Kelembagaan DAS

Fitri Nurfatriani

PELUANG DAN TANTANGAN DALAM PENERAPAN PRAKTEK IMBAL JASA LINGKUNGAN

(SEBUAH MASUKAN TERHADAP RANCANGAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN MENGENAI IZIN USAHA PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN AIR DI KAWASAN HUTAN KONSERVASI)

Oleh : Fitri Nurfatriani

Pendahuluan

Kawasan hutan konservasi memiliki fungsi perlindungan system penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Akan tetapi saat ini terjadi tekanan terhadap kawasan hutan tersebut yang banyak disebabkan oleh factor eksternal. Berbagai tekanan yang timbul akan mengurangi berbagai manfaat tangible dan intangible hutan yang bernilai ekonomis tinggi, salah satu manfaat intangible hutan yaitu fungsi hidrologis hutan sebagai pengatur tata air yang menjaga kualitas, ketersediaan dan kontinyuitas air. Dengan demikian sumber-sumber air yang berada di sekitar kawsan konservasi merupakan fungsi dari keberadaan hutan.

Kesadaran akan pentingnya manfaat lingkungan khususnya yang berasal dari hutan menjadikan timbulnya kesadaran untuk menjaga fungsi dan keberadaan kawasan hutan tersebut. Salah satu bentuknya adalah dengan menggunakan mekanisme insentif ekonomi dalam hal ini diberikan dalam bentuk insentif fiscal berupa pajak atau retribusi terhadap pemanfaatan hasil hutan. Departemen Kehutanan dalam hal ini telah menginisiasi kompensasi terhadap pemanfaatan jasa lingkungan air di kawasan hutan konservasi sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah No 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Dalam tulisan ini akan dipaparkan masukan mengenai Rancangan Peraturan Menteri Kehutanan mengenai Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Air (IUPJLA) Nomor : P. /Menhut-II/2007, meliputi peluang dan keterbatasannya serta alternative solusinya.

Analisis Peluang dan Keterbatasan Implementasi Rancangan Peraturan Menteri Kehutanan mengenai Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Air

Sebagai suatu bentuk implementasi dari penyusunan aturan mengenai pembayaran jasa lingkungan, telah disusun Rancangan Peraturan Menteri Kehutanan mengenai Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Air (IUPJLA). Dalam Rancangan Permenhut tersebut diatur mengenai pemberian ijin bagi kalangan usaha yang ingin memanfaatkan jasa lingkungan air secara komersial yang terdapat pada dan atau berasal dari hutan konservasi, baik untuk usaha penyedia air bersih untuk rumah tangga, air minum dalam kemasan, untuk menunjang kegiatan industri, dan pembangkit listrik tenaga air. Bentuk penetapan IUPJLA ini merupakan salah satu insentif ekonomi dalam bentuk insentif fiscal berupa retribusi (pungutan) yang berkaitan dengan lingkungan, dengan adanya pungutan terhadap setiap meter kubik air yang dimanfaatkan user.

Dalam penerapan sistem fiscal tersebut terdapat beberapa keunggulan dan keterbatasan dari system insentif tersebut (Tim INDEF, 2007). Keunggulannya antara lain : (1) efisien dari sisi ekonomi dan ekologi, sehingga dapat dihitung dengan jelas berapa pajak/pungutan yang harus dibayar dan berapa yang akan diterima, (2) memberikan insentif (disinsentif) bagi para pelaku ekonomi dalam mempertimbangkan aktifitas yang dikerjakan, (3) dapat mendorong aktifitas ekonomi yang ramah lingkungan, termasuk pada tingkat pajak atau pungutan yang relative rendah, (4) memberikan pilihan pada pelaku ekonomi untuk menjalankan aktifitas yang tidak ramah lingkungan dengan konsekuensi pajak atau melakukan investasi menggunakan teknologi ramah lingkungan, (5) dapat menjangkau lebih banyak obyek pajak. Akan tetapi insentif fiscal pun memiliki keterbatasan diantaranya adalah : (1) berimplikasi meningkatkan biaya produksi sehingga mudah menimbulkan resistensi pada para pelaku ekonomi, (2) memperlemah daya saing ekonomi Indonesia, karena diduga perpajakan merupakan salah satu factor hambatan investasi di Indonesia, (3) pemerintah mempunyai kecenderungan memprioritaskan penerimaan negara dibandingkan focus perhatian kepada isu-isu lingkungan hidup, sehingga dikhawatirkan hasil pajak/retribusi yang diterima tidak kembali ke hutan terlebih setelah adanya otonomi daerah, (4) terbuka peluang pajak berganda.

