Kelembagaan DAS

Roosganda Elizabeth

PENGUATAN DAN PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN PETANI MENDUKUNG PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KEDELAI

Oleh: Roosganda Elizabeth
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian,  Jl. A. Yani No. 70. Bogor 16161; roosimanru@yahoo.com

ABSTRACT

Soybean requirement and trend request experience of high growth fast as along as its[his] [is] food and livestock food industrial growth, but domestic soy production unable to be fulfilled. Decreasing domestic soybean produce anticipated by soybean real price decline in producer level effect. This article aim to perspective propose reinforcement and empowerment farmer institute in order to supporting soybean agribusiness development. Attainment sufficiency self and development of soybean agribusiness realize of potency level and extension opportunity of plant area improvement of produce efficiency and the product quality. Institute development analyze own wide implication to attainment agriculture and countryside development efficacy, but policy maker understanding it still be very low. Needed evaluating policy agriculture institute development from aspect, implication which can be big for improvement of rural resource competitiveness and agribusiness developed. Policy proposed device especially by: 1) analyze social relationship, economic, and cultural, in studying rural traditional institute potency; 2) alternative policy analyze of rural development considering indigenous knowledge and local knowledge; 3) needed agriculture and rural institute empowerment which strive farmer independence creation, improvement of household income, agriculture agribusiness product development.

Keyword: reinforcement and empowerment, institute, development, soybean agribusiness.

ABSTRAK

Kebutuhan dan trend permintaan kedelai di dalam negeri dan volume ekspor mengalami pertumbuhan cukup tinggi seiring pesatnya perkembangan industri pangan dan pakan olahan berbahan baku kedelai, namun tidak mampu dipenuhi produksi kedelai domestik. Relatif rendahnya produksi kedelai domestik diprediksi akibat merosotnya harga riil kedelai di tingkat produsen. Tulisan ini bertujuan untuk mengemukakan perspektif penguatan dan pemberdayaan kelembagaan yang terkait dengan petani di perdesaan dalam rangka mendukung pengembangan agribisnis kedelai. Pencapaian swasembada dan pengembangan agribisnis kedelai masih terbuka lebar dengan melihat besarnya potensi dan peluang perluasan areal tanam (ekstensifikasi dan intensifikasi), peningkatan efisiensi produksi dan kualitas produk. Pengembangan analisis kelembagaan memiliki implikasi luas terhadap pencapaian keberhasilan pembangunan pertanian dan perdesaan, namun pemahaman perancang, pengambil, dan pelaksana pembangunan terhadapnya masih sangat rendah. Perlunya mengevaluasi kebijakan pembangunan pertanian dari aspek kelembagaan, yang dapat berimplikasi besar bagi peningkatan daya saing SDM perdesaan dan pengembangan agribisnis produk pertanian. Rancangan kebijakan yang diusulkan terutama dengan: 1)melihat relasi sosial, ekonomi, dan budaya, dalam mengkaji potensi kelembagaan tradisional pertanian di perdesaan; 2)mengkaji alternatif kebijakan pembangunan dan perdesaan yang mempertimbangkan indigenous knowledge (kearifan lokal) dan local knowledge (pengetahuan lokal); 3)pemberdayaan kelembagaan pertanian dan perdesaan diperlukan sebagai upaya penciptaan kemandirian petani, peningkatan pendapatan rumahtangga, pengembangan agribisnis pertanian.

Kata kunci: penguatan dan pemberdayaan, kelembagaan, pengembangan, agribisnis kedelai.

