Kelembagaan DAS

Hari Yuswadi dan Cahyoadi Bowo

PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN TRADISIONAL MASYARAKAT DAERAH PENYANGGA HUTAN UNTUK PELESTARIAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI.


Hari Yuswadi dan Cahyoadi Bowo
Ketua Program Sosiologi – FISIP Universitas Jember dan Ketua Puslit Lingkungan Hidup – Universitas Jember (cbowo@binanusa.net)

ABSTRAK

Kawasan Taman Nasional Meru Betiri yang memiliki luas 58.000 Ha, merupakan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, terletak di ujung timur Jawa Timur. Kerusakan flora dan fauna yang melanda Taman Nasional akhir-akhir ini tidak terlepas dari kondisi daya dukung lingkungan sosial ekonomi dan budaya manusia yang berada di sekitarnya. Keutuhan ekosistem kawasan sangat ditentukan oleh sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang ada di daerah penyangga. Faktor pola penggunaan lahan, luas lahan pertanian, jumlah penduduk, mata pencaharian dan tingkat pemahaman masyarakat tentang kawasan konservasi akan sangat membantu dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan secara berkelanjutan.

Hasil penelitian menunjukkan kondisi sosial ekonomi dan budaya penduduk di daerah penyangga Taman Nasional memiliki andil besar bagi kelestarian lingkungan hutan Taman Nasional. Secara sosial ekonomi daerah penyangga ini mengalami kelangkaan tanah pertanian sehingga tidak memadai untuk hidup layak bagi penduduknya (Man land ratio 15 orang/Ha sawah dan 22 orang/Ha pekarangan). Kondisi ini mengakibatkan tekanan (perusakan / pengambilan hasil hutan) terhadap Taman Nasional Meru Betiri. Disamping itu faktor kemiskinan, kurangnya kesadaran lingkungan dan rendahnya tingkat pendidikan memiliki hubungan signifikan dengan tingkat motivasi dan pengambilan hasil hutan Taman Nasional Meru Betiri

Untuk menjaga kelestarian Taman Nasional ke depan, maka pemberdayaan masyarakat secara sosial, ekonomi, dan budaya di sekitar kawasan Taman Nasional, merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi. Sebagai langkah awal, upaya untuk membantu memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar TNMB (kayu, bahan pangan, lapangan kerja) dengan memanfaatkan zona rehabilitasi melalui pola kemitraan dapat dijadikan salah satu alternatif.

Kultur masyarakat tradisional yang paternalistik dan aktivitas masyarakat di daerah penyangga Taman Nasional dalam bentuk kelembagaan tradisional dapat dimanfaatkan sebagai sarana yang efektif untuk men-sosialisasi-kan program-program tentang kelestarian hutan dan Taman Nasional. Tingkat ketergantungan masyarakat pada kepemimpinan informal dan komitmen yang tinggi terhadap kegiatan lembaga informal tersebut dapat dijadikan sarana pemberdayaan yang lebih bernuansa egalitarian

I. PENDAHULUAN

Kