun 2001 tentang Retribusi Pengelolaan Hutan Rakyat dalam Wilayah Kab. Tana Toraja, Keputusan Bupati Tana Toraja No. 1572/XI/2001 tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Tana Toraja No. 19 tahun 2001 tentang Retribusi Pengelolaan Hutan Rakyat dalam Wilayah Kabupaten Tana Toraja dan Keputusan Bupati Tana Toraja No: 205/II/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Kab. Tana Toraja No. 19 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Hutan Rakyat Kab.Tana Toraja. Selain itu, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tana Toraja telah membuat Rencana Strategi (Renstra) Tahun 2001-2005 yang merupakan dokumen yang disusun untuk melaksanakan kegiatan dibidang Kehutanan dan Perkebunan dalam kurun waktu lima tahun.

Dengan adanya Keputusan Bupati Tana Toraja No. 205/II/2002 yang merupakan turunan dari Perda No. 19 tahun 2001, maka masyarakat dapat memperoleh Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik (IPKTM) yaitu izin yang diberikan Bupati kepada masyarakat untuk melaksanakan kegiatan eksploitasi kayu bulat yang meliputi penebangan, pengumpulan kayu bulat, pengangkutan dan pemanfaatannya dan penanaman kembali arel bekas tebangan (pasal 11). Hak milik atas tanah adalah dalam bentuk Sertifikat Hak Milik, Surat Keterangan Kepemilikan Tanah dari Lembang/Lurah setempat diketahui oleh Camat atau Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) dari Kepala Dinas Pertanahan Daerah Kabupaten Tana Toraja (pasal 2 ayat 3). Izin diberikan dengan maksimal luas 250 ha dan jangka waktu selama satu tahun (pasal 13 ayat 1). Jangka waktu pemberian izin dapat diperpanjang apabila kewajiban-kewajiban yang ditetapkan telah dipenuhi dengan ketentuan potensi tegakan masih memungkinkan untuk di eksploitasi serta target produksi belum terpenuhi (pasal 13 ayat 2).

Adanya kebijakan Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik (IPKTM) di Kabupaten Tana Toraja ini terkait dengan:

  1. Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 36 :
    1. Pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya.
    2. Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.
  2. Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Pasal 70 :
    1. Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi produksi, dapat dilakukan kegiatan untuk memproduksi hasil hutan sesuai potensi dan daya dukung lahan.
    2. Pemerintah, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten atau kota berkewajiban untuk mengembangkan hutan hak melalui pengembangan kelembagaan.
  3. Peraturan Daerah Kabupaten Tana Toraja No. 19 Tahun 2001 tentang Retribusi Pengelolaan Hutan Rakyat dalam Wilayah Kabupaten Tana Toraja.
    • Pasal 16 :
      1. Izin Pemanfaatan hutan rakyat diterbitkan oleh bupati.
      2. Izin diberikan kepada perorangan, perusahaan atau koperasi untuk mengelola areal hutan rakyat atau hutan milik di luar kawasan hutan yang terdapat di daerah yang berasal dari hutan alam atau hutan tanaman yang akan diremajakan atau di konservasi.
    • Pasal 17 : Izin yang diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) peraturan daerah ini adalah wewenang yang diberikan untuk melaksanakan kegiatan eksploitasi kayu yang meliputi penebangan, penyaradan, pengangkutan dan pengumpulan kayu dan penanaman pada areal bekas tebangan.
    • Pasal 18 : Tata cara pemberian izin pemanfaatan hutan rakyat akan diatur lebih lanjut dengan keputusan bupati.
  4. Keputusan Bupati Tana Toraja No. 1572/XI/2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Tana Toraja No. 19 Tahun 2001 tentang Retribusi Pengelolann Hutan Rakyat dalam Wilayah Kabupaten Tana Toraja.
    • Pasal 2 : Pengelolaan dan pemungutan retribusi pengelolaan hutan rakyat dalam wilayah Kabupaten Tana Toraja dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupeten Tana Toraja.
    • Pasal 3 : Petunjuk teknis, sistem pemungutan dan prosedur administrasi pelaksanaannnya dibuat dan disusun oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tana Toraja bekerjasama dengan instansi/unit terkait dan diusulkan kepada Bupati Tana Toraja untuk di tetapkan dengan keputusan.
  5. Keputusan Bupati Tana Toraja No. 205/II/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Tana Toraja No. 19 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Tana Toraja.
    • Pasal 3 : Setiap perorangan, perusahaan dan koperasi yang ingin memanfaatkan kayu yang tumbuh di atas tanah milik terlebih dahulu mengajukan permohonan izin kepada bupati melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tana Toraja dengan dilampiri rekomendasi dari lembang/lurah setempat dan diketahui oleh camat setempat.
    • Pasal 4 : Permohonan sebagaimana dimaksud pasal 3 harus dilampiri dengan:
      1. Peta lokasi yang dimohon
      2. Daftar pemilik kayu dan jumlah pohon/volume kayu hasil inventarisasi yang dilaksanakan oleh tim yang terdiri atas unsur pemilik kayu, perusahaan, koperasi dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tana Toraja.
    • Pasal 5 : Khusus bagi koperasi dan perusahaan permohonan dilengkapi dengan:
      1. Akta pendirian koperasi/perusahaan.
      2. Berita acara kemitraan antara pemilik kayu dengan koperasi/perusahaan.
    • Pasal 6:
      1. Izin diterbitkan oleh Bupati Tana Toraja dan diberikan kepada perorangan, perusahaan atau koperasi.
      2. Bagi pemohon perorangan izin dapat diterbitkan oleh Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan atas nama bupati dengan volume perizinan maksimum 100 m3 kayu bulat (50 m3 kayu olahan) dengan luas maksimum 1 (satu) Ha.
  6. Keputusan Menteri Kehutanan No. 126/Kpts-II/2003 tentang Penatausahaan Hasil Hutan.
    • Pasal 33 :
      1. Setiap orang atau badan hukum yang memiliki hutan hak/rakyat yang akan melakukan penebangan pohon, wajib melaporkan rencana penebangan kepada kepala desa setempat atau pejabat setara yang diangkat Kepala Desa setempat atau pejabat setara yang diangkat Kepala Dinas Provinsi, dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
      2. Penyampaian rencana penebangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan:
        1. Bukti pemilikan atas tanah (copy alas/titel/hak atas tanah);
        2. Peta areal hutan hak/rakyat yang berisi letak, luas dan batas-batasnya diketahui oleh camat setempat;
        3. Potensi tegakan hutan hak/rakyat.
      3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penatausahann hasil hutan hak/rakyat diatur oleh Kepala Dinas Provinsi bersangkutan dengan tetap mengikuti/mengacu keputusan ini, dengan ketentuan sebagai berikut :
        1. Pohon yang akan ditebang benar-benar berada pada hutan hak/rakyat sesuai bukti pemilikan yang sah;
        2. Status tanah tidak dalam sengketa;
        3. Dokumen angkutan yang digunakan adalah SKSHH yang diberi cap kayu rakyat (KR);
        4. Kayu yang akan diterbitkan SKSHH untuk diangkut/dijual ke industri pengolahan kayu wajib dilakukan oleh petugas kehutanan yang berkualifikasi Penguji Hasil Hutan (PHH);
        5. Hasil pemeriksaan dituangkan dalam daftar hasil hutan dengan cap KR (DHH-KR), dengan prosedur sesuai ketentuan yang berlaku dan ditandatangani oleh petugas bersangkutan sebagai dasar penerbitan SKSHH oleh P2SKSHH
    • Pasal 34: Ketentuan mengenai pemberlakuan dokumen Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) akan ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri tersendiri.
    • Pasal 35:
      1. Pemilik hutan hak/rakyat termasuk pemilik kebun yang memanfaatkan kayu bulat produksi dari land clearing wajib membuat dan melaporkan realisasi penebangan/pemanenan dan pengangkutan kayu bulat dengan menggunakan format blanko LMKB.
      2. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Dinas Provinsi. Setelah berlakunya otonomi daerah, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tana Toraja telah membuat Rencana Strategi (Renstra) Tahun 2001-2005 yang merupakan dokumen yang disusun untuk melaksanakan kegiatan dibidang Kehutanan dan Perkebunan dalam kurun waktu lima tahun.

8. Dampak Kebijakan Pengelolaan Hutan

Berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah memberikan dampak kepada masyarakat dan lingkungan di Kabupaten Tana Toraja. Dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah utamanya setelah berlakunya otonomi daerah akan diuraikan sebagai berikut:

(1) Kebijakan Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik (IPKTM)

Keluarnya kebijakan ini memberi peluang bagi beberapa perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang industri pengolahan kayu. Di Kabupaten Tana Toraja terdapat dua perusahaan yang diberikan izin pengelolaan hutan pinus rakyat yaitu: Setelah dikeluarkannya kebijakan ini menimbulkan dampak bagi masyarakat dan lingkungan. Dampak yang ditimbulkannya ada yang positif dan ada pula yang negatif. Menurut hasil penelitian Barus (2005), semenjak beroperasi perusahaan tersebut telah memberikan dampak kepada masyarakat baik yang bersifat positif maupun negatif. Dampak positif yang diberikan yaitu:

  1. Terciptanya lapangan kerja dimana PT. Nelly Jaya Pratama telah merekrut 816 orang dengan jumlah yang bekerja di pabrik sebanyak 176 orang sedangkan selebihnya merupakan tenaga kerja ikutan yang terlibat di lapangan.
  2. Terciptanya peluang berusaha seperti berdirinya warung-warung makan dan toko-toko kecil di sekitar perusahaan.
  3. Peningkatan kesejahteraan masyarakat disekitar perusahaan yang merupakan dampak turunan dari terciptanya lapangan kerja.
  4. Peningkatan perekonomian daerah/Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam mendukung pembangunan di Kabupaten Tana Toraja yaitu:
    • Tahun 2002 : Rp. 220.450.000,-
    • Tahun 2003 : Rp. 381.279.500,-
    • Tahun 2004 : Rp. 880.250.000,
    • Rata-rata per tahun = Rp. 493.993.167,-

Selain itu, juga telah memberikan kontribusi kepada pemerintah daerah antara lain:

  1. Retribusi untuk kayu bulat sebesar Rp. 25.000,-/m3
  2. Retribusi untuk finir sebesar Rp. 50.000,-/m3
  3. Retribusi dispensasi jalan sebesar Rp. 750.000,-/bulan.

Adapun dampak negatif keberadaan perusahaan tersebut adalah:

  1. Perizinan usaha kehutanan yang dikeluarkan oleh Bupati sering disalahgunakan oleh masyarakat seperti melakukan illegal logging. Hal ini disebabkan tata batas hutan yang tidak jelas.
  2. Kegiatan penebangan dilakukan tanpa memperhatikan kaidah lingkungan.
  3. Banyak kegagalan pembuatan tanaman pada areal bekas tebangan. Dari 270.000 bibit yang disediakan oleh perusahaan, bibit Gmelina dan Sengon yang siap tanam di lapangan hanya 105.810 bibit (39,19 %). Hal ini disebabkan kurangnya pemeliharaan yang dilakukan oleh pihak perusahaan sehingga banyak bibit yang mati di persemaian.
  4. Luas lahan kosong dan lahan kritis terus bertambah. Luas hutan rakyat yang sudah ditebang 635 ha sedangkan realisasi penanaman pada arel bekas tebangan baru mencapai 265 ha (41,73 %), sehingga terdapat lahan kosong seluas 370 ha  (58,27 %). Sebelum adanya IPKTM luas lahan kritis di Kecamatan Mengkendek seluas 555 ha, setelah adanya IPKTM luas lahan kritis mencapai 955 ha (172,07 %).

