Kelembagaan DAS

Fiona J.C. Chandler dan Suyanto

PENGAKUAN DAN PEMBERIAN IMBALAN BAGI PENYEDIAAN JASA DAERAH ALIRAN SUNGAI  (DAS)

Fiona J.C. Chandler dan Suyanto
World Agroforestry Centre (ICRAF Southeast Asia), Bogor P.O. Box 161, Bogor 16001, Indonesia

Meningkatnya kebutuhan akan air yang dibarengi dengan semakin berfluktuasinya kuantitas dan penurunan kualitas air menyebabkan berkurangnya ketersediaan air yang oleh banyak pihak dianggap sebagai hak yang tidak dapat diganggu-gugat (unalienable right). Masalah ketersediaan air erat kaitannya dengan perlindungan daerah aliran sungai (DAS) sebagai sumber air. Dengan semakin langkanya air, maka muncullah konflik dan kompetisi untuk memiliki, memanfaatkan dan mengelola sumber air. Untuk mengatasi konflik tersebut, solusi konvensional yang dilakukan adalah menyerahkan pengelolaan air kepada pemerintah. Namun pada kenyataannya, pemerintah tidak selalu mampu menjalankan peran sebagai pengelola terbaik. Solusi lain yang dapat ditempuh adalah dengan menyerahkan sepenuhnya semua pengelolaan air pada kekuatan pasar. Solusi kedua tersebut mempunyai kelemahan karena dapat mengakibatkan munculnya masalah antara lain: ketidakadilan distribusi, salah kelola dan degradasi berbagai atribut lingkungan khususnya air.

Kedua pendekatan tersebut menyebabkan kegagalan pasar (market failure) terutama dalam menghitungi nilai penuh ekonomis air (nilai ekonomi air baik secara langsung maupun tidak langsung dan nilai guna maupun non-guna harus diperhitungkan dalam total ekonomi air). Memanfaatkan mekanisme pasar dapat melindungi sumber air di daerah aliran sungai (menjaga ketersediaan sekaligus juga memenuhi permintaan air). Dengan demikian, pengembangan mekanisme pasar harus mempertimbangkan penilaian total ekonomi (total economic valuation); memastikan adanya pemangku kepentingan (stakeholders) yang memiliki kesadaran, pengetahuan, dan kemampuan di dalam proses yang dijalankan; definisi yang jelas tentang hak atas lahan; adanya kebijakan dan institusionalisasi yang mendukung.

Era desentralisasi pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia telah membuka pintu bagi pengembangan mekanisme pasar jasa lingkungan DAS. Beberapa mekanisme sudah mulai dicoba tetapi masih banyak mekanisme lain yang masih perlu diekplorasi guna memperoleh pemahaman lebih mendalam tentang berbagai tantangan yang ada. Pengalaman dari tempat lain, misalnya dari Costa Rica, dimana pembayaran jasa DAS sudah berjalan dan sampai saat ini masih terus dipelajari lebih lanjut akan menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia dalam menuju era dimana pengakuan dan imbalan dapat diberikan terhadap mereka yang menjadi penyedia jasa lingkungan DAS.

Jaminan kecukupan dan ketersediaan air bersih

Tahun 2003 dicanangkan sebagai Tahun Air Internasional oleh PBB (UN International Year of Freshwater), dengan demikian mencerminkan makin  besarnya perhatian terhadap persediaan air bersih bagi penduduk dunia yang terus bertambah. Bila dibandingkan dengan minyak, saat ini air sudah dianggap sebagai sumberdaya yang akan menjadi sangat langka bagi masa depan planet bumi.

Beberapa hal yang berpengaruh terhadap kelangkaan air adalah pertambahan jumlah penduduk, perluasan lahan pertanian, industrialisasi, perluasan hunian, serta berbagai perubahan demografis lainnya. Meningkatnya kebutuhan air bersih dan berkurangnya kuantitas air bersih yang dapat dimanfaatkan akan menyebabkan tekanan terhadap sumbersumber air dan pada akhirnya akan menjadi penyebab kelangkaan air. Ketika air makin langka maka persaingan untuk memiliki, menguasai, memanfaatkan, dan mengelola air juga akan meningkat. Hal semacam ini seringkali memicu konflik dan menjadi perhatian di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Tekanan-tekanan seperti itulah yang pada akhirnya akan dirasakan di daerah aliran sungai sebagai penyedia air dan berbagai jasa lingkungan DAS lainnya.

Berbagai masalah yang berkaitan dengan ketersediaan air dan jasa lingkungan DAS telah mewarnai perdebatan tentang apakah air seharusnya dianggap sebagai hak – artinya, sebagai suatu keharusan dalam hidup dan harus disediakan tanpa syarat atau cuma-cuma, ataukah air seharusnya dianggap sebagai suatu komoditas ekonomi yang pembagiannya harus didasarkan pada mekanisme pasar.

Sebagai respon terhadap perdebatan tersebut, selama ini dikenal dua macam pendekatan atau solusi. Pendekatan pertama adalah berupa intervensi pemerintah, dimana pemerintah dianggap bertanggung jawab terhadap ketentuan mengenai barang dan jasa yang berkaitan dengan air. Pendekatan kedua adalah memperlakukan air sebagai komoditas ekonomi. Dalam hal ini pasar dibiarkan menentukan bagaimana air dan jasa DAS lainnya dimanfaatkan secara efisien dengan harga yang paling tepat yang harus dibayarkan untuk pemanfaatan tersebut.

Pada tahun 2002, Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (UN Committee on Economic Social and Cultural Rights) menegaskan hak manusia atas air. Penegasan ini mengharuskan negara (pemerintah) menyediakan akses bagi rakyatnya untuk memperoleh air bersih dalam jumlah yang cukup, terjangkau, dan aman di samping akses terhadap sanitasi yang baik. Bila terdapat rintangan bagi rakyat dalam memperoleh air bersih, pemerintah bertanggung jawab menghilangkan rintangan tersebut dan memastikan semua, tanpa diskriminasi, dapat menikmati akses tersebut.

Di sisi lain, pengelolaan air oleh sektor swasta bukanlah hal baru. Terdapat banyak contoh perusahaan-perusahaan swasta yang mengelola bisnis air di berbagai kota besar di dunia pada abad 19 seperti Buenos Aires, London, Paris, dan Seville. Namun, di kota-kota tersebut, pada umumnya yang mampu memperoleh layanan air bersih hanyalah sebatas wilayah-wilayah yang kaya. Dalam dekade terakhir menunjukkan pertumbuhan signifikan keterlibatan sektor swasta dalam pasar air. Sejak tahun 1987 sampai 2000, sebanyak 183 proyek air dan saluran air dilaksanakan di negara-negara berkembang atas peran serta swasta dengan total investasi sebesar 33 milyar dolar Amerika (Bakkar 2003).

