Kelembagaan DAS

Saptana, dkk. (2)

TRANSFORMASI KELEMBAGAAN TRADISIONAL UNTUK MENUNJANG EKONOMI KERAKYATAN DI PEDESAAN: Studi Kasus di Propinsi Bali dan Bengkulu. 2003.

Anggota Tim Penelitian: Saptana,  Tri Pranadji, Syahyuti, Roosgandha E.M.

Penyunting: Syahyuti

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, DEPTAN, Bogor. 2003

Bab VIII. KINERJA UMUM KELEMBAGAAN DAN POLA INTERAKSINYA

Dalam bagian ini diuraikan kondisi kelembagaan pemerintahan, pasar, dan komunitas secara berturut-turut. Dipaparkan kinerja ketiga bentuk kelembagaan secara deskriptif, serta dinamika interaksi dari ketiga bentuk kelembagaan tersebut. Namun, sebelum itu, diuraikan gambaran umum lokasi penelitian sebagai latar penjelas dimana kelembagaan-kelembagaan tersebut eksis.

Dari sisi geografis, Kabupaten Tabanan sebagian besar merupakan dataran rendah, sebaliknya Rejang Lebong hampir seluruhnya merupakan dataran tinggi. Lebih rinci, juga terlihat, meskipun kabupaten Tabanan hanya seperlima Rejang Lebong, namun kepadatan penduduknya pada tahun 2001 empat kali lipat lebih padat, yaitu 446 berbanding 110 jiwa/km2. Luas daerah persawahan relatif sama yaitu 23.358 ha dan 20.796 ha. Kabupaten Tabanan merupakan lumbung beras untuk Bali, sedangkan Rejang Lebong lebih dikenal sebagai sentra hortikultura sayuran.

0t9

Kecamatan Kediri (Tabanan) merupakan kecamatan yang terpadat, yaitu 1138 jiwa per km2 (Tabel 9). Wilayahnya berada di bagian selatan Bali yang secara relatif memang lebih padat, merupakan jalur utama transportasi, serta juga memiliki beberapa tujuan wisata. Selain itu, ia berada dekat dengan pusat kota Tabanan, dimana banyak pegawai dan pekerja perdagangan berdomisili di wilayah Kecamatan Kediri. Karena itulah, ketersediaan kelembagaan pasarnya juga lebih baik, misalnya berupa koperasi dan bank yang lebih memadai. Semenjak pariwisata berkembang pesat di Bali, maka orientasi okupasi golongan muda di wilayah Kecamatan Kediri beralih ke sektor pariwisata. Karena itu, untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di sawah, digunakan tenaga kerja migran yang berasal dari pulau Jawa terutama dari wilayah Kabupaten Banyuwangi. Selain sebagai buruh tani, sudah mulai banyak buruh tani migran tersebut yang menjadi petani penyakap di wilayah ini.

Kecamatan Baturiti merupakan sentra produksi sayuran untuk wilayah Bali, dan yang terbesar dibandingkan beberapa daerah lain. Pasar Baturiti merupakan pusat pasar pengumpul hortikultura sayuran sebelum kemudian didistribusikan ke Denpasar dan kota-kota kabupaten lain. Gambaran ini sama dengan di kecamatan Selupu Rejang, yang bersama beberapa kecamatan lain di sekitar kota Curup, merupakan salah satu dari delapan sentra produksi sayuran di pulau Sumatera.

Kecamatan Lebong Utara merupakan suatu lembah dataran tinggi di jalur jajaran Bukit Barisan yang memiliki sumber air melimpah. Karena itu, pengembangan usaha perikanan air tawar di sawah menjadi salah satu andalan ekonomi penduduk selain bersawah. Program utama pengembangan pangan di wilayah ini adalah meningkatkan indeks pertanaman padi yang sampai saat ini masih satu kali setahun. Usaha perkebunan yang sedari dulu sudah berkembang terutama kopi dan minyak nilam.

0t2

Dari keempat kecamatan contoh, dilakukan pendalaman pada empat desa contoh (Tabel 10). Dari sisi etnik, kedua desa di Bali umumnya merupakan etnik asli Bali; sedangkan di Bengkulu merupakan migran Jawa. Namun di desa Candi Kuning juga terdapat sebuah desa adat yang terdiri dari orang Jawa. Jika dilihat dari keberadaan kelembagaan pemerintahan, seluruh komponen dalam struktur pemerintahan desa di Bali berjalan secara nyata. Struktur pemerintahan tingkat desa terbagi dua secara paralel, yaitu “desa dinas” dan “desa adat”. Di bawah desa, terdapat banjar (secara formal disebut dusun) yang juga terbagi dua menjadi “banjar dinas” dan “banjar adat”. Beda dengan kondisi di Bali, aktivitas pemerintahan Desa Air Meles dan Kelurahan Kampung Jawa hanya dijalankan oleh staf di kantor desa/kelurahan, dimana peran Kepala Desa dan Lurah sangat menonjol.

Meskipun Baturiti dan Curup merupakan sentra horikultura sayuran, keduanya memiliki beberapa perbedaan pokok. Kelembagaan penguasaan lahan di Baturiti lebih memberi keadilan dan kemakmuran bagi petani dibanding di Curup atau Selupu Rejang pada khususnya. Secara umum petani di Baturiti menggarap tanahnya sendiri, sedangkan di Selupu Rejang petani berstatus sebagai petani penyakap bagi hasil. Ironisnya, mereka menjadi penyakap di tanah yang sebelumnya miliknya sendiri.

Fenomena menggadaikan dan menjual tanah sudah lama terjadi di Curup, dengan berbagai alasan, terutama karena kekurangan permodalan untuk usahatani atau kebutuhan konsumsi. Tekanan penduduk yang cukup tinggi, sebagai mana umumnya di sentra produksi sayuran, menyebabkan penguasaan tanah yang sempit. Salah satu ciri utama usahatani hortikultura adalah mereka berproduksi untuk pasar, sehingga sangat tergantung kepada permintaan pasar. Rendahnya produksi dan keuntungan karena faktor fluktuasi harga menyebabkan lemahnya daya tahan ekonomi rumah tangga, sehingga mendorong penggadaian dan penjualan tanah. Pemilik tanah di wilayah ini kebanyakan adalah para pedagang setempat, kalangan pedagang di Kota Curup dan Bengkulu, serta pemilik modal lain misalnya para PNS. Akses terhadap permodalan di Curup relatif lebih terbatas.

0t11

Selain dari pedagang, dalam keadaan terpaksa petani dapat menggunakan jasa rentenir dengan bunga pinjaman yang besar (bisa mencapai 30-40 %/musim), yang dikenal dengan “arisan tembak” atau “julojulo tembak”. Di Baturiti, meskipun akses ke lembaga perbankan formal sulit, namun petani di Baturiti masih memiliki beberapa sumber permodalan lain, yaitu koperasi, serta arisan dan LPD di Banjar.

Selain sistem usahatani, kedua sentra sayuran ini juga berbeda dalam srtuktur tata niaganya (Tabel 11). Perkembangan sayuran di wilayah Curup sesungguhnya sedikit lebih dahulu dibandingkan Baturiti, yang sebelumnya didominasi oleh tanaman perkebunan. Pemerintahan Belanda mengembangkan kopi dan vanili di Baturiti, sedangkan di Curup adalah kopi dan kina. Di antara tanaman tersebut, penduduk menanam padi ladang dan jagung sebagai tanaman pangan untuk kebutuhan sendiri.

Berkembangnya beberapa sentra pariwisata di Bali, terutama kawasan Nusa Dua, merupakan faktor penarik utama pesatnya perkembangan sayuran di Baturiti. Kebutuhan hotel dan restoran yang relatif lebih bisa diprediksi, dan dengan harga yang sudah disepakati, menjadi faktor utama lebih baiknya pemasaran sayuran dari Baturiti. Namun, dalam 2 tahun terakhir ini mengalami kemunduran akibat anjloknya kunjungan wisatawan akibat serangan bom terhadap World Trade Center 11 September 2001, diikuti Perang Teluk, bom Bali pada 12 Oktober 2002, serta wabah SARS.

Satu perbedaan penting lagi adalah, para pedagang sayuran di Baturiti yang memasarkan ke hotel dan restoran berhasil membentuk satu wadah yang bernama Himpunan Pengsaha Hortikultura Bali (HPHB) atas inisiatif sendiri tahun 1980-an. Sebaliknya, di Curup, organisasi serupa belum terbentuk. Organisasi KASS yang diinisiasikan pemerintah tahun 2002 kurang mendapat respon yang cukup dari pedagang itu sendiri.

8.1. Kinerja Kelembagaan Pemerintah, Pasar, dan Komunitas di Kabupaten Tabanan, Bali.

Kelembagaan pemerintahan atau politik yang dipelajari mulai dari seluruh institusi pemerintahan di tingkat kabupaten sampai dengan Desa Dinas, serta BPD dan LKMD; kelembagaan ekonomi adalah koperasi, Sub Terminal Agribisnis, Lembaga Perkreditan Desa (LPD), kelompok tani dan usaha perdagangan; sedangkan kelembagaan komunitas adalah Desa Adat dan Banjar Adat.

Kelembagaan Pemerintah

Dengan diberlakukaannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, terjadi berbagai perubahan pada kelembagaan politik di tingkat kabupaten dan kota. Namun perubahan tersebut masih berupa pergulatan administratif, misalnya perubahan struktur kelembagaan Pemda berdasarkan PP No. 8 Tahun 2003 tentang Struktur Kelembagaan Pemda. Untuk sektor pertanian, sebagai wilayah yang menjadikan pertanian sebagai sektor utamanya, diurus secara terpisah berdasarkan komoditas oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Dinas Perkebunan, dan Dinas Peternakan. Beberapa instansi lain menjadi pendukung dalam pengembangan pertanian, mulai dari Bappeda, DPRD, Dinas perindstrian dan perdagangan dan lainlain.

Satu hal yang khas, kelembagaan pemerintahan di tingkat bawah masih mengandalkan kepada Desa Adat atau Desa Pekraman. Desa Adat atau Desa Pekraman adalah desa di mana struktur pemerintahannya diatur secara adat, karena didiami oleh warga masyarakat yang semua kegiatannya berhubungan dengan adat dalam satu kesatuan wilayah. Penyeragaman pemerintahan desa dengan UU No. 5 tahun 1979 tidak menghapuskan eksistensi Desa Adat, sehingga di Bali ditemukan adanya Desa Dinas dan Desa Adat sekaligus pada satu wilayah yang sama, dengan peran yang berbeda.

Desa Dinas atau Kelurahan yang selama ini tetap menjalankan tugas dan fungsinya dalam pemerintahan (administrasi, kependudukan, kepariwisataan, dan aspek-aspek pembangunan lainnya), dalam menjalankan tugasnya tetap menjalin hubungan kerjasama berupa koordinasi dan konsultasi dengan Badan Perwakilan Desa (BPD) dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) serta dengan Desa Adat dan Banjar Adat.

0t12

Salah satu bentuk pelayanan pemerintah dalam pembangunan pertanian adalah “penyuluhan pertanian”. Seluruh penyuluh dari dua BPP yang dijadikan sampel (Tabel 12.), berada di bawah struktur dinas terkait. Meskipun demikian, baik penyuluh pangan, peternakan, dan perkebunan dapat saling bekerjasama di lapangan dengan menjadikan BPP sebagai home base kegiatan. Ketersediaan tenaga penyuluh dipandang memadai, karena beban tugas penyuluhan tidak lagi seketat zaman Bimas dimana setiap penyuluh harus mengunjungi dua kelompok dalam sehari. Peran penyuluh lebih banyak dalam membantu program-program dinas masing-masing, dengan menjadi penghubung dan memperlancar segala hambatan administratif, selain faktor teknis teknologi. Pekerjaan penyuluh tidak lagi semata-mata mentrasfer teknolgi kepada petani. Dukungan pemda dengan membantu fasilitas dan biaya operasional penyuluhan merupakan faktor positif masih berjalannya penyuluhan di wilayah ini, meskipun tidak lagi seleluasa pada era Bimas tahun 1980-an dahulu. Pertemuan rutin dilakukan di BPP setidaknya sekali dalam seminggu dengan dihadiri Penyuluh Ahli dan staf dinas lainnya sesuai dengan kebutuhan.

Kelembagaan Ekonomi

Di Baturiti, hortikultura sayuran mulai berkembang pada pertengahan tahun 1980-an. Sebelum itu, wilayahnya yang didominasi lahan kering berbukit tersebut ditanami padi gogo di musim rendengan dan diikuti jagung, ubijalar, ubikayu, dan kacang tanah. Sementara, setengah tanahnya diusahakan tanaman perkebunan terutama kopi arabika dan vanili. Perkembangan usahatani sayuran didukung oleh berbagai kelembagaan ekonomi baik untuk permodalan, sarana produksi, dan pemasaran. Untuk pemenuhan permodalan usahatani umumnya menggunakan permodalan sendiri. Koperasi sampai saat ini belum dapat diandalkan sebagai sumber permodalan usahatani, baik untuk usahatani sayuran di Baturiti dan usahatani sawah di Kediri.

0t13

Koperasi Buana Palakerta dibangun atas inisiatif dari masyarakat, dan memperoleh kemajuan dengan sangat cepat (Tabel 13). Setelah berdiri selama 3 tahun, saat ini omzetnya lebih kurang Rp.650 juta. Namun, saat ini koperasi tersebut mengalami banyak kemunduran akibat kesalahan manajemen. Ironisnya, kesalahan tersebut banyak terjadi pada pihak pengurus, dibandingkan kemacetan kredit pada anggota. Berbeda dengan LPD, koperasi ini tidak didukung oleh legitimasi adat, sehingga memungkinkan pengurus dan anggota untuk berbuat pelanggaran. Permasalahan manejemen juga dihadapi pada Koperasi Kediri yang dulu pernah sangat maju, ketika menjadi koperasi pertama yang berstatus Mandiri di Kabupaten Tabanan.

Ketiga koperasi selalu memperoleh dukungan bantuan yang besar dari pemerintah, yaitu dengan menjadi penyalur sarana produksi pertanian dan pembelian gabah. Namun, besar dukungan finansial dan material yang diterima tidak sebanding dengan perolehan yang dicapai. Kemunduran dilamai setelah tidak lagi mendapat dukungan dari pemerintah. Namun setelah jatuh dan tidak ada lagi dukungan pemerintah, pihak manajemen mulai melakukan inisiatif secara mandiri dengan menerapkan manajemen yang berwatak bisnis secara efisien.

0t14

Berbeda dengan koperasi, Lembaga Perkreditan Desa (LPD) merupakan institusi yang benar-benar tumbuh didasarkan atas ikatan-ikatan lokal, yaitu kesatuan hidup teritorail se Desa Adat. ketiga LPD yang  dijadikan sampel, terlihat perkembangan yang sangat baik (Tabel 14). Dengan modal awal yang rendah mereka telah mampu mengembangkannya secara menakjubkan. Kuncinya adalah dukungan masyarakat yang kuat yang dilakukan melalui Desa adat dan Banjar Adat.

Bandesa Adat dan Kelian Banjar merupakan komponen utama yang tidak hanya mengawasi, namun terlibat secara penuh mulai dari tahap awal pertumbuhannya. Secara struktural, LPD merupakan organiasasi yang menyatu dengan kelembagaan pemerintahan adat. Keuntungan usahanya sebagian juga masuk ke dalam kas pemerintahan adat untuk pembangunan sarana umum dan peribadatan. Segala permasalahan LPD dibicarakan secara terbuka dalam setiap pertemuan bulanan di Balai Banjar yang dihadiri seluruh warga. Sekali dalam setahun pengurus LPD mempertanggungjawabkan kegiatannya dalam rapat Desa Adat.

Kelompok tani merupakan salah satu kelembagaan ekonomi yang mengandalkan ikatan horizontal sesama petani pada sub sektor budidaya. Berbeda dengan kelompok tani umumnya yang selalu diinisiasikan oleh pemrintah, kelompok tani Wetu Wisesa dan Tegal Sari bermula dari inisiatif tokoh-tokoh setempat, dengan tujuan agar dapat menjadi wadah untuk pelaksanaan pembangunan, baik sebagai wadah komunikasi maupun untuk penyaluran bantuan material oleh pemerintah (Tabel 15). Sementara, kelompok tani Tinggi Dauhan merupakan tambahan struktur baru dari subak, karena merupakan tempek dari Subak Nyitdah I. Dengan pola ini, maka manajemen kelompok tidak sulit karena hanya melakukan beberapa tambahan tugas baru, namun dengan struktur yang sudah mantap. Ada kesan, keberadaan kelompok hanya lebih kepada kepentingan administrasi. Karena tampa disebut kelompok tani sekalipun, para petani yang sudah mapan dalam subak dan tempek sudah mudah untuk diorganisasikan, termasuk untuk kesuksesan program-program pemerintah sekalipun.

0t15

Keempat kelompok tani masih menjalankan aktivitasnya, meskipun tidak seluruh programnya dapat dijalankan. Perhatian pokok kelompok masih kepada aspek budidaya, sedangkan untuk perbaikan sistem pemasaran belum memperoleh hasil yang memuaskan. Anggota kelompok Wetu Wisesa misalnya masih menjual produksinya secara individual, meskipun sebagian besar memasarkan ke koperasi Iswara Tani sesuai dengan kesepakatan kerjasama antara kelompok tani dengan koperasi tersebut.

Kelembagaan Subak juga merupakan kelembagaan yang dibentuk untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi. Subak merupakan kelembagaan khas pada masyarakat Bali yang mempunyai peran untuk manajemen pengairan untuk pertanian sawah. Satu hal yang positif, sebagaimana pemerintah pusat tetap mengakui keberadaan “desa dan banjar adat”, maka hampir seluruh program pembangunan pertanian dilaksanakan melalui kelembagaan ini. Jikapun suatu program membutuhkan kelembagaan baru, maka tetap digunakan subak sebagai basisnya. Hal ini terlihat dengan pembentukan kelompok tani dalam Program Bimas yang tidak merubah struktur, dan program UPJA yang cukup menambahkan posisi manajer pada strukur yang ada.

Kedua subak menerima program BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) dengan tidak merubah struktur (Tabel 16). Karena itulah keberhasilannya lebih terjamin, karena mengandalkan kepada ikatan dan kepatuhan yang sudah ada sebelumnya. Secara umum kinerja proyek atau program pembangunan pertanian yang dilaksanakan melalui kelembagaan adat (Subak dan Banjar) menunjukkan kinerja yang lebih baik. Subak dapat eksis karena memiliki sumber ekonomi sendiri yang mandiri, yaitu “pengaci” dan “pengempel” yang merupakan iuran petani untuk pelayanan pengairan. Uang yang terkumpul, selain digunakan sebagai “honor” pengurus subak, juga untuk pemeliharaan sarana irigasi dan peribadatan, serta untuk kebutuhan berbagai upacara yang berkaitan dengan aktivitas usahatani di sawah.

0t16

Kelembagaan Komunitas

Kelembagaan komunitas yang dapat dijumpai secara mudah di Bali adalah Desa Adat dan Banjar Adat. Kesatuan hidup yang didasarkan hukum adat ini telah eksis berabad-abad dan masih tetap diakui keberadaannya hingga kini. Ia menjadi landasan yang sangat kokoh bagi apapun bentuk aktifitas di dalamnya, termasuk aktifitas ekonomi maupun politik.

Bahkan, jika dibutuhkan kelembagaan baru untuk aktifitas tersebut, maka kelembagaan baru tersebut disesuaikan posisi dan strukturnya dengan kelembagaan adat ini. Aparat pemerintah selalu melibatkan legitimasi lembaga adat dalam menjalankan program-program di desa, mulai dari permaslaahan keamanan, KB, program penanggulangan kemiskinan, pertanian, dan bahkan pariwisata.

Dua hal pokok yang menjadi concern kelembagaan desa adat dan banjar adat adalah masalah peribadatan keagamaan dan permasalahan sosial budaya. Meskipun demikian, terbukti ia tidak mengisolasi diri untuk berbagai kepentingan lain, yang secara sosiologis selalu saling kait mengkait dengan aspek keagamaan dan sosial. Dari dua banjar adat sampel penelitian (Tabel 17), terlihat bahwa melalui banjar telah disalurkan berbagai program bantuan pemerintah untuk pengembangan ekonomi masyarakat. Bahkan semenjak era otonomi daerah ini, ketika kebijakan pengelolaan keuangan beralih ke tangan daerah, secara rutin diberikan bantuan untuk pembangunan sarana umum dan peribadatan dan untuk mendukung program desa dan banjar adat.

0t17

Pada Banjar Laing misalnya, telah didistribusikan bantuan sapi dari pemrintah dengan melibatkan pengurus banjar sebagai petugas untuk menseleksi penerima bantuan, serta mengawasi perkembangan bantuan. Selain itu, program Inpres Desa Tertinggal (IDT) selama tiga tahun berturutturut (mulai 1993/94) terbukti masih berjalan dengan baik berkat keterlibatan pengurus banjar adat. Dua komponen utama yang mendukung eksistensi kelembagaan pemerintahan adat adalah “awig-awig” sebagai peraturan hukum yang sudah diterima yang didasari nilai dan norma keagamaan, serta pertemuan warga secara rutin bulanan. Pertemuan tersebut selalu diikuti oleh seluruh warga, terutama KK adat, sebagai tempat membicarakan segala sesuatu tentang kehidupan bersama se banjar. Dalam pertemuan yang dijalankan secara demokratis inilah diselesaikan segala urusan keagamaan, sosial, dan ekonomi warganya.

6.2. Kinerja Kelembagaan Pemerintah, Pasar, dan Komunitas di  Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu

Secara umum, keberadaan dan kinerja kelembagaan pemerintah dan pasar di Kabupaten Rejang Lebong memiliki banyak kesamaan dengan di Kabupaten Tabanan. Susunan kelembagaan pemerintahannya merupakan suatu pola yang berlaku secara nasional, baik jenis maupun strukturnya. Perbedaan yang besar ditemukan dalam keberadaan kelembagaan komunitas. Sisa-sisa kesatuan masyarakat berupa “Pemerintahan Marga” sudah sulit ditemukan saat ini. Lebih lemahnya ikatan hidup komunal secara tak langsung juga disebabkan karena masyarakatnya yang sudah lama berbentuk multi etnik, yaitu semenjak pelaksanaan program kolonisasi dilakukan pemerintahan Belanda pada awal abad ke-20.

Kelembagaan Pemerintah

Pemberlakuan otonomi daerah semenjak 1 Januari 2001 menyebabkan perubahan tata pemerintahan pada pemerintah daerah kabupaten. Perubahan ini paling dirasakan oleh aparat pemerintah yang berada di dalamnya. Namun bagi masyarakat, perubahan tersebut tidak tampak secara nyata. Kinerja pemerintahan daerah dirasakan tidak banyak berbeda dengan era Orde Baru. Sebagian besar narasumber justeru mengungkapkan kekecewaannya dengan perubahan ini.

Dengan karaketristik sumber daya alamnya yang khas, yang berada pada dataran tinggi yang dingin, maka pemda sedang gencar-gencarnya menarik minat para investor untuk menanamkan usahanya di wilayah ini. Karena keterbatasan lahan, maka kerjasama tersebut diarahkan kepada kerjasama antara masyarakat dengan pengusaha. Selain itu, BUMD milik pemda kabupaten juga sedang berusaha bekerjasama dengan produsen jamu dan senuah pengolahan kacang tanah, serta dengan investor luar negeri. Di sisi lain, kapasitas lembaga legislatif yang lemah dirasa sangat memperlambat kerja pembangunan. Anggota dewan sering sekali menolak berbagai usulan program yang datang dari instansi teknis, karena mereka kurang memiliki apresiasi yang cukup terhadap berbagai program pembangunan.