Kebijakan ini menuai protes dari kalangan masyarakat dan berbagai lembaga utamanya lembaga swadaya masyarakat pemerhati hutan dan lingkungan yang menyebabkan izin kedua perusahaan ini di cabut.

Menurut Pulung (2005), sejak dicabutnya izin operasional dua perusahaan kayu, kasus pencurian kayu di Kecamatan Mengkendek berkurang, kasus sengketa kayu maupun illegal logging mulai berkurang. Masyarakat tidak lagi melakukan pelanggaran di kawasan hutan lindung. Aksi perambahan yang dulunya terjadi, kini tidak terlihat lagi. Awalnya, kehadiran kedua perusahaan kayu itu, membuat tindak pelanggaran hukum di wilayah Mengkendek meningkat. Oknum masyarakat berlomba-lomba menjarah isi hutan, untuk dijual ke perusahaan kayu tersebut. Akan tetapi, hal itu sudah tidak terlihat lagi (Palopo Post, 2005).

Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten TanaToraja berupa Peraturan Daerah (Perda) dan Keputusan Bupati mengenai Izin Pemanfaatan Kayu Milik (IPKTM) bertujuan untuk meningkatkan manfaat hutan bagi masyarakat dan sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebenarnya tujuan tersebut dapat tercapai tanpa menimbulkan kerusakan hutan apabila pelaksanaan di lapangan sesuai dengan aturan yang telah dibuat, sosialisasi yang baik, pengawasan yang ketat serta penegakan hukum yang tegas.

Potensi hutan rakyat yang cukup besar dan potensial untuk dikelola dapat mendukung kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah Kabupaten Tana Toraja, namun harus dilaksanakan sesuai dengan kemampuan dan daya dukung yang ada. Adanya kearifan lokal dalam pemanfaatan hutan yaitu bahwa pohon yang tumbuh di atas tanah tongkonan tidak boleh digunakan untuk kebutuhan lain selain untuk kebutuhan adat perlu dikembangkan. Hal tersebut dapat terwujud apabila ada peran serta aktif dari kelembagaan lokal yang ada di daerah tersebut, seperti kelembagaan adat/pemangku adat, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Selain itu peran penyuluh kehutanan harus lebih di tingkatkan agar kelestarian hutan dapat terus terjaga. Pemerintah daerah harus terus menggali potensi-potensi yang ada untuk meningkatkan manfaat hutan rakyat bagi masyarakat, bukan hanya potensi hutan berupa kayu tetapi juga potensi hasil hutan non kayu. Sebagai contoh di lokasi penelitian yaitu di Lembang Turunan terdapat potensi hutan yang belum dimanfaatkan dengan baik misalkan potensi tanaman aren (Arenga pinnata) selama ini masyarakat hanya memanfaatkan untuk diambil tuaknya saja padahal masih banyak kegunaan lain yang dapat diperoleh apabila masyarakat diberikan bimbingan. Di daerah ini belum ada penyuluhan tentang pengembangan lebah madu yang bermanfaat bagi lingkungan dan peningkatan ekonomi rakyat padahal pakan yang tersedia sangat memungkinkan.

(2) Kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Social Forestry (SF)

Pengertian Hutan Kemasyarakatan menurut Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 677/Kpts-II/1998 adalah Hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh Menteri untuk di usahakan oleh masyarakat setempat dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan menitikberatkan kepentingan menyejahterakan masyarakat.

Pengertian Social Forestry menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. PP.01/Menhut-11/2004 adalah Sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara dan atau hutan hak, yeng memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestraian hutan.

Hutan rakyat/hutan hak menurut Undang-undang Kehutanan No. 41 tahun 1999 adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Sedangkan pengertian hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.