Salah satu bahan perdebatan penting dalam negosiasi tentang ‘hak atas air’ adalah pendapat yang menganggap bahwa ‘air sebagai sumberdaya ekonomi’ (ditegaskan dalam Dublin Principles). Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menjelaskan bahwa dukungan yang diberikan terhadap pendapat ‘hak atas air’ bukan berarti bahwa air harus diberikan secara gratis. Hal yang sama terjadi dalam wacana hak tentang ketersediaan makanan, perawatan kesehatan, perumahan, dan layanan sosial lainnya. Tidak ada yang diberikan secara cuma-cuma. Dengan demikian, pengakuan terhadap hak atas air tidaklah bertentangan dengan pemikiran bahwa air termasuk komoditas ekonomi. Perlu ditegaskan bahwa sekarang ini setiap negara berkewajiban menyediakan air untuk keperluan minum dan sanitasi yang dapat dijangkau oleh rakyatnya dan bahwa harga yang harus dibayarkan tidak akan mengganggu pemenuhan kebutuhan dasar lainnya. Hak atas air berarti bahwa bila terdapat individu atau kelompok yang tidak memperoleh air dalam jumlah cukup maka yang bersangkutan berhak menempuh jalur hukum atau memperoleh kompensasi yang dijamin dengan hukum (Freshwater Action Network, 2004).

Jawaban atas pertanyaan tentang cara/mekanisme distribusi/ pembagian keuntungan air yang paling efektif dan efisien terdapat dalam gabungan antara kontrol pemerintah dan penerapan mekanisme pasar.

Apakah pasar mampu menolong?

Banyak yang membenarkan adanya kontrol pemerintah terhadap air karena didasarkan pada pendapat bahwa air sebagai ‘hak asasi manusia’. Tetapi kenyataannya, banyak ditemukan bukti bahwa pemerintah tidak mampu menyediakan air bersih bagi rakyat miskin karena keahlian dan pengetahuan masih kurang, insentif yang tidak jelas, birokrasi yang tidak efisien, dan hanya mencari keuntungan semata. Selain itu, ketika harus menekan pengeluaran dan mengurangi defisit anggaran negara, kemampuan pemerintah untuk mengalokasikan dana yang cukup untuk kepentingan umum menjadi sangat kurang. Apalagi jika pemerintah turut campur dalam penentuan harga dan keuntungan, hal ini hanyalah akan menyebabkan terjadinya distorsi pasar.

Selama ini, usaha-usaha untuk menyerahkan tanggung jawab jasa lingkungan kepada sektor swasta didasarkan pada kombinasi regulasi dan pendekatan berbasis pasar. Walaupun demikian di kemudian hari pendekatan berbasis pasarlah yang semakin sering digunakan. Pendekatan pasar bertujuan mengubah insentif-insentif yang dikenakan terhadap pemilik dan pengguna hutan sehingga lebih sesuai dengan kebijakan pemerintah.

Namun, biasanya pasar tidak dapat memberikan kompensasi kepada mereka yang menjadi penyedia eksternalitas positif karena tidak adanya hak penguasaan lahan atau persyaratan legal lainnya yang dapat dijadikan acuan bagi setiap pembayaran jasa lingkungan yang akan dilakukan. Eksternalitas positif dalam konteks perlindungan hutan misalnya kontrol terhadap erosi, penurunan resiko banjir di daerah hilir dan pemeliharaan kualitas air. Jasa lingkungan DAS dapat dianggap sebagai milik umum (public good) bila pengguna/pemanfaat jasa tersebut tidak dapat dihalangi/dilarang untuk menikmati barang atau jasa yang dimaksud, walaupun mereka tidak membayar. Contohnya adalah masyarakat hilir  yang ikut memanfaatkan air yang berkualitas sebagai dampak dari penanaman hutan di daerah hulu (Landell-Mills and Porras, 2002).

Pasar akan dikatakan gagal bila masyarakat yang mampu (atau kaya) menikmati keuntungan dengan menyingkirkan yang miskin. Pandangan ini dikemukakan oleh Byron and Arnold (1997) yang membuktikan bahwa walaupun yang paling tergantung pada hutan adalah masyarakat miskin, namun biasanya golongan masyarakat kayalah yang akan memperoleh manfaat terbesar dari pemanfaatan hutan. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor termasuk besarnya akses yang kaya terhadap aset pendukung (seperti mesin dan keterampilan), pelatihan dan pendidikan yang lebih baik, akses khusus terhadap pasar, atau kesepakatan informal yang memberikan hak atas aset terbaik hutan (misalnya, melalui jalinan koneksi dengan otoritas sumberdaya hutan).

Di masa lalu, pasar tidak berhasil mendistribusikan keuntungan secara merata karena beberapa alasan. Seringkali jasa DAS tidak dapat dibeli atau dijual sehingga pasar tidak memperoleh gambaran jelas tentang persediaan (supply) yang ada untuk melakukan distribusi secara adil. Selain itu alasan lain adalah sering muncul campur tangan ke dalam pasar dan penilain terhadap fungsi DAS yang tidak tepat dan tidak lengkap.

Nilai air dan jasa daerah aliran sungai (DAS)

Fungsi-fungsi DAS terkait dengan modalitas alamiah yang tersedia (iklim, geologi, struktur tanah, bentuk lahan) di samping pemanfaatan dan pengelolaan lahan. Pengelolaan lahan terkait dengan kegiatan penjagaan kawasan lindung (guardianship) atau kegiatan pengelolaan sumber daya alam (stewardship) yang mampu menyediakan penghidupan bagi masyarakat tetapi juga dapat melindungi lingkungan. Walaupun bukan menjadi satu-satunya ekosistem penyedia fungsi DAS, hutan dan wanatani merupakan komponen pokok penyedia fungsi DAS di negaranegara berkembang.

Fungsi DAS tidak dapat disebut sebagai “jasa” kecuali fungsi-fungsi tersebut memiliki nilai ekonomis yang nyata bagi multi pihak (stakeholder). Walaupun jasa harus didefinisikan sesuai dengan konteks spesifik masingmasing tempat, umumnya jasa dapat digolongkan ke dalam dua kategori besar yaitu: jasa yang memiliki nilai guna (langsung ataupun tidak langsung) dan nilai bukan penggunaan (non use).

Nilai guna langsung dapat berupa kayu (timber) atau makanan yang dihasilkannya, sedangkan secara tidak langsung melalui sumbangannya terhadap proses produksi, misalnya: perlindungan lahan pertanian yang lebih baik. Selain itu, nilai fungsi DAS dapat dihubungkan dengan kesempatan di masa yang akan datang (future opportunity) dalam bentuk langsung maupun tidak langsung. Nilai bukan guna (non use) biasanya tidak dirasakan (intangible), contohnya adalah kesempatan (opportunity) yang akan dinikmati oleh generasi mendatang (nilai waris) dan nilai keberadaan fungsi DAS (existence value). Semua nilai yang dapat diperoleh dari DAS disebut Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value).