Dengan kondisi alam wilayah Rejang Lebong yang 56 persen merupakan Kawasan Lindung dan tingginya tekanan penduduk, dimana hampir semua lahan sudah merupakan milik pribadi, maka menjadi sulit mengajak investor untuk membuka usaha. Alternatif bagi investor adalah dengan pola kemitraan dengan petani-petani sebagai pemilik tanah dan tenaga kerja. Ada dua perusahaan yang bergerak pada perkebunan teh, yaitu CV Sarana Mandiri Mukti yang menggunakan lahan milik Pemda dan CV Trisula Ungu.

Untuk pembangunan pertanian, semenjak Maret 2003, Dinas Pertanian terpisah dengan Dinas Peternakan dan Perikanan. Meskipun telah terjadi perubahan dalam tata program, namun di mata masyarakat belum diperoleh perubahan yang diinginkan. Program pembangunan pertanian dalam 3 tahun terakhir ini masih berorientasi keproyekan, bersifat sporadis dan parsial. Keefektifan program dipandang lemah, karena belum ada terobosan baru dalam strategi dan pendekatannya.

Pola Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) yang saat ini banyak dikembangkan, dikhawatirkan juga mengandung peluang ketidakefektifan, karena kelembagaan yang dibangun tidak dipersiapkan secara matang. Salah satu opsi untuk perbaikan proyek-proyek pemerintah agar lebih efektif adalah memilih petani panutan (leadership) secara tepat yang mampu memanfaatkan dana bantuan dengan efektif untuk kemudian mendistribusikan keterampilannya kepada masyarakat sekitar.

Secara umum, wilayah Rejang Lebong sangat potensial untuk pengembangan peternakan, karena tersedia beragam sumber pakan hijauan dengan basis agroekosistem lahan kering dataran tinggi. Dengan kondisi itu, dapat ditampung sampai 30.000 ekor ternak besar seperti sapi dan kerbau. Populasi ternak saat ini baru mencapai lebih kurang 9.000 ekor.

Selama ini, telah banyak berbagai program bantuan dilaksanakan untuk mengembangkan peternakan di wilayah Rejang Lebong. Salah satu program yang agak tergolong besar, adalah program bantuan sapi dari IFAD pada tahun 1982 dan 1983. Dari tiga tahap kegiatan, telah disebarkan 1500 ekor bibit ternak dengan program pengembangan, berupa pemeliharaan induk untuk memperoleh anak. Kegiatan ini tergolong cukup sukses. Sampai sekarang telah sampai pada turunan kelima, dan saat ini tercatat masih ada 900 ekor sapi yang dulu merupakan bantuan tersebut. Kegiatan ini terasa menurun semenjak tidak lagi ada penempatan Satgas IFAD tahun 1998, sehingga perkembangan ternak bantuan menjadi tidak terkontrol.

Menurut historiknya, orang Rejang asli lebih menyukai kerbau sebagai ternak peliharaan, karena mampu membantu pengerjaan di sawah. Sebaliknya, penduduk pendatang suku Jawa lebih menyenangi sapi. Namun sayangnya, populasi kerbau telah menurun drastis. Selain itu, program pemerintah belum pernah memperhatikan pengembangan ternak kerbau. Indikasinya adalah dari begitu banyak balai benih ternak, hanya BB Siborong-Borong di Sumut yang memiliki tugas dalam pengembangan ternak kerbau. Sementara itu, perkembangan ternak sapi selalu terancam, karena tingginya laju permintaan untuk konsumsi.

Para peternak lebih menyenangi usaha penggemukan daripada pengembangan, karena lambatnya perputaran usaha. Untuk ternak bantuan pemerintah dalam pola penggemukan, petani pengelola memperoleh 60 persen dari hasil bersih selama 6 bulan sampai setahun pemeliharaan. Permintaan dari kelompok-kelompok peternak terhadap pemerintah agar diberikan bantuan bibit ternak masih tetap tinggi setiap tahun. Penseleksian didasarkan kepada indikator-indikator umum, terutama keaktifan kelompok. Satu hal yang penting adalah bagaimana motivasi pengurus kelompok disamping pengalamannya dalam mengelola kelompok. Dengan kelembagaan yang kuat baik dari aspek kepengurusan, konsolidasi kelompok, maupun dari aspek manajemen keberhasilan akan lebih terjamin.

Dalam rangka peningkatan produksi pangan melalui percepatan penyampaian teknologi kepada petani, kegiatan penyuluhan di lapangan terus ditingkatkan melalui kursus dan latihan untuk petani dan petugas, demonstrasi-demonstrasi lapangan, serta mengembangkan dinamika kelompok petani melalui penumbuhan kerja sama antar kelompok. Keberadaan lembaga penyuluhan tetap dipandang penting, sehingga institusi BIPP dan BPP tetap dipertahankan. Namun demikian, fokus penyuluhan masih terbatas pada aspek budidaya, padahal kemampuan petani untuk bidang ini sudah memadai. Diharapkan, para penyuluh juga memiliki kemampuan mulai dari teknologi perbenihan, konsolidasi kelompok tani, teknologi panen dan pasca panen, serta pemasaran produk, dengan menguasai informasi pasar dan jaringannya.

BPP Tunggang memiliki wilayah tugas sekaligus untuk dua kecamatan yang baru saja dimekarkan, yaitu kecamatan Lebong Utara dan Lebong Atas. Karena wilayahnya didominasi oleh usaha perikanan, maka dari 17 orang PPL, 11 orang di antaranya memiliki spesialisasi usaha budidaya perikanan. Selain itu, ada 4 orang PPL Pangan, dan seorang PPL agribisnis. Apresiasi pemerintah daerah dirasa cukup memadai untuk keberadaan dan peran institusi penyuluhan pertanian. Selain melakukan kegiatan penyuluhan rutin, para penyuluh juga menjadi tenaga pendamping pada pengembangan Unit Pengelola Keuangan Desa (UPKD) dari program Bengkulu Regional Development Program (BRDP). Mulai tahun ini PPL dilibatkan dalam program-program dinas, mulai dari CPCL (calon peserta calon lokasi), sebelumnya hanya oleh KPK (Kepala Pertanian Kecamatan). Pertemuan rutin di BPP dilakukan tiap 2 minggu, yaitu pada hari Sabtu. Karena ketebatasan anggaran, adakalanya dilakukan demplot dengan dana dari petani.

Satu program berskala besar yang saat ini sedang gencar-gencarnya dirumuskan adalah pengembangan kawasan melalui konsep Agropolitan. Agropolitan merupakan suatu konsep pembangunan wilayah yang mengintegrasikan komponen pertaian (agro) dengan komponen kota (politan). Kecamatan Selupu Rejang ditetapkan sebagai pusat kegiatannya, sedangkan hinterland-nya adalah Kecamatan Sindang Kelingi, Curup, Bermani Ulu, Ujan Mas, dan Kepahyang. Pelaksanaan agropolitan di Kabupeten Rejang Lebong juga diintegrasikan dengan pengembangan Sub Terminal Agribisnis (STA).

Untuk “memaksa” agar para pedagang nantinya bersedia memindahkan kegiatannya ke STA, maka akan diberlakukan PERDA. Strategi ini mestinya efektif, karena telah disediakan infrastruktur fisiknya, dan secara teoritis seluruh warga masyarakat akan patuh kepada peraturan formal. Untuk pembangunan fasilitas dan operasionalnya nanti, STA didukung Instansi PMD, Kimpraswil, dan Dinas Perdagangan. Penanggung jawab operasional nantinya diserahkan kepada BUMD “Renas Klawi” milik pemerintahan kabupaten yang baru saja didirikan. Pemerintah hanya sebagai  fasilitator belaka, yang hanya terlibat pada tahap persiapan, selain bantuan teknis dan manajemen. Untuk mengoperasionalkan STA, pemerintah harus mampu menyediakan fasilitas baik infrastruktur fisik, sarana penunjang, bantuan teknis dan manajemen, serta dalam permodalan, yang demikian besar untuk menampung seluruh kegiatan di satu tempat sekaligus.

Kelembagaan Ekonomi

Pada zaman Belanda, di Rejang Lebong dulu banyak dikembangkan perkebunan kopi, teh, dan kina. Lahan bekas kebun ini kemudian setelah kembali ke penduduk, diganti menjadi kebun kopi dan tanaman semusim sayuran. Dapat dikatakan, bahwa tanaman sayuran dimulai oleh pendatang dari suku Jawa, yang kemudian banyak diikuti oleh penduduk asli. Dua komoditas utama yang berkembang di daerah Rejang Lebong adalah kopi dan sayuran. Secara visual dapat dibedakan, bahwa petani yang menanam sayuran relatif lebih makmur dibandingkan yang mengusahakan tanaman perkebunan. Petani kopi banyak yang menggantikannya dengan tanaman sayuran ketika harga kopi turun, atau tidak memelihara sama sekali.

Untuk mendukung pengembangan hortikultura sayuran, semenjak tahun 2001 telah dibentuk organisasi KASS (Kawasan Agribisnis Sayuran Sumatera). Organisasi ini beranggotakan 8 (delapan) sentra sayuran di Sumatera, mulai dari dataran tinggi Gayo di Aceh, Brastagi di Sumut, Alahan Panjang di Sumbar, Kerinci di Jambi, Pagar Alam di Sumsel, Liwa di Lampung, serta Rejang Lebong sendiri. Inisiasi organisasi ini dilakukan oleh Direktorat Jenderal Hortikultura dan Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Departemen Pertanian. Pusat organisasinya berada di Bukit Tinggi, yang dulu dijadikan sebagai tempat pertemuan untuk deklarasi organisasinya. Organisasi ini beranggotakan para pedagang penampung sayuran, independen terhadap pemerintah, dan juga tidak beranggotakan petani produsen.

Selain membantu para pedagang berkoordinasi antar sentra pertanaman sayuran, diharapkan petani dapat memperoleh harga jual yang lebih baik dan tidak fluktuatif. Saat ini, posisi pedagang sangat kuat dalam penentuan harga, sedangkan petani tidak memiliki daya tawar sama sekali.  dengan berjalannya KASS nanti diharapkan hal itu tidak terjadi lagi, sehingga kontinuitas hubungan bisnis antara petani dengan pedagang dapat saling memperkuat, membutuhkan, dan saling menguntungkan.

Pengembangan agropolitan dengan sentra kegiatannya pada STA, merupakan program yang sangat mendukung kegiatan konsep KASS. Pada STA yang nantinya dikembangkan pada seluruh sentra sayuran, akan disediakan suatu sistem jaringan komunikasi yang saling terkoneksi, terutama tentang informasi harga suatu produk saat itu. Selain itu, yang lebih penting adalah tentang bagaimana perencanaan terhadap pola pertanaman, luas dan jenis komoditas, harus dilakukan, sehingga dapat direncanakan pengaturan dari segi produksinya, sehingga dapat menjamin kontinuitas pasokan dan harga yang layak.

Salah satu kendala sosial ekonomi yang dirasakan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat petani adalah karena sebagian besar petani merupakan “petani penggarap”, yang pemiliknya menetap di Palembang, kota Bengkulu dan kota-kota lainnya. Kebanyakan petani penggarap tersebut dulu adalah pemilik di tanahnya yang saat ini ia garap, namun sudah terjual ke orang lain. Alasan penjualan yang utama adalah karena adanya kebutuhan ekonomi yang mendesak, misalnya untuk biaya perkawinan dan menyekolahkan anak. Hal ini umum terjadi pada warga suku asli Rejang. Cukup banyak pendatang yang memperoleh tanah garapan dengan cara membeli dari suku asli. Sebagian tanah, ada juga yang dijual ke etnik China yang merupakan kaum pedagang di kota Bengkulu dan Curup.

Implikasi dari pola ini adalah sulitnya misalnya mengatur pola tanam dan teknologi yang harus diterapkan, karena pemilik lahan merupakan penentunya. Introduksi kredit juga terhalang karena status para petani tersebut yang bukan merupakan petani pemilik. Diperkirakan 60 persen dari total lahan pertanian di kabupaten ini telah berpindah tangan, dan hanya digarap oleh buruhnya atau petani penggarap. Sistem bagi hasil antara pemilik dan penggarap sangat bervariasi, tergantung bagaimana kesepakatan di antara mereka. Adakalanya petani pemilik ikut membantu permodalan, namun banyak juga yang tidak. Dengan status sebagai petani penggarap, maka sudah dapat diperkirakan, bahwa perolehan pendapatan dari usahatani tidaklah akan memadai, meskipun rata-rata luas penggarapan antara 0,5 sampai 1 ha per keluarga.

Petani sayuran banyak juga yang dimodali pedagang, disebut dengan “induk semang”, yang kemudian “mengharuskan” petani untuk menjualnya lagi kepadanya dengan harga yang cenderung direndahkan. Pola yang diterapkan adalah bagi hasil, tegantung kepada kesepakatan. Nasib petani banyak tergantung kepada kebaikan hati “induk semangnya” tersebut.

Secara umum, struktur pasar komoditas pertanian, baik untuk kopi dan sayuran, berbentuk oligopsoni. Meskipun jumlah pedagang cukup banyak, namun hanya 2-3 orang saja yang berskala besar, yang menjadi sandaran dalam pemasaran dan sebagai penentu harga. Para petani sangat tergantung kepada segelintir pedagang-pedagang besar ini. Jika pada suatu ketika mereka mengatakan “tidak mengirim barang” karena harga yang lagi rendah, maka jalur pemasaran menjadi buntu.

Satu kendala membangun KASS adalah karena: “para pedagang sulit bekerjasama, lebih berfikir individualis”. Sebagai nukti, pernah arisan antar pedagang dibuat namun tidak berjalan lama. Usaha ekspor ke Singapura dan Malaysia dengan menggunakan Batam sebagai Terminal Agribisnisnya sangat sulit bagi pedagang di Curup, karena keterbatasan transportasi, sehingga kalah bersaing dengan pedagang dari Brastagi misalnya. Atau bahkan juga kalah dari pedagang dari Jakarta, yang dapat mengirim cabe ke Batam dengan pesawat, sedangkan dari Bengkulu tidak ada jalur pesawat langsung.

Sebagian besar tujuan pasar saat ini adalah di pasar 16 Ilir Palembang, sedangkan ke pasar Metro Bandar Lampung serta pasar Kramat Jati dan Cibitung di Jakarta relatif jarang. Pedagang penerima di Palembang, hanya beberapa pedagang. Masing-masing pedagang mempunyai jalinan kerjasama langganan yang berbeda-beda.

Setiap pedagang memperdagangkan berbagai komoditas sekaligus (mutlikomoditas), yaitu cabe, wortel, kol, sawi, bawang daun, buncis, dan tomat. Komoditas yang diperdagangkan tergantung kepada permintaan pasar dan pasokan yang ada. Dengan bantuan sarana komunikasi saat ini para pedagang tidak perlu ikut mengantarkan barang. Pesanan barang dan kesepakatan harga dapat dicapai dengan telepon, dan untuk pembayarannya dapat dengan transfer melalui bank dan dapat diambil dengan ATM.

Volume perdagangan sayuran setiap hari dari Curup kira-kira adalah 10 – 12 truk ke Palembang, 4 truk dan 10 colt kecil ke Jambi, 5 truk ke Tanjung Enim dan Prabumulih, serta 40 colt kecil ke pasar kota Bengkulu, suatu volume trasaksi yang besar. Satu truk mampu mengangkut 6 ton, sedangkan colt kecil hanya 1,5-2 ton. Pengiriman ke Palembang membutuhkan waktu 12 jam, dan rata-rata 30 persen sawi mengalami kerusakan. Transaksi di pasar Palembang terjadi pukul 12 malam, maka barang tidak boleh terlambat sampai, karena tak akan diterima jika terlambat.

Para pedagang penerima di pasar tujuan lebih berkuasa dibandingkan pedagang pengirim. Sering tidak konsisten dengan perjanjian (misalnya tentang harga) dan juga lamanya tempo pembayaran, bahkan adakalanya “dikemplang” (tak dibayar sama sekali). Hal ini menunjukkan bahwa resiko perdagangan pada komoditas sayuran sangat tinggi baik karena resiko harga maupun resiko pembayaran. Untuk menghadapi ini semestinya pada pedagang pengirim di Curup ini dapat bersatu, namun justeru itu yang sulit dicapai. Untuk menghadapi perilaku pedagang di Palembang yang sering merugikan tersebut, seorang pedagang sengaja menyuruh isteri dan anaknya sebagai pedagang penerima di sana, sehingga tidak mungkin lagi dirugikan.

Permasalahan yang paling berat adalah jika harga turun sampai ke tingkat yang sangat merugikan petani. Dalam kondisi demikian, dimana margin tata niaga pun sangat rendah, maka pedagang cenderung untuk tidak berdagang, karena tingginya biaya transportasi. Komoditas yang paling terpukul adalah cabe dan tomat, karena biaya usahataninya paling tinggi.

Para pedagang dibantu para kaki tangan dan pedagang pengumpul desa yang disebut dengan “anak ulo” (= “anak ular”). Mereka umumnya telah memiliki langganan kepada pedagang tertentu, karena adakalanya mereka dibiayai oleh pedagang besarnya. Ada ratusan orang yang menjadi “anak ulo”.

Koperasi merupakan komponen institusi pokok dalam pembangunan pedesaan di era Orde Baru. Adalah fenomena yang umum begitu besarnya keterlibatan pemerintah dalam pendiriannya yang malah berdampak kontra produktif. Di zaman tersebut, masyarakat menjadi anggota koperasi tanpa sempat memahami makna dan tata kerja kelembagaan kopreasi. Ketika dukungan pemerintah masih besar koperasi masih dapat berjalan, namun ketika dukungan lemah, maka kinerja koperasi menjadi sangat mundur.

0t18

Demikian halnya yang terjadi pada Koperasi Makmur (Tabel 18). Berhentinya peran koperasi sebagai penyalur pupuk dan sarana produksi lain menyebabkan menurunnya aktifitas ekonomi koperasi. Namun, justeru semenjak itu ketika campur tangan pemerintah berhenti, maka muncul berbagai ide kreatif dari pengurus dan anggota, yang merupakan suatu bentuk kemandirian yang sesungguhnya. Saat ini, koperasi Makmur memiliki beberapa bidang usaha yang mungkin sulit diimplementasikan dulu ketika campur tangan terlalu besar. Untuk perolehan modal, pengurus sudah beberapa kali memperoleh modal secara komersial kepada beberapa bank. Selain itu, koperasi memiliki sebuah toko sembako, perdagangan saprodi, dan RMU.

Sebagaimana koperasi, kelompok tani juga merupakan satu contoh “kelembagaan paket” dari pemerintah, yang “harus” ada sebagai syarat pelaksanaan program pembangunan pertanian. Dari tiga kelompok tani sampel, hanya Kelompok Peternak Gading Indah yang tumbuh secara bottom up (Tabel 19). Karena itu pula, perkembangannya lebih baik. Sementara dua kelompok tani lain yang berlatar belakang usahatani padi sawah, kinerjanya masih menggantungkan kepada pasokan “bantuan” dari pemerintah. Terakhir, kedua kelompok menjadi penerima program Usaha Pengelolaan Jasa Alsintan (UPJA).

0t19

Pemberian bantuan ternak sapi PPA untuk penggemukan pada kelompok Gading Indah senilai Rp. 305 juta dengan pola BLM, telah mampu memperoleh keuntungan bruto Rp. 120 juta selama setahun. Satu kebijakan yang menarik telah diterapkan dalam penetapan wilayah kerja penyuluh peternakan. Dari 12 orang penyuluh yang tersedia, tiap kelompok ternak dibebaskan memilih siapa penyuluh yang disukainya untuk mendampinginya dengan menginformasikan karakteristiknya. Cara ini terbukti berjalan baik, dan bahkan peternak bersedia menyisihkan “uang jalan” bagi penyuluh yang berkunjung. Hal ini merupakan bentuk pola penyuluhan masa depan yang sudah sering menjadi wacana, dimana penyuluh bertindak secara pasif dan petani ikut terlibat dalam pembiayaan kegiatan penyuluhan.

Meskipun beternak sudah menjadi kebiasaan bagi warga, namun umumnya tidak dilakukan secara serius. Saat ini dari seluruh warga, lebih kurang hanya 100 warga saja yang memiliki kandang. Kepemilikan kandang merupakan keseriusan seseorang dalam usaha peternakan. Jika suatu saat ada bantuan ternak, maka mereka yang memiliki kandang dapat dipertimbangkan untuk ikut menerima bantuan. Cikal bakal kelompok Gading Indah adalah sebuah “kelompok kerja” (atau disebut “kelompok ganti hari”) bergiliran beranggotakan 12 orang yang masing-masing sudah terbiasa memelihara ternak.

Kelompok ini telah beberapa kali menerima bantuan bibit ternak, dan tahun 2002 memperoleh peringkat terbaik kedua dalam lomba kelompok peternak tingkat propinsi. Saat ini dikembangkan usaha simpan pinjam, sebagai bentuk latihan dalam tahap pra koperasi yang rencananya nanti akan didirikan. Kegiatan simpan pinjam beranggotakan 37 orang peserta, dan sudah berjalan selama 6 bulan. Kelompok juga berencana untuk memproduksi pupuk kandang yang diberi perlakuan EM4 sehingga menjadi pupuk kandang bokashi.

Untuk kegiatan pemasaran, haruslah melalui pengurus kelompok. Meskipun seorang pedagang dapat langsung mendatangi kandang, namun tawar menawar haruslah diketahui pengurus, karena dikhawatirkan ada ketidakjujuran antara pedagang dan peternak yang memelihara dalam melaporkan berapa harga jual yang disepakati. Jalan ini ditempuh karena ternak tersebut merupakan ternak milik pemerintah. Pembayaran pun harus diberikan ke pengurus, yang kemudian akan membagi-baginya sesuai dengan kesepakatan, yaitu untuk pinjaman, bagian penggaduh, bagian kas kelompok, pengurus, dan pos lain-lain. Dengan cara ini, maka jika seorang pedagang terlambat membayar pembeliannya, maka menjadi tanggung jawab pengurus. Saat ini pengurus telah berhasil mengidentifikasi siapa pedagang dan pemotong yang jujur dari 4 orang pemotong dan 2 orang pedagang yang selama ini telah berinteraksi dengan mereka. Hal ini sangat penting, agar tidak terjadi kerugian, karena para pedagang dan pemotong tidak membayar tunai ketika sapi telah dibawanya.

Pertemuan kelompok diadakan setiap awal bulan, dibarengi dengan kegiatan arisan yang berperan sebagai pengikat kehadiran anggota dalam setiap pertemuan. Dalam memilih peserta untuk menerima ternak gaduhan didasarkan kepada indikator bahwa ia sudah pernah memelihara ternak meskipun menggaduh ternak orang lain, serta memiliki kandang sendiri. Peran pengurus sangat besar dalam menjaga kelangsungan kelompok. Beberapa kunci dalam memanajemen kelompok yang diterapkan oleh Sang Ketua nya adalah “kesabaran, musyawarah, dan mendengar saran-saran dari anggota”. Peran kepala desa dalam menyukseskan kelompok ternak sangat besar, baik ketika sebagai ketua kelompok maupun sebagai kepala desa. Jika ternak bantuan mati atau hilang, maka berita acaranya dibuatkan oleh kepala desa. Ia berharap demikian juga untuk penjualan ternak.