Kebijakan-kebijakan ini utamanya bertujuan untuk memberikan akses langsung kepada masyarakat dalam pengelolaan hutan untuk meningkatkan kesejahteraannya tanpa merusak hutan, hal ini juga dilakukan sebagai jalan keluar adanya konflik penggunaan lahan yaitu masyarakat terlanjur masuk dan menetap didalam kawasan hutan.

Dampak yang ditimbulkan dari kebijakan–kebijakan ini cukup baik, dari hasil wawancara dengan anggota-anggota kelompok tani diperoleh informasi bahwa dengan adanya kebijakan ini masyarakat menjadi sadar akan kelestarian hutan dengan tidak lagi menebang tanaman kehutanan tetapi mereka telah menanam tanaman-tanaman perkebunan yang dapat kombinasikan dengan tanaman kehutanan (Agroforestry) misalnya vanili, coklat, kopi yang membutuhkan tempat untuk hidup pada tanaman kayu-kayuan. Mereka dapat mengambil hasil dari hutan tanpa merusak hutan tersebut. Mereka juga merasa telah dilibatkan dalam program-program pemerintah dengan adanya kelompok-kelompok tani yang dibentuk berdasarkan wilayah-wilayah adat.

Permasalahan yang dihadapi adalah masih adanya kebingungan masyarakat dalam pengurusan izin pemanfaatan hutan. Menurut Bapak L. Sombolinggi (73 thn) seorang tokoh masyarakat sekaligus ketua LSM Walda, bahwa kebijakan pemerintah tentang peraturan kehutanan secara umum dan hutan kemasyarakatan yang selalu berubah/berganti misalnya Kepmen No. 677/1998 yang digantikan oleh Kepmen No. 31/2001 tentang Hkm yang belum jelas dan kemudian keluar lagi PP No.34 thn 2002 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Pengurusan izin pemanfaatan hutan kemasyarakatan yang dibuat yang hampir selesai akhirnya harus dimulai kembali dari nol.

Sejak berlakunya Otonomi Daerah yang memberi peluang masyarakat lokal untuk mengelola sumberdaya alamnya, menimbulkan keinginan masyarakat terutama masyarakat adat agar pengelolaan hutan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah dikembalikan kepada masyarakat adat. Mereka menganggap bahwa mereka lebih dapat menjaga kelestarian hutan dengan adanya aturan-aturan adat yang masih mereka miliki walaupun tidak tertulis.

Pengamatan yang dilakukan di lokasi penelitian juga terdapat konflik yang terjadi dalam hal penggunaan sumberdaya air. Masyarakat meminta kontribusi dari pemakaian air yang digunakan oleh pihak PDAM Kabupaten Tana Toraja. Mereka merasa sumber-sumber mata air yang selama ini mereka gunakan untuk mengairi sawah debit airnya menjadi berkurang setelah masuknya perusahaan tersebut, untuk itu mereka meminta agar diberikan kontribusi dari penghasilan yang didapatkan oleh perusahaan tersebut.