Dalam hampir semua kasus, biaya perlindungan sumber air tidak termasuk kedalam harga yang harus dibayar. Biasanya, harga air secara maksimal hanya dihitung dari biaya penyediaan (delivery). Dengan kata lain, keuntungan hidrologis (hydrological benefits) yang berarti nilai ekonomis perlindungan DAS, tidak diperhatikan dan tidak terefleksi dalam penentuan harga air. Padahal bila nilai jasa DAS yang tersedia pada suatu ekosistem yang sehat tidak dipahami dengan benar, maka hal ini akan mengakibatkan dipilihnya cara-cara pemanfaatan lahan yang dapat merusak DAS. Dengan kecilnya insentif ekonomi bagi perlindungan ekosistem daerah hulu, maka para pengguna lahan di daerah hulu akan cenderung memilih cara pemanfaatan lahan yang dirasakan paling mampu memberikan keuntungan ekonomis secara langsung dan segera, misalnya, mengubah hutan menjadi padang rumput untuk penggembalaan atau pertanian (The Conservation Alliance, 2003).

Pengalaman menunjukkan, bahwa instrumen berbasis pasar yang dirancang dengan baik akan dapat mencapai tujuan-tujuan lingkungan dengan biaya lebih sedikit dibandingkan dengan pendekatan “perintah dan pengawasan” (command and control). Pada saat yang sama hal itu juga akan menciptakan insentif positif bagi munculnya inovasi dan perbaikan yang berkelanjutan (Landell-Mills and Porras, 2002).

Di sektor kehutanan, para pemerintah di seluruh dunia sudah menerapkan saran ini. Mereka mulai bertanggung jawab terhadap hutan yang kaya dengan keanekaragaman hayati, memiliki keindahan alam (landscape beauty), dan juga penting bagi fungsi perlindungan DAS. Dalam banyak kasus, pemerintah melakukan pengawasan langsung terhadap perlindungan hutan melalui kepemilikan publik (public ownership) dan tidak jarang menerapkan peraturan terhadap kepentingan ekstraksi sumber daya alam.

Menggunakan mekanisme pasar − peluang dan masalah

Para penyokong konservasi hutan mendukung pendekatan pasar karena mereka percaya apabila nilai finansial jasa hutan dapat dipahami dan dimanfaatkan maka hal ini akan mendorong pengelolaan hutan yang bijak sekaligus akan menghambat praktik pemanfaatan hutan dengan cara-cara yang merusak. Pendekatan pasar menjadi semakin penting di tengah frustrasi yang dirasakan dengan pendekatan kebijakan yang sering disebut tidak efisien, mahal dan tidak adil (Forest Trends, 2002).

0t1

Perlu dicatat bahwa dalam setiap pasar jasa dan komoditas, terdapat berbagai biaya-biaya yang harus dikeluarkan, misalnya dalam mengidentifikasi mitra potensial, melakukan negosiasi dagang, monitoring dan analisa transaksi penyerahan jasa, dokumentasi dan pencatatan, serta administrasi perdagangan. Biaya-biaya tersebut memang menjadi lebih mahal di dalam pasar perlindungan DAS. Ini disebabkan oleh uniknya jenis produk itu sendiri dan banyaknya pihak yang terlibat di samping belum terbangunnya infrastruktur pasar yang diperlukan.

Banyaknya pemangku kepentingan yang terlibat di dalam pasar DAS, menyebabkan situasi yang lebih kompleks. Perantara membutuhkan seperangkat keterampilan yang tepat agar biaya yang dikeluarkan dapat efektif dan di sisi lain, biaya akan meningkat jika kelompok baru perlu dibentuk dan dilatih. Dalam banyak kasus, yang menjadi hambatan utama dalam penciptaan pasar adalah ketidakpastian penguasaan lahan (insecure tenure).

Mengapa mekanisme pasar digunakan? Tidak seperti insentif finansial yang tergantung pada subsidi pemerintah, pasar mempersyaratkan pemanfaat jasa lingkungan membayar jasa yang diterimanya. Di sisi lain, pasar menentukan ‘harga’ dari barang atau jasa berdasarkan permintaan dan penawaran – lebih efisien dibandingkan dengan harga yang ditentukan pemerintah. Pengembangan pasar yang baik akan makin memasyarakatkan nilai ekonomi dan ekologi DAS dan memastikan penyedia jasa DAS memperoleh kompensasi. Kompensasi tersebut akan bermanfaat untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin dengan adanya sumber pendapatan baru (jika hak mereka diakui dan keamanan penguasaan lahan meningkat). Lagipula, akan ada kesempatan untuk mengembangkan kelembagaan yang lebih partisipatif dan kooperatif sehingga akan memberikan dampak sosial yang lebih luas serta mengamankan keberlanjutan sumber pendanaan untuk perlindungan ekosistem kritis. Dengan adanya penghematan dan efisiensi biaya yang diperoleh dipastikan bahwa para pembuat keputusan akan memberikan perhatian terhadap pengembangan pasar tersebut.

Berbagai tipe mekanisme pasar

Konteks ekonomi, sosial, politik dan ekologi yang mempengaruhi ekosistem dan DAS juga akan berpengaruh dalam menentukan mekanisme pasar yang paling cocok untuk diterapkan.

Mekasnisme pasar dapat dibedakan menjadi tiga kategori besar: kesepakatan yang diatur sendiri (self-organized private agreements), skema pembayaran publik (public payment schemes) dan skema pasar terbuka (open trading schemes). Dalam setiap kategori ditemukan beragam mekanisme pasar menurut tingkat keterlibatan publik di dalamnya.

Kesepakatan yang diatur sendiri

Transaksi-transaksi yang termasuk di dalam kesepakatan biasanya bersifat tertutup, antar pihak-pihak yang memperoleh manfaat dan yang menjadi penyedia jasa lingkungan. Contohnya adalah skema eko-label atau sertifikasi yang dilakukan sendiri, pembelian lahan secara langsung, dan pembelian hak pengembangan lahan, serta skema pembayaran langsung antara pemanfaat jasa DAS yang berada di luar lokasi (offsite beneficiaries) dengan pemilik lahan yang bertanggung jawab terhadap penyediaan jasa tersebut.

Transaksi privat, biasanya terbatas dalam arti jangkauan dan transparansinya, mengambil manfaat dari kejelasan hak kepemilikan dan kontrak yang memiliki dasar hukum, walaupun kedua hal tersebut tidak selalu diperlukan. Biasanya, dalam hal ini, hanya sedikit keterlibatan publik diperlukan.

Kesepakatan kontrak cenderung lebih cocok untuk skala yang lebih kecil. Di sini, negosiasi tatap muka dapat terjadi dan multi pihak dapat mengetahui apa yang akan mereka peroleh. Hal ini dimungkinkan karena keterkaitan antara kegiatan-kegiatan pengelolaan DAS dan dampak positif yang akan diperoleh memang sudah jelas. Dengan skala yang lebih kecil, perjanjian yang lebih kompleks dapat dibuat dan dapat disesuaikan dengan kondisi-kondisi setempat (Conservation Alliance, 2003).