Indikator utama dalam memilih siapa warga yang akan diberi bantuan bila ada bantuan ternak dari pemerintah adalah “yang mau dan punya kemauan”. Mereka yang telah terbiasa beternak, punya kandang, dan jujur dianggap “punya kemauan”. Semenjak dahulu, resep ini selalu digunakan, sehingga keberhasilan program lebih terjamin. Peran paternalistis dari tokoh-tokoh dalam kelompok, cukup mampu diterima anggota untuk mengimbangi sikap yang kurang demokratis tersebut.

Nilai-nilai sosial budaya kekotaan berpengaruh negatif kepada integrasi sosial. Pada tahun 1990-1991 pernah dibangun kandang kelompok untuk kambing, namun gagal, karena sulitnya bekerja sama. Para anggota juga sulit untuk melakukan komitmennya, dan sering ingkar terhadap kewajiban yang telah disepakati.

0t20

UPKD merupakan salah satu kegiatan yang dikembangkan oleh proyek Bengkulu Regional Development Project (BRDP). Kegiatan ini dimulai tahun 2002. Dana disalurkan melalui Bank Pembangunan Daerah (BPD), dengan plafon sampai Rp. 200 juta, namun diberikan bertahap sesuai dengan perkembangannya. Selain dari BPD juga ada dana dari masyarakat sendiri, dalam bentuk tabungan. Kedua UPKD sampel menunjukkan kinerja yang sangat baik (Tabel 20). Kunci keberhasilannya adalah karena mengaitkan keberadaannya secara struktural kepada sistem keorganisasian masyarakat yang lebih mengakar, dalam hal ini adalah kelembagaan pemerintahan desa. Aparat desa serta tokoh-tokoh masyarakat beperan secara nyata mulai dari penseleksian penerima sampai dengan pengawasan. Hal ini terbukti sangat membantu dalam kelancaran arus keuangan institusi.

Untuk memperoleh pinjaman, si peminjam harus mengisi beberapa formulir. Pada “Surat Permohonan” tertera untuk apa pinjaman tersebut akan digunakan, ditandatangani oleh isteri atau suami, pengurus (ketua dan sekretaris) dan 2 orang anggota lain. Juga ada formulir Daftar Isian Rumah Tangga yang berisikan identitas, jumlah tanggungan keluarga, fasilitas RT yang dimiliki, pengeluaran keluarga, dan pendapatan keluarga dari pertanian dan nonpertanian. Kemudian ada lembar Evaluasi Permohonan Kredit, Surat Perjanjian Pemberian Kredit yang ditandatangani pemohon dan empat

Jika terlambat dikenakan denda 1 persen per bulan dari jumlah yang harus dibayar. Namun, jika tidak membayar sama sekali, maka agunan akan disita. Semua data dipasang pada whiteboard, sehingga baik anggota dan pihak BRDP dapat memantau dengan mudah ketika mengadakan kunjungan pembinaan. Keberhasilan UPKD juga didasari karena masih kuatnya ikatan kolektif masyarakatnya. Indikatornya adalah masih berjalannya kelompok yasinan per dusun tiap malam Jumat, demikian juga dengan arisan ibu-ibu per dusun dan kegiatan kerja bakti, serta masih hidupnya “kelompok royongan”, yaitu kelompok arisan kerja sekali seminggu dengan anggota 10-12 orang.

Kelembagaan Komunitas

Daerah Rejang Lebong dikenal sebagai “Negeri Empat Petulai”. Artinya, suku yang mendiaminya yang dikenal dengan Suku Rejang terbagi menjadi empat suku dan, tentu saja, empat ketua suku. Istilah “Petulai” lebih kurang bermakna sama dengan sebutan untuk “ketua suku”. Keempat subsuku dimaksud adalah: (1) suku Juru Kalang, (2) suku Bermani, (3) suku Segiri (atau Tubai ?), dan (4) suku Selupu. Tiap suku saat ini mendiami wilayah tertentu dan agak mengelompok, namun sudah bercampur baur dengan para pendatang. Jumlah pendatang di Rejang Lebong lebih kurang 60 persen, terutama dari suku Jawa. Namun, sesungguhnya pada wilayah ini sekarang dapat dijumpai berbagai suku, termasuk Batak, Minang Kabau, Bali, dan Sumatera Selatan. Sebagian besar datang melalui program kolonisasi sejak zaman Belanda, dan selebihnya merupakan migrasi spontan.

Keempat suku Rejang ini memiliki sedikit perbedaan karakteristik antar mereka. Berkembang berbagai versi cerita bagaimana perbedaan tersebut terbentuk dahulunya10. Tentang eksistensi mereka sebagai sebuah masyarakat atau komunitas adat, tampaknya keberadaannya sudah lemah. Indikatornya adalah sudah tak adanya lagi kepemimpinan berdasarkan sistem adat, tidak berjalannya hukum adat, serta ritual-ritual adat, misalnya dalam kegiatan pertanian. Keberadaan pemerintahan adat mereka mungkin telah melemah dengan dihapuskannya sitem “pemerintahan marga” semenjak tahun 1979.

———–

10 Dikisahkan, bahwa dahulu tumbuh satu pohon besar di pertengahan kampung yang harus ditebang. Karena besarnya pohon tersebut, maka empat kelompok masyarakat tersebut, yang sebelumnya tidak memiliki nama, sepakat saling berbagi tugas. Satu kelompok mempersiapkan lobang yang kemudian menjadi sub-suku Juru Kalang, satu kelompok menyiapkan makanan berupa tape atau brem (menjadi subsuku Bermani), satu kelompok menyediakan tenaga kerja (subsuku Segiri), dan satu kelompok lagi menyiapkan pelupuh bambu untuk menutup batang (menjadi subsuku Selupu). Tampaknya kebenaran cerita tersebut lebih merupakan fiksi daripada fakta.

Saat ini ada satu lembaga yang berorientasi kepada permasalahan ini, yaitu Badan Musyawarah Adat (BMA). Salah satu bentuk “perjuangan” lembaga ini, bersama dengan unsur masyarakat dan pemerintahan daerah lain, adalah “mengembalikan” struktur pemerintahan ke dalam struktur pemerintahan marga. Meskipun tidak kembali dalam bentuk sama seperti semula, namun mereka berhasil memekarkan wilayah kecamatan dari 6 unit menjadi 15 unit. Konon, pemerintahan marga dulunya lebih kurang juga berjumlah 15 kesatuan. Pemekaran ini dilaksanakan pada tahun 2001. Struktur BMA sudah diperluas sampai ke kecamatan dan desa-desa. Aktifitas pokok yang sudah berjalan sampai saat ini baru pada bidang pelestarian kesenian dan budaya. Secara sosiologis, sulit untuk merasakan eksistensi masyarakat adat di wilayah ini.

8.3. Perbandingan Kinerja Kelembagaan dan Hubungan Antar Kelembagaan di Bali dan Bengkulu

Analisa perbandingan kelembagaan antar kedua lokasi penelitian dilakukan secara kualitatif terhadap tiga jenis kelembagaan, yaitu kelembagaan pemerintahan, pasar, dan komunitas.

Kelembagaan Pemerintahan

Dari sisi kelengkapan, kedua wilayah memiliki jenis kelembagaan pemerintahan yang sama. Perbedaan hanya ditemukan dalam posisi dalam struktur pemerintahan daerah masing-masing. Untuk urusan pembangunan pertanian, di kedua lokasi ditemukan dinas-dinas sub sektor berdasarkan komoditas pertanian.

Meskipun kinerja lembaga legislatif daerah belum memuaskan, namun dengan pengalokasian anggaran dan proses yang lebih cepat, maka program-program pembangunan pertanian di Tabanan tetap dapat dilaksanakan dengan baik. Meskipun para petugas penyuluhan tidak berada di bawah lembaga sendiri, namun menyatu dibawah masing-masing dinas subsektor, namun kinerjanya tetap terjaga karena masih disediakan dana operasional lebih pemerintahan daerah. Kerjasama antar petugas di lapangan terlihat masih baik, misalnya antara kepala cabang dinas di tingkat kecamatan dengan para petugas penyuluh pertanian.

Dari karakteristik sumber daya alamnya, kedua kabupaten mengandalkan pertanian sebagai sektor ekonomi kerakyatan. Perbedaannya adalah, sumbangan sektor pariwisata di Tabanan cukup besar untuk pendapatan daerah, walaupun bukan merupakan ladang yang subur untuk pengembangan ekonomi kerakyatan. Maraknya penjualan souvenir hanya sedikit yang diproduksi oleh masyarakat Tabanan, meskipun dipasarkan di tempat-tempat wisata di wilayah Tabanan.

Meskipun kedua pemda selalu menyatakan bahwa pertanian merupakan sektor andalan, namun sayangnya sektor ini bukan merupakan sumber PAD yang baik. Sejalan dengan itu, pengembangan ekonomi kerakyatan secara kalkulasi ekonomi dipandang sebagai investasi yang daya kembaliannya lebih lama.

Kelembagaan Pasar

Penelitian ini memfokuskan pada komoditas padi dan hortikultura sayuran pada masing-masing lokasi. Untuk komoditas padi, di kedua lokasi ditemukan keragaan kelembagaan pasar yang relatif sama. Tataniaga gabah dan beras merupakan bentuk kelembagaan yang sudah memiliki kemandirian yang tinggi. Artinya, ciri kelembagaan pasar yang independen sudah merupakan basis operasinya, dimana intervensi pemerintah sangat lemah. Apalagi semenjak BULOG pada awal tahun 2003 ini berubah menjadi BUMN, maka keterlibatan pemerintah menjadi semakin terbatas.

Pelaku pemasaran padi adalah para pedagang dan pemiliki penggilingan yang beroperasi lintas wilayah. Berbeda dengan komoditas sayuran, kelembagaan tataniaga padi tidak mengenal pasar sentral, atau pasar dalam artian fisik. Barang berpindah dari satu tangan ke tangan lain dengan transaksi yang bersifat personal.

Khusus untuk komoditas hortikultura sayuran, yang merupakan komoditas yang memiliki orientasi pasar lebih kuat dibandingkan padi, kelembagaan tataniaganya juga sudah terbentuk secara baik. Jalur-jalur pemasaran telah terbentuk melalui pola langganan, mulai dari petani sampai kepada pedagang pengecer di wilayah akhir pemasaran. Di Rejang Lebong, karena petani banyak yang menggantungkan bantuan permodalan usahatani dari pedagang, maka mereka sudah terikat untuk selalu menjual kepada pedagang tersebut.

Untuk keorganisasian pedagang, para pedagang di Rejang Lebong memiliki ikatan horizontal yang jauh lebih lemah dibandingkan di Baturiti. Meskipun ikatan pedagang di Baturiti tidak diformalkan, namun koordinasi dan kerjasama antar mereka masih dapat berjalan. Organisasi KASS di Rejang Lebong kurang didukung oleh pedagang, dan tampaknya mereka belum dapat memahami visi dan peran yangd apat dimainkan organisasi tersebut.

Kelembagaan Komunitas

0t21

Sebagaimana dijelaskan di depan, eksistensi kelembagaan komunitas di Tabanan jauh lebih baik dibandingkan di Rejang Lebong. Kesatuankesatuan komunitas berdasarkan pemerintahan adat di Rejang Lebong yang disebut “Pemerintahan Marga” dengan kepalanya yang disebut “Pasirah” sudah dibubarkan semenjak tahun 1979. Sebaliknya di Tabanan, dan Bali pada umumnya, pemberlakukan UU no. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa tidak menghapuskan Desa Adat dan Banjar Adat.

Program-program pembangunan pertanian dan ekonomi pedesaan di Tabanan yang menggunakan jalur kelembagaan adat (Desa Adat, Banjar Adat, Subak) relatif lebih berhasil (Tabel 21). Keberhasilan tersebut didukung oleh faktor-faktor bahwa kelembagaan adat sudah mengakar di masyarakat, sehingga pertanggungan jawabannya baik karena terdapat sangsi yang ketat apabila ada warga yang melanggar. Karena program-program dari atas selalu menggunakan kelembagaan komunitas, maka ada kesan terjadinya overload.

Bab IX. SIMPUL-SIMPUL KRITIS TRANSFORMASI KELEMBAGAAN

Pada bagian ini dipaparkan berbagai temuan faktual pola-pola transformasi kelembagaan tradisional yang terjadi di pedesaan, khususnya dalam konteks kelembagaan ekonomi kerakyatan.

9.1. Peranan Kelembagaan Tradisional dalam Pengembangan Ekonomi Pedesaan

Ekonomi kerakyatan di pedesaan hingga dewasa ini belum menunjukkan tanda-tanda bisa berkembang sehat. Suatu kegiatan ekonomi kerakyatan di pedesaan akan sulit berkembang, dalam arti memiliki daya saing tinggi, tanpa adanya dukungan kelembagaan yang memliki kinerja yang bisa diandalkan. Jika menginginkan perekonomian kerakyatan di pedesaan menjadi penghela perekonomian nasional, membangun basis keorganisasian perekonomian kerakyatan di pedesaan yang kuat saat ini dipandang sebagai kebutuhan yang sangat mendesak. Mengandalkan sistem organisasi konglomerasi dan pemusatan pada penguasaan kapital yang terlalu besar pada sejumlah kecil pelaku ekonomi, ternyata tidak menghasilkan kinerja perekonomian nasional yang kuat.

Dilandaskan pada pemikiran bahwa aspek sosio-budaya sangat menentukan perkembangan masyarakat, maka secara teoritis (“sosiologis”) kelompok komunal atau kelembagaan lokal tradisional (seperti kelembagaan Banjar, Subak, Kelompok Tani) seharusnya dapat digunakan sebagai basis pengembangan perekonomian kerakyatan di pedesaan. Bagi pengikut mashab pertumbuhan ekonomi (“growth maniac”), pemikiran yang menempatkan kelembagaan tradisional sebagai kekuatan ekonomi cenderung dipandang sebagai pemikiran utopia-populis. Namun dari sudut pandang (mashab) yang mementingkan aspek keadilan sebagai pendekatan dan sekaligus tujuan pembangunan, maka menempatkan kelembagaan tradisional  sebagai bagian penting dari strategi pembangunan ekonomi berbasis “kerakyatan” justeru harus dipandang sebagai cara yang lebih masuk akal. Pengembangan kelembagaan tradisional, misalnya kelompok tani, idealnya bisa dijadikan titik awal membangun jaringan keorganisasian pedesaan yang kuat. Hanya sayangnya, hingga kini masih berkembang anggapan bahwa kelompok tani yang dibentuk oleh pemerintah dua-tiga dekade lalu tidak memiliki kemandirian untuk berkembang sehat.

Kelembagaan tradisional seperti kelompok tani, jika ditangani dengan baik, akan bisa dijadikan basis pengembangan keorganisasian kegiatan ekonomi di pedesaan. Cara memandang kelompok tani tadi hendaknya jangan hanya dilihat dari aspek legal formalnya atau dari segi keberadaannya secara fisik (material); namun perlu (bahkan lebih penting) dilihat dari khasanah budaya non-material setempat yang menghidupinya. Dalam hal ini dikemukakan tentang pentingnya melihat kelompok tani dari keutuhan (inti)budaya; dilihat dari dua sisi sekaligus, yaitu budaya material dan non-materialnya (Anonimous, 2000; dan Sudjatmoko, 1983).

9.2. Kelompok Tani dan Kemajuan Ekonomi : Tinjauan Atas Kasus di Pedesaan Bali

Dikaitkan dengan kecepatan dan scope perkembangan (peradaban material), wilayah Propinsi Bali seperti di Kabupaten Tabanan, turisme tampaknya tidak mempunyai implikasi yang erat dan langsung dengan perkembangan daya saing kelompok tani setempat. Meskipun perkembangan sektor pariwisata telah meningkatkan permintaan terhadap komoditas pertanian, perkembangan kelompok tani ternyata belum mencerminkan perkembangan masyarakat pedesaan yang masih berada dalam peradaban transisi ke arah masyarakat industrial. Masyarakat pedesaan Bali masih kental mencirikan tradisi kehidupan agraris setengah tradisional dan setengah modern. Keadaan seperti ini mencirikan masyarakat yang berada di pertengahan jalan simpang, antara (mencirikan kehidupan) agraris-tradisional dan industrial-modern. Dapat dikemukakan bahwa budaya perekonomian (keseluruhan) masyarakat Bali hingga saat ini seakan-akan masih terbelah menjadi dua bagian, yaitu belahan kehidupan masyarakat pedesaan-pertanian-tradisional di satu sisi, dan belahan kehidupan masyarakat perkotaan-industri (dan jasa)-modern di sisi lain.

Kehidupan masyarakat pedesaan Bali, yang hingga dewasa ini masih bekerja di bidang pertanian, tidak terlalu banyak bisa memperoleh manfaat langsung dari perkembangan perkonomian perkotaan yang digerakkan oleh industri, perdagangan, dan jasa turisme. Terlebih lagi setelah tragedi “Bom Bali”, telah menurunkan permintaan pasar akan produk hortikultura setempat hingga 60%. Interaksi masyarakat pedesaan Bali dengan kehidupan dan dinamika perkonomian modern (perkotaan-industri-jasa) masih terbatas pada penjaja jasa tenaga kerja atau buruh kasar berketrampilan (“skill”) seadanya, seperti kasus tergusurnya lahan pertanian di di Desa Beraban, Kecamatan Kediri atau daerah Wisata Tanah Lot. Dilihat dari pemenuhan tenaga kerja berketrampilan tinggi, keberadaan mereka ini secara ekonomi tidak begitu diperhitungkan. Dapat dikatakan bahwa kehadiran mereka ini tidak mempunyai kontribusi atau “saham” yang signifikan terhadap kemajuan kehidupan perekonomian modern di wilayah Bali.

Terlihat bahwa ada gejala ketidakberdayaan pemerintah setempat untuk memajukan perkekonomian pertanian di pedesaan, relatif dibandingkan kemajuan perekonomian yang dicapai oleh masyarakat perkotaannya. Keberadaan kelembagaan tradisional (kelembagaan Banjar, Subak, dan Kelompok Tani) tampaknya belum bisa menjadi faktor penguat integrasi antara kemajuan perkonomian perkotaan, yang digerakkan oleh industri dan jasa, dengan kemajuan perkonomian pedesaan, yang digerakkan oleh pertanian dan tenaga kerja berketrampilan rendah.

Strategi memajukan ekonomi Bali terlihat belum sebangun dengan memajukan perekonomian pedesaannya. Tidak terlihat ada strategi khusus untuk pemberdayaan perkonomian pedesaan yang menitikberatkan pada penguatan keorganisasian petaninya.

9.3. Periodesasi Perkembangan Kelembagaan Ekonomi Kerakyatan di Pedesaan

Penelitian ini menjadikan 60 kelembagaan sebagai sampel penelitian sebagai objek langsung, dengan pendekatan semi partisipatif. Selain itu, juga digali berbagai kelembagaan yang dulu pernah hidup di tengah masyarakat, namun saat ini sudah tidak hidup lagi, misalnya pemerintahan marga di Bengkulu. Untuk memahaminya dilakukan wawancara dengan para informan kunci yang dahulu pernah terlibat di dalamnya, seperti tokoh adat dan tokoh masyarakat.

Pada setiap sampel dilakukan kajian secara historik semenjak berdiri sampai dengan kondisi terakhir, yang mencakup: keragaan kelembagaan secara umum baik kelembagaan pemerintah (politik), kelembagaan ekonomi (pasar), dan kelembagaan komunitas; struktur keorganisasian dan aktivitas atau kegiatan yang dijalankan; aturan main yang disepakati; tujuan yang ingin dicapai, dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Dengan pendekatan ini, maka diperoleh pemahaman yang cukup mendalam, sehingga dapat diabstraksikan suatu pola umum perkembangan kelembagaan-kelembagaan sosial ekonomi di pedesaan semenjak dahulu sampai sekarang. Sedikit banyak, perubahan-perubahan pola yang terjadi juga mengikuti kecenderungan perubahan tata perpolitikan negara, khususnya kebijakan terhadap pembangunan dan masyarakat desa pada umumnya.

Secara umum, ditemukan 3 (tiga) tahap perubahan kelembagaan, yang didalamnya berbeda dari sisi bentuk-bentuk kelembagaannya, sifat keterlibatan warga, serta pendekatan politik atas desa terhadapnya. Ketiga tahap tersebut beserta karakteristiknya dalah sebagai berikut:

(1) Kelembagaan pada Tahap Masyarakat Komunal

Tipe masyarakat komunal merupakan ciri yang universal ketika ketergantungan antar penduduk tinggi, dan campur tangan pihak luar rendah sekali. Tipe masyarakat seperti ini selalu dapat ditemui di belahan dunia manapun. Salah satu cirinya adalah kepemilikan sumber daya secara bersama dan distribusi manfaatnya juga bersama-sama, serta berbagai aktivitas kerja bersama yang kita kenal dengan istilah gotong-royong atau sambat-sinambat di Jawa. Pada periode tersebut, hampir seluruh keputusan-keputusan yang penting dilakukan dengan cara musyawarah-mufakat atas prinsip kebersamaan dalam kesetaraan.

Pada masa ini, kelembagaan yang hidup seluruhnya merupakan kelembagaan yang dibangun sendiri oleh masyarakat. Mereka sendiri yang memutuskan untuk mebentuk suatu kelembagaan, bagaimana bentuk strukturnya, bagaimana pemilihan anggotanya, pola kepemimpinannya, serta aturan-aturan beserta sanksi-sanksinya. Sanksi yang banyak diterapkan pada waktu itu berupa sanksi adat bagi anggota komunitas yang melanggar.

Contoh kelembagaan yang berpola demikian yang ditemukan dalam penelitian ini adalah kelembagaan Banjar dan Subak yang ada di Bali, dan Pemerintahan Marga yang ada di Bengkulu. Subak dan banjar masih ditemukan sampai sekarang, namun pemerintahan marga telah mati semenjak tahun 1970-an dengan adanya proses penyeragaman pemerintahan desa di Indionesia melalui UU no. 5 tahun 1974 tentang pemerintahan desa.

Salah satu ciri umum kelembagaan pada era ini adalah, jumlah kelembagaanya tidak banyak namun fungsinya banyak. Artinya, “miskin organisasi namun kaya fungsi”. Sebuah banjar misalnya merupakan wadah untuk beraktifitas mulai dari bidang politik-kekuasaan, sosialkemasyarakatan, serta masalah keagamaan. Dalam kepengurusan banjar ada struktur yang bertanggung jawab kepada hal-hal mulai dari keamanan sampai dengan sekoo-sekoo kesenian dan hiburan. Demikian pula pada pemerintahan marga, yang selain bertanggung jawab kepada pemerintahan juga mengatur keamanan dan pengairan sawah.

Ciri lain kelembagaan pada era ini adalah adanya saling keterkaitan antar bagiannya, penetapan keputusan yang demokratis, serta luas jangkauan yang terbatas. Khusus untuk aktifitas ekonomi tidak memiliki kelembagaan yang khusus namun sudah tercakup di dalam kelembagaan yang ada. Kelembagaan pasar belum cukup berkembang, dan ketergantungan atau pertukaran barang antar wilayah masih rendah. Pertukaran barang lebih banyak terjadi antar warga dalam komunitas yang relatif terbatas.