PENDAHULUAN

Re-exposure of 0t1

Kebutuhan kedelai di dalam negeri terus meningkat seiring pesatnya perkembangan industri pangan dan pakan olahan berbahan baku kedelai. Sebagai bahan  pangan, kedelai mengandung protein nabati yang sangat tinggi nilai gizinya, mengandung zat radikal bebas yang tinggi sehingga sangat bermanfaat bagi kesehatan dan sangat aman untuk dikonsumsi. Sekitar 80% penduduk Indonesia (terutama di Jawa)  mengkonsumsi makanan olahan kedelai (fermentasi dan non fermentasi), seperti: susu kedelai, tempe, tahu, kecap, tauco, abon kedelai, daging tiruan/meat analog (untuk  vegetarian), minyak dan bungkil kedelai, dan berbagai bentuk makanan ringan/snack (keripik, rempeyek, dll). Berbagai produk kosmetik dan kesehatan mencantumkan kedelai dalam komposisi bahan bakunya. Berkembangnya industri peternakan dan pakan  ternak yang menggunakan bahan baku bungkil kedelai sebagai sumber protein penting dalam komposisi pakan unggas setelah jagung (Tangendjaja, et al, 2003).

Selama dua dekade terakhir, trend permintaan kedelai mengalami pertumbuhan  yang cukup tinggi. Produksi kedelai domestik hanya sekitar 0,71 juta ton sedang total  kebutuhan mencapai 2,02 juta ton (tahun 2004), sehingga dipenuhi dengan mengimpor 1,13 juta ton (Damardjati, et al, 2005). Relatif rendahnya produksi kedelai domestik diprediksi akibat merosotnya harga riil kedelai di tingkat produsen. Penurunan harga riil  diduga karena kebijakan liberalisasi impor kedelai dengan tarif 0% yang menyebabkan harga kedelai impor lebih murah dibanding harga kedelai lokal.

Re-exposure of 0t2

Merosotnya harga jual kedelai di tingkat petani dan relatif tidak stabil tentu mempengaruhi dan menyurutkan minat petani untuk mengusahakannya. Hal tersebut mengakibatkan areal panen kedelai cenderung terus menurun dari sekitar 1,48 juta ha (tahun 1995) menjadi 0,55 ha (2004) dengan laju penurunan sekitar 10% per tahun, di samping akibat tingginya konversi lahan produktif ke penggunaan non-farm.  Meningkatnya volume impor kedelai disebabkan kontiniutas dan relatif murahnya harga kedelai impor (dari AS), kualitas terjamin, dan tidak adanya tarif impor.

Re-exposure of 0t3

Dari segi perolehan pendapatan bersih sekitar Rp.2,1 juta/ha per musim tanam, sebenarnya prospek usahatani kedelai relatif baik. Peluang pengembangan agribisnis kedelai domestik juga masih sangat terbuka mengingat ketersediaan sumberdaya lahan, kesesuaian ekosistem lahan pertanian di Indonesia, dan tingginya market demand bagi pengusahaan kedelai. Untuk peningkatan produksi dan produktivitas kedelai, diperlukan strategi kebijakan melalui: perluasan areal tanam, peningkatan efisiensi produksi dan kualitas produk, pengembangan infrastruktur, serta penguatan dan pemberdayaan kelembagaan pendukungnya terkait petani di perdesaan (termasuk dukungan stabilisasi pemasaran dan tingkat harga yang menguntungkan sebagai insentif dan keberpihakan bagi petani produsen).

Re-exposure of 0t4

Tulisan ini bertujuan untuk mengemukakan perspektif penguatan dan pemberdayaan kelembagaan yang terkait dengan petani di perdesaan dalam rangka mendukung pengembangan agribisnis kedelai. Tidak dapat dipungkiri bahwasanya berbagai hasil penelitian menunjukkan tercapainya keberhasilan pelaksanaan program kebijakan pembangunan diantaranya melalui sosialisasi dan berperan aktifnya kelembagaan sosial masyarakat dalam proses sosialisasi tersebut. Dari tulisan ini diharapkan dapat melengkapi berbagai hasil kajian ekonomi dan teknis kedelai lainnya.

KONDISI AKTUAL KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN:  MARJINALISASI KELEMBAGAAN PETANI DI PERDESAAN (?)