Skema pembayaran publik

Karena jasa DAS seringkali dianggap “barang publik”, maka skema pembayaran publik merupakan mekanisme finansial yang paling sering dimanfaatkan untuk melindungi jasa DAS (Conservation Alliance, 2003). Pendekatan ini digunakan bila pemerintah bermaksud menyediakan landasan institusional untuk suatu program dan sekaligus menanamkan investasinya secara langsung (Powell et al. 2002).

Dalam skema pembayaran publik, pemerintah atau suatu organisasi sektor publik dapat memperoleh dana melalui beberapa jenis iuran atau pajak. Pemerintah juga dapat menciptakan kesepakatan institusional (institutional arrangement) untuk menyediakan atau menjaga keberlangsungan jasa DAS. Hal seperti ini pernah dilakukan melalui berbagai cara: di tingkat departemen (agency level) seperti di departemen kehutanan, perikanan, atau lingkungan; kontrak dengan LSM; kerjasama dengan universitas; atau seringkali kombinasi semuanya.

Dalam hampir semua kasus, dirasakan perlunya perubahan atau penambahan regulasi atau kebijakan. Keputusan berkaitan dengan kebijakan seperti ini dapat dilakukan di tingkat lokal, kabupaten, atau regional; tergantung mana yang paling sesuai menurut jangkauan geografis DAS. Contoh kebijakan baru termasuk:

  • Penetapan atau peningkatan harga air;
  • persetujuan dalam menggunakan iuran air untuk melindungi fungsi DAS secara langsung;
  • perangkat untuk memberikan insentif kepada pemilik lahan;
  • persetujuan untuk menerapkan dan memberlakukan environmental easements hak penggunaan lingkungan
  • menciptakan mekanisme pengawasan, pemantauan dan pelaksanaan regulasi
  • menerapkan denda bagi pelanggaran atas perjanjian pemanfaatan lahan atau batas pemakaian/pengaliran air yang dilakukan oleh pengguna ataupun penyedia

Harga yang ditentukan pemerintah seringkali lebih didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan politis dan anggaran daripada perhitungan ekonomi murni. Sama halnya dengan skema swasta, skema pembayaran publik seringkali memerlukan negosiasi hulu-hilir yang intensif untuk menentukan jumlah yang harus dibayarkan oleh pemilik lahan pribadi dan/atau oleh pengelola sumberdaya publik. Pembayaran yang dikumpulkan dapat dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan pengelolaan seperti pembelian hak konservasi atau pengembangan lahan, atau untuk membayar pemilik lahan atau pengelola sumberdaya untuk mengubah perilaku pengelolaan lahan (Conservation Alliance, 2003).

Di Cina, degradasi ekologis sudah dianggap sebagai salah satu hambatan besar dalam pembangunan sosial ekonomi negara. Hilangnya hutan dianggap erat kaitannya dengan degradasi ekologis tersebut. Karena itulah konservasi hutan mendapat perhatian serius. Secara khusus, Program Perlindungan Hutan Alam dan Program Konservasi Lahan Pertanian Lereng menandai transisi fundamental dari sekedar penghargaan terhadap keuntungan ekonomis hutan semata menuju penghargaan yang lebih meyeluruh meliputi penghargaan terhadap semua keuntungan ekonomis, sosial, dan ekologis hutan. Dalam konteks semacam itulah Skema Kompensasi Keuntungan Ekologis Hutan di Cina (China ‘s Forest Ecological Benefit Compensation Scheme) dikembangkan. Skema pembayaran publik ini ditetapkan dengan undang-undang dan memiliki kerangka hukum yang kuat dengan dana khusus pemerintah sebagai sumber modal utama. Dana sebesar 1 milyar Yuan sudah dianggarkan untuk membiayai pelaksanaan pilot proyek yang akan dimulai di 24 cagar alam (di tingkat negara bagian) dan 658 daerah setingkat kabupaten di 11 provinsi (Changjin Sun, and Xiaoqian Chen, 2003)

Di samping komponen dari anggaran pusat, juga terdapat beberapa inisiatif daerah dimana dana diambilkan dari alokasi anggaran daerah (Guangdong) dan iuran/ongkos dikumpulkan dari para pengguna (organisasi, perusahaan, dan individu) keuntungan ekologis hutan  didasarkan pada prinsip siapa yang menikmati harus membayar, seperti  di Hubei dan Xinjiang. Skema Kompensasi Keuntungan ini dilaksanakan pada berbagai tingkatan dalam departemen keuangan dan secara khusus dimanfaatkan untuk membangun hutan ekologis dan perlindungan margasatwa (wildlife) oleh departemen kehutanan.

Skema pasar terbuka

Skema ini merupakan skema yang paling jarang diterapkan dibandingkan dengan kedua mekanisme lainnya dan cenderung lebih banyak diterapkan di negara-negara yang sudah maju. Pemerintah mendefinisikan dan menentukan batas-batas komoditas jasa yang dapat diperjual-belikan. Lalu dibuat regulasi yang dapat menciptakan munculnya permintaan. Dalam hal ini, diperlukan kerangka regulasi yang kuat. Di sisi lain, setiap sistem perdagangan kredit yang berbasis pasar mempersyaratkan kerangka transparansi, penghitungan yang akurat, dan sistem verifikasi (Powell et al. 2002).

Di New South Wales, Australia, pemerintah sedang melaksanakan suatu pilot proposal dalam perdagangan kredit salinitas yang didasarkan pada target salinitas dengan cakupan cekungan DAS (basin) yang lebih luas. Di sini, pemerintah menyediakan ijin bagi yang dapat mengurangi salinitas. Ide di belakang pendekatan ini adalah bahwa siapapun dapat menaikkan kuota salinitas jika mereka membeli kredit salinitas dari mereka yang melakukan usaha pengurangan salinitas; yaitu dengan melindungi dan mengelola vegetasi lokal (native vegetation). Contoh lainnya adalah hak pengembangan lahan yang dapat diperdagangkan. Inipertama kali dimulai di daerah urban di Amerika. Selanjutnya adalah perdagangan kredit mitigasi lahan basah dan skema perdagangan nutrisi yang muncul di beberapa negara bagian di Amerika.

Apa yang diperlukan agar mekanisme pasar  dapat memberi perlindungan bagi daerah aliran sungai

Sudah disebutkan di atas bahwa seperti pendekatan intervensi pemerintah, pendekatan mekanisme pasar juga akan gagal bila sejumlah faktor tidak diperhitungkan. Dalam merancang proyek “Rewarding Upland Poor for Environmental Services They Provide” (RUPES), the World Agroforestry Centre memahami adanya beberapa langkah dan proses

yang harus diambil untuk menciptakan perjanjian jasa DAS yang berhasil. Termasuk di dalamnya adalah mengidentifikasi dan memastikan jasa lingkungan yang akan disediakan berikut penyedia dan penggunanya. Hal ini juga berarti menemukan mekanisme pemberian imbalan yang sesuai – apakah itu bersifat finansial atau tidak, yang mampu menciptakan kerangka kebijakan dan kelembagaan yang dapat mendukung skema transfer lingkungan yang efektif.