(2). Kelembagaan pada Tahap Penghancuran Masyarakat Komunal

Invansi kekuatan atas desa terhadap masyarakat desa mulai terasa semenjak era pembangunan, khususnya semenjak berkuasanya pemerintahan Orde Baru. Pada masa ini, terjadi perombakan yang besar tidak hanya terhadap cara berpikir dan orientasi hidup, teknologi yang digunakan, namun  juga pada kelembagaan-kelembagaan yang ada. Puluhan kelembagaan baru diintroduksikan kepada masyarakat dengan struktur dan norma-norma yang sudah ditentukan. Masyarakat tidak sempat memahami kenapa perlu sebuah organisasi baru, namun dipaksa untuk mengikutinya. Seorang responden di Bengkulu menyatakan, bahwa pada era ini setiap warga “di KUD-kan”, tanpa mereka tahu dan merasa butuh kehadiran sebuah koperasi.

Pada setiap desa di Indonesia kita akan dapat menemukan seperangkat kelembagaan, karena merupakan keharusan untuk dimiliki. Kelembagaan-kelembagaan introduksi tersebut adalah pemerintahan desa dengan LKMD dan LMD, beberapa kelompok tani, kelompok ternak, kelompok wanita tani, kelompencapir, kelompok Kadarkum, dan PKK. Pada setiap kecamatan juga dapat dapat kita temui setidaknya sebuah KUD, yang sebelumnya bernama BUUD.

Masuknya kelembagaan-kelembagaan baru ini sayangnya bukan merupakan tambahan atau pengembangan terhadap kelembagaan yang telah ada, namun seringkali menggantikan kelembagaan-kelembagaan yang sebelumnya yang didirikan oleh masyarakat. Artinya, sejalan dengan pembentukan kelembagaan-kelembagaan baru tersebut secara bersamaan terjadi pula penghancuran kelembagaan-kelembagaan tradisional yang dibangun di atas prinsip komunalitas dan berbasis budaya lokal (local endowment).

Kelembagaan-kelembagaan introduksi tersebut berjumlah banyak dan dengan tujuan dan aktifitas yang khusus dan sempit. Karena pada periode tersebut pembangunan dilakukan dengan pendekatan proyek dan sektoral yang sering kali bersifat diskontinyu. Terjadi gejala “banyak lembaga namun miskin fungsi”. Ini sangat berbeda dengan ciri kelembagaan tradisional sebelumnya. Akibatnya, kelembagaan yang terbentuk tidak pernah dapat hidup secara baik, karena tidak mengakar, dan tidak mempertimbangkan norma-norma dan jejaring sosial (social network) yang telah ada sebelumnya, serta tidak melalui proses sosial yang matang. Kelembagaan yang dibentuk lebih sebagai alat untuk mobilisasi sosial dan memudahkan kontrol dari atas, bukan untuk trasformasi yang alamiah. Satu hal yang membanggakan, di Bali introduksi kelembagaan baru tidak sampai merusak kelembagaan lama, namun hanya menjadi tambahan atau perluasan struktur baru. Hal ini disebabkan kelembagaan adat di pedesaan Bali yang dibangun atas filosofi “Tri Hita Karana” yang mencakup Parahyangan (hubungan antara Tuhan dengan manusia), Pawongan (hubungan antar manusia dengan manusia), dan Palemahan (hubungan antara manusia dengan alam dan lingkungannya) berhasil di aplikasikan dalam tatanan kehidupan sehari-hari baik secara individu maupun kolektif.

Dalam komunitas satu desa diikat oleh Pura Kahyangan Desa, yaitu pura-pura yang disungsung oleh desa adat berupa Kahyangan Tiga yaitu tiga pura yang melingkupi desa antara lain adalah : (1) Pura Desa atau Bale Agung sebagai tempat pemujaan Tuhan dalam prabawa-Nya sebagai pencipta yaitu Brahma, (2) Pura Puseh sebagai tempat pemujaan Tuhan dalam manifestasi Nya sebagai pemelihara yaitu Wisnu, dan (3) Pura Dalem sebagai tempat pemujaan Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai pelebur yaitu Siwa. Kuatnya kelembagaan adat yang bersumber dari ajaran Agama Hindu Bali tersebut mampu membentengi dari kelembagaan baru yang diintroduksikan. Karena itu di Bali sekarang hidup secara berdampingan Banjar Dinas dan Banjar Adat, serta Desa Dinas dan Desa Adat dengan perbedaan peran yang saling melengkapi.

(3). Kelembagaan Pada Tahap Komunalitas Baru

Setelah mulai dirasakan adanya kesalahan-kesalahan di dalam perancangan, perencanaan, dan pelaksanaan pembangunan pertanian dan ekonomi masyarakat selama ini, yaitu dengan terlalu memaksakan kelembagaan yang tidak dibarengi pendekatan kultural (aspek kelembagaan) yang cukup, maka pemerintah mulai beralih dengan pendekatan baru yang lebih menghargai komunalitas lokal. Peran kepemimpinan lokal kembali direvitalisasi sebagai jaminan kesuksesan pembentukan kelembagaan introduksi dan melalui pengembangan kelembagaan melalui melalui berbagai program pembangunan yang bertahap sehingga diharapkan pembentukan kelembagaan melalui proses sosial yang matang dengan melibatkan kelembagaan di tingkat desa.

Dua kasus kelembagaan baru yang menggunakan pendekatan ini adalah Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali dan Unit PengelolaKeuangan Desa (UPKD) di Bengkulu. LPD mulai digerakkan pertengahan tahun 1990-an, dengan melibatkan secara intensif kelembagaan Desa dan Banjar Adat. LPD pada tahap awalnya didanai oleh pemerintah daerah baik kabupaten maupun propinsi. Ini merupakan satu contoh pelaksanaan otonomi daerah yang melibatkan masyarakat adat baik dalam konsolidasi anggota, perencanaan kegiatan, aturan main yang dibangun, dalam pelaksanaan kegiatan, serta dalam monitoring dan evaluasi. Hampir dalam setiap pengambilan keputusan penting dalam LPD ini dilakukan dengan cara musyawarah di antara pengurus dan anggota. Aturan main dituangkan dalam awig-awig (aturan umum) dan perarem (aturan detail dan tambahan). Dalam awig-awig dan perarem juga tercakup struktur organisasi; kegiatan simpanpinjam yang dilakukan; sistem pengajuan pinjaman, penyaluran, penggunaan, serta dalam pengembalian; serta sistem reward and punishment yang harus dipatuhi bersama pengurus dan anggota.

Sementara itu, UPKD di Bengkulu baru berjalan 3 tahun ini dengan melibatkan tenaga muda terdidik di desa, kelembagaan pemerintah desa, serta adanya tim pembina dalam kerangka penguatan kelembagaannya. Program ini didanai oleh Bengkulu Regional Development Project (BRDP). Kata kunci dalam program pengembangan UPKD ini adalah melibatkan pemerintah desa dan kaum muda terdidik, serta bersifat bertahap. Hampir dalam setiap pengambilan keputusan penting dalam UPKD ini dilakukan dengan cara musyawarah di antara pengurus, anggota, dan tim pembina secara transparan dan demokratis. Aturan main dituangkan dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Dalam AD dan ART tercakup struktur organisasi; kegiatan simpan-pinjam yang dilakukan; sistem pengajuan pinjaman, penyaluran, penggunaan, serta dalam pengembalian; serta sistem reward and punishment yang harus dipatuhi bersama pengurus dan anggota. Keduanya menunjukkan perkembangan yang baik, meskipun pertumbuhannya tidak bersifat massal (lihat Tabel 20).

Bersamaan dengan itu, ketika suasana politik atas desa agak mengendor, maka beberapa kelompok tani dan koperasi mulai berusaha menjadi “mandiri secara sesungguhnya”. Hal ini ditemukan baik pada KUD Kediri di Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan maupun KUD-Makmur di Kecamatan Lebong Utara, Kabupaten Rejang Lebong. Justeru semenjak tidak lagi menjalankan program-program dari pemerintah, mereka mulai memperoleh banyak kemajuan, karena bidang usaha yang dikembangkan benar-benar didukung oleh anggota karena dimusyawarahkan dengan baik. Pada periode ini kedua KUD berhasil melakukan beberapa pembenahan mendasar, khususnya dalam penerapan prinsip-prinsip usaha, pembenahan manajemen dengan struktur yang lebih ramping dan lebih profesional, dan asas selektifitas layaknya perbankan pun mulai diterapkan.

Selain itu, mereka juga menjadi lebih bebas memilih jenis-jenis usaha dan memperoleh permodalan dari berbagai pihak dengan perjanjian yang betul-betul berdasarkan kapasitas riel. Sebagai ilustrasi, KUD Makmur telah memperoleh pinjaman dari lembaga perbankan dengan bunga komersial dan berhasil melunasi dengan baik. Di samping itu, kedua KUD juga berhasil mengembangkan diversifikasi usaha hingga 6-8 cabang usaha, antara lain usaha jasa simpan-pinjam, usaha penggilingan padi, usaha pengadaan sarana produksi, usaha toko, warung telekomunikasi, jasa alisintan, usaha ternak itik, dan pemasaran hasil (musiman) (lihat tabel 13 dan 18).

9.4. Simpul Kritis Kelembagaan Guna Memperkuat Ekonomi Kerakyatan di Era Otonomi Daerah.

Dari pengamatan di lapangan dapat dirumuskan beberapa faktor atau simpul kritis dalam proses transformasi kelembagaan. Faktor kritis yang dimaksud dapat dikelompokkan dalam 5 aspek berikut, yang secara lebih terinci dapat disimak pada Tabel 22.

0t22

Satu, sistem produksi dalam perekonomian pedesaan umumnya masih dicirikan oleh orientasi bahan mentah pertanian bernilai tambah rendah (belum orientasi produk akhir yang bernilai tambah tingi), teknologi yang digunakan sudah ketinggalan jaman (tidak dari hasil penelitian mutakhir), dukungan permodalan yang terbatas dan bersifat individual (tidak dari perbankan dan dimiliki secara kolektif), input intensif usaha masih berupa tenaga kerja ber skill rendah dan lahan seadanya (tidak ada tenaga kerja berketerampilan tinggi dan permodalan yang kuat), dan mengandalkan gagasan tradisional dengan legitimasi slogan pejabat pemerintah (tidak gagasan futuristic yang didasarkan atas legitimasi kemajuan empirik).

Adanya program pengembangan agropolitan dan sub terminal agribisnis (STA) baik di Bali maupun di Bengkulu yang ditujukan untuk menghasilkan produk hortikultura dataran tinggi yang bernilai ekonomi tinggi belum menunjukkan keberhasilan. Meskipun dalam program ini, syarat-syarat pembangunan pertanian dan ekonomi rakyat telah terpenuhi, yaitu adanya pembangunan infrastruktur fisik pemasaran, teknologi pasca panen dan fasilitas penunjang, bantuan permodalan, serta  adanya penguatan kelembagaan.  Namun, program tersebut menghadapi beberapa permasalahan pokok, antara lain adalah masalah kesesuaian lokasi pembangunan, konsolidasi di antara pelaku agribisnis sayuran, sistem pengelolaannya, permodalan, serta penguatan kelembagaan yang belum dilaksanakan dengan baik. Di samping itu, masalah koordinasi di antara pelaku agribisnis dan pelaksana program menjadi kendala tersendiri.

Dua, sistem ekonomi pertanian dan kerakyatan di pedesaan hingga saat ini belum dijadikan visi ekonomi kalangan perancang kebijakan pembangunan di kalangan EKUIN. Saat ini kalangan EKIN masih mengutamakan industri dan ekonomi perkotaan yang kuat. Kelemahan lain ditunjukkan oleh adanya tujuan dan strategi pembangunan yang masih mementingkan peningkatan produksi fisik jangka pendek dan mengejar pertumbuhan, belum pada peningkatan kualitas dan tercapainya keadilan, masih mengutamakan kalangan elit (pengusaha) sebagai pelaku utama ekonomi (belum mengutamakan rakyat banyak atau “putting people first”), beridiom kerja “jago kandang” atau think locally act globally, dan strategi kerja yang digunakan (tarik tambang) sudah ketinggalan jaman. Kondisi tersebut menyebabkan rentannya perekonomian nasional terhadap gejolak internal maupun eksternal. Kondisi ini nampak pada ekonomi sayuran dataran tinggi di kedua lokasi, di mana sistem agribisnis sayuran di Bali dapat dikatakan mengalami kontraksi yang sangat besar (kelumpuhan), semenjak terjadinya gejolak baik internal (Bom Bali), maupun eksternal (Perang Teluk, wabah SARS).

Gambaran yang hampir sama dijumpai dijumpai pada sistem agribisnis sayuran di sentra produksi Rejang Lebong, Bengkulu khususnya dan di sentra-sentra produksi sayuran Sumatera umumnya, sebagai akibat kehilangan kepercayaan buyer di negara tujuan ekspor. Untuk mengembalikan kinerja sistem agribisnis sayuran di sumatera telah dibentuk KASS (Kawasan Sentra Produksi Sayuran Sumatera), namun belum menunjukkan kinerja yang berhasil, karena sulitnya menyatukan persepsi dan koordinasi para pedagang sayuran.

Tiga, tatanan politik dan pemerintahan dalam pembangunan perekonomian masyarakat pedesaan masih lemah. Hal ini ditunjukkan oleh penempatan petani pada posisi subordinat, dukungan politik yang sangat marjinal, pemerintahan yang masih menjalankan asas desentralistik dan otonomi secara semu, representasi petani dalam pengambilan keputusan publik masih disabot oleh elit ekonomi dan politisi perkotaan, dan belum berkembangnya pengembilan keputusan politik yang demokratis dan inklusif. Nampak jelas bahwa otonomi daerah yang mestinya dapat dijadikan wahana dalam membangun tata hubungan ditingkat daerah dengan masyarakat di masing-masing daerah dalam kerangka pemberdayaan masyarakat melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan, nyatanya masih lebih merupakan tata hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam kerangka pembagian keuangan pusat dan daerah dan menjadi arena perebutan kekuasaan para elit politik di tingkat daerah. Makna dan jiwa otonomi daerah belum terserap dan diterapkan secara benar, serta masih jauh dari harapan.

Empat, sistem manajemen dan keorganisasian usaha pertanian dan ekonomi rakyat di pedesaan masih lemah. Hal ini ditunjukkan dari kolektivitas petani belum dijadikan basis organisasi ekonomi pedesaan, pemahaman organisasi produksi usaha pertanian terbatas pada usahatani (belum pada seluruh jaringan agribisnis di pedesaan), jaringan usaha pertanian dipandang sebagai usaha yang tersekat-sekat dan parsial ( belum secara utuh dan integratif), masih dipertahankannya sistem kemitraan yang mengandung unsur interdependensi yang asimetris antar pelaku agribisnis di pedesaan, aliansi strategis yang terbentuk masih berskala lokal (belum diintegrasikan pada jaringan asosiasi professional), dan masih dijalankannya sistem pengambilan keputusan (manajemen) secara tertutup, otoritarian dan akuntabilitas yang buruk.

Meskipun dewasa ini di kedua lokasi telah dikembangkan STA yang secara konsepsional diharapkan dapat menjadi pusat kegiatan agribisnis sayuran dan mampu mengintegrasikan kegiatan-kegiatan usaha yang masih tersekat-sekat, namun belum menunjukkan keberhasilan. Bebeberapa permasalahan pokok yang di hadapi antara lain adalah: (1) lemahnya pola pikir pelaksana program didaerah tentang agribisnis baik sebagai suatu sistem maupun sebagai suatu usaha; (2) sulitnya mengkonsolidasikan pelaku-pelaku agribisnis, khususnya para pedagang yang cenderung berpikir secara individualis dan jangka pendek; (3) terbentur pada siapa pengelola kelembagaan STA tersebut dan magaimana sistem pengelolaannya; (4) belum jelasnya kapan dan berapa besar modal yang diperuntukkan bagi STA; dan (5) bagaimana seharusnya pembentukan dan penguatan kelembagaan secara efektif.

Lima, sistem penyelenggaraan pembangunan perekonomian masyarakat pedesaan masih didasarkan pada kepemimpinan formal dari atas desa (belum dengan strong local leadership), dukungan infrastruktur publik yang lemah, upaya penyehatan agroekosistem yang lemah, dan terlalu mengutamakan kepemilikan asset usaha secara individual (belum secara kolektif dan didasarkan pada solidaritas sosial yang tinggi). Meskipun di Kecamatan Kediri kepemimpinan lokal atau adat sangat berperan dalam penyelenggaraan pembangunan, sejatinya tingkat profesionalitasnya masih kurang. Sementara itu, di pedesaan Rejang Lebong, Bengkulu peran pemimpin lokal belum berperan secara aktif.

9.5. Simpul Kritis Sebagai Penentu Dayasaing Dalam Kerangka Globalisasi Ekonomi

Dalam rangka membangkitkan daya saing kelembagaan pemerintah di tingkat lokal (Banjar Dinas, Desa Dinas, BPD, LKMD), kelembagaan komunitas atau tradisional (Banjar Adat, Subak, Kelompok tani), kelembagaan ekonomi (LPD, KSU, KUD, dan STA) ada beberapa faktor budaya material dan sosio-budaya yang berperan cukup besar. Dari segi budaya material, daya saing tadi ditentukan oleh faktor-faktor, seperti: potensi sumberdaya lahan dan air, kondisi iklim, pilihan komoditas, pola tanam, teknologi dan pengetahuan teknik produksi, teknolologi pasca panen, penguasaan lembaga jasa permodalan, dan penyuluhan pertanian. Sedangkan untuk faktor sosio-budaya yang bisa diinfentarisir adalah orientasi kegiatan kelompok, kepemimpinan dan legitimasi adat, manajemen kelompok, organisasi produksi, dan kepatuhan terhadap tata nilai kolektif yang telah disepakati.

Satu, potensi sumberdaya alam, sumberdaya air dan iklim. Kesesuaian lahan (kesuburan, topografi, ketinggian tempat), ketersediaan dan aksessibilitas terhadap sumber air, serta kesesuaian iklim akan menentukan komoditas apa yang cocok diusahakan atau menentukan keunggulan komparatif komoditas yang akan diusahakan. Sebagai ilustrasi, Kecamatan Baturiti dengan potensi lahan kering dataran tinggi secara historis memiliki kesesuaian untuk pengembangan beberapa komoditas yang dipandang paling sesuai pada beberapa periode waktu. Sebelum tahun 1970-an diusahakan untuk tanaman pangan berupa padi gogo (MH), disusul palawija (jagung, ubijalar, ubikayu, dan kacang tanah). Namun setengah lahannya diusahakan tanaman perkebunan terutama kopi Arabika (varietas Kartika) dan vanili jenis lokal. Pada periode tahun 1984 – 1986 terjadi pergeseran dari komoditas pangan dan perkebunan ke tanaman sayuran. Pada saat penelitian, 80 – 90% lahan untuk sayuran dan sisanya untuk tanaman pangan.

Dua, pilihan komoditas dan pola tanam. Pilihan komoditas sayuran di Desa Candi Kuning, Kecamatan Baturiti atas pertimbangan pemilikan lahan yang berukuran sedang (0,50 – 5) ha, memiliki modal sendiri dan akses ke lembaga permodalan formal maupun LPD, merupakan petani maju yang memiliki jiwa bisnis dan berani beresiko, karena memberikan tingkat pendapatan yang lebih tinggi dan relatif kontinu dengan frekuensi dan masa panen yang cukup panjang.

Sementara itu alasan petani menanam padi – padi – kedelai di Desa Pandak Bandung dan Beraban, Kecamatan Kediri antara lain adalah karena kesesuaian berupa sawah dataran rendah, ketersediaan air irigasi yang relatif terjamin baik, adanya dukungan kelembagaan subak yang mantap dalam pengelolaan air irigasi, harga padi relatif stabil dibandingkan komoditas palawija dan hortikultura, dan kebutuhan TK yang relatif sedikit. Penanaman kedelai pada MK-II lebih ditujukan untuk mengoptimalkan penggunaan lahan. Tanaman padi pada MH dan MK-I bisa mencapai 6 – 7 ton/ha, sedangkan kedelai mampu mencapai 1,5 – 2,0 tom/ha.

Tiga, teknologi dan pengetahuan teknik produksi. Penguasaan teknologi dan pengetahuan teknik produksi merupakan dua faktor (dari sekian faktor) kunci yang menentukan daya saing usaha tani atau kelembagaan petani. Kedua faktor ini sangat dirasakan telah menjadi pendorong peningkatan daya saing kelembagaan kelompok tani yang ada pada daerah sentra produksi hortikultura maupun pada daerah sentra produksi padi. Baik untuk kelompok komoditas hortikultura, padi, maupun palawija telah menggunakan teknologi sesuai anjuaran. Bahkan untuk kelompok komoditas sayuran komersial yang bersifat high profit dan high cost (cabe merah, tomat, kentang) penggunaan pupuk buatan dan pestisida sudah melampaui dosis anjuran. Sementara itu, untuk komoditas padi penggunaan urea juga menunjukkan melampaui dosis yang dianjurkan.

Empat, teknologi pasca panen. Sejauh ini masalah penangan pasca panen masih menjadi kendala yang serius, diindikasikan oleh hampir semua petani menjual hasil sayurannya dalam bentuk segar , bahkan banyak petani yang menjual hasil sayurnya dengan sistem tebasan. STA telah melakukan  pengkelasan produk-produk sayuran yang memenuhi standar untuk kebutuhan restauran dan hotel berbintang (30 – 40%), sedangkan yang tidak memenuhi standar dipasarkan di pasar tradisional.

Lima, pelayanan permodalan dan resiko produksi. Permodalan dan kemampuan menanggung resiko produksi masih menjadi faktor pembatas serius. Di Baturiti misalnya, walaupun ketersediaan lembaga perkreditan juga sudah cukup berkembang (LPD, KSU, KUD, dan kelompok P4K), namun ketersediaan modal dalam jumlah yang cukup, tepat waktu, dan relatif murah, serta strategi untuk mengatasi resiko produksi (“asuransi”); masih perlu ditingkatkan. Jasa permodalan yang ditawarkan pada kelompok tani tidak berbeda dengan yang ditawarkan pada pelaku bisnis lainnya, akibatnya harga (pinjaman) modal yang harus dibayar petani akan relatif tinggi. Hal ini akan menumpulkan daya saing usaha yang dijalankan kelompok tani.

Enam, orientasi kegiatan. Kelembagaan lokal di Bali (kelembagaan pemerintah, komunitas, dan ekonomi) mempunyai akar budaya Bali yang kuat, yang sangat mewarnai orientasi kegiatan kelembagaan lokal tadi. Mereka menerapkan sanksi adat pada anggotanya apabila melakukan pelanggaran-pelanggaran, seperti ditemukan pada kelembagaan Banjar Adat, Subak, Kelompok Tani, dan LPD. Program pembangunan pertanian dan ekonomi rakyat yang dilakukan dengan menggunakan kelembagaan adat menunjukkan kinerja yang berhasil. Meskipun ditemukan beberapa kelembagaan ekonomi yang tidak mengkaitkan dengan adat-istiadat, namun etika dan moralitas adat cukup mewarnai kinerja kelembagaan yang dijalankan. Walaupun kelembagaan ekonomi prinsip mencari keuntungan adalah penting, tampaknya mencari keuntungan ekonomi bukan satu-satunya tujuan aktivitas kelembagaan ekonomi.

