Kelembagaan DAS

Wiwiek Awiati

Pengembangan Kelembagaan Yang Mendukung Pembangunan Berkelanjutan dan Penyelamatan Aset Alam

Oleh Wiwiek Awiati
Anggota Dewan, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) ; 0812 900 99 10

Pendahuluan

Tiga tahun telah berlalu sejak Indonesia, melalui Presiden Megawati Soekarnoptri sebagai pemimpin delegasi ke KTT Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan (World Summit on Sustainable Development-WSSD), menyampaikan komitmen Pemerintah RI pada tanggal 4 September 2002 di Johannesburg dihadapan media masa nasional maupun internasional untuk bertekad melaksanakan berbagai kesepakatan yang disetujui dalam KTT tersebut dan akan menjadikan acuan dalam melaksanakan pembangunan di Indonesia di masa mendatang1. Namun demikian, sampai pada pemerintahan SBY-JK saat ini, komitmen tersebut tetap belum dilaksanakan secara konsiten dan menjadi pegangan bagi para pengambil keputusan di negara ini. Belum terdapat rencana dan langkahlangkah yang berarti untuk mengaktualisasikan Plan of Implementation KTT Johannesburg. Satu-satunya kegiatan yang signifikan yang dilakukan pada periode Pemerintahan Megawati hanyalah penterjemahan dokumen-dokumen KTT Pembangunan Berkelanjutan berikut acara peluncurannya, dan berbagai acara sosialisasi dokumen tersebut yang dilaksanakan oleh Departemen Luar Negeri Republik Indonesia (tidak lebih dari itu) Bahkan Sebuah Peraturan yang diharapkan mampu menjadi tool of coordiantion bagi pengelolaan aset sumber daya alampun sampai saat ini tidak berhasil diwujudkan.

Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan2

Tiga pilar utama dari Pembangunan Berkelanjutan adalah Pengentasan kemiskinan (poverty eradication), Perubahan pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan (changing unsustainable pattern of consumption and production), dan Perlindungan dan pengelolaan basis sumber daya alam bagi pembangunan ekonomi dan sosial (protecting and managing the natural resources basis of economic and social development).

Ketiga elemen ini merupakan elemen yang harus terintegrasi dan terkait serta bergantung satu dengan yang lainnya (interdependensi). Mengapa demikian? Penghapusan atau pengurangan angka kemiskinan menjadi sangat penting bagi negara-negara berkembang di dunia, karena kemiskinan sumber dari degradasi lingkungan hidup/ kualitas sumber daya alam. Kemiskinan juga menyuburkan korupsi dan mengurangi kemampuan negara dalam memperbaiki tata pemerintahan yang baik (good governance). Kemiskinan juga mengurangi kemampuan negara untuk membangun sumber daya manusianya melalui pendidikan serta mengurangi daya saing terhadap negara-negara lain. Oleh sebab itu, perlindungan daya dukung ekosistem sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup mensyaratkan adanya upaya sungguh-sungguh untuk memberantas kemiskinan.

——-

1 Disampaikan dalam Sambutan Menteri Luar Negeri RI pada Peluncuran Buku dan Forum Diskusi “:Hasil-Hasil dan Tindak Lanjut KTT Pembangunan Berkelanjutan”, Yang diselenggarakan Oleh Departemen Luar Negeri RI dan UNDP, Jakarta 11 April 2003
2 Mas Achmad Santosa, 2003
——–
Namun demikian, keberlimpahan (affluent) juga menjadi penyebab kerusakan eksosistem melalui pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan. Oleh karenanya dalam konteks global, keberlimpahan yang kini dialami oleh negara-negara industri maju diindikasikan sebagai penyebab utama kondisi pemanasan global (global warming), penipisan lapisan ozone, serta mendorong pengurasan sumber daya alam di negara berkembang dengan mengekspor teknologi yang tidak ramah lingkungan, dan pola investasi yang mengabaikan aspek berkelanjutan. Dengan demikian upaya mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan (sebagai pilar kedua pembangunan berkelanjutan) menjadi hal yang utama untuk mendukung upaya perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan hidup sebagai prasyarat peningkatan kesejahteraan masyarakat generasi sekarang (present generation) dan yang akan datang (future generation).

Pilar Ketiga, yaitu Pilar Pengelolaan Sumber Daya Alam memuat berbagai kesepakatan global tentang bagaimana seharusnya sumber daya alam dikelola agar berkelanjutan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi. Didalam pilar ketiga ini sangat jelas bahwa pengelolaan sumber daya alam yang meliputi pengelolaan sumber daya air, kelautan, pertanian, ekosistem pegunungan, pariwisata, keanekaragaman hayati, hutan dan pertambangan harus mempertimbangkan ketiga aspek secara sekaligus yaitu aspek ekonomi, ekologi dan sosial3.