Jasa DAS – pemisahan antara fakta dengan fiksi

Membedakan fakta dengan fiksi, dan menyebarkan opini bahwa hutan memainkan peran positif dalam penyediaan jasa DAS harus menjadi titik awal dalam pengembangan pasar. Dalam studi pengalaman Costa Rica (Costa Rica dapat dikatakan sebagai negara yang paling maju dalam mengembangkan pembayaran jasa lingkungan), terlihat bahwa pengembangan pasar dan sistem pembayaran yang didasarkan pada pondasi yang kokoh berpotensi paling besar untuk dikembangkan dan direplika tempat lain. Lalu, pasar yang dikembangkan berdasarkan fakta yang umumnya sudah diterima (conventional wisdom) juga memiliki potensi yang bagus.

Bila pasar dan pembayaran dibangun atas dasar estimasi nilai jasa lingkungan yang salah atau tidak dapat dipertangungjawabkan, maka hal ini tidak hanya menimbulkan kegagalan dan kekecewaan bagi mereka yang terlibat, tetapi juga akan berdampak pada proses yang lebih luas yaitu pasar jasa lingkungan dalam arti luas atau bahkan sesungguhnya akan mendatangkan nilai negatif bagi agenda lingkungan yang lebih luas lagi (Rojas and Aylward, 2003).

Dalam pengembangan lokasi untuk Program RUPES diketahui bahwa hubungan sebab akibat antara pengelolaan/pemanfaatan lahan dan penyediaan jasa lingkungan belum dipahami secara jelas. Membedakan dampak yang ditimbulkan manusia terhadap DAS (penebangan hutan, penggembalaan, pertanian tebang bakar, pemadatan tanah (soil compaction), pembangunan jalan, dan berbagai kegiatan konstruksi lainnya) dari kondisi alamiah merupakan tantangan ke depan.

Selain sulit, mengukur semua keterkaitan antara kegiatan pemanfaatan lahan dan dampak jasa DAS yang ditimbulkannya memang tidak diperlukan sepanjang ada kesepakatan antara multi pihak di hulu dan hilir mengenai keterkaitan-keterkaitan mana yang terpenting. Namun, pengguna harus diberi penjelasan adanya variabilitas alamiah dan berbagai ketidakpastian di dalam proses-proses DAS, dan hasilnya mungkin tidak akan dapat dirasakan dalam waktu segera. Ini diperlukan supaya harapan dapat dibuat tetap realistik. Maka dari itu diperlukan penilaian (assessment) yang spesifik sesuai lokasi (site-specific) sehingga rencana pengelolaan dibuat berdasarkan pada informasi akurat yang diperoleh dari sumber yang ada (The Conservation Alliance, 2002).

Penyedia jasa

Penyedia jasa DAS biasanya adalah pihak yang menentukan/membuat keputusan tentang bagaimana lahan dimanfaatkan. Ciri khusus para pembuat keputusan ini adalah kemampuan mereka dalam mendukung jasa hidrologis DAS karena keterlibatan mereka dalam kegiatan pengelolaan lahan secara berkelanjutan, atau sebaliknya, menghilangkan/melenyapkan jasa tersebut karena kegiatan mereka yang mengarah pada degradasi lahan (The Conservation Alliance 2003).

Namun, penyedia jasa lingkungan bukanlah kelompok yang homogen. Masing-masing memiliki pandangan berbeda-beda mengenai jasa yang dapat mereka sediakan tergantung pada tingkat taraf hidup, akses terhadap lahan, kepemilikan atau hak atas lahan, dan kemampuan menyediakan jasa lingkungan (yang dipengaruhi oleh kemampuan tanah seperti struktur lahan dan kemiringan). Penting dipastikan agar penyedia menyadari dan mengetahui jasa yang dapat mereka sediakan dan bahwa terdapat pasar untuk jasa tersebut. Supaya pasar dapat dimanfaatkan, para penyedia harus tahu cara menjual jasa (karenanya harus paham tentang pasar dan bagaimana berpartisipasi dalam penciptaan dan pengelolaan pasar supaya berkelanjutan). Mereka juga harus dilibatkan dalam pemantauan fungsi DAS karena tanpa itu hubungan dengan pembeli akan terganggu.

Pengguna jasa

Dalam sebuah kajian mengenai pasar perlindungan DAS, Landell-Mills dan Porras (2002) mencatat bahwa mayoritas pembeli jasa DAS adalah orang-orang yang berasal dari daerah setempat. Hal ini tidak mengherankan mengingat adanya berbagai halangan yang muncul terkait dengan pasar yang secara geografis letaknya menyebar. Di dalam suatu daerah tangkapan yang lebih luas, yang makin merenggang tidak hanya hubungan hidrologis antara kegiatan di daerah hulu dengan dampak di daerah hilir, tetapi juga hubungan yang dirasakan antara pemanfaat dan penyedia. Pada akhirnya, jika masyarakat hilir tidak yakin bahwa merela telah memperoleh sesuatu dari apa yang dilakukan di hulu, maka mereka tidak akan mau membayar. Selanjutnya, walaupun keinginan membayar ada, bila DAS melintasi batas-batas politik (misalnya lintas negara ataupun hanya negara bagian), halangan semacam ini juga memungkinkan gagalnya pembayaran.

Permintaan merupakan pendorong di balik penciptaan pasar. Ini dibuktikan dalam lebih dari 50% kasus yang diulas oleh Landell-Mills and Porras. Persepsi bahwa hutan memainkan peran penting dalam menjaga kualitas dan ketersediaan air merupakan faktor penting yang mendasari keinginan/tuntutan agar hutan di daerah tangkapan utama dikelola dengan baik. Kesediaan membayar datang dari kalangan pemerintah dan swasta yang memiliki tanggung jawab menyediakan air bersih dan mengelola pembangkit listrik tenaga air, juga dari masyarakat pertanian di daerah hilir yang mengharapkan air selalu tersedia untuk irigiasi mereka, serta kelompok besar pengguna air untuk keperluan domestik dan industri.

Namun, perlu juga dipahami bahwa masing-masing pemangku kepentingan DAS juga memiliki permintaan yang unik atau berbeda-beda. Air untuk kebutuhan domestik, pembangkit listrik, perikanan dan untuk penjagaan ekosistem merupakan beberapa contoh. Masing-masing pengguna mempersyaratkan kualitas dan kuantitas air menurut jenis kebutuhannya. Bahkan untuk kebutuhan pembangkit listrik saja, kebutuhan dan permintaan dapat berbeda-beda. Pembangkit a run-of-river tertarik untuk memaksimalkan persediaan air di DAS dan menyediakan aliran yang reguler sepanjang hari – pembangkit peaking dengan fasilitas tampungan harian lebih tertarik untuk memaksimalkan aliran harian dalam musim kering – sementara an inter-annual storage reservoir lebih tertarik untuk memaksimalkan aliran total tahunan karena kemampuannya menyimpan air sepanjang waktu (Rojas and Aylward 2003).