IV. Kesimpulan

  1. Kelembagaan yang berperan dalam pengelolaan hutan rakyat tongkonan di Lembang Turunan adalah kelembagaan adat yang ada di daerah tersebut. Kelembagaan yang berperan dalam pengelolaan hutan di Kecamatan Tondon Nanggala adalah Pemda Kabupatan Tana Toraja, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, BP DAS Saddang, sebagai pembuat dan pelaksana kebijakan (Formal); Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Kelompok masyarakat adat/tokoh adat, Kelompok tani (kelembagaan yang paling berperan).
  2. Kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah setelah berlakunya otonomi daerah mengenai hutan rakyat berupa Peraturan Daerah (Perda) yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Tana Toraja No. 19 Tahun 2001 tentang Retribusi Pengelolaan Hutan Rakyat dalam wilayah Kabupaten Tana Toraja. Keputusan Bupati Tana Toraja No. 1572/XI/2001 tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Tana Toraja No. 19 tahun 2001 tentang Retribusi Pengelolaan Hutan Rakyat dalam Wilayah Kabupaten Tana Toraja dan Keputusan Bupati Tana Toraja No : 205/II/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Kab. Tana Toraja No. 19 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Hutan Rakyat Kab.Tana Toraja, Perda ini melahirkan Kebijakan Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik (IPKTM), Kebijakan Hutan Kemasyarakatan, Kebijakan Social Forestry, Rencana Strategis (Renstra) Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tana Toraja.
  3. Dampak yang ditimbulkan dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah setelah berlakunya otonomi daerah ada dua yaitu dampak positif dan negatif.
    • Dampak positif:
      1. Terciptanya lapangan kerja bagi masyarakat
      2. Peningkatan kesejahteraan sebahagian masyarakat
      3. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (4) Adanya tambahan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang hutan dan lingkungan
    • Dampak negatif:
      1. Terjadinya pembalakan liar (illegal logging)
      2. Terjadinya kerusakan hutan dan lingkungan
      3. Bertambahnya lahan kritis
      4. Terjadinya konflik penggunaan lahan dan sumberdaya air dalam masyarakat.

Daftar Pustaka

Bupati Tana Toraja, 2001. Keputusan Bupati Tana Toraja No. 1572/XII/2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Tana Toraja No. 19 tentang Retribusi Pengelolaan Hutan Rakyat dalam Wilayah Kabupaten Tana Toraja. Tana Toraja.

Bupati Tana Toraja, 2002. Keputusan Bupati Tana Toraja No. 205/II/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Tana Toraja No. 19 tentang Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Tana Toraja.. Tana Toraja.

Badan Pusat Statistik, 2005. Laporan Potensi Desa. Makale.

Badan Pusat Statistik, 2003. Kecamatan Tondon Nanggala dalam Angka. Makale.

Barus, 2005. Penerapan Kebijakan Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik (IPKTM) dalam Pengelolaan Hutan di Kecamatan Mengkendek Kabupaten Tana Toraja. Universitas Hasanuddin, Makassar. (Tesis tidak diterbitkan).

Departemen Kehutanan, 1998. Peraturan Hutan Kemasyarakatan No 6.77/Kpts-II/1998. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta.

Departemen Kehutanan, 1999. Undang-undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jakarta.

Departemen Kehutanan, 2002. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 34 Tahun 2002 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Jakarta.

Departemen Kehutanan, 2003. Keputusan Menteri Kehutanan No. 126/Kpts-II/2003 tentang Penatausahaan Hasil Hutan. Jakarta.

Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tana Toraja, 2003. Rencana Strategis (Renstra). Tana Toraja.

Litbang Kehutanan dan UNHAS, 1997. Studi Pengembangan Hutan Rakyat Wilayah Sulawesi Selatan dengan Pendekatan SEKI. Kerjasama Badan Litbang Kehutanan dan Fakultas Pertanian dan Kehutanan UNHAS. Jakarta.

Pemerintah Kabupaten Tana Toraja, 2001. Peraturan Daerah Kabupaten Tana Toraja No. 19 tentang Retribusi Pengelolaan Hutan Rakyat dalam Wilayah Kabupaten Tana Toraja. Tana Toraja.

Pulung S., 2005. Kasus Illegal Logging Berkurang. Palopo Post, Selasa Juni 2005 hal. 11 kolom 4-6. Palopo.

Tangdilintin, 1974. Toraja dan Kebudayaannya. Kantor cabang II. Lembaga Sejarah dan Antropologi Ujung Pandang. Ujung Pandang.

Walda (Wahana Lestari Persada), 2002. Laporan pelatihan Pemetaan Partisipatif di Lokasi Hutan Kemasyarakatan Nanggala. Tidak diterbitkan. Tana Toraja.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.