Pelaksanaan pembangunan pertanian dan perdesaan yang ideal, terbentuk karena  partisipasi dari masyarakat desa (subjek) sebagai sasaran utama. Tujuan utama program  kebijakan pembangunan pertanian untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat di perdesaan. Beberapa strategi pembangunan perdesaan meliputi: 1)peningkatan dan memperluas kesempatan kerja di perdesaan dan daerah urban; 2)peningkatan efisiensi produksi dan produktivitas SDA sehingga bermanfaat, berkelanjutan dan berkesinambungan, terkait perbaikan teknologi, keharmonisan ekologi dan konservasi, memperhatikan lingkungan sosial, politik dan ekonomi (ada relevansi/adaptasi pelaksanaan pembangunan spesifik lokasi); 3)equity, terkait peningkatan aksesbilitas berbagai peluang sumberdaya dan infrastruktur; 5)pemberdayaan, memanfaatkan dan mengembangkan segala potensi yang ada melalui peningkatan kapasitas, kapabilitas kelembagaan masyarakat perdesaan.

Strategi pembangunan yang sentralistik (model top-down), selama tiga dekade terakhir telah memarjinalkan makna dan peran kelembagaan masyarakat lokal, memandulkan inisiatif dan menjauhkan mereka dari sumberdaya sosial-ekonomi yang seharusnya menjadi hak mereka. Sentralistik menyebabkannya bias mengejar pertumbuhan, bias kawasan atau wilayah, kurang memperhatikan aspek sosial (keadilan)  dan budaya (keberlanjutan). Otonomi mereka terampas sehingga tidak mampu berkembang sebagai basis self-propelled development (gerakan perkembangan mandiri). Tanpa kemandirian, jati-diri petani dinegasikan, realisasi diri dan potensinya digerogoti,  yang mencerminkan gejala subordinasi lokal terhadap pusat.

Strategi pembangunan yang sentralistik mencerminkan pola pembangunan yang  konvensional tersebut, ternyata menuai kinerja kelembagaan masyarakat lokal yang rapuh. Berbagai dampak negatif lanjutannya antara lain: 1)terjadinya kontraksi perekonomian (daerah maupun nasional); 2)degradasi sumberdaya alam (lahan dan air); 3)semakin terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha; 4)semakin akutnya kesenjangan antar golongan masyarakat; serta 5)memudarnya kelembagaan tradisional (dan ikatan/ jaringan sosial masyarakat tradisional). Pada akhirnya, semuanya berimplikasi pada lemahnya struktur sosial ekonomi masyarakat yang mayoritas pertanian di perdesaan.  Proses pembangunan justru cenderung menimbulkan kian akutnya differensiasi  sosial dalam kehidupan petani. ”Kebijakan pembangunan lokal”, tak lebih dari penjabaran deduktif dari pembangunan nasional (konteks dan kepentingan masyarakat lokal terabaikan/disubordinasikan terhadap kepentingan nasional). Potensi utama sumberdaya lokal telah dieksploitasi secara korporatis (dalam bentuk perusahaan dan lembaga yang menginduk ke pusat), sehingga kadar keterlibatan masyarakat lokal sangat  kecil baik sebagai pelaku dan pemanfaat hasil pembangunan. Kekeliruan akibat kelalaian disebabkan tidak adanya perencanaan pembangunan perdesaan yang didasarkan pada evaluasi empiris, baik tentang perencanaan itu sendiri maupun tentang target tujuan dimana rencana tersebut akan diterapkan.

Pembangunan perdesaan baru akan mencapai keberhasilan bila melibatkan dan memberdayakan segala bentuk kelembagaan (sosial, adat-budaya) desa dan masyarakat.  Para perencana dan pengambil kebijakan hendaknya meninjau ulang pemikiran bahwa kebudayaan tradisional terkait erat dengan proses sosial, ekonomis dan ekologis masyarakat secara mendasar; bersifat dinamis (selalu selaras dan mengalami perubahan),  karenanya tidak bertentangan dengan proses pembangunan itu sendiri (Dove, 1986). Padahal, jika ditangani secara serius dan tepat, pembangunan pertanian di perdesaan sesungguhnya dapat merecovery sekaligus menjadi tulang punggung (back bone) bagi perkembangan sektor riil dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Hal ini terbukti karena daya dukungnya yang tinggi, mampu bertahan ketika sektor lain ambruk. Upaya pengembangan social network salah satunya dapat dilakukan melalui strategi pemberdayaan kelembagaan tradisional masyarakat dengan mempertimbangkan  kekuatan indigenous dan local konowledge yang selama ini hidup eksis bagi mereka (Elizabeth, 2007a). Strategi pengembangan dan pemberdayaan kelembagaan merupakan  hal urgen dan wajib dilaksanakan dengan partisipasi masyarakat lokal, sebagai salah satu upaya mewujudkan dan memperkuat kemandirian masyarakat perdesaan. Dengan demikian, pembangunan pertanian perdesaan tidak melebarkan kesenjangan antara golongan masyarakat, justru mendorong untuk berproduktivitas tinggi, berdiversifikasi, serta mampu memenuhi pasar komersial.

EMBERDAYAAN KELEMBAGAAN  MENDUKUNG PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KEDELAI

Tercapainya keberhasilan pengembangan agribisnis kedelai berkaitan erat dengan peran kelembagaan sebagai pendukungnya. Berbagai pengertian kelembagaan yang berkembang dalam masyarakat untuk: mengatur perikelakuan para anggota masyarakat yang berlaku di suatu wilayah; dan menggambarkan bentuk susunan (bangunan sosial) dari social institution. Kelembagaan merupakan himpunan norma-norma dan tindakan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok kehidupan bersosial masyarakat, dan membentuk piranti sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia ketika bersosialisasi dalam bermasyarakat. Terdapatnya sanksi terhadap penyimpangan (pelanggaran) sebagai suatu kekuatan (norma) yang digunakan agar para anggota masyarakat mentaatinya.

Lembaga di perdesaan lahir untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakatnya. Sifatnya tidak linier, namun cenderung merupakan kebutuhan individu anggotanya, berupa: kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman (safe), kebutuhan hubungan sosial (social affilination), pengakuan (esteem), dan pengembangan pengakuan (self actualization). Manfaat utama lembaga adalah mewadahi kebutuhan salah satu sisi kehidupan sosial masyarakat, dan sebagai social control, sehingga setiap orang dapat mengatur perilakunya menurut kehendak masyarakat (Elizabeth, 2003).

Pemberdayaan kelembagaan menuntut perubahan operasional tiga pilar kelembagaan: 1)kelembagaan lokal-tradisional yang hidup dan eksis dalam komunitas (voluntary sector); 2)kelembagaan pasar (private sector) yang dijiwai ideologi ekonomi  terbuka; dan 3)kelembagaan sistem politik atau pengambilan keputusan di tingkat publik  (public sector). Ketiga pilar yang menopang kehidupan dan kelembagaan rakyat di perdesaan tersebut perlu me’reformasi’kan diri dan bersinergis agar sesuai dengan kebutuhan yang selalu mengalami perkembangan. Inilah yang dimaksud dengan transformasi kelembagaan sebagai upaya pemberdayaannya, yang dilakukan tidak hanya  secara internal, namun juga tata-hubungan dari keseluruhan kelembagaan tersebut.  Pemberdayaan dan pengembangan kelembagaan di perdesaan, meliputi: 1)pola  pengembangan pertanian berdasarkan luas dan intensifitas lahan, perluasan kesempatan  kerja dan berusaha yang dapat memperluas penghasilan; 2)perbaikan dan penyempurnaan keterbatasan pelayanan sosial (pendidikan, gizi dan kesehatan, dan sebagainya); 3)program memperkuat prasarana kelembagaan dan ketrampilan mengelola kebutuhan perdesaan. Untuk keberhasilannya diperlukan kerjasama antara: administrasi lokal, pemerintah lokal, kelembagaan/organisasi yang beranggotakan masyarakat lokal,  kerjasama usaha, pelayanan dan bisnis swasta yang dapat diintegrasikan ke dalam pasar  baik lokal, regional dan global (Uphoff, 1992).