Kesimpulannya, pengguna perlu merasa yakin bahwa dana yang dikumpulkan untuk pengelolaan DAS memang digunakan untuk menjaga dan meningkatkan DAS dan kualitas jasa DAS. Mereka perlu tetap yakin bahwa sumber air akan tetap bisa diandalkan dan bahwa organisasi pelaksana melakukan tugasnya secara jujur dan adil.

Kebijakan dan kelembagaan pendukung

Pengembangan skema pengakuan dan pemberian imbalan jasa DAS tergantung pada adanya kerangka regulasi dan hukum yang memadai. Supaya mekanisme transfer jasa lingkungan dapat diterapkan, diperlukan lingkungan kebijakan yang kondusif secara keseluruhan. Supaya transfer imbalan kepada masyarakat penyedia jasa lingkungan dapat dilaksanakan secara sistematik, maka hambatan yang ada harus diidentifikasi dan ditanggulangi. Hambatan dalam hal ini dapat berupa kurangnya kemauan politis, tidak adanya kerangka hukum yang mendukung, sumber dana yang kurang, dan bahkan juga kurangnya minat dan komitmen masyarakat. Hambatan institusional, seperti adanya kerancuan dan kekacauan jurisdiksi di antara masing-masing lembaga pemerintah yang berbedabeda berkaitan dengan regulasi jasa lingkungan, perlu pula ditangani.

Pengelolaan DAS di Indonesia dan Filipina merupakan contoh yang tepat. Di sini, beberapa unit atau dinas pemerintah diberi tanggung jawab mengelola dan menjaga jasa lingkungan DAS. Hal ini berpotensi menimbulkan kompleksitas dalam proses negosiasi imbalan. Contoh lainnya adalah potensi biaya peluang (opportunity costs) yang harus dikeluarkan oleh beberapa atau semua institusi yang stafnya kadang tergantung pada usaha pengambilan keuntungan semata untuk menambah pendapatan. Lebih buruk lagi bila transparansi kelembagaan dalam pengelolaan imbalan yang bersifat finansial tidak ada. Hal ini akan membuat hilangnya kepercayaan di dalam proses yang dilakukan. Hal lain yang berkaitan dengan isu kelembagaan adalah kurangnya kemampuan lembaga berbasis masyarakat untuk mengelola imbalan dengan cara-cara yang adil dan transparan. Hambatan politis dapat pula muncul dalam bentuk masyarakat yang menerima imbalan jasa lingkungan yang dilakukannya supaya memberikan dukungan politik pada saat pemilihan umum.

Kesepakatan jasa lingkungan yang melibatkan masyarakat pedesaan mungkin akan lebih berhasil bila diciptakan dan dikelola di tingkat yang lebih tinggi daripada desa. Kesimpulan ini didasarkan pada asumsi tingginya biaya transaksi dalam melaksanakan perjanjian yang terpisahpisah dengan jumlah unit lokal yang banyak. Badan-badan yang dibentuk di tingkat yang tidak sekedar lokal atau bahkan nasional akan efektif dalam mengumpulkan investasi dari pemangku kepentingan nasional maupun lokal. Dana yang dikumpulkan lalu didistribusikan kepada masyarakat dengan mengikuti aturan-aturan di dalam kesepakatan. Pendekatan seperti ini sedang dilaksanakan di Costa Rica.

Perlu pula dicatat bahwa kebijakan seperti itu memerlukan waktu untuk disusun dan perlu dibuat pada berbagai tingkatan.

Pasar jasa DAS di Indonesia

Tahapan pembentukan pasar jasa DAS

Pengembangan pasar jasa hutan dalam banyak hal sama dengan pengembangan pasar baru lainnya. Namun, seperti yang digarisbawahi oleh Powell et al. (2002) prosesnya berbeda dalam beberapa aspek pokok. Tidak dapat dipungkiri bahwa kecakapan entrepreneurship dengan segenap hambatan dan kesempatan yang ada akan sangat menentukan kecepatan dan luasan pengembangan pasar. Hal ini tidak berbeda dalam konteks pengembangan pasar lainnya. Tetapi karena saat ini hampir semua jasa hutan dianggap sebagai barang publik (gratis), maka pengembangan pasar jasa hutan menjadi berbeda karena erat kaitannya dengan bagaimana merubah barang atau jasa yang sebelumnya dapat diperoleh dengan gratis menjadi komoditas atau properti yang harus dibayar bila ingin mendapatkannya. Tidak dapat dihindarkan lagi bila proses ini merupakan suatu proses politis dimana hak dan tanggung jawab setiap pemangku kepentingan perlu dibicarakan, peraturan baru dibuat, dan wacana baru dikembangkan. Proses in berlangsung dalam tiga tahapan besar yaitu:

Pada tahapan pertama, keterkaitan antara kegiatan kehutanan dan dampak yang ditimbulkannya mulai terlihat dan menarik perhatian. Biasanya, seorang entrepeneur sektor publik ataupun privat, sebagai individu atau kelompok, akan berinisiatif memimpin dan melakukan mobilisasi guna memberi informasi tentang kesempatan dan permasalahan yang ada kepada semua pemangku kepentingan. Langkah  ini akan memunculkan keinginan untuk membayar agar terlindungi dari permasalahan dan menjadi dasar bagi pemangku kepentingan yang berminat untuk bernegosiasi.

Pada tahapan kedua, struktur didefinisikan. Proses dan aturan pendukung mulai ada. Kecuali dalam perjanjian atau kesepakatan yang betul-betul bersifat privat, penyusunan regulasi dipastikan memerlukan proses politik. Regulasi inilah yang akan menentukan jasa, menetapkan hak dan kewajiban dari masing-masing pemangku kepentingan yang terlibat dan menjadi dasar untuk negosiasi pembayaran.

Dalam tahapan terakhir, pasar mulai hidup. Transaksi berjalan dan uang berpindah tangan. Kontrak dan kesepakatan jasa dibuat bersamaan dengan kelembagaan yang diperlukan seperti standar akunting, mekanisme pemantauan dan sertitifikasi.

Dalam kenyataannya, pola yang sudah jelas seperti itu seringkali terkaburkan karena banyaknya intervensi dari multi pihak dan adanya beragam kegiatan dalam tahapan yang berbeda-beda. Lagipula, prosesnya bersifat berulang, bergerak maju dengan kecepatan yang berbeda-beda dalam konteks yang berbeda-beda, dan dalam kasus lain mengalami kemunduran (Powell et al. 2002).

Studi kasus di Indonesia

Dalam suatu tinjauan tentang pasar jasa DAS di Indonesia (Suyanto et al., 2004, draft ) diketahui bahwa pengembangan jasa lingkungan di Indonesia masih dalam tahapan awal. Masih sangat sedikit studi kasus yang sudah mengimplementasikan pasar jasa lingkungan. Demikian pula studi-studi yang mengemukakan atau merancang inisiatif pasar jasa lingkungan juga masih sangat kurang. Tetapi, sudah mulai terdapat lebih banyak lagi berbagai inisiatif, proyek, dan penelitian berkaitan dengan pengembangan pasar jasa lingkungan.

Yang turut berpengaruh dalam eksplorasi mekanisme pasar jasa lingkungan di Indonesia adalah perubahan kebijakan nasional di berbagai sektor yang mendorong terciptanya suatu iklim yang mendukung pegelolaan dan pendanaan sumberdaya alam berbasis lokal. Pada bulan April 1999, Pemerintah Indonesia menyusun Letter of Sector Policy and Policy Reform Matrix, yang menjadi dasar bagi Indonesia Water Resources Sector Adjustment Program (WATSAP) yang sedang dilaksanakan.

Reformasi Undang-undang No. 11/1974 tentang sumberdaya air dan berbagai peraturan yang dibuat berdasarkan Undang-undang tersebut diharapkan akan memperkuat kembali peran pemerintah. Yang lebih mendasar lagi, pemberian kewenangan berbagai fungsi pembuatan keputusan dan kontrol anggaran dari pemerintah pusat ke daerah (Otonomi Daerah) sejak tahun 2000 merupakan salah satu proses desentralisasi yang paling ambisius yang pernah dilakukan oleh suatu negara (yaitu memfasilitasi kemunculan solusi lokal atas permasalahan pengelolaan sumberdaya alam). Dalam sektor air, proses reformasi kebijakan yang sedang berlangsung berpusat pada tema integrasi pengelolaan air − integrasi di antara semua sektor dan di antara multi pihak. Dalam sektor kehutanan, pemerintah pusat sudah mulai melakukan investasi sebagai perwujudan komitmennya dalam pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat (Munawir 2003, draft).

Berikut ini disajikan empat contoh skema pembayaran DAS untuk menunjukkan indikasi perkembangan pasar jasa DAS di Indonesia.

Iuran tahunan PT INALUM kepada Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara untuk konservasi lahan di sekitar Danau Toba

PT Indonesia Asahan Alumunium (INALUM) − sebuah perusahaan pengolahan alumininium dan pembangkit energi − adalah perusahaan investasi Jepang di Sumatera Utara, Indonesia. Listrik diproduksi dengan memanfaatkan air dari Danau Toba di PLTA Asahan. Energi listrik yang dihasilkan digunakan untuk industri aluminium dan dijual ke masyarakat umum (80% dari total produksi di Sumatera Utara). Sejak 1985, INALUM memberikan sumbangan bagi pembiayaan konservasi Danau Toba melalui Dana Konservasi Alam Danau Toba. Dana dari INALUM digunakan untuk merehabilitasi lahan kritis di lima kabupaten dalam kawasan tangkapan Danau Toba dan daerah aliran sungai di Asahan dan Tanjung Balai.

Empat komponen iuran tahunan dipergunakan untuk konservasi Danau Toba. Tiga komponen pertama merupakan iuran tetap sejumlah USD 2.6 juta berupa Pajak Bumi dan Bangunan, Iuran Jasa Air dan pajak lainnya yang disetorkan kepada pemerintah kabupaten maupun provinsi. Komponen keempat merupakan komponen tambahan yang dihitung berdasarkan selisih nilai tukar mata uang Rupiah dan US Dollar dalam penjualan produk PT INALUM.

Pada tahun 2002, iuran tambahan mencapai jumlah 23 milyar rupiah. Dengan demikian, jumlah keseluruhan dana yang diperoleh dari PT INALUM adalah 49 milyar rupiah. Walaupun jumlah ini besar sekali, namun pengukuran untung-biaya riil dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh perusahaan sebenarnya tidak ada, karena biaya yang dikeluarkan untuk air yang digunakan sangatlah murah (Rp. 5.18 per meter kubik) dibandingkan dengan tarif umum antara Rp 75 − Rp 100 per meter kubik. Dalam setahun PLTA Asahan menggunakan sekitar 2,9 milyar meter kubik air.

Ijin pengelolaan lahan negara kepada masyarakat lokal penyedia fungsi DAS di DAS Besay hulu di Sumberjaya, Lampung

Di kawasan ini terdapat empat zone hutan pemerintah yang membentuk ekosistem hulu DAS. Tekanan populasi terhadap areal hutan pemerintah sangat tinggi sebagai akibat perselisihan status lahan, kemiskinan, kurangnya infrastruktur ekonomi, permintaan pasar terhadap komoditi kopi, dan rasio lahan pertanian-petani. Konversi hutan dianggap salah karena dituding sebagai sumber erosi dan sedimentasi Way Besay yang mempengaruhi PLTA di daerah hilir. Selain itu, terdapat semacam ketidakpercayaan masyarakat setempat terhadap pemerintah sebagai akibat dari kebijakan represif dalam pemindahan penduduk dari hutan di masa lalu.

Pada tahun 2000, ICRAF dan sebuah LSM lokal, Watala, memulai kerjasama untuk membangun kembali kepercayaan antara masyarakat lokal dengan pemerintah dalam rangka menyiapkan modal sosial dan menciptakan ruang untuk dialog, negosiasi, dan kerja sama dalam pengelolaan sumberdaya alam terintegrasi (Negotiating Support System for Integrated Natural Resource Management). Program Hutan Kemasyarakatan  (HKm) − merupakan program yang dikembangkan oleh pemerintah – digunakan sebagai pintu masuk (entry point) untuk mencari pemecahan konflik penguasaan lahan (land tenure) yang didasarkan pada rasa saling percaya.

Kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan HKm dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan dalam bentuk Surat Keputusan No. 31/Kppts- II/2000 yang memberi izin untuk memperoleh HKm (HKm Initial License) tahap awal. Dalam kebijakan tersebut diperlukan persyaratan yaitu pembentukan kelompok di antara anggota masyarakat yang menginginkan ijin HKm. Setelah kelompok terbentuk, proses selanjutnya adalah penyusunan aturan dan rencana kerja kelompok. Kelompokkelompok tersebut lalu menentukan kawasan pengelolaan melalui kegiatan pemetaan secara partisipatoris dan selanjutnya mengajukan proposal ke Departemen Kehutanan.

Dalam pelaksanaan HKm, kendala utama yang dihadapi adalah adanya kebijakan yang berubah-ubah (tidak konsisten) dan keterbatasan sumberdaya. Departmen Kehutanan pusat belum menyetujui wilayahwilayah hukum HKm yang diajukan oleh pemerintah kabupaten/provinsi. Di samping itu, mereka juga mengakui bahwa saat ini masih kekurangan sumberdaya manusia dan sumberdaya keuangan dalam pengembangan HKm. Dari pihak masyarakat diketahui adanya keluhan mengenai kurangnya sosialisasi kebijakan HKm dan proses pengajuan lisensi yang berbelit-belit, menghabiskan waktu dan tenaga. Dukungan dari pihak luar seperti lembaga penelitian atau LSM masih sangat diperlukan. Dalam hal proses monitoring dan evaluasi HKm, belum ada proses partisipatif yang dilakukan. ICRAF dan mitra kerjanya sedang bekerja untuk membangun mekanisme proses monitoring dan evaluasi HKm yang partisipatif termasuk kriteria dan indikatornya.