Tidak ada kekhawatiran yang ekstrim pada pengurus terhadap dedikasi anggotanya. Jika kegiatan usaha anggota kelompok membaik, pengurus yakin semua tagihan hutang anggota kelompok akan terlunasi. Ini menunjukkan bahwa energi sosial masyarakat Bali untuk menjunjung tinggi nilai-nilai ekonomi berkelompok relatif tinggi, terlepas apakah hal itu akan memperoleh bantuan pemerintah atau tidak. Pada kasus baik di daerah sentra sayuran maupun di sentra padi menunjukkan hubungan antara orientasi sosial dan ekonomi sudah lama terbentuk dengan harmonis. Proses penyesuaian terhadap goncangnan keadaan ekonomi relatif bisa diredam oleh kelembagaan yang eksis dan dinamis di tingkat lokal. Pengalaman yang bertubi-tubi menggoncang ekonomi Bali, dari peritiwa perang Irak, wabah SARS, dan Bom Bali memberikan keyakinan dan kemampuan untuk lebih tegar dan antisipatif terhadap situasi yang kurang menguntungkan.

Tujuh, kepemimpinan dan legitimasi adat. Kehidupan masyarakat Bali sangat kental diwarnai oleh adat, di mana adat tadi berakar pada tradisi kepercayaan Hindu-Bali. Yang disebut pemimpin oleh masyarakat Bali adalah orang yang memiliki kredibilitas di bidang keagamaan, biasanya memiliki keunggulan di bidang pengetahuan, sifat bijaksana, tegas, adil, dan bisa dipercaya. Seseorang berhak disebut pemimpin jika bisa memberikan pancaran keunggulannya tadi pada masyarakat sekitar. Penunjukkan Ketua atau pemimpin kelembagaan, apakah kelembagaan pemerintah (Banjar Dinas, Desa Dinas, BPD, LKPMD), kelembagaan komunitas (Banjar Adat, Subak, Kelompok Tani), maupun kelembagaan ekonomi (STA, KSU, LPD) tidak dapat dilepaskan dari legitimasi adat. Oleh sebab itu, seorang ketua kelembagaan lokal adalah juga tokoh yang dihormati oleh masyarakat setempat. Jika, misalnya, pengetahuan teknis pemimpin tersebut di bidang (misalnya) produksi relatif kurang, maka akan dicarikan “tokoh” pendamping yang lebih muda untuk mengisi kekosongan kemampuannya.

Jarang ditemui pada masyarakat pedesaan Bali bahwa seorang pemimpin memperoleh perlakukan kasar dari anggotanya. Hal ini bisa dimengerti, karena sebelum seseorang dipilih menjadi pemimpin ia telah mengalami proses pengamatan, penilaian dan pengujian yang cukup lama. Pada saat dilakukan pemilihan, untuk penunjukkan seorang ketua atau pemimpin, proses yang dilalui biasanya tidaklah terlalu rumit, terutama yang berkaitan dengan upaya untuk memadukan perbedaan kepentingan antar pemimpin dan pengikutnya. Dalam banyak hal pemimpin tadi juga berperan sebagai solidarity maker, penegak peraturan (awig-awig) dan inspirator bagi anggota yang dipimpinnya ke arah mencapai tujuan kehidupan (ekonomi) yang lebih baik.

Delapan, manajemen kelembagaan lokal. Gejala menarik yang ditemui pada kelembagaan lokal, khususnya STA, KSU, dan LPD adalah bahwa aspek manajemen modern telah diterapkan dengan baik, meskipun pola managemen yang dipakai adalah managemen koperasi. Hal ini disebabkan pengembangan koperasi pada pemerintah orde baru di daerah Bali ini dapat dikatakan cukup berhasil. Seperti pada kasus KUD, sebagian besar KUD mengalami kemerosotan semenjak dicabutnya subsidi pupuk dan monopoli distribusi yang melibatkan kelembagaan KUD. Sementara itu, pada kasus LPD yang menghubungkan kelembagaan ekonomi dengan kelembagaan komunitas (Banjar Adat) dikelola dengan sistem managemen koperasi simpan pinjam, dengan dilengkapi awig-awig yang berakar pada adat, menunjukkan kinerja yang baik. Pengambilan keputusan dalam kelembagaan lokal dilakukan melalui sistem musyawarah yang bermutu tinggi, dan harus dihadiri oleh semua anggota kelompok. Anggota yang tidak hadir harus memberikan alasan yang kuat dan bisa diterima anggota kelompok. Mengingat cara pengambilan keputusan dilakukan dengan cara sangat terbuka (transparant), bisa dipertanggung jawabkan (accountable) dan demokratis; hal itu mempunyai kekuatan yang mengikat pada setiap anggota kelompok.

Sembilan, sistem organisasi produksi. Sistem organisasi produksi merupakan titik lemah pengembangan daya saing kelembagaan produksi. Sistem organisasi produksi yang dianut kelompok tani, misalnya, masih mengikuti organisasi pertanian yang sangat konvensional. Penguasaan usaha hanya terjadi pada sektor hulu, dan sektor hilirnya dikuasai oleh pelaku ekonomi di luar desa, meskipun pada daerah sentra sayuran di Desa Candi Kuning telah dikembangkan kelembagaan STA, namun posisi tawarnya masih sangat ditentukan oleh pihak suplpier yang berhubungan langsung dengan pedagang akhir termasuk hotel dan restaurant.

Sementara itu, pada sentra produksi padi kondisinya tidak lebih baik. Para petani anggota lebih memilih menjual padinya secara tebasan karena sulitnya mendapatkan tenaga kerja panen dan tidak memiliki alat penjemuran. Hal ini secara sistematik berarti memberikan peluang munculnya gejala inefisiensi di tingkat usaha kelompok, sebab nilai tambah ekonomi yang realtif besar umumnya diperoleh dari usaha penanganan pasca panen, pengolahan dan jasa pemasaran. Selama dua kegiatan ini tidak dikuasai oleh sistem organisasi usaha yang dikelola kelompok, maka nilai tambah ekonomi yang relatif tinggi tadi tidak jatuh pada petani atau anggota kelompok.

Sepuluh, kepatuhan terhadap tata-nilai kolektif. Di muka telah dikemukakan bahwa kehidupan kolektif telah menjadi norma kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan Bali. Kepatuhan terhadap tata-nilai kolektif ini menjadi inti kekuatan kelembagaan lokal di tingkat desa, dan bukan (hanya) pada teknologi, permodalan dan bantuan (atau belas kasihan) pemerintah. Tetap bertahannya kelembagaan-kelembagaan ekonomi walaupun kegiatan ekonominya mengalami masalah serius, disebabkan oleh adanya tata-nilai kolektif yang dipegang teguh petani.

9.6. Bentuk-Bentuk Transformasi Kelembagaan

Dari berbagai sampel kelembagaan menunjukkan bahwa transformasi kelembagaan baik kelembagaan pemerintah, ekonomi, dan komunitas; masih dalam proses perubahan yang bersifat parsial. Tidak ada kelembagaan yang mengalami perubahan secara menyeluruh. Transformasi (perubahan) tersebut adalah sebagai berikut:

Satu, penambahan struktur baru. Transformasi pada beberapa subak di Bali adalah berupa penambahan struktur baru bersamaan dengan adanya bantuan ekonomi dari luar. Subak pada mulanya hanya mengurusi persoalan distribusi air dan kegiatan usahatani, sekaligus dengan segala upacaranya. Namun semenjak menerima bantuan berupa uang tunai dari pemerintah berupa program BLM, maka dalam struktur kepengurusan yang ada ditambahkan seorang manajer untuk aktifitas penyediaan saprodi dan simpan pinjam. Ini terjadi di Subak Nyitdah I dan Gadon II di kecamatan Kediri, Tabanan. Penambahan ini tidak mengganggu aktifitas kelembagaan, karena penambahan peran disertai dengan penambahan struktur.

Dua, perluasan tujuan. Kelompok ternak Gading Indah di Desa Air Meles Bawah kabupaten Rejang Lebong pada mulanya adalah sebuah kelompok kerja sambatan yang berjumlah 12 orang. Karena seluruhnya menyenangi kegiatan beternak, maka mereka kemudian bersepakat untuk memperluas kegiatannya dengan peningkatan formalitas kelembagaannya menjadi sebuah kelompok ternak. Salah satu kekuatannya adalah karena berbasiskan kepada solidaritas ketetanggaan yang telah lama terjalin sebelumnya.

Tiga, pembentukan ikatan-ikatan horizontal. Ada dua contoh kelembagaan yang berbentuk ikatan-ikatan horisontal ini, yaitu kelembagaan kelompok tani dan kelembagaan KASS. Para pedagang hanya memiliki ikatan vertikal dengan petani sebagai pemasoknya, dengan pengusaha truk angkutan, dan terutama sekali dengan pedagang penampung di daerah tujuan pemasaran terutama di pasar 16 Ilir Palembang. Pemerintah menginisiasikan organisasi KASS dengan berlandaskan kepada pembentukan ikatan-ikatan horizontal sesama pedagang, serta menyatukannya dalam program Agropolitan. Sampai saat ini, usaha tersebut belum menunjukkan hasil.

Empat, penambahan aktifitas pada bidang ekonomi. Desa Adat di Bali merupakan sebuah persekutuan hidup yang sebelumnya hanya mengurusi masalah sosial dan keagamaan. Namun semenjak beberapa tahun terakhir ini, pemerintah daerah mengintroduksikan LPD langsung dibawah pengawasan pemimpin desa (Bandesa). Artinya, terjadi penambahan aktifitas baru pada kelembagaan desa adat yang sebelumnya tidak ada. Perkembagan LPD menunjukkan hasil yang baik, karena berbasiskan kelembagaan yang sudah mengakar, dan terutama karena mengandalkan kepatuhan tradisional yang telah hidup secara mengakar.

Lima, pembesaran struktur. Masyarakat Rejang Lebong dikenal dengan “Negeri empat Petulai”, yang berarti ada empat kelompok masyarakat dengan pemimpinnya masing-masing. Namun, semenjak 2 tahun belakangan ini sebagai upaya merevitalisasi kehidupan masyarakat, dibentuk sebuah lembaga yang mewadahi seluruh anggota masyarakat yaitu BMA (Badan Musayawarah Adat) yang berada di tingkat kabupaten. Transformasi ini tampaknya kurang berpijak kepada kenyataan struktur sosial sebelumnya.

Enam, pergeseran tingkat otonomi kelembagaan. Di Bali, Banjar dan Desa sebelumnya merupakan unit-unit yang otonom yang telah mampu mewadahi seluruh aktifitas masyarakatnya, ketika kerajaan-kerajaan sudah lama menghilang. Namun, negara membangun suatu lembaga otonomi yang baru pada tingkat kabupaten. Artinya, disini terjadi pergeseran wilayah otonomi. Transfromasi seperti ini merupakan sesuatu yang sulit bagi masyarakat, karena mereka selama ini hanya mampu membangun kelembagaan-kelembagaan dengan luasan yang relatif kecil, yaitu sebatas sebuah desa dengan jumlah anggota beberapa ribu orang.

Dari beberapa contoh di atas terlihat, bahwa suatu transformasi hanya akan memberi hasil yang baik apabila diterima oleh kelembagaan tempatnya berpijak. Penambahan struktur, perluasan tujuan, dan lain-lain akan dapat berjalan apabila secara kelembagaan hal itu telah diterima oleh pemilik kelembagaan tersebut atau mengakar pada masyarakat.

9.7. Berbagai Model Transformasi Kelembagaan

Sebagaimana telah diuraikan dalam kerangka pemikiran, perkembagan kelembagaan apapun di tengah masyarakat tidak terlepas dari tiga bentuk kekuatan yang saling tarik menarik, yaitu kelembagaan pemerintahan (politik), ekonomi (pasar), dan komunitas. Ketiganya memiliki ideologi yang berbeda, serta juga menghendaki penggunaan norma dan juga struktur yang berbeda-beda. Dari beberapa kasus transformasi yang terjadi terlihat beberapa kecenderungan kekuatan yang bisa dikelompokkan menjadi beberapa pola sebagai berikut:

Satu, tarikan kelembagaan pasar lebih kuat dibandingkan kelembagaan pemerintah. Para pelaku pemasaran selama ini menjunjung tinggi ideologi pasar, dan sudah terbiasa menjalani usahanya dengan berlandaskan normanorma yang berlaku di pasar. Karena itu, usaha pemerintah untuk mencoba mengatur kelembagaan tataniaga sayuran di Rejang Lebong melalui KASS, program Agropolitan dan pembangunan STA (Sub Terminal Agribisnis) pastilah akan menemui berbagai kendala yang tidak mudah.

Pada model ini, peran yang paling baik bagi pemerintah adalah sebagai mediasi, advokasi, dan fasilitasi. Tidak disarankan pemerintah ikut terjun langsung dalam kegiatan berbisnis ini. Beberapa peran sentral yang dapat dimainkan pemerintah adalah dalam penyediaan infrastruktur fisik pemasaran, membangun aliansi di antara pelaku agribisnis (petani, pedagang, dan pengelola STA), melakukan penguatan kelembagaan yang sudah terbentuk secara partisipatif guna mendorong kemandirian anggota baik dalam usaha, managemen, maupun kelembagaannya.

Dua, tarikan kelembagaan pasar yang berlandaskan kelembagaan komunitas lebih mampu menggantikan dukungan kelembagaan pemerintah. Koperasi-koperasi yang beberapa tahun terakhir ini, yaitu sejak dibebaskannya distribusi pupuk yang semula dipegang PT PUSRI dan KUD ke pasar bebas, dan tidak lagi mendapat dukungan penuh dari pemerintah; justeru malah lebih mampu mengembangkan usahanya. Hal ini ditemukan pada KUD Makmur di Kecamatan Lebong Utara dan KUD Kediri di Kecamatan Kediri. Para pengurus merasa lebih bebas memasuki pasar, dalam menyusun struktur keorganisasian yang lebih ramping dan profesional, dalam melakukan diversifikasi usahanya, dan apalagi didukung oleh anggota yang sudah kembali berlandaskan kepada solidaritas tradisionalnya.

Tiga, tarikan kelembagaan komunitas lebih mampu menjamin keberhasilan dibandingkan kelembagaan pemerintah. Fenomena ini ditemukan kepada kunci suksesnya keberhasilan LPD dan UPKD yang menghargai kepemimpinan lokal dan partisipasi masyarakat. Hal ini pada hakekatnya merupakan bentuk penggabungan dari menguatnya penerapan prinsip-prinsip kelembagaan komunitas dan prinsip-prinsip ekonomi dalam menjalankan usahanya, khususnya usaha simpan pinjam. Prinsip-prinsip kelembagaan komunitas antara lain adalah bagaimana menetapkan seorang pemimpin, bagaimana membangun partisipasi anggota dan kebersamaan, bagaimana menunjuk pelaksana/karyawan yang didasarkan atas kejujuran. Sementara itu prinsip-prinsip ekonomi yang diterapkan antara lain adalah aspek kapasitas seorang pemimpin dan pelaksana, kesesuaian seorang pemimpin dan pengurus yang ditunjuk dengan bidang keahlian dan pengalaman yang dimiliki (profesionalisme), azas selektifitas diterapkan layaknya kelembagaan perbankan, pembukuan dan administrasi.

Dari ketiga pola tersebut dapat ditarik pelajaran penting, bahwa masing-masing kelembagaan memiliki wilayah hidupnya sendiri-sendiri dalam dunia sosial. Dan, setiap kelembagaan juga harus menghormati otoritas yang spesifik tersebut. Jadi, pemerintah tidak akan mampu mengurus seluruh persoalan sendiri, namun dalam bidang-bidang tertentu harus menyerahkannya kepada pasar dan komunitas.

Bab X. PERSPEKTIF DAN MODEL TRANSFORMASI KELEMBAGAAN

Bab ini diarahkan untuk pembuatan alternatif model transformasi kelembagaan tradisional di pedesaan. Dari pengamatan di lapangan, budaya kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan persawahan di Bali memiliki potensi yang sangat baik untuk dapat ditransformasikan relatif cepat dan menyeluruh dibanding di Bengkulu. Pada kasus masyarakat pedesaan lahan kering, yang usaha pertaniannya didominasi komoditi hortikultura bernilai ekonomi relatif tinggi, antara di Bali dan Bengkulu tidak menunjukkan kekuatan yang berbeda secara signifikan. Memang kondisi homogenitas budaya pedesaan lahan kering di Bali sedikit lebih baik dibanding di Bengkulu, namun kekuatan budaya pedesaan lahan kering di Bali tersebut belum mengandung kekuatan internal yang memadai untuk ditransformasikan menjadi kekuatan organisasi usaha pertanian secara kolektif.

Baik di Bali maupun di Bengkulu dijumpai jejak kelembagaan tradisional yang berakar pada budaya lama atau adat setempat. Budaya lama (“tradisional”) umumnya dikenal sebagai bagian dari kehidupan masyarakat pedesaan setempat. Masyarakat pedesaan di Bali menggambarkan keadaan yang relatif lebih baik. Di Bengkulu, hampir tidak dijumpai kelembagaan tradisional yang bisa bertahan untuk mendukung pemberdayaan perekonomian pedesaan setempat.

Hampir semua lembaga perekonomian yang terdapat di pedesaan di Bengkulu tidak memiliki akar pada budaya kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan setempat. Peranan pemerintah, terutama di tingkat desa, tidak menunjukkan pengaruh yang kuat untuk mentransformasikan kelembagaan tradisional dalam kehidupan ekonomi sehari-hari. Lembaga perekonomian yang bisa dihidupkan dan menjadi bagian kehidupan masyarakat pedesaan umumnya adalah berskala kecil dan dikendalikan secara face to face (tatap muka). Ini menunjukkan bahwa kemampuan masyarakat untuk membangun jaringan kepercayaan kolektif lemah, dan jaringan ini akan pecah atau memudar begitu melintasi batas hubungan tatap muka secara personal. Gambaran yang berbeda ditunjukkan oleh masyarakat pedesaan Bali, terutama di daerah persawahan. Dengan homogenitas budaya antar desa, jaringan kepercayaan kolektif masyarakat pedesaan Bali mampu menembus batas hubungan tatap muka secara personal.

Bahasan dalam bab ini tidak saja sebagai abstraksi lebih lanjut dari hasil analisis terhadap fakta empirik di lapangan, melainkan juga sebagai penggambaran tatanan “ideal” kelembagaan perekonomian pedesaan di masa datang. Oleh sebab itu, bab ini mengandung 3 (tiga) komponen bahasan utama, yaitu:, arah transformasi, perspektif atau kerangka transformasi dan elemen kelembagaan yang perlu ditrasnformasikan. Adapun alternatif model transformasi kelembagaan tradisional yang diajukan merupakan resultan atau hasil iterasi dan interaksi dari tiga komponen yang dimaksud. Dilihat dari bentuk akhirnya (“ideal”), transformasi kelembagaan tradisional di kedua propinsi tidak dibedakan. Pembedaan hanya terletak pada pentahapan ke arah pencapaian hasil akhir dari proses transformasi yang dimaksud.

10.1. Arah Transformasi

Arah transformasi kelembagaan tradisional untuk memperkuat ekonomi kerakyatan di pedesaan tidak semata-mata ditentukan oleh kondisi empirik di lapangan, melainkan juga oleh visi atau gagasan yang melatarbelakangi transformasi tersebut. Jadi, arah transformasi yang dimaksud bukanlah penarikan garis linier dari kondisi empirik di lapangan. Dalam jangka pendek, tahapan yang perlu diperhatikan adalah pencapaian efisiensi teknis dan ekonomi sehingga dapat terpenuhi kebutuhan dasar masyarakat pedesaan. Dalam jangka menengah dan panjang, harus bisa dicapai pembagian beban dan manfaat yang lebih adil, serta terwujudnya sistem pengelolaan sumberdaya publik dan lingkungan pedesaan sehingga perekonomian pedesaan bisa berkembang secara sehat dan berkelanjutan.

Arah transformasi kelembagaan perlu mendapat dukungan visi teori yang memadai. Meminjam pendapat Varma (1975), dengan mengutip pemikir Alfred Cobban (1953; “Ethics and Decline of Political Theory” dalam Political Science Quartely, LXVIII9(3):335), kemunduran penggunaan ilmu politik dalam kaitannya dengan “pengendalian” masyarakat adalah tercabutnya instrumen moral atau etika dalam struktur keilmuan politik. Hal yang senada sepantasnya juga ditujukan pada struktur keilmuan sosial lainnya, termasuk ilmu ekonomi dan sosiologi. Sikap yang dianut peneliti dalam penelitian ini adalah pentingnya memasukkan aspek moral dalam membuat model transformasi kelembagaan tradisional untuk pengembangan perekonomian pedesaan. Aspek moral bisa dijadikan panduan ke arah mana masyarakat pertanian dan pedesaan ditransformasikan.

Perlu dikemukakan bahwa aspek kelembagaan bisa diubah, atau dengan bahasa yang lebih kasar bisa direkayasa, untuk diarahkan dan sisesuaikan dengan arah dan tujuan pembangunan perekonomian pedesaan (berbasis pertanian). Hal ini berlaku juga untuk kelembagaan tradisional di pedesaan. Bisa jadi arah transformasi (alamiah) kelembagaan tradisional pada masyarakat (komunal) tertentu bisa dikatakan tidak salah, namun sering dijumpai kecepatannya relatif rendah. Bisa jadi juga, yang umum terlihat (dari sudut pandang ideal atau das sollen), arah transformasi kelembagaan tradisional masyarakat pedesaan memang tidak sesuai dengan yang seharusnya; disamping juga perkembangannya yang relatif lambat.

Sebagian besar kegiatan fisik pertanian hingga saat ini masih berada di pedesaan. Penulis sependapat dengan Dumont (1971) bahwa transformasi (usaha) pertanian dapat disejajarkan dengan transformasi (kelembagaan) masyarakat pedesaan. Dipandang dari aspek kelembagaan, transformasi pertanian identik dengan proses modernisasi dan pembangunan masyarakat (pertanian di) pedesaan (Pranadji, 1999). Dalam pembangunan tadi pemberdayaan aspek kelembagaan tradisional harus dipandang sebagai faktor penggerak dan sekaligus akselarator utamanya. Jika transformasi kelembagaan tradisional gagal dilakukan, peningkatan daya saing dan keberlanjutan perekonomian pedesaan akan menemui jalan buntu. Oleh sebab itu, pandangan yang dianut dalam makalah ini adalah bahwa aspek kelembagaan bisa berubah atau dirubah ke arah atau diarahkan ke suatu tujuan tertentu.

Kelemahan utama yang sering tidak dapat ditutupi dalam memajukan perkonomian masyarakat pedesaan adalah mengatasi ‘penyakit’ kemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang parah, dan hal ini sering menyusup dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan. Menyederhanakan penyelenggaraan pembangunan menjadi sekedar pemacuan pertumbuhan ekonomi dan adopsi teknologi usahatani bisa dinilai sebagai kegagalan serius dalam merumuskan strategi pembangunan pedesaan. Banyak pakar, misalnya Brown (1986) dan Chiras (1984), memperingatkan jika pengelola negara cenderung memburu pertumbuhan ekonomi tanpa mengadakan perubahan susunan politik, ekonomi dan sosial yang ada besar kemungkunan mereka akan gagal mencapai tujuan nasionalnya. Salah satu strategi yang dinilai memiliki kekuatan besar untuk menggerakkan perekonomian pedesaan secara berkelanjutan adalah agar manfaat kemajuan terbagi rata; sehingga kebutuhan sosial pokok masyarakat banyak dapat terpenuhi secepatnya.