Pemberdayaan kelembagaan di perdesaan juga mempertimbangkan pendayagunaan faktor penyediaan sarana produksi, bahan baku serta ketrampilan yang dikuasai masyarakatnya (termasuk kebijaksanaan penentuan harga, pelayanan yang terjangkau masyarakat, kebijaksanaan pembinaan industri pedesaan). Kebijaksanaan modal dan investasi harus disesuaikan dengan asas kelangkaan dan kebijaksanaan  subsidi, agar dapat mengurangi dampak negatip penerapan penggunaan barang modal di  perdesaan. Pada hakikatnya, dengan pendekatan penguatan dan pelibatan masyarakat desa dalam pemberdayaan kelembagaan adalah memberi ruang penuh mengartikulasikan  diri mereka dan lingkungannya, sehingga dapat mencari dan menyusun sendiri bangunan diri dan lingkungannya; sesuai realitas sosial masyarakat perdesaan (Elizabeth, 2007b).  Lemahnya kinerja ekonomi perdesaan terutama disebabkan rendahnya kapasitas kelembagaannya, yang tercermin pada masih rendah interaksinya antar kelembagaan, kecilnya akses terhadap kelembagaan modern, dan melemahnya kelembagaan lokal karena tekanan dari luar. Pemberdayaan kelembagaan di perdesaan tidak hanya melalui perubahan struktur, harus dimulai dari masyarakatnya agar menjadi esensial untuk mencapai kesinergisan yang optimum; juga menyangkut perubahan berbagai aspek abstrak yang membentuk perilaku, berupa perubahan sistem nilai, norma, dan orientasi.  Lembaga yang sekarang berkembang di perdesaan merupakan lembaga modern,  karena umumnya telah memiliki: 1)struktur dan tata nilai yang jelas; 2)telah diformalkan  (dengan terdapatnya kepastian anggota dan proses pelaksanaan): 3)adanya aturan tertulis  dalam anggaran dasar dan rumahtangga; 4)adanya kepemimpinan yang resmi; dan 5)biasanya sengaja dibentuk karena tumbuhnya kesadaran pentingnya keberadaan lembaga tersebut. Beberapa kelembagaan pendukung keberhasilan agribisnis kedelai,  seperti: kelompok tani, lembaga tenaga kerja, kelembagaan penyedia input, kelembagaan output, dan kelembagaan permodalan.

Kelompok tani merupakan salah satu lembaga sosial masyarakat di perdesaan, meski masih masih ada, namun umumnya cenderung aktif hanya saat adanya  pelaksanaan suatu program pembangunan. Berbagai informasi pengembangan usahatani  (mulai dari persiapan panen hingga pemasaran kedelai, perkembangan saprodi unggulan,  maupun teknologi) diperoleh dari sesama petani, pedagang saprodi, dan perangkat desa.  Padahal bila diberdayakan, kelompok tani sangat bermanfaat bagi kemajuan petani. Tercapainya keberhasilan pelaksanaan pembangunan pertanian di perdesaan, salah satunya bila dilakukan sosialisasi melalui kelompok tani.

Kelembagaan tenaga kerja di perdesaan juga mengalami dinamika yang cukup pesat dengan terjadinya perubahan dan perkembangan sistem dan tingkat upah. Ekonomi  uang menyebabkan makin lemahnya peran lembaga tradisional ketenagakerjaan, dimana  sifatnya yang dipandang cenderung involutif karena lebih menekankan hubungan produksi dalam bentuk resiprositas. Tekanan ekonomi kapitalis yang makin kuat ke pedesaan, berupa penerapan teknologi modern dan sistem pasarisasi yang mengutamakan efisiensi, bukan saja mengakibatkan makin hilangnya peluang dan kesempatan kerja sebagian besar buruh tani, namun juga kian longgarnya norma dan nilai ikatan sosial masyarakat di pedesaan.

ntuk pengolahan dan persiapan lahan usahatani kedelai umumnya dilakukan dengan sistem borongan atau mekanisasi (traktor) dengan biaya sekitar Rp.700.000 hingga Rp.900.000/ha (tergantung tingkat kesulitan lahan/kondisi fisik dan letak lahan usahatani). Sedang biaya penanaman bisa berbeda antar petani, yang umumnya menggunakan tenaga kerja wanita dengan biaya borongan sekitar Rp.200.000 hingga Rp.350.000/ha. Belum termasuk berbagai biaya lain (input saprodi, pemeliharaan, panen  dan pasca panen) yang dikeluarkan sebelum mengutip hasil panen, sehingga dapat diprediksi besarnya biaya (modal) yang dibutuhkan untuk memulai usahatani kedelai tersebut.

Kelembagaan input merupakan lembaga jasa penyedia input saprodi untuk mendukung usahatani kedelai. Dewasa ini, ketergantungan petani akan saprodi (pupuk dan obat-obatan) sangat tinggi. Banyak petani yang salah mengartikan fungsi keseimbangan dan tingkat dosis pupuk dan obat-obatan dalam usahataninya. Hal ini disebabkan kurang berfungsinya peran lembaga penyuluh sebagai penyampai teknologi bagi petani. Kelembagaan input umumnya juga berperan ganda (multi fungsi) bagi petani, karena selain menyediakan (menjual) saprodi, lembaga ini juga berfungsi sebagai  sumber informasi pengetahuan (teknologi) usahatani, harga, dan berbagai fungsi lainnya, termasuk pembeli hasil produk (output) petani. Sedangkan kelembagaan output merupakan kelembagaan pemasaran yang melayani petani saat menjual hasil produksi kedelainya. Kinerja sistem kelembagaan output adalah merupakan cara kerja sistem pemasaran yang telah kita ketahui selama ini.

Kelembagaan permodalan berperan penting sebagai lembaga pendukung (penyedia) modal untuk membiayai segala aktivitas dalam usaha pengembangan  agribisnis kedelai. Setiap usaha pasti membutuhkan modal untuk mengaktifkannya, terlebih untuk usaha bernuansa bisnis. Lembaga penyedia modal (pemerintah maupun swasta) seperti: bank, koperasi, LPD dan sebagainya, sangat diharapkan oleh petani kedelai demi kelangsungan dan kesinambungan aktivitas usahatani mereka. Pemberdayaan sistem kredit lunak, berbagai kemudahan syarat, dan jangka panjang sangat diharapkan petani kedelai sebagai bentuk keberpihakan dan pendukung pengembangan produktivitas kedelai petani umumnya, dan sektor agribisnis kedelai khususnya.

Pangsa pasar merupakan ukuran yang penting dalam pengembangan agribisnis kedelai, dan menentukan strategi persaingan pasar. Peningkatan pangsa pasar suatu produk mengindikasikan: jaminan pasar bagi produk tersebut; jaminan diperolehnya  keuntungan (karena bertambahnya langganan/pembeli); serta terjaminnya pesanan bagi produk tersebut (Jones, 1965; dalam Elizabeth, 2007b). Pengembangan agribisnis kedelai dapat tercapai bila sistem pemasaran dan kelembagaan mendapat perhatian yang  berpihak, berkesinambungan dan berkelanjutan dari pemerintah dan pihak terkait. Pemasaran, sebagai salah satu subsistem aktivitas agribisnis, diarahkan pada perbaikan mekanisme penentun harga yang layak bagi produsen dan pelaku pemasaran.  Pemasaran diperlukan untuk mengalirkan produk barang/jasa mulai dari produsen hingga konsumen akhir (Kohl dan Uhl, 1990; Dahl, 1997; dalam Elizabeth, 2007b).  Dengan demikan diperlukan kerjasama yang solid antar perantara (lembaga atau pelaku pemasaran) dan konsumen, yang akan menghasilkan keuntungan (marjin) pemasaran (Elizabeth, 2003). Dari konsep tersebut, tercermin aktivitas pendistribusian hasil yang mempermudah dan memperlancar penyampaian barang/jasa dimana penggunaannya meliputi jenis, jumlah, harga, tempat, dan waktu dibutuhkan (Tjiptono, 1998; dalam Elizabeth, 2007b).