Dari aturan tentang IUPJLA sendiri, yang menjadi keterbatasan adalah adanya tumpang tindih pungutan dengan instansi lain terkait dalam pemungutan sumber daya air. Pemerintah Daerah cq. Dispenda saat ini menetapkan Pajak Pengambilan danPemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan kepada para pemakai air yang juga berlokasi di sekitar hutan. Demikian juga dengan mekanisme IUPJLA nanti sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sector kehutanan, dapatkah dipastikan bahwa hasilnya nanti akan digunakan secara khusus untuk memperbaiki kondisi hutan di lokasi tempat pemanfaatan air tersebut dilakukan. Di samping itu dalam rancangan permenhut disebutkan bahwa areal kerja pengusahaan pemanfaatan jasa lingkungan air dapat dilakukan pada zona dan atau blok rimba dan zona pemanfaatan dari kawasan hutan konservasi. Hal ini pun menimbulkan perdebatan mengingat pada Undang-undang nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air pasal 26 menyebutkan bahwa “pendayagunaan air dikecualikan pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam” yang mana kawasan tersebut berada di hutan konservasi. Akan tetapi pada Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan pasal 18 menyebutkan bahwa “ pemanfaatan hutan dapat dilakukan melalui kegiatan pemanfaatan jasa ligkungan pada hutan konservasi selain cagar alam, zona rimba, dan zona inti pada taman nasional sehingga ini berarti pemanfaatan kegiatan jasa lingkungan di kawasan konservasi lain (kawasan suaka margasatwa, taman wisata alam, zona pemanfaatan taman nasional dan taman hutan raya) boleh dilakukan dengan tanpa mengesampingkan fungsi utama dari kelestarian ekosistem wilayah.

Untuk itu sebagai masukan terhadap rancangan permenhut ini, terdapat beberapa langkah yang perlu diambil diantaranya: (1) penerapan IUPJLA perlu diikuti dengan jaminan tidak terhadinya pajak berganda yang dilaksanakan diantaranya dengan unifikasi system perpajakan sehingga pemerintah dapat mereduksi jenis-jenis pajak/pungutan lingkungan yang telah berlaku untuk menghindari tumpang tindih pajak/pungutan, (2) perlunya penegakan hukum yang kuat dalam menyelesaikan berbagai kasus kejahatan lingkungan, (3) perlu adanya suatu lembaga yang secara spesifik dan intensif mengelola perolehan pajak/pungutan lingkungan atau pungutan non pajak lainnya serta mengalokasikannya secara langsung pada kegiatan rehabilitasi kawasan hutan tempat pemanfaatan air dilakukan, (4) perlu ada sinergi mendasar antara departemen-departemen terkait dalam pengelolaan lingkungan hidup, khususnya dalam mengatur pajak/pungutan lingkungan, (5) dengan memperhatikan karakteristik jasa lingkungan air yang dihasilkan dari hutan maka sebagai alternative solusi pembayaran kompensasi terhadap jasa lingkungan yang dihasilkan dapat berupa pengembangan pasar jasa lingkungan melalui kegiatan pembayaran jasa lingkungan yang dirumuskan antara penyedia jasa dalam hal ini pengelola kawasan (provider) dan user yaitu penerima manfaat. Dalam pembayaran jasa lingkungan ini, dapat diatur secara spesifik untuk setiap lokasi, dimana pengelola kawasan dapat menyusun kesepakatan dengan penerima manfaat untuk membayarkan kompensasi atas manfaat air yang diterima.Untuk itu kompensasi yang dibayarkan benar-benar dialokasikan untuk kepentingan pembangunan hutan di kawasan tersebut. Yang tidak kalah penting fungsi hutan selain sebagai fungsi ekonomi dan ekologi juga berfungsi social, sehingga perlu diperhatikan jangan sampai pemanfaatan air social secara non komersial oleh masyarakat sekitar hutan menjadi terabaikan.

Penutup

Penetapan IUPJLA bukanlah hal yang tidak mungkin, akan tetapi perlu diperhatikan berbagai prasyarat dan kondisi pemungkin yang dibutuhkan untuk dapat mengimpelementasikan aturan tersebut. Sosialisasi dan brain storming dari beberapa pihak yang berkompeten dibutuhkan khususnya dengan beberapa instansi lain yang etrkait seperti Departemen Pekerjaan Umum, Pemerintah Daerah, Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen Dalam Negeri, akademisi, LSM dan lain-lain. Fungsi social hutan juga perlu menjadi pertimbangan, jangan sampai mengurangi akses pemanfaatan masyarakat terhadap hutan secara social.

DAFTAR PUSTAKA

Pagiola S, Landell-Mills N, dan Bishop J. 2004. Market Based Mechanisms for Forest Conservation and Development dalam Selling Forest Environmental Services. Earthscan. London.

Peraturan Pemerintah No 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan

Rancangan Peraturan Menteri Kehutanan mengenai Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Air Nomor : P. /Menhut-II/2007.

Tim INDEF. 2007. Kajian Pengembangan Sistem Insentif Ekonomi Bagi Pengelolaan Lingkungan Hidup. Disampaikan pada Diskusi Studi Aplikasi Instrumen Ekonomi dalam Pengelolaan SDA dan Lingkungan, Jakarta 27 Maret 2007.

Undang-undang nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

World Agroforetry Centre (ICRAF). 2005. Strategi Pengembangan Pembayaran dan Imbal Jasa Lingkungan di Indonesia. Laporan Lokakarya Nasional di Jakarta 14-15 Februari 2005. Editor : Aunul Fauzi, Beria Leimona dan Muhtadi. World Agroforetry Centre (ICRAF). Bogor.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.