Menurut Pranadji (2002), sangatlah tidak memadai jika keberhasilan suatu pembangunan hanya diselesaikan pada dataran perumusan ideologi ekonomi. Tanpa penataan kelembagaan di bidang sosial, ekonomi dan politik yang mendukung operasionalisasi ideologi tersebut, transformasi atau pembangunan tidak akan mencapai sasaran yang efektif. Dalam Jurnal Analisis (CSIS, Volume 5, Tahun XIV,1995) telah dijelaskan tentang transformasi usaha pertanian dari yang berciri budaya usaha pertanian tradisional/subsisten ke yang berciri budaya usaha pertanian mondern/komersial secara berkelanjutan (Pranadji, 1995). Secara sederhana kerangka transformasi kelembagaan tradisional pada masyarakat pertanian di pedesaan dapat diperlihatkan pada Gambar 2.

0g2

Gambar 2.. Arah Transformasi Kelembagaan Tradisional Sebagai Respon terhadap Tuntutan Hidup yang Lebih Baik dan Globalisasi Pasar (diadaptasi dari Pranadji, 2001)

10.2. Perspektif Transformasi

Dari Gambar 2 tampak bahwa proses transformasi budaya usaha pertanian dicirikan oleh perubahan yang mencakup aspek kaitan pasar dan orientasi ekonomi; jenis teknologi, (mutu) tenaga kerja, dan sumber energi yang digunakan; sumber kapital, (mutu) manajemen, dan spirit usaha yang menggerakkannya; dan bentuk keorganisasian (kemitraan) usaha, pelayanan usaha, dan lainnya.

Belajar dari kasus yang terjadi di Eropa Barat pada abad 17-19, yaitu pada proses berlangsungnya transformasi besar (Great Transformation, Polanyi, 1957) dari peradaban (masyarakat) tradisional-agraris ke modern-industrial, transformasi tadi tidak otomatis melahirkan kesejahteraan sosial yang meluas. Proses transformasi tadi memang menghasilkan kemajuan fisik dan pertumbuhan ekonomi yang lumayan hebat. Namun pada saat yang hampir bersamaan melahirkan polarisasi sosial yang tajam (Wertheim, 1976); yaitu melahirkan ‘elite-kaya’ yang kaya raya (berjumlah sedikit) yang mendominasi sumberdaya publik di satu sisi ; dan ‘massa-miskin’ yang melarat (berjumlah di sisi lain.

Jika proses transformasi kelembagaan masyarakat pedesaan diserahkan begitu saja pada penetrasi dan mekanisme ekonomi pasar, maka proses transformasi tadi hampir dipastikan memberikan gambaran yang suram bagi penyelenggaraan pembangunan masyarakat pedesaan (Brown, 1986; Sudaryanto dan Pranadji, 1999; Sayogyo, 1974; Geertz, 1989 dan 1989; dan Pranadji, 1995). Dalam perspektif pembangunan (pertanian) berkelanjutan (Van Dieren, 1995 dan Munasinghe, 1993), transformasi tadi harus juga mengindahkan aspek (partisipasi dan) keadilan sosial dan pemeliharaan daya dukung ekosistem setempat. Pembangunan yang sematamata hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi, atau growth maniac (Chiras, 1985), bukan saja akan melahirkan ketidakstabilan sosial-politik yang tinggi, namun juga akan melahirkan kehancuran daya dukung ekosistem. Pada gilirannya hal itu akan mengancam keberlanjutan proses transformasi atau pembangunan (masyarakat) pertanian itu sendiri.

Dalam konteks paradigma pengembangan daya saing usaha pertanian dengan memperhitungkan aspek sosio-budaya setempat, maka antara budaya material dan kelembagaan atau budaya non-material dalam pengembangan usaha pertanian seyogyanya dipandang sebagai hal yang komplementer. Pada saat budaya material secara agregat mencukupi maka faktor kelembagaan yang akan menentukan kemajuan perekonomian masyarakat pedesaan. Bahkan banyak pakar ilmu sosial, seperti Roepke (1984) dan Hagen (1962), menganggap bahwa faktor kelembagaan-lah yang menentukan kemajuan perekonomian suatu masyarakat. Sementara, aspek budaya material, seperti prasaranan jalan dan kapital segar, semestinya didudukkan sebagai faktor penunjang kemajuan perekonomian masyarakat pedesaan; bukan faktor utama. Daya saing usaha pertanian di pedesaan merupakan output dari tatanan kelembagaan masyarakat pedesaan bersangkutan.

Dalam kerangka pembangunan yang dilandaskan pada wawasan geososio-ekonomi-politik, maka perlu pemaduan yang harmonis pemanfaatan budaya material dan kelembagaan tradisional yang harus dikembangkan. Hubungan antara kedua jenis budaya tadi, jika dikaitkan dengan aktivitas nyata di lapangan, memiliki ciri-ciri hubungan yang bersifat sinergis. Dengan dapat dikembangkannya sistem usaha pertanian secara sehat (secara ekonomi, sosial, politik dan lingkungan), maka sumberdaya alam dan ekosistem pertanian setempat bisa dijadikan penggerak perekonomian masyarakat pedesaan setempat, dengan menghasilkan produk pertanian yang berdaya saing tinggi. Perlu dikemukakan juga bahwa kemajuan pertanian umumnya menghasilkan efek berantai terhadap perkembangan ekonomi berbasis sumberdaya non-pertanian.

Dalam percepatan transformasi perekonomian pertanian, adopsi dan difusi teknologi usahatani bisa dipandang sebagai faktor penggerak atau prime-mover-nya. Hanya saja, pegertian teknologi yang dimaksud harus dibingkai dalam perspektif pengembangan usaha pertanian, yang arahnya adalah untuk menghasilkan produk pertanian yang berdaya saing tinggi. Agar sistem teknologi yang bersifat kompleks tadi betul-betul menjadi penggerak nyata perekonomian pertanian setempat, maka hal itu harus di-“senyawa”-kan dengan aspek budaya material dan non-material.

10.3. Elemen Kelembagaan yang Perlu Ditransformasikan

Kondisi sumberdaya dan ekosistem pertanian di Indonesia relatif beragam, dan hal itu membutuhkan variasi jenis teknologi untuk menanganinya. Penyediaan teknologi (usahatani) secara fisik dari luar, terutama yang diperkenalkan secara top-down (oleh pemerintah), belum menjamin akan bisa diterima oleh sistem sosial setempat. Di lapangan banyak ditemukan bahwa pengembangan teknologi yang berasal dari luar, yang rencana idealnya dijadikan “kunci pembuka” percepatan usaha pertanian setempat, justru menjadi pengganjal transformasi kelembagaan tradisional setempat. Pada gilirannya sistem usaha pertanian di pedesaan tidak berkembang sesuai harapan, dan (lebih dari itu) sistem kelembagaan tradisional setempat mengalami kerusakan serius (Pranadji dkk., 1999). Elemen kelembagaan (tradisional) yang berperan dalam percepatan transformasi usaha pertanian paling tidak mencakup lima hal, yaitu: keorganisasian atau kelembagaan usaha pertanian, kepemimpinan, sumberdaya manusia (SDM), tata nilai dan struktur sosial (Pranadji, 2000). Mempercepat transformasi usaha pertanian berarti memperbaiki atau meningkatkan kinerja dari kelima elemen kelembagaan tersebut, terutama yang diarahkan untuk mendukung proses pemberdayaan ekonomi kerakyatan di pedesaan.

0g3

Gambar .3. Hubungan Antara Kelembagaan Tradisional dan Proses Peningkatan Nilai Tambah Sumberdaya Pertanian dan Nonpertanian Melalui Transformasi Kelembagaan Tradisional di Pedesaan

Gambar 3 menunjukkan hubungan antara kelembagaan (tradisional) dan proses peningkatan nilai melalui transformasi kelembagaan pedesaan setempat. Selain setiap elemen kelembagaan memerlukan perhatian khusus, namun hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana mengintegrasikan dan mensejajarkan proses trasnformasi yang terjadi pada kelembagaan pemerintah, komunal dan ekonomi pasar di pedesaan. Secara kasat mata, titik lemah transformasi perekonomian masyarakat pedesaan hingga saat ini terletak pada kelembagaan politik (pemerintah) dan kelembagaan komunal.

Berbagai aspek yang perlu diperhatikan dalam transformasi kelembagaan adalah: satu, kelembagaan kemitraan usaha. Jika kinerja kelembagaan usaha pertanian bisa dikembangkan secara sehat, hal itu memberi peluang bahwa proses transformasi kelembagaan untuk pengembangan perekonomian pedesaan akan berlangsung relatif cepat. Ini ditentukan oleh empat faktor yaitu: (1) adanya konsolidasi antar cabang usaha pertanian sehingga kegiatan usaha pertanian tidak tersekat-sekat, (2) konsolidasi antar cabang usaha pertanian yang sehat untuk mengintegrasikan antar cabang usaha pertanian yang sehat pula, (3) interdependensi antar pelaku usaha pertanian yang asimetris secara ekstrim menjadikan sistem usaha pertanian kurang tahan terhadap tekanan dan goncangan persaingan yang ketat, dan (4) iklim usaha harus dikembangkan sedemikian rupa oleh pemerintah pusat, daerah dan desa sehingga membuka peluang bagi terselenggaranya sistem perekonomian yang sehat.

Dua, kompetensi sumberdaya manusia. Pengembangan SDM di pedesaan untuk mendukung pengembangan usaha pertanian, terutama dari segi mutu atau keterampilan pelaku usaha pertaniannya, relatif masih kurang. Sampai kini, SDM pertanian di pedesaan masih tergolong di- “asing”-kan untuk mendukung pengembangan usaha pertanian modern. Agar kemajuan pertanian dan pedesaan bisa dicapai, idealnya semua SDM, dari petani hingga aparat pemerintahnya, yang terlibat dalam kehidupan dan pengembangan masyarakat pertanian dan pedesaan, haruslah memiliki kompetensi yang memadai. Kompetensi dimaksud mencakup ketrampilan yang cukup, kematangan emosional yang tinggi, kemampuan bekerjasama yang bersifat mutualistik, apresiasi terhadap tatanilai  maju, apresiasi tinggi terhadap penggunaan ilmu pengetahuan di bidang manajemen dan keorganisasian sosial yang progresif, dan responsif terhadap kepemimpinan futuristik.

Kelembagaan kemitraan secara umum mengikuti pola hubungan:

  1. Patron-client
  2. Majikan-buruh
  3. Sistem pasar oligopsoni/monopsoni
0g4

Gambar 4. Kinerja Kelembagaan (Keorganisasian) Kemitraan Usaha Pertanian yang Didukung oleh Faktor Konsolidasi dan Integrasi Antar Cabang Usaha Pertanian, Penyehatan Iklim Usaha dan Interdependensi Antar Pelaku Usaha Pertanian di Pedesaan

Tiga, tata nilai maju. Kemajuan perekonomian masyarakat sangat ditentukan seberapa jauh aspek kewirausahaan (Roepke, 1984). Sebagai gambaran, masyarakat Jepang memiliki energi kemajuan ekonomi yang relatif besar karena masyarakat Jepang secara kolektif memiliki rasa malu dan hargadiri yang tinggi, kerja keras, rajin dan ingin memenangkan setiap kompetisi atau pertarungan di arena pasar terbuka. Dalam menjelaskan kemajuan perekonomian masyarakat, Weber (1964) menyatakan bahwa kemajuan  perekonomian yang dicapai masyarakat Eropa pada abad 16-17 adalah adanya suntikan Etika Protestan (“Protestant Ethics”), yang di dalamnya terkandung tata nilai bahwa kerja adalah “amal-ibadah” yang wajib bagi manusia yang dianugerahi kehidupan.

Beberapa komponen tata nilai yang perlu ditransformasikan untuk mengidentifikasi dan menentukan gambaran kemajuan ekonomi yang akan dicapai suatu masyarakat, baik dalam tingkat kelompok tani, komunitas desa maupun negara, adalah:. penghargaan terhadap kerja keras, rajin, hemat, produktif (tidak konsumtif), rasa malu dan harga diri tinggi, prestasi-kompetitif (achievement orientation atau tidak askriptif), sabar dan rendah hati (tidak pemarah dan suka pamer), haus inovasi (tidak resisten terhadap inovasi), cara kerja/berpikir sistematik dan terorganisir (tidak acak dan semrawut), daya empati tinggi (tidak masa bodoh), rasional dan impersonal (tidak seenaknya dan mengikuti selera pribadi), bervisi jangka panjang yang jelas,

Empat, struktur dan diferensiasi sosial. Struktur sosial pada sistem usaha pertanian di Bali dan Bengkulu masih menunjukkan gejala ketimpangan. Struktur sosial yang ada mencerminkan kemiripan dengan ciri masyarakat feodal, yang mana diferensiasi sosial berkembang relatif lambat. Pelaku usaha pertanian mencerminkan dua kelompok besar, yaitu kelompok penguasa lahan luas (dalam jumlah sedikit) dan kapital berukuran besar di satu sisi, dan kelompok pelaku usaha pertanian berlahan sempit (dalam jumlah besar) dan kapital kecil di sisi lain. Gambaran relatif tajam ditemui pada usaha pertanian lahan kering, terutama usahatani hortikulktura. Kelompok pelaku usaha pertanian yang memusatkan pada kegiatan jasa pengolahan dan pemasaran relatif jarang, dan kegiatan ini biasanya berasal dari luar desa, sehingga terjadi proses “pelarian” nilai tambah ke luar desa.

Salah satu kritik serius dalam modernisasi pertanian atau pembangunan yang dilandaskan pada paradigma pemikiran barat (“westernisasi”) adalah kurang menekankan pada perubahan struktur sosial. Salah satu cara untuk melihat perubahan struktur sosial adalah dengan memperhatikan perubahan struktur lapisan dan sistem interdependensi yang terjadi pada hubungan antar pelaku dan sekumpulan pelaku sosial yang terbentuk. Struktur sosial yang sehat adalah dicerminkan adanya sistem pembagian kerja yang bersifat (solidaritas) organik yang sehat, sebagaimana digambarkan Durkheim (1933).

Struktur sosial sehat adalah cerminan dari diferensiasi dan spesialisasi pekerjaan yang sehat. Selanjutnya adalah apakah struktur sosial yang terbentuk di pertanian dan pedesaan disandarkan atas diferensiasi dan spesialisasi pekerjaan?. Apakah sistem interdependensi yang terbetuk mencerminkan asimetrisasi yang ekstrim? Jika ya, hal itu mencerminkan struktur masyarakat yang timpang dan tidak produktif. Struktur sosial yang demikian umumnya memuat aspek diskriminasi ekonomi atau kelas (pemilikan dan penguasaan aset produksi dan aset berharga lainnya), kekuatan “askriptif” (misalnya: jabatan politik, struktur birokrasi kerja, perimbangan gender, keindahan tubuh dan keahlian khusus) dan derajat sosial atau social dignity (misalnya berdasar status hubungan perkawinan, keturunan, golongan suku atau ras tertentu, gelar dan penghargaan masyarakat).

Lima, kepemimpinan. Dalam perspektif pembangunan atau perubahan sosial, Ponsioen (1969) menyebutkan bahwa aspek kepemimpinan sangat menenetukan kemajuan masyarakat (leadership as a prime mover), dan aspek tersebut termasuk bagian penting dari lembaga. Ada beberapa jenis tipe kepemimpinan, misalnya kepemimpinan karismatik (Weber, 1964). Kepemimpinan yang dibahas di sini bukan menekankan pada tipe kempimpinannya, melainkan komponen apa saja yang menentukan suatu kepemimpinan bisa mendorong terjadinya kemajuan perekonomian masyarakat pedesaan. Komponen yang dinilai penting dalam sistem kepemimpinan yang dimaksud adalah: integritas personal yang tinggi (terpercaya, jujur dan adil), visi ke depan yang jelas dan implementatif, kemampuan memberi inspirasi (inspiring) dan mengarahkan (directing) anggota masyarakat yang dipimpinnya, memiliki kemampuan untuk mengabdi atau bersifat altruistik pada masyarakat yang dipimpinnya, mempunyai keunggulan atau keistimewaan diri (spesifik) yang signifikan dan sangat interaktif dengan kebutuhan masyarakat, memiliki kemampuan dalam pemecahan konflik (conflict resolution) yang terjadi di masyarakat dan menggalang kebersamaan (solidarity maker) secara sukarela untuk mencapai win-win solution, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan anggota masyarakat yang dipimpinnya, mengajarkan penggunaan rasionalitas yang tinggi pada setiap pengambilan keputusan, serta menjunjung tinggi kewajiban untuk menegakkan sistem kerja kolektif dan mokratik terhadap masyarakat yang dipimpinnya.

Enam, manajemen sosial. Manajemen sosial terkait erat dengan sistem pengambilan keputusan yang bersifat kolektif. Untuk mengakomodasi kepentingan kolektif masyarakat pedesaan secara elegan, manajemen sosial yang sehat perlu dijadikan bagian kehidupan masyarakat pedesaan, terutama melalui kelompok kecil dan kelompok komunal. Untuk kasus di Bali, penerapan manajemen sosial bisa dimulai dari kelompok komunal; sedangkan kasus di Bengkulu dimulai dari kelompok kecil. Penerapan manajemen sosial ini pada akhirnya harus menjadi bagian dari kehidupan seharihari masyarakat pedesaan. Oleh sebab itu, transformasi di bidang manajemen sosial harus ditujukan pada ketiga kelembagaan pedesaan sekaligus, yaitu pada kelembagaan politik atau pemerintahan, kelembagaan ekonomi (pasar) dan kelembagaan komunitas pedesaan

Beberapa komponen penting dalam manajemen sosial yang dinilai menentukan kemajuan masyarakat pedesaan adalah: (1) Apakah pengambilan keputusan bersama menerapkan prinsip transparansi dalam bentuk kejelasan informasi dan argumentasi yang digunakan? Untuk tingkat desa, prinsip transparansi ini relatif baik di Bali, karena dukungan kelembagaan Banjar. (2) Apakah asas akuntabilitas, dalam bentuk bisa dipertanggungjawabkan, diterapkan dalam setiap pengambilan keputusan bersama? (3) Apakah keputusan yang diambil mengikuti asas rasionalitas yang jelas? (4) Apakah pengambilan keputusan merepresentasi kepentingan bersama dan dilakukan secara demokratis? Pada ukuran masyarakat kecil, seukuran kelompok tani, hal ini masih mudah diterapkan. Pada tingkat kelembagaan komunal dan desa, hanya terlihat jelas di Bali. (5) Apakah setiap keputusan yang diambil dapat dilakukan koreksi (diaudit secara terbuka) disesuaikan dengan perkembangan lingkungan strategisnya? Hal ini terlihat jelas di Bali.

Tujuh, hukum dan pemerintahan. Aspek hukum dapat ditelusuri dari konsistensi antara norma ideal yang dirumuskan dalam bentuk aturan dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa komponen hukum yang penting dikemukakan adalah: kepastian pengakuan terhadap kepemilikan dan penguasaan atas barang atau identitas suatu produk. Aspek hukum lain yang tidak bisa diabaikan adalah pembatasan praktek monopoli (agar keadilan, sesuai amanat UUD 1945, sosial lebih diutamakan dari pada pemanjaan kepentingan individu untuk mencari keuntungan sebanyakbanyaknya), aturan main khusus (misal: aturan memasukkan produk dan investasi dari luar), dan penegakan hukum (law enforcement).

Aspek pemerintahan ditekankan pada pengaturan yang mengarahkan pada peningkatan kreativitas dan peran masyarakat agar tercapai tujuan kesejahteraan bersama. Perlu dikedepankan perlunya ditegakkannya sistem pengelolaan kadaulatan dan kepercayaan masyarakat atau public trust, misalnya melalui perancangan dan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi penyelenggaraan pemerintahan. Pertanyaannya adalah: “Sampai seberapa jauh kedaulatan masyarakat (pedesaan) masih menjadi fokus perhatian elit pemerintah dan politisi di daerah tingkat II?”.

10.4. Alternatif Model Transformasi

Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa baik di Bali maupun di Bengkulu belum ditemukan model kelembagaan yang benar-benar dinilai kuat untuk memacu perkembangan perekonomian pedesaan secara sehat dan berkelanjutan. Perancangan model alternatif untuk transformasi masyarakat pedesaan masih perlu digali dan dikembangkan. Oleh sebab itu, upaya mendorong dan mempercepat terjadinya transformasi kelembagaan tradisional di pedesaan sangatlah penting. Jika disebutkan perlunya model transformasi kelembagaan tradisional maka secara umum model tersebut dicirikan oleh hal-hal berikut:

(a) Kemajuan kegiatan ekonomi haruslah menjadi bagian dari akuntabilitas peneyelenggaraan pemerintahan desa, kabupaten dan pusat. Oleh sebab itu, penyelenggaraan perekonomian pedesaan haruslah cerminan dari kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan. Hal ini baru mungkin jika kegiatan perekonomian pedesaan dikendalikan sepenuhnya oleh masyarakat pedesaan setempat, atau setidak-tidaknya telah mendapat persetujuan dari masyarakat pedesaan setempat. Keorganisasian atau kelembagaan politik atau pemerintahan desa harus mempu menggalang jaringan kerjasama dengan kelembagaan komunal dan kelompok-kelompok kecil di pedesaan.

(b) Kegiatan ekonomi pedesaan tidak dikendalikan oleh penguasan kapital yang bersifat terpusat pada satu pelaku atau hanya beberapa pelaku ekonomi. Sistem yang dapat membangkitkan kegiatan perekonomian pedesaan yang demikian haruslah didudukkan di atas landasan penataan politik atau pemerintahan desa yang mendapat kepercayaan kuat dari masyarakat pedesaan. Dengan pandangan demikian, kelembagaan ekonomi pedesaan merupakan komponen dari jaringan atau sistem kehidupan masyarakat pedesaan secara utuh.

(c) Produk kegiatan ekonomi harus sudah mengalami proses peningkatan nilai tambah maksimal. Mengingat proses peningkatan nilai tambah ini melibatkan banyak aspek, antara lain: teknologi, kapital, kompetensi atau skill pelaku ekonomi yang menjalankannya, kepemimpinan, keorganisasian usaha yang sehat dan iklim usaha yang sehat. Oleh sebab itu, seluruh sistem usaha ekonomi pedesaan harus dipandang sebagai produk kolektif sistem kelembagaan masyarakat pedesaan setempat.

(d) Pengelolaan sumberdaya agraria, terutama tanah, masih menjadi titik lemah percepatan transformasi kelembagaan tradisional di pedesaan. Kelembagaan komunal yang relatif kuat di Bali tidak mampu membendung “pengrusakan” tatanan agraris di pedesaan. Sistem hukum pertanahan tradisional di pedesaan sangat rentan terhadap infiltrasi ekonomi pasar. Dewasa ini, kekuatan “hukum pasar” masih terlalu besar untuk ditahan oleh kelembagaan komunal di pedesaan, sehingga di pedesaan terjadi proses polarisasi penguasaan lahan yang cukup besar; dibarengi juga dengan pengalihan hak penguasaan lahan oleh masyarakat luar desa. Reforma agraria di pedesaan harus menjadi bagian integral transformasi kelembagaan perekonomian pedesaan.