Beberapa inisiatif untuk mendukung pengembangan HKm sudah dilakukan pemerintah (Departemen Kehutanan) dan masyarakat. Pemerintah sudah memulai beberapa langkah sosialisasi HKm dan memberikan dukungan melalui bantuan bibit spesies tanaman multiguna (multi purpose tree species/MPTS). Masyarakat merespon langkah pemerintah tersebut dengan ikut aktif dalam rehabilitasi hutan di kawasan HKm menggunakan bibit dari Departemen Kehutanan atau melalui inisiatif pengadaan bibit dalam kelompok masing-masing. Saat ini terdapat 12 kelompok HKm (atau 1035 petani sebagai anggotanya) di bawah dampingan ICRAF dan Watala. Tiga kelompok sudah memperoleh HKm Initial License yang berlaku selama 5 tahun, diterbitkan oleh Bupati Lampung Barat dan menjadi kelompok HKm pertama di Indonesia yang diberikan izin oleh Bupati berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001.

Menjaga mata air alam dengan penanaman tumbuhan varietas lokal

Di Bandung, Jawa Barat, hampir separuh dari 23 sumber air yang ada lenyap karena polusi air dan eksploitasi serta penggunaan yang berlebihan. Berkurangnya keanekaragamanhayati, rendahnya kualitas dan tingginya polusi air terutama disebabkan oleh bahan kimia untuk pertanian dan limbah domestik. Kerusakan kualitas air saat ini memang sudah berada pada tingkat mengkhawatirkan. Lagipula, tidak ada informasi yang cukup tentang bagaimana menggunakan dan mengelola sumber-sumber air.

Proyek ini bertujuan untuk melakukan konservasi sumber-sumber air dengan melibatkan masyarakat di sekitar sumber air sekaligus sebagai upaya menciptakan pendapatan tambahan bagi mereka. Proyek berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat dan menyediakan informasi akan pentingnya konservasi alam. Sebagai indikasi keberhasilan program, sudah ada upaya replikasi di beberapa tempat di Jawa Barat.

Pembeli potensial, dalam hal ini adalah Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan konsumennya dengan memberikan imbalan kepada masyarakat di sekitar sumber air dalam bentuk non-finansial, seperti pelatihan bagaimana meningkatkan pendapatan melalui wanatani dan bagaimana menerapkan teknologi sederhana dalam menjaga lingkungan.

Sembilan kelompok tani (total 125 anggota) sudah dibentuk di lima lokasi proyek. Mereka didorong untuk menaman tanaman tahunan (perenial) yang produtif seperti pohon buah-buahan, kopi, coklat dan cengkeh, dikombinasikan dengan tanaman obat-obatan yang tahan naungan dan tanaman pangan, dengan menggunakan pupuk organik. Sistem ‘longyam’ (balong ayam) yang dikenal sangat efektif yaitu dengan membangun kandang ayam di atas kolam ikan diperkenalkan untuk mengurangi polusi air dari kotoran ayam dan sekaligus mengurangi penguapan kolam yang berlebihan. Kegiatan lain termasuk membangun infrastruktur seperti sanitasi dan sistem air bersih, dan pemurnian limbah cair organik dengan menggunakan metode sederhana. Sejalan dengan kegiatan tersebut, masyarakat juga dilatih untuk tidak membuang sampah di sungai atau kolam air.

Pembelajaran untuk mengembangkan dan menguji transaksi huluhilir untuk jasa perlindungan DAS: laporan diagnostik dari DAS Segara, Indonesia

Tujuan utama proyek ini adalah mendorong pemeliharaan jasa air untuk mendukung kehidupan masyarakat lokal. Proyek ini dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman tentang peran potensial pendekatan berbasis pasar dalam mendorong penyediaan jasa DAS untuk peningkatan kehidupan di Indonesia, terutama di DAS Segara, Lombok.

Walaupun hanya pada tataran yang masih awal serta masih sangat sederhana dari sisi informasi hidrologis, mekanisme yang menghubungkan pengguna air di daerah hilir dan para pengelola lahan di hulu DAS Segara sudah ada. Misalnya, sejumlah skema pembayaran untuk pendanaan infrastruktur irigasi (Sawinih atau uang irigasi dan iuran operasional) yang dibayarkan oleh petani yang memiliki lahan irigasi dan sudah dikelola oleh enam kelompok pengguna air irigasi. Akan tetapi, masyarakat hulu belum memperoleh apa-apa.

PDAM membayar pajak kepada pemerintah daerah di desa Bentek sebagai kompensasi kepada warga yang lahannya dilalui instalasi pipa air. Bersama dengan Lombok Inter-Rafting Company, sejumlah pembayaran disalurkan untuk pembangunan desa melalui aparat pemerintah desa. Jumlah yang diberikan oleh PDAM adalah Rp 2 juta pada tahun 2001 dan  Rp 5 juta pada tahun 2002, sementara Lombok Inter-Rafting Company memberikan sejumlah Rp 600.000/desa/tahun. Umumnya, dana tersebut dimanfaatkan untuk membayar gaji petugas penjaga hutan, penanaman pohon, dan subsidi berbagai kegiatan sosial di desa.

Tradisi masyarakat Bentek menunjukkan bahwa mereka penuh perhatian terhadap perlindungan hutan. Setiap tahun, masyarakat setempat mengadakan perayaan Sedekah Gumi Paer. Perayaan ini bermula dari tradisi adat dan keagamaan yang bertujuan untuk menjaga anggota masyarakat dari bahaya bencana alam dan penyakit. Baik masyarakat Muslim maupun Hindu di Bentek, keduanya berpastisipasi dalam acara tersebut.

Desa Bentek sudah lama menerapkan hukum warisan leluhur mereka sebagai dasar pembuatan hukum adat pengelolaan sumberdaya alam – biasa disebut “awiq-awiq” − untuk melindungi DAS. Lebih jauh lagi, usaha ini ditujukan untuk membangun hubungan baik antara masyarakat hulu pengelola hutan dengan masyarakat hilir pengguna air seiring dengan program-program pemerintah daerah, karena selama ini mereka tidak terlibat dalam pengembangan mekanisme yang ada.

Kesimpulan

Peran pasar dan mekanisme pasar dalam menjaga agar distribusi keuntungan dan biaya dapat dilakukan secara adil dan bijaksana akan sangat tergantung pada berbagai faktor. Peran pemerintah dalam mendanai usaha-usaha perlindungan DAS tetap menjadi hal pokok. Berbagai keuntungan sosial lainnya yang disediakan oleh suatu sumber air mungkin tidak akan pernah dapat diatur melalui penerapan mekanisme pasar. Namun, dengan mempertimbangkan berbagai keterbatasan yang dihadapi pemerintah dan kecenderungan desentralisasi pengelolaan sumberdaya alam − termasuk barang dan jasa DAS − yang paling penting adalah jaminan agar semua pemangku kepentingan dilibatkan, dikumpulkan, dan sekaligus memiliki kemampuan dalam proses menemukan mekanisme dan pelembagaan yang paling tepat dan efisien.
91

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.