Pengkajian pemasaran dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan yang umum  berlaku dalam aktivitas agribisnis, seperti: pendekatan serba barang, pendekatan institusi, pendekatan serba fungsi, pendekatan sistem, dan pendekatan pemasaran. Dalam  tulisan ini pengkajian dilakukan melalui pendekatan sistem dengan menganalisis fungsi-fungsi pemasaran, yang diperkaya dengan pengkajian kelembagaan dan tataniaga pemasaran kedelai yang menggambarkan: pembentukan harga, jalur dan marjin pemasaran.

Lemahnya kinerja kelembagaan penyuluh di perdesaan menyebabkan informasi harga umumnya diperoleh dari sesama petani, pedagang, pasar, dan dari media massa. Meski petani tetap bebas memilih pedagang yang menawarkan harga yang lebih baik dan waktu pembayaran yang lebih pasti (atau sesuai kesepakatan), namun umumnya pihak pedagang tetap mendominasi penentuan harga. Akibatnya bargaining position petani tetap lemah, karena kuatnya relasi antar pedagang yang mendominasi penentuan harga, dan pengaruh lebih banyaknya petani dibanding pedagang, sehingga membentuk  pasar yang cenderung bersifat oligopsoni. Dominasi pedagang terhadap fasilitas pemasaran (alat angkut dan gudang penyimpanan, misalnya), turut menyulitkan petani dalam menentukan pemasaran produknya.

Harga yang terbentuk ditentukan pedagang melalui tiga parameter, yaitu: asalan,  karakteristik mutu, dan kuantitas. Pembentukan harga, dalam prosesnya, dibedakan atas:  transaksi bebas, transaksi implicit contract, dan contract. Melalui implicit contract,  pedagang memelihara hubungan baik dengan petani karena berharap mendapat kontinuitas pasokan kedelai. Beberapa cara yang ditempuh pedagang untuk memperoleh  kedelai, yaitu: 1)pedagang membeli kedelai dengan cara langsung mendatangi petani; 2)pedagang menunggu petani yang membawa kedelainya di tempat transaksi (pasar, atau  tempat khusus/tertentu lainnya); 3)petani mendatangi pedagang pengumpul (tingkat desa, kecamatan, dsb) untuk menjual kedelainya; 4)kombinasi antara ketiganya.

Saluran pemasaran (tataniaga) kedelai umumnya dimulai dari petani yang menjual produknya kepada pedagang desa/kecamatan, pedagang pengumpul, pedagang di pasar/tempat tertentu. Pola perdagangan yang terbentuk adalah struktur pasar oligopsonik dimana pedagang pengumpul yang umumnya menentukan harga pembelian  di tingkat petani dan pedagang desa. Kedelai yang terkumpul dijual pedagang pengumpul kepada pihak distributor (pedagang) domestik dan pihak eksportir yang umumnya berkedudukan di ibukota kabupaten atau provinsi. Oleh pihak eksportir,  biasanya dilakukan grading kembali berdasarkan kualitas yang dinginkan pasar domestik dan internasional, untuk kemudian didistribusikan ke pihak pembeli domestik  maupun internasional.

Marjin pemasaran terjadi karena adanya faktor-faktor biaya pemasaran (pengumpulan, pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, dsb) dan keuntungan, yang akhirnya akan mempengaruhi pembentukan harga jual produk itu sendiri antara petani dan pedagang. Dengan demikian, kemajuan dan pencapaian pembangunan pertanian dan  perdesaan terkait erat dengan upaya pemberdayaan kelembagaan di perdesaan yang mencakup pengembangan berbagai elemen kelembagaan, seperti: kompetensi SDM; tatanilai maju; kepemimpinan (leadership as aprime mover); struktur dan organisasi sosial (terkait dengan sistem kemitraan dan keterlibatan/compliance masyarakat dalam proses pembangunan); manajemen sosial (terkait dengan sistem pengambilan keputusan  yang bersifat kolektif, kerjasama, dan saling mendukung); hukum dan pemerintahan (terkait dengan rasa aman atas dasar hukum, aturan main/memasukkan produk dan inestasi dari luar, law enforcement, dan public trust).

Pengembangan kelembagaan untuk menghasilkan pencapaian kesinambungan dan keberlanjutan daya dukung SDA (marginal sustainability yield) dan berbagai usaha  untuk menopang dan menunjang aktivitas kehidupan, merupakan bagian penting pembangunan pertanian dan perdesaan.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

  • Potensi dan peluang ke arah pencapaian swasembada dan pengembangan agribisnis kedelai masih terbuka lebar dengan melihat besarnya potensi dan peluang perluasan  areal tanam (ekstensifikasi dan intensifikasi), peningkatan efisiensi produksi dan kualitas produk.
  • Pengembangan analisis kelembagaan memiliki implikasi luas terhadap pencapaian keberhasilan pembangunan pertanian dan perdesaan. Namun, sangat disayangkan bahwa pemahaman perancang, pengambil, dan pelaksana pembangunan pertanian dan perdesaan terhadap aspek kelembagaan masih sangat rendah.
  • Perlunya mengevaluasi kebijakan pembangunan pertanian dari aspek kelembagaan, sehingga upaya keakuratan perumusan kebijakan pembangunan ke depan dapat berimplikasi besar bagi peningkatan daya saing SDM perdesaan dan pengembangan  agribisnis produk pertanian.
  • Rancangan kebijakan yang diusulkan terutama dengan: 1)melihat relasi sosial, ekonomi, dan budaya, dalam mengkaji potensi kelembagaan tradisional pertanian di  perdesaan; 2)mengkaji alternatif kebijakan pembangunan dan perdesaan yang mempertimbangkan indigenous knowledge (kearifan lokal) dan local knowledge (pengetahuan lokal); 3)pemberdayaan kelembagaan pertanian dan perdesaan diperlukan sebagai salah satu bentuk upaya penciptaan kemandirian petani, peningkatan pendapatan rumahtangga, pengembangan agribisnis produk pertanian.

DAFTAR PUSTAKA

Damardjati, Dj. S., Marwoto, D. K. S. Swastika, D. M. Arsyad, Y. Hilman 2005.  Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kedelai. Badan Litbang Pertanian.  Departemen Pertanian. Jakarta.

Dove, M. R. (eds). 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam Modernisasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Elizabeth, R. 2007a. Fenomena Sosiologis Metamorphosis Petani: ke Arah Keberpihakan Masyarakat Petani di Pedesaan yang Terpinggirkan terkait Konsep Ekonomi Kerakyatan Forum Agro-Ekonomi (FAE) Vol. 26. Juli. 2007. PSE-KP. Bogor.

Elizabeth, R. 2007b. Restruturisasi Pemberdayaan Kelembagaan Pangan mendukung Perekonomian Rakyat di Perdesaan dan Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Makalah Simposium Tanaman Pangan V. 29-29 Agustus 2007. Puslitbangtan Pertanian. Bogor.

Elizabeth, R., V. Darwis. 2003. Karakteristik Petani Miskin dan Persepsinya terhadap Program JPS di Propinsi Jawa Timur. SOCA. Bali.

Etzoni, A. 1985. Organisasi-Organisasi Modern. UI. Press&Pustaka Bradjaguna. Jakarta.

Tangendjaja, B., Y. Yusdja, N. Ilham. 2003. Analisis Ekonomi Permintaan Jagung untuk Pakan; dalam Karyno, et al (eds.) Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Uphoff, N. 1992. Local Institution & Participation for Sustainable Development. IIED. London.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.