Pengembangan Kelembagaan Yang Mendukung Pembangunan Berkelanjutan

Keberadaan kelembagaan di tingkat pemerintah untuk mendukung pembangunan berkelanjutan sangatlah penting. Angka 165 dari Plan of Implementation KTT Johannesburg menegaskan hal sebagai berikut:

“Memajukan lebih lanjut pembentukan atau penguatan dewan pembangunan berkelanjutan dan/atau struktur koordinasi di tingkat nasional, termasuk di tingkat local, agar dapat memberikan fokus tingkat tinggi pada kebijakan pembangunan berkelanjutan. Dalam konteks ini, partisipasi antara pemangku kepentingan perlu didukung”

Angka 166 Plan of Implementation:

“Mendukung upaya semua negara, khususnya negara berkembang dan negara dalam transisi ekonomi, untuk memperkuat penataan kelembagaan nasional bagi pembangunan berkelanjutan, termasuk di tingkat lokal……”

Kedua hal di atas memandatkan adanya pembentukan pelembagaan yang memiliki struktur koordinasi yang mampu mengarusutamakan proses Pembanguann Berkelanjutan serta adanya forum bagi pemangku kepentingan untuk membahas mengenai berbagai aspek pembangunan berkelanjutan ini.

Di Indonesia sampai dengan saat ini tidak ada kelembagaan, baik di tingkat nasional maupun di daerah yang dapat mendorong pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan. Pilar-pilar pembangunan berkelanjutan ditangani oleh berbagai Menko dan Kementerian. Ditingkat lokalpun ditanganim secara sekotral oleh dinas kantor, dsb. Pengentasan Kemiskinan dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kesra. Perubahan pola konsumsi dan produksi dikoordinasikan oleh Menko Perekonomian dan Menko Kesra. Sedangkan melindungi dan mengelola basis sumber daya alam dikoordinasikan oleh Menko Perekonomian dan Menko Kesra. Sedangkan penanganan pilar-pilar tersebut ditangani oleh berbagai kementerian.

Penanganan pembangunan berkelanjutan belum ditangani/dikoordinasikan oleh satu lembaga di tingkat nasional sehingga antara dimensi ekonomi, sosial dan ekologi tidak terkoordinasi satu sama lain. Kondisi serupa dialami oleh pemerintah daerah.

———

3 Pilar Ketiga, Pengelolaan Sumber Daya Alam memuat prinsip, program dan target mulai dari angka 24 sampai dengan angka 46, Rencana Pelaksanaan (Plan of Implementation) KTT Pembangunan Berkelanjutan.
———-
Oleh sebab itu, apabila bangsa Indonesia sungguh-sungguh ingin melaksanakan pembangunan berkelanjutan secara konsisten maka koordinasi di tingkat yang lebih atas perlu dikembangkan. Pemikiran untuk menyatukan bidang tugas Menko Ekuin, Menko Kesra, menjadi Menko Pembangunan Berkelanjutan harus sudah dipikirkan saat ini dengan matang. Usulan ini sudah pernah diajukan kembali kepada Presiden  SBY ketika beliau akan membentuk struktur Kabinet Indonesia Bersatu, namun gagal.

Kegagalan pembentukan Kabinet yang mampu merespon pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan dapat kita lihat dari penanganan berbagai kasus yang ada.

Dalam penanganan kasus-kasus yang menyangkut pengelolaan sumber daya alam, termasuk kasus penambangan di kawasan hutan lindung, pendekatan Menko Perekonomian yang mengambil alih permasalahan ini di tingkat pemerintah, pendekatannya sangat dominan pada aspek ekonomi, dan tidak melihatnya dari dimensi ekonomi, sosial dan ekologi secara seimbang. Kementerian Lingkungan Hidup juga mempersepsikan kewenangannya terbatas pada pilar perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam  (pilar ke 3), itupun terbatas pada isyu dampak lingkungannya (environmental impact) dalam bentuk pencemaran dan perusakkan lingkungan. Hal ini dapat kita lihat juga pada upaya penyelesaian Kasus Newnont (perdata) juga dimotori oleh Menko Perekonomian, padahal jelas-jelas masalah Newmont adalah masalah lingkungan hidup yang berada di bawah koordiansi dari Menko Kesra.

Fungsi Regulatory, termasuk pengawasan terhadap penaatan nilai-nilai daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan hidup di tingkat nasional dan tingkat daerah perlu diperkuat. Kementrian Lingkugan Hidup ke depan selayaknya diberikan tugas secara lebih tegas dengan kelengkapan pendukungnya untuk menangani masalah Pengawasan dan Penaatan serta pengembangan Kebijakan yang mendukung hal tersebut.

Gagasan Dewan Nasional Pembangunan Berkelanjutan/DNPB (National Council on Sustainable Development) yang sempat disetujui pada era Presiden Abdurahman Wahid perlu dipercepat realisasinya sebagai forum multi pihak (termasuk civil society dan dunia usaha) untuk mempercepat realisasi pembangunan berkelanjutan. Keberadaan DNPB memudahkan pekerjaan Menko Pembangunan Berkelanjutan dalam mendorong terwujudnya berbagai kebijakan yang berorientasi pada 3 pilar pembangunan berkelanjutan, yang diterima oleh berbagai pemangku kepentingan (stakeholders).

Langkah-langkah yang akan dilakukan di tingkat Nasional perlu dilakukan juga di tingakt Daerah. Pengembangan institusi pengelolan lingkungan hidup di daerah harus memiliki mandat yang sangat jelas dan kuat dengan mendasarkan pekerjaannya pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan tata pemerintahan yang baik. Komite atau Dewan Pembangunan Berkelanjutan di tingkat daerah perlu ditumbuhkan sebagai forum multi stakeholders dalam melakukan evaluasi apakah kebijakan daerah telah sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan dan tata pemerintahan yang baik.

Jakarta 10 November 2005
Wiwiek Awiati, Anggota Dewan, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL); HP: 0812 900 99 10

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.