(e) Kegiatan perkonomian pedesaan haruslah mengutamakan atau berbasis pengelolaan sumberdaya setempat, sehingga sejauh mungkin dihindari foot-loose economies. (Salah satu titik lemah kegagalan industrialisasi pedesaan sebagai strategi pengembangan perekonomian pedesaan lebih lanjut adalah terlalu banyaknya penggunaan sumberdaya atau input produksi yang berasal dari luar desa). Selain itu, pengelolaan prasarana publik, sumberdaya alam dan agro-ekosistem pedesaan perlu memperhatikan asas keberlanjutannya.

0t23

Tabel 23 menguraikan tahapan transformasi kelembagaan dilihat dari tingkatan sistem masyarakat, dimensi waktu dan aspek perubahan yang mungkin terjadi. Pandangan ini bisa dijadikan kerangka untuk memperkaya pembuatan alternatif model transformasi kelembagaan tradisional di pedesaan. Terdapat tiga tingkat kelembagaan masyarakat, yaitu tingkat mikro (individu, keluarga atau satuan kecil masyarakat yang ciri individualitasnya masih relatif menonjol), intermidiet (kelompok atau asosiasi masyarakat dalam batas hubungan face-to-face dan jaringan interpersonal trust), dan masyarakat (organisasi kerja yang sudah didasarkan pada sistem kerja kolektif dan diferensiasi keahlian atau peran yang jelas). Dilihat dari dimensi waktu yang dijadikan acuan, transformasi kelembagaan tradisional secara sederhana bisa dibagi dalam dimensi jangka pendek dan dimensi jangka panjang. Sebagai contoh, transformasi tata-nilai akan sulit dicapai dalam jangka pendek (Tipe 3), kecuali sebatas pengetahuan normatif atau kognitif. Demikian juga evolusi kelembagaan (sosio-budaya) akan sulit dilakukan pada tingkat individu dan jangka pendek (Tipe 1), dan hanya sangat mungkin jika diterapkan pada tingkat komunitas dan dalam jangka panjang.

Perlu dikemukakan bahwa Tipe 5 belum dapat diajukan sebagai model transformasi. Tipe 5 sebenarnya memberikan peluang yang lebih pendek, namun transformasi kelembagaan dengan pendekatan revolusioner pada kebanyakan masyarakat pedesaan di Indonesia masih kurang lazim dilakukan. Sebenarnya model transformasi kelembagaan dengan mengutamakan Tipe 5 bisa lebih efisien, namun hal ini memerlukan kekuatan kepemimpinan sosial-ekonomi-politik dan dukungan sistem politik yang sangat kuat. Pengalaman sulitnya melakukan reforma agraria bisa dijadikan bahan renungan bahwa pendekatan revolusioner dalam transformasi kelembagaan tradisional memerlukan pemikiran yang lebih mendalam dan hati-hati. Di beberapa negara, pendekatan dengan Tipe 5 bisa dijalankan dengan baik, misalnya di Taiwan, Korea dan Jepang. (Sedikit banyak penggunaan Tipe 5 ini diilhami pemikiran dialektik, yang biasanya dikaitkan dengan pemikiran revolusi sosial)

Walaupun sistem kelembagaan pedesaan perlu dilihat secara utuh atau holistik dan integratif, namun komponen kelembagaan penyusunnya harus tetap bisa dilacak dengan baik. Masing-masing kelembagaan memiliki otoritas khas. Sebagai gambaran, wilayah (otoritas) kelembagaan politik atau pemerintahan memiliki otonomi, yang tidak begitu saja bisa dikendalikan atau diintervensi oleh kelembagaan ekonomi pasar dan kelembagaan komunal. Demikian juga hal ini berlaku pada kelembagaan ekonomi pasar dan kelembagaan komunal. Dengan gambaran bahwa setiap kelembagaan mempunyai wilayah (otoritas yang bersifat) otonom, maka secara sendirisendiri perlu dibuat model transformasi kelembagaannya.

(a) Model Transformasi Kelembagaan Politik (Pemerintahan) Secara  umum model transformasi kelembagaan politik dan pemerintahan desa di Bengkulu perlu mengacu pada kombinasi Tipe 1, Tipe 3, Tipe 4 dan Tipe 6 (Tabel 23); sedangkan untuk desa di Bali mengacu pada kombinasi Tipe 3, Tipe 4 dan Tipe 6. Mengingat kompetensi SDM di Bali relatif sudah baik, maka dalam model ini tidak memasukkan Tipe 1 dan Tipe 2). Dapat dikatakan model transformasi kelembagaan politik dan pemerintahan desa di Bengkulu masih memerlukan elemen kelembagaan yang lebih banyak dibanding Bali.

(b) Model Transformasi Kelembagaan Komunal Model transformasi kelembagaan komunal di Bengkulu perlu mengacu pada kombinasi Tipe 1, Tipe 2, Tipe 3, Tipe 4 dan Tipe 6. Untuk kasus di Bali Tipe 1, Tipe 2 dan Tipe 5 relatif tidak diperlukan. Model transformasi kelembagaan komunal di Bali cukup mengacu pada kombinasi Tipe 3, Tipe 4 dan Tipe 6. Kondisi awal masyarakat komunal di Bali relatif lebih baik dibanding di Bengkulu, sehingga elemen kelembagaan yang perlu ditransformasikan relatif lebih sedikit.

(c) Model Transformasi Kelembagaan Ekonomi Pasar Model transformasi kelembagaan ekonomi pasar di Bengkulu perlu mengacu pada kombinasi Tipe 1, Tipe 2, Tipe 3, Tipe 4 dan Tipe 5. Untuk kasus di Bali Tipe 2 relatif tidak diperlukan. Model transformasi kelembagaan ekonomi pasar di Bali cukup dengan mengkombinasikan Tipe 1, Tipe 4 dan Tipe 6. Seperti pada kelembagaan politik dan komunal, kondisi masyarakat pedesaan di Bali relatif lebih siap dibanding di Bengkulu; elemen kelembagaan tradisional yang perlu ditransformasikan di Bali relatif lebih sedikit.

Ketiga model transformasi (kelembagaan politik, komunal dan ekonomi pasar) pada dasarnya bisa saling diintegrasikan hingga terbentuk model transformasi tunggal, karena elemen-elemen kelembagaan yang mengisi ketiga kelembagaan pedesaan tidaklah berbeda. Dengan mentransformasikan setiap elemen kelembagaan ke arah yang menunjukkan kelembagaan yang lebih maju, hal itu bisa diartikan bahwa kegiatan ekonomi masyarakat pedesaan memperoleh suntikan energi ganda. Jika setiap elemen kelembagaan berhasil ditransformasikan, maka kemajuan perekonomian pedesaan tinggal menunggu waktu.

Bab XI. KESIMPULAN

Perekonomian nasional yang tidak stabil, sebagiannya merupakan akibat dari rapuhnya perekonomian rakyat di pedesaan, yang terlihat dari lemahnya kelembagaan pendukungnya. Jika kelembagaan tradisional, yang hingga kini masih mewarnai sebagian besar perekonomian pedesaan, tidak mengalami percepatan transformasi, maka masa depan perekonomian rakyat di pedesaan akan semakin marjinal. Diperlukan rancangan kebijakan untuk mentransformasikan kelembagaan perekonomian tradisional di pedesaan yang lebih terarah, sistematik dan operasional.

Sistem ekonomi di pedesaan juga dicirikan oleh social network yang kurang mendukung, kemampuan yang lemah dalam menggalang jaringan kerjasama dengan kelembagaan modern, meningkatkan kapasitas internalnya untuk bersaing di bidang ekonomi, dan menghadapi tekanan dari luar. Dalam kaitan ini mempercepat proses transformasi kelembagaan tradisional harus dipandang sebagai instrumen strategis untuk mencapai hal tersebut.

Berjalannya dunia sosial ditopang oleh tiga pilar, yaitu kelembagaan komunitas (communal institutions), kelembagaan pasar (private sector), dan kelembagaan politik (public sector). Dengan mempelajari ketiga jenis kelembagaan tersebut akan memberikan kerangka kerja yang kuat untuk melakukan analisa transformasi kelembagaan tradisional dalam rangka penguatan atau pemberdayaan perekonomian pedesaan.

Pendekatan Kelembagaan dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Dengan mencermati pelaksanaan pengembangan kelembagaan dalam program-program pembangunan pertanian selama ini, diperoleh gambaran sebagai berikut: (1) Pembentukan kelembagaan oleh pemerintah masih terfokus upaya pada peningkatan produksi; (2) Pembentukan kelembagaan lebih ditekankan untuk memperkuat ikatanikatan horizontal daripada vertikal; (3) Kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan memudahkan kontrol; (4) Bentuk kelembagaan yang dikembangkan bersifat seragam dan terlalu bias pada bentuk kelembagaan usahatani sawah; (5) Pembinaan untuk kelembagaan yang telah terbentuk cenderung individual bersandarkan prinsip trickle down effect; (6) Cenderung menggunakan pendekatan struktural daripada kultural; (7) Introduksi kelembagaan baru umumnya telah merusak kelembagaan lokal yang telah ada sebelumnya; (8) Kelembagaan pendukung belum dikembangkan dengan baik, karena pelaksanaan pembangunan terjebak dalam pendekatan sektoral. Sikap dan tindakan pemerintah di atas disembabkan karena pola pikir yang lemah dalam pemahaman di bidang kelembagaan.

Kinerja Kelembagaan Tradisional

Kelembagaan Pemerintah. Baik di Bali maupun di Bengkulu, kelembagaan tradisional di bidang pemerintahan dan politik tingkat desa dahulu mempunyai peran sentral dalam menggerakkan perekonomian masyarakat pedesaan. Banjar Adat dan Desa Adat di Bali masih eksis, dan berjalan bersama dengan Banjar Dinas dan Desa Dinas. Sebaliknya, Pemerintahan Marga di Bengkulu telah dihapuskan pada tahun 1970-an bersamaan dengan UU no. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Dengan diberlakukannya Otda, terjadi berbagai perubahan pada kelembagaan politik di pemerintahan tingkat kabupaten/kota, namun masih berupa pergulatan administratif-struktur pemerintahan belaka. Di Bali srtuktur kelembagaan politik tingkat desa lebih bersifat distributif. Desa Dinas bisa menjalin kerjasama dengan BPD, LKMD, serta dengan Desa Adat dan Banjar Adat. Namun di Bengkulu, pola yang terjadi lebih sentralistis, hanya berpusat pada sosok ‘kepala desa’.

Kelembagaan Ekonomi. Kelembagaan ekonomi di kedua lokasi berkembang lebih dinamis dibanding kelembagaan pemerintahannya. Kelembagaan pasar yang berbasiskan ekonomi uang telah merasuki kehidupan masyarakat pedesaan. Beberapa kelembagaan tradisional di Bali yang memiliki kaitan langsung dengan ekonomi masyarakat pedesaan adalah LPD (Lembaga Perkreditan Desa) dan Subak, sedangkan di Bengkulu adalah UPKD (Unit Pengelola Keuangan Desa) dan kelompok tani. LPD dan UPKD menyediakan permodalan bagi masyarakat Kelembagaan ekonomi yang dikenal masyarakat pedesaan yang relatif menonjol adalah koperasi. Secara umum keadaan koperasi yang masih ada di kedua propinsi relatif sama. Koperasi yang tidak bertahan hidup umumnya adalah yang dahulu memiliki ketergantungan yang tinggi pada bantuan pemerintah dan tidak mampu menggalang kerjasama dengan pelaku-pelaku dan kegiatan ekonomi riil di lapangan.

Kelembagaan ekonomi yang berbasis kelompok tani umumnya memiliki kekuatan untuk bertahan hidup. Hanya saja kemampuan lembaga ini dalam melayani anggotanya sangatlah terbatas. Umumnya penekanan kegiatan kelembagaan kelompok tani justru tidak untuk memberikan pelayanan permodalan anggotanya, melainkan pada pengelolaan sumberdaya kolektif (misalnya air dan jadwal tanam) dan kehidupan sosial.

Di kedua lokasi berkembang kelembagaan agribisnis modern, antara lain, Sub Terminal Agribisnis (STA). Produk pertanian unggulan yang dikelola lembaga STA ini adalah yang memiliki nilai ekonomi relatif tinggi, terutama sayuran dataran tinggi. Perkembangan STA di Bali semula tertolong oleh besarnya permintaan produk hortikultura untuk melayani kebutuhan turisme atau perhotelan dan restoran. Namun setelah peristiwa WTC, ‘bom Bali’, dan virus SARS kinerjanya merosot. Di Bengkulu lembaga STA belum berjalan, meskipun prasarana telah tersedia. Lembaga baru yang dicoba ditanamkan di pedesaan adalah KASS (Kawasan Agribisnis Sayuran Sumatera), namun baru pada tataran gagasan.

Kelembagaan Komunitas. Eksistensi masyarakat pedesaan yang berbasiskan hidup setempat (komunitas) semakin terkikis, akibat semakin kuatnya tekanan luar. Kelembagaan tradisional Banjar di Bali masih eksis, namun Pemerintahan Marga di Bengkulu sudah dihapuskan. Heterogenitas penduduk di Bengkulu merupakan satu faktor penghambat untuk mewujudkan solidaritas sosial secara massif. Kelembagaan komunitas tampaknya lebih banyak digunakan untuk menjaga keteraturan sosial, terutama untuk terwujudnya keamanan dan suasana dengan tingkat ketegangan sosial yang terjaga. Kelembagaan komunitas belum dijadikan semangat untuk mempercepat transformasi perkonomian pedesaan, namun hanya dimanfaatkan aparat pemerintah untuk melancarkan jalannya pelaksanaan program atau proyek fisik di lapangan.

Simpul-Simpul Kritis Transformasi Kelembagaan

Sistem manajemen dan keorganisasian usaha pertanian dan ekonomi rakyat di pedesaan masih lemah. Daya kolektivitas petani belum dijadikan basis organisasi ekonomi pedesaan, pemahaman organisasi produksi usaha pertanian terbatas pada usahatani (belum pada seluruh jaringan agribisnis di pedesaan), jaringan usaha pertanian dipandang sebagai usaha yang tersekat-sekat dan parsial (belum secara utuh dan integratif), masih dipertahankannya sistem kemitraan yang mengandung unsur interdependensi yang sangat asimetris antar pelaku agribisnis di pedesaan, aliansi strategis yang terbentuk masih berskala lokal (belum diintegrasikan pada jaringan asosiasi profesional), dan masih dijalankannya sistem pengambilan keputusan (manajemen) secara tertutup, otoritarian dan akuntabilitas yang buruk.

Sistem penyelenggaraan pembangunan perekonomian masyarakat pedesaan masih didasarkan pada kepemimpinan formal dari atas desa (belum dengan strong local leadership), dukungan infrastruktur publik yang lemah, upaya penyehatan agroekosistem yang lemah, dan terlalu mengutamakan kepemilikan aset usaha secara individual (belum secara kolektif dan didasarkan pada solidaritas sosial yang tinggi).

Pentahapan Transformasi Kelembagaan Ekonomi Pedesaan

Dari penelitian ini ditemukan adanya tiga periode utama perkembangan kelembagaan ekonomi di pedesaan, sebagai akibat campur tangan pemerintah, yaitu:.

(a) Tahap Masyarakat Komunal. Tipe masyarakat komunal merupakan ciri yang universal ketika ketergantungan antar penduduk tinggi, dan campur tangan pihak luar rendah sekali. Pada periode ini, pengambilan keputusan yang penting dilakukan melalui musyawarah dengan menjunjung tinggi prinsip kebersamaan. Contoh kelembagaan yang berpola demikian yang ditemukan dalam penelitian ini adalah kelembagaan Subak dan Banjar yang ada di Bali. Ciri pokok kelembagaan pada era ini adalah, jumlah kelembagaanya yang relatif sedikit namun fungsinya banyak (= “miskin organisasi kaya fungsi). Selain luas jangkauan yang terbatas, aktifitas ekonomi tidak memiliki kelembagaan yang khusus namun dicakup dalam kelembagaan komunitas atas dasar sentimen genealogis (kekerabatan).

(b) Tahap Penghancuran Masyarakat Komunal. Invansi kekuatan atas terhadap masyarakat desa mulai terasa semenjak era pembangunan (Orde Baru). Pada masa tersebut terjadi perombakan yang mencakup perombakan cara berpikir, orientasi hidup, serta kelembagaankelembagaan yang ada. Pada setiap desa di Indonesia kita akan dapat menemukan seperangkat kelembagaan, karena merupakan keharusan untuk dimiliki. Sayangnya lembaga baru tersebut bukan memperkuat jaringan kelembagaan lokal yang telah ada, namun justeru menggantikan dan menghancurkan kelembagaan yang dibangun atas budaya masyarakat setempat. Kelembagaan introduksi tersebut berjumlah banyak dengan aktifitas yang khusus dan sempit, sehingga terjadi gejala “banyak organisasi miskin fungsi”. Kelembagaan lebih sebagai alat mobilisasi sosial dan memudahkan kontrol dari atas, bukan transformasi alamiah untuk penguatan kelembagaan tradisional. Di Bali, introduksi kelembagaan baru tidak diikuti dengan perusakan kelembagaan tradisional. Kelembagaan baru tetap diterima dan sejauh mungkin dijadikan suplemen untuk penguatan kelembagaan yang sudah ada, sehingga ditemukan lembaga Banjar Dinas dan Banjar Adat, Desa Dinas dan Desa Adat serta Subak.

(c). Tahap Pembentukan Komunalitas Baru. Setelah mulai dirasakan adanya kesalahan dalam pendekatan pembangunan pertanian dan ekonomi di pedesaan, terutama dengan terlalu memaksakan kelembagaan introduksi, maka pemerintah mulai beralih dengan pendekatan baru yang lebih menghargai komunalitas lokal.

Kepemimpinan lokal kembali direvitalisasi untuk lebih menjamin suksesnya pembentukan kelembagaan introduksi. Dua contoh kelembagaan baru yang menggunakan pendekatan ini adalah Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali dan Unit Pengelola Keuangan Desa (UPKD) di Bengkulu. LPD mulai digerakkan pertengahan tahun 1990-an, sedangkan UPKD baru berjalan 3 tahun ini. Keduanya menunjukkan perkembangan yang baik. Ketika tekanan politik atas desa agak mengendor, -kelompok-kelompok tani dan koperasi mulai berusaha menjadi “mandiri secara sesungguhnya”. Hal ini ditemukan pada KUD, baik di Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan maupun di Kecamatan Lebong Utara kabupaten Rejang Lebong. Beberapa ciri kelembagaan pada tahap ini adalah motif ekonomi semakin menonjol, azas selektifitas anggota semakin diterapkan, kelayakan usaha sangat diperhatikan, perubahan ke arah managemen yang lebih profesional, struktur kelembagaan makin ramping, dan tujuan yang semakin jelas.

Model Transformasi Kelembagaan

Hasil kajian menunjukkan bahwa proses yang sedang terjadi masih dalam tahap transisi, belum menjadi transformasi yang sesungguhnya. Artinya, perubahan yang terjadi terbatas pada beberapa bagian, atau belum menyeluruh. Ditemukan berbagai bentuk transisi kelembagaan tradisional, yaitu:

(a) Penambahan struktur, sebagaimana terjadi pada beberapa subak di Bali. Subak pada mulanya hanya mengurusi persoalan distribusi air dan kegiatan usahatani padi sawah. Namun semenjak menerima bantuan berupa uang tunai dari pemerintah berupa program BLM (Bantuan Langsung Masyarkat), maka dalam struktur kepengurusan yang ada ditambahkan seorang manajer untuk aktifitas penyediaan saprodi dan simpan pinjam.

(b) Formalitas kelembagaan tradisional. Kelompok ternak Gading Indah di Desa Air Meles Bawah di Kab. Rejang Lebong pada mulanya adalah sebuah kelompok kerja sambatan yang berjumlah 12 orang. Karena seluruhnya menyenangi kegiatan beternak, mereka kemudian bersepakat memformalkan kelembagaannya menjadi sebuah kelompok ternak, dan semenjak itu mereka telah beberapa kali mereka memperoleh bantuan bibit ternak dari pemerintah. Basisnya adalah solidaritas ketetanggaan yang telah lama terjalin sebelumnya. Formalitas kelembagaan komunitas yang kurang berhasil adalah pada pembentukan BMA (Badan Musyawarah Adat) di Kab. Rejang Lebong. Masyarakat Rejang Lebong yang dikenal dengan “Negeri Empat Petulai”, membangun BMA di tingkat kabupaten, namun tampaknya kurang berpijak kepada kandungan sejarah pembentukannya dan kenyataan struktur sosial yang ada sekarang.

(c) Introduksi nilai-nilai ekonomi pada kelembagaan komunitas. Desa Adat di Bali adalah sebuah persekutuan hidup yang mengurusi masalah sosial dan keagamaan. Namun semenjak pertengahan 1990-an “ditumpangi” untuk mengembangkan lembaga jasa permodalan, yaitu LPD (Lembaga Perkreditan Desa). Perkembangan LPD menunjukkan hasil yang baik, karena berbasiskan kelembagaan yang sudah mengakar pada kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan dan mengandalkan kepatuhan tradisional.

(d) Contoh yang kurang berhasil adalah pada upaya membangun ikatanikatan horizontal sesama pedagang pengumpul di sentra produksi sayuran di Rejang Lebong berupa KASS (Kawasan Agribisnis Sayuran Sumatera). Hambatannya adalah karena mereka cenderung individualistis. Mereka hanya memiliki ikatan vertikal dengan petani sebagai pemasoknya, dengan pengusaha truk angkutan, dan terutama sekali dengan pedagang penampung di daerah tujuan pemasaran di Palembang.

Dari beberapa contoh di atas terlihat, bahwa suatu transformasi akan memberi hasil yang baik apabila diterima oleh masyarakat setempat, dalam arti jika hal itu bisa memperkuat kelembagaan yang telah ada dan di tempat mana masyarakat hidup. Penambahan struktur, perluasan tujuan, formalisasi, dan introduksi nilai-nilia ekonomi akan dapat berjalan apabila secara kelembagaan hal itu telah diterima oleh masyarakat sebagai pemilik kelembagaan tersebut.

Dari sisi tata interaksi antar ketiga bentuk kelembagaan juga ditemukan beberapa pola.

  1. Tarikan kelembagaan pasar lebih kuat dibandingkan kelembagaan pemerintah pada pelaku pemasaran sayuran di Baturiti Tabanan dan Rejang Lebong. Pedagang menjunjung tinggi ideologi pasar, dan menjalani usahanya dengan berlandaskan norma-norma yang khas kelembagaan pasar. Karena itu, usaha pemerintah untuk mencoba mengatur kelembagaan tataniaga sayuran di Rejang Lebong melalui KASS, program Agropolitan dan pembangunan STA (Sub Terminal Agribisnis) menemui berbagai kendala yang tidak mudah.
  2. Tarikan kelembagaan pasar yang berlandaskan kelembagaan komunitas lebih mampu menggantikan dukungan kelembagaan pemerintah. Koperasi yang semenjak beberapa tahun terakhir ini tidak lagi mendapat dukungan penuh dari pemerintah justeru menjadi lebih mampu mengembangkan usahanya. Hal ini ditemukan pada KUD Makmur di Kecamatan Lebong Utara dan KUD Kediri di Kecamatan Kediri. Pengurus merasa lebih bebas dan lebih kreatif dan didukung partisipasi anggota secara sesungguhnya. Faktor ini juga merupakan kunci suksesnya LPD dan UPKD. Hal ini pada hakekatnya merupakan bentuk dari menguatnya penerapan prinsip-prinsip kelembagaan komunitas dalam usaha ekonomi.

Berdasarkan berbagai temuan di lapangan, maka rumusan model transformasi kelembagaan tradisional dan kelembagaan ekonomi pedesaaan pada umumnya mestilah tunduk kepada azas pemisahan yang tegas bidang apa yang menjadi tanggung jawab masing-masing kelembagaan. Kapan pemerintah harus menyerahkan kepada mekanisme pasar dan kapan pemerintah harus turun tangan secara langsung. Pemerintah harus meredefinisi perannya di masa depan dalam bidang ekonomi dan sosial. Pemerintah dapat mengoptimalkan perannya dalam menata jaringan ekonomi pada konteks makro antar wilayah, dimana jangkauan komunitas masih lemah.

Kelembagaan komunitas sebaiknya diperkuat karena ternyata cukup mampu menjadi basis usaha ekonomi masyarakat. Pada kondisi lemahnya intervensi pemerintahan daerah terhadap strata kehidupan yang paling bawah, semestinya merupakan peluang untuk merevitalisasi kelembagaan-kelembagaan yang dijiwai oleh solidaritas komunalitas, sejalan dengan konsep civil society.

Daftar Bacaan

Abernethy, Charles L. 2002. Water Institution to Enhance Economic Development. Majalah Agricultural + Rural Developmet, No. 2 tahun 2002.

Amaluddin, Moh. 1987. Kemiskinan dan Polarisasi Sosial: Studi Kasus di Desa Bulugede, Kendal, Jawa Tengah. UI Press, Jakarta.

Appendini, K.; M. Nuijten; V. Rawal. 2003. Rural Household Income Strategies and Interactions with the Local Institutional Environment: A Methodological Framework. Rural Institutions and Participation Service (SDAR). FAO, Rural Development Division. Oktober 1999. Rome.

Arifin, Bustanul. 2000. Pembangunan Pertanian: Paradigma, Kinerja, dan Opsi Kebijakan. Penerbit INDEF, Jakarta.

Asian Development Bank. 2000. Rural Asia: Beyond The Green Revolution. A Study of Rural Asia on Overview. vii+187 hal.

Asopa, V.N. dan G. Beye. 1997. Management of Agricultural Research: A Training Manual. Modul 3: Organizational Principles and Design. FAO, Rome.

Astiti, Ni Wayan Sri. et al. 2000. Subak dalam Pengembangannya Sebagai Lembaga Ekonomi. LP Universitas Udayana dan IPTP Bali, Denpasar.

Basri, Hasan. 1983. Sistem Jual Beli Ternak Kambing di Pasar Hewan Sibreh, Kab. Aceh Besar hal. 175-178. Dalam: Rangkuti, M. et al. (ed). Domba dan Kambing di Indonesia. Prosiding Puslitbangnak, Bogor.

Beals, Ralph L.; Harry Hoijer; dan Alan R. Beals. 1977. An Introduction to Anthropology. Fifth Edition. Macmillan Publishing C. Inc, New York dan Collier Macmillan Publisher, London.

Berelson, B. dan Steiner G.A. 1964. Human Behaviour: Shorter Edition. Harcourt, Brace and World, Inc., New York.

Binswanger, Hans P. dan VW. Ruttan. 1978. Induced Innovation: Technology, Institutions and Development. The Johns Hopkins University Press, Baltimore and London.

Brewer, Jeffrey D. 1985. Penggunaan Tanah Tradisional dan Kebijakan Pemerintah di Bima, Sumbawa Timur. hal. 163 – 188. Dalam: Michael R. Dove (ed) 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Bromley, D.W. 1993. Common Property as Metaphor: Systems of Knowledge, Resources and Decline of Individualism. The Common Property Resource Diggest 27. IASCP, Winrock and ICRISAT, Hyderabad.

Cernea, Michael M (ed). 1988. Mengutamakan Manusia di Dalam Pembangunan: Variabel-Variabel Sosiologi di Dalam Pembangunan Pedesaan. Publikasi Bank Dunia. UI-Press, Jakarta. Buku asli: “Putting People First”.

Colleman, J. C. 1994. Foundation of Social Theory. Harvard University Press, Cambriedge and London.

Creswell, John W. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Research Approach. Sage Publication.

Damsar. 1996. Sosiologi Ekonomi. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Denzim, Norman K. dan YS Lincoln (eds). 1994. Handbook of Qualitative Research. Sage Publication.

Dove, Michael R. (ed) 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Etzioni, Amitai. 1985. Organisasi-Organisasi Modern: Foundations of Modern Sociology Series. UI-Press dan Pustaka Bradjaguna, Jakarta. Cet. 2. vii, 174 hal., 23 cm. Judul Asli: “Modern Organizations”.

Eriyatno. 1999. Ilmu sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. Jilid 1. IPB Press, Bogor.

Evers, Hans-Dieter. 1993. Dilema Pedagang Kecil: Teori Sosiologis tentang Perubahan di Sektor Informal di Jawa. Hal 240-254. Majalah Analisis CSIS, Jakarta. Tahun XXII No. 3 Mei-Juni 1993.

Firth, R. 1964. Essays on Social Organization and Values. University of London, The Athlone Press.

Fowler, A. 1992. Prioritizing Institutional Development: A New Role for NGO. Centres for Study and Development. Sustainable Agriculture Programme Gatekeeper Series SA35. IIED, London.

Garcia, Manuel B. 1994. Introductory Sociology: A Unified Approach with Accompanying Work Book. National Book Store, Inc. Metro Manila, Philippines. 303 hal.

Geertz, Clifford. 1976. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Bhratara K.A., Jakarta.

Geertz, Clifford. 1980. Organization of the Balinese Subak. Dalam: Coward, E.W., Jr (ed.) 1980. Irrigation anad Agricultural Development in Asia: Perspective From Social Sciences. Cornel University Press, Ithaca/London.

Geertz, Clifford. 1989. Penjaja dan Raja: Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 172 hal.

Gillin, John Lewis dan John Phillip Lewis. 1954. Cultural Sociology. The MacMillan Book Company. New York. (hal. 313-320). Dalam: Soemardjan, Selo dan

Soelaeman Soemardi. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi (Kumpulan Tulisan). Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Granovetter, Mark dan R. Swedberg (ed). 1992. The Sociology of Economics Life. Westview Press; Boulder, San Fransisco, Oxford.

Guba, Egon G. dan YS. Lincoln. 1994. Competing Paradigms in Qualitative Research (bab VI). Dalam: NK Denzim dan YS Lincoln (eds). 1994. Handbook of Qualitative Research. Sage Publication.

Gunawan, M. et al. 1990. Studi tentang Sistem Pemasaran Ubi Kayu di Indonesia. Laporan Penelitian. Bappenas dan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. 316 hal.

Habermas, Jurgens. 1990. Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi. LP3ES, Jakarta. Harison, David. 1988. The Sociology of Modernization and Development. Unwim Hyman, London.

Harsojo. 1988. Pengantar Antropologi. Percetakan Bina Cipta, Bandung. Cet. ke 7. 271 hal.

Hayami, Yujiro dan Masao Kikuchi. 1987. Dilema Ekonomi Desa: Suatu Pendekatan Ekonomi Terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Hebding, Daniel E. dan Leonard Glick. 1994. Introduction to Sociology: A Text with Readings. Forth Edition. McGraw-Hill Inc dan Philipine Graphic Art Inc, Pilipina.

Heilbroner, Robert L. 1982. Terbentuknya Masyarakat Ekonomi. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt. 1984. Sociology. Sixth Edition. McGraww- Hill Book Company; Sidney, Tokyo, dan lain-lain.

Huntington, Samuel P. 1965. Political Development and Politic Decay. World Politics 17 (3).

Israel, Arturo. 1990. Pengembangan Kelembagaan: Pengalaman Proyek-Proyek Bank Dunia. LP3ES, Jakarta.

Iver, R.M. dan Charles H. Page. 1957. Society: an Introductory Analysis. Rinchart and Company, Inc. New York. hal. 15-22. Dalam: Soemardjan, S. dan S. Soemardi. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi (Kumpulan Tulisan). Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Janssen, Willem. 2002. Institutional Innovations in Publics Agricultural Research in Five Developed Countries. Briefing Paper no. 52. Juli 2002. ISNAR, The Hague, Netherland.

Johnson, Harry M. 1960. Sociology: A Systematic Introduction. Under the General Editorship of Robert K. Merton. Harcourt, Brace and World Inc., New York dan Burlingame.

Knight, Frank H. 1952. Intitutionalism and Empiricisme in Economics. American Economic Review 42. May 1952.

Koentjaraningrat. 1964. Pengantar Antropologi. Cet. 2. UI, Jakarta.

Koentjaraningrat. 1997. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Kuntowijoyo. 1999. Budaya dan Masyarakat. PT Tiara Wacana, Yogyakarta. 166 hal.

Libero, Aida R.; Rebecca F. Catolla; dan Rita M. Fabro. 1985. Socioeconemic Condition of Small-Scale Fisherman and Fish Farmers in the Philippines. Dalam: T. Panayatou (eds.). 1985. Small Scale Fisheries in Asia: Socioeconomic Analisys and Policy. The International Development Research Center (IDRC).

Lippit, Ronald et. al. 1958. Planned Change. Brace and World Inc., Harcourt.

Mackay, Ronald; Dabela S.; T. Smutylo; J. Borges-Andrade; dan C. Lusthans. 1998. ISNAR’s Achievements, Impacts, and Constraints: An Assessment of Organizational Performance and Institutional Impact. ISNAR, Netherland.

Manurung, V.T. ; A. Zulham; dan E. Jamal. 1989. Penelitian Potensi dan Pengembangan Desa Pantai Maluku dan Sumera Utara. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian (PSE), Bogor.

Martineli, Alberto. 2002. Market, Governments, Communities and Global Governance. Paper: Presidential Adress ISA (International Sociologist Association) XV Congress Brisbane 2002. 20 hal.

Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku sumber tentang Metode-Metode Baru. UI Press, Jakarta.

Mitchell, G. Duncan (ed). 1968. A Dictionary of Sociology. Routledge and Kegan Paul, London.

Mundiri, H. 1999. 60 Jenis Sesat Pikir. Penerbit Aneka Ilmu, Semarang.

Olson, Mancur. 1971. The Logic of Cllective Action: Public Goods and The Theory of Groups. Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts; London, England.

Padmanegara, Salmon. 1978. Membina Penyuluhan Pertanian. Dalam: 70 Tahun Penyuluhan Pertanian di Indonesia; 1908-1978. BPLPP, Deptan, Jakarta.

Pakpahan, Agus. 1989. Kerangka Analitik untuk Penelitian Rekayasa Sosial: Perspektif Ekonomi Institusi. Prosiding Patanas: Evolusi Kelembagaan Pedesaan di Tengah Perkembangan Teknologi Pertanan. Pusat Penelitain Agro Ekonomi, Bogor.

Peterson, Warren; G. Gijsbers; dan M. Wilks. 2003. An Organizational Performance Assessment System for Agricultural Research Organizations: Concepts, Methods, and Procerures. Juni 2003. ISNAR, The Hague, Netherland.

Pranadji, Tri. 1984. Peranan Lembaga dan Organisasi Masyarakat Tingkat Desa dalam Pembangunan Berencana di Pedesaan. Skripsi Jurusan Penyuluhan Pertanian, Fakultas Pertanian, IPB Bogor.

Purcell, Wayne D. 1979. Agricultural Marketing: Systems, Coordination, Cash and Future Prices. Reston Publishing Company, Inc. A Prentice-Hall Company. Reston Virginia, dan lain-lain.

Rachmat, M. et al. 1995. Studi Model Pengembangan Agribisnis Perikanan Laut. Laporan Penelitian.PSE, Bogor.

Rahim, MD. 1995. Impact Assessment on Research-Extension-Farmer Linkage Pilot Project. Makalah Lokakarya Dinamika dan Perspektif Penyuluhan Pertanian Pada Pembangunan Jangka Panjang Tahap II. Ciawi, 4-5 Jui 1995. Badan Litbang Pertanian dan CIIFAD, Bogor.

Rex, John. 1985. Analisa Sistem Sosial. PT Bina Aksara, Jakarta. Alih Bahasa: Sahat Simamora. Buku asli: “Social Conflict”.

Ritzer, George. 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Rajawali Press, Jakarta.

Rogers, Evereet M. 1983. Diffusion of Innovation. Third Edition. The Free Press, New York.

Roth, Dick. 2001. Antara Subak dan P3A: Peran Regulasi Negara dan Subak Bali dalam Manajemen Irigasi Lokal di Wilayah Transmigrasi Petani Bali di Kabupaten Luwu, Sulsel. hal. 189-226. Dalam: Benda-Beckman, Franz von; K. von Benda-Beckman; dan J. Koning (eds.) 2001. Sumber Daya Alam dan Jaminan Sosial. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Sajogyo, Pujiwati. 1985. Sosiologi Pembangunan. Fakultas Pasca Sarjana IKIP Jakarta bekerjasama dengan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Jakarta.

Sanderson, Stephen K. 1993. Sosiologi Makro. Rajawali Press, Jakarta.

Saptana; T. Pranadji; Syahyuti; dan Roosganda EM. 2003. Transformasi Kelembagaan untuk Mendukung Ekonomi Kerakyatan di Pedesaan. Laporan Penelitian. PSE, Bogor.

Sawit, MH; A. Syaefuddin; dan I. Manwan. 1988. Program Intensifikasi Pola Supra Insus di Jalur Pantura dan Sulsel: Masalah, Kendala, dan Sasaran Perbaikannya. Badan Litbang Pertanian dan The Ford Foundation. Makalah Simposium Penelitian Tanaman Pangan II, Puslitbangtan, Ciloto 21-22 Maret 1988.

Scott, James C. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Sedjati, WK.; T. Pranadji; Syahyuti; H. Tarigan; dan B. Wiryono. 2002. Strategi Keorganisasian Petani untuk Pengembangan Kemandirian Perekonomian Pedesaan. Laporan Penelitian. PSE, Bogor.

Simatupang, Pantjar; R. Sajuti; E. Jamal; dan MH Tgatorop. 1992. Penelitian Agribisnis Komoditas Peternakan. Laporan Penelitian. PSE, Bogor.

Sitorus, M.T.F. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Diterbitkan oleh Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial untuk Laboratorium Sosiologi, Antropologi, dan Kependudukan, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Peratnian, IPB. Bogor.

Slamet, Margono. 1978. Beberapa Catatan tentang Pengembangan Organisasi. Kumpulan Bahan Bacaan Penyuluh Pertanian. Edisi 3. IPB, Bogor.

Soekanto, Soerjono. 1985. Sosiologi Sistematis. Seri Pengenalan Sosiologi 3: Karl Mannheim. CV Radjawali, Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1999. Sosiologi: Suatu Pengantar. Edisi Baru, Cet. 28. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soelaiman, Munandar. 1998. Dinamika Masyarakat Transisi: Mencari Alternatif Teori Sosiologi dan Arah Perubahan. Pustaka Pelajar. Cet. 1 xii+195 hal.

Soemardjan, Selo dan S. Soemardi. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi (Kumpulan Tulisan). Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Sudana, I Wayan. 1991. Subak dan Afinitas Antar Nilai Agama. Studi Kasus Subak Tegallinggah Kab. Buleleng, Bali. Tesis Pasca Sarjana IPB, Bogor. 179 hal.

Suradisastra, Kedi. 1999. Peran Pemerintah dalam Pemacuan Industrialisasi Pertanian. Dinamika Inovasi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian. Buku 2. PSE, Bogor.

Suseno, Frans. M. 1996. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Gramedia Pustaka Utama , Jakarta.

Syahyuti. 1995a. Keterasingan Sosial dan Eksploitasi Terhadap Buruh Nelayan. Majalah Forum Agro Ekonomi. Vol. 13. No. 2. Desember 1995.

Syahyuti. 1995b. Pendekatan Kelompok dalam Pelaksanaan Program/Proyek Pembangunan Pertanian. Majalah Forum Agro Ekonomi. Vol. 13. No. 2 Desember 1995.

Syahyuti. 1995c. Kelembagaan Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian di Indonesia: Studi Historis Mengenai Status dan Manajemen Lembaga Penyuluhan Pertanian, serta Pengaruhnya terhadap Pertisipasi dan Kemandirian Petani. Prosiding. PSE, Bogor.

Syahyuti. 1998. Beberapa Karakteristik dan Perilaku Pedagang Pemasaran Komoditas Hasil-Hasil Pertanian di Indonesia. Majalah Forum Agro Ekonomi. Vol. 16. No. 1, Juli 1998.

Syahyuti. 1999. Keragaan Subsistem Tataniaga Peternakan di Indonesia: Suatu Analisis Sosiologis Pelaku Pemasaran Komoditas Peternakan. Majalah Wartazoa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Syahyuti. 2000. BIPP: Wujud Perjuangan Dunia Penyuluhan. Majalah Ekstensia. Vol. 11 Tahun VI, Februari 2000. hal. 6-10. Pusat Pembinaan Penyuluhan Pertanian, Deptan. Jakarta.

Syahyuti. 2002. Pembentukan Struktur Agraria pada Masyarakat Pinggiran Hutan. Tesis pada Jurusan Sosiologi Pedesaan. IPB, Bogor.

Syahyuti dan A.H. Taryoto. 1996. Pengaruh Perkembangan Teknologi Terhadap Perubahan Interaksi Sosial Masyarakat Nelayan. Majalah Forum Agro Ekonomi. Vol. 14. No. 2 Desember 1996.

Syam, M. dan A. Widjono. 1992. Keterkaitan antara Penelitian dan Penyuluhan: Persepsi, Institusi dan Tata Hubungan Kerja. Dalam: M. Syam et al. (eds) 1992. Teknologi Konservasi dan Embung. Prosiding Perakitan Teknologi Program Keterkaitan Penelitian-Penyuluhan. Ungaran, Jateng, 17-21 Februari 1992. Badan Libang Pertanian dan Kanwil Deptan Jawa Tengah.

Syukur, Mat. 1992. Karya Usaha Mandiri (KUM): Suatu Model Alternatif Skim Kredit untuk Golongan Miskin di Pedesaan. Majalah Forum Penelitian Agro Ekonomi vol. 9 No. 2, Juli 1992.

Taneko, Soleman. 1993. Struktur dan Proses Sosial: Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Teken, I.B. et al. 1988. Irigasi Subak di Bali. Hal. 67-88. Dalam: Pasandaran, Effendi dan Donald C. Taylor. 1988. Irigasi: Kelembagaan dan Ekonomi. Jilid 2. Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia, Jakarta.

Tjondronegoro, SMP. 1977. The Organization Fenomenon and Planned Development in Rural Communities of Java: A Case Study of Kecamatan Cibadak,West Java and Kecamatan Kendal, Central Java. University of Indonesia. Jakarta.

Tjondronegoro, SMP. 1990a. dalam “Gejala Organisasi dan Pembangunan Berencana dalam Masyarakat Pedesaan di Jawa”. Bab III-6 (hal 215-241). Dalam: Masalah-Masalah Pembangunan.

Tjondronegoro, SMP. 1990b. Memudarnya Otonomi Desa (hal. 15-25) Dalam: Keping-Keping Sosiologi dari Pedesaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdikbud RI. Jakarta.

Tjondronegoro, SMP. 1999. Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa. Dalam: Keping-Keping Sosiologi dari Pedesaan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Trijono, Lambang. 1994. Negara dan Petani di Masa Orde Baru: Politik Pertanian dan Respon Petani di Indonesia. Prisma No. 12, Des. 1994.

Uphoff, Norman. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Cases. Kumarian Press.

Uphoff, Norman. 1992. Local Institutions and Participation for Sustainable Development. Gatekeeper Series SA31. IIED, London.

Veeger, K.J. 1990. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Wahono, Francis. 1994. Dinamika Ekonomi Sosial Desa Sesudah 25 tahun Revolusi Hijau. Hal. 3-21. Majalah Prisma no. 3 Maret 1994.

Widodo, Sri. 1989. Production Efficiency of Rice Farmers in Java Indonesia. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Yayasan Agroekonomika. 1980. Ekonomi Pertanian Mawas Diri: Mengenang Satu Windu Wafatnya Bapak Iso Reksohadiprodjo (13 Februari 1969-1979). Peringatan Satu Dasawarsa Berdirinya PERHEPI, 9-10 Maret 1979 di Kampus UGM, Yogyakarta.

Yin, Robert K. 1997. Studi Kasus: Desain dan Metode. PT Raja Grafindo Persada. Edisi 1 Cet. 2, Jakarta.

Yusdja, Y. et al. 1992. Studi Baseline Aspek Sosial Ekonomi Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Monograph Series No. 6. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Zulham, Armen dan M. Yum. 1997. Pemasaran dan Pembentukan Harga. Bab VIII hal. 319-354. Dalam: Beddu Amang; MH Sawit; dan A. Rachman (ed). Ekonomi Kedelai di Indonesia. IPB Press, Bogor. 486 hal.

Znaniecki, Florian. 1945. Social Organization. Chapter VIII hal. 172-217. Dalam: George Gurvitch dan Wilbert E. Moore. 1945. Twentieth Century Sociology. The Philosophical Library, New York.

Zuraida, Desiree dan J. Rizal (ed). 1993. Masyarakat dan Manusia dalam Pembangunan: Pokok-pokok Pemikiran Selo Soemardjan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
*******

3 Comments »

  1. Salam Kenal …P’ Saptana, Tri Pranadji, Syahyuti, Roosgandha E.M
    Saya sangat tertarik membaca artikel Bpk. Artikel tersebut menambah wawasan saya tentang Teori-konsep kelembagaan. Kebetulan saat ini saya sedang menyususn renc penelitian pengembangan kelembagaan masyarakat, tapi fokus pada kemitraan antara lembaga pemerintah dalam pengelolaan persampahan kota. Masalahnya sekarang saya masih kurang dalam hal referensi yang khusus membahas teori/konsep pengembangan kelembagaan. Oleh karena itu mohon bantuan Bpk untuk menunjukkan referensi yang berhubungan dengan hal tsb. Terima kasih atas bantuannya. Mohon izinnya juga karena artikel Bpk saya juga sudah masukkan sebagai salah satu referensi saya.

    Fatma

    Comment by Fatma — November 13, 2009 @ 12:34 am

  2. salam kenal Pak Saptana, Tri Pranadji, Syahyuti, Roosgandha E.M…
    saya ijin share hasil kajiannya …kajian yang lengkap dan menarik, dengan bahasa yang lugas… bagus untuk menambah wawasan terkait kelembagaan di beberapa wilayah yang berbeda…

    Luh Putu

    Comment by luh putu — September 14, 2011 @ 1:59 am

  3. P’ Saptana, Tri Pranadji, Syahyuti, Roosgandha E.M saya Zulkifli R. Mahasiswa Pasca Sarjana S3. Artikel Bapak bagus dan dapat dijadikan referensi. . Mungkin Bapat dapat menolong saya kalau punya hasil penelitian mengenai perobahan struktur sosial menunjang peningkatan pendapatan petani.. Thanks Pak .

    Comment by Zulkifli R. — November 22, 2014 @ 6:12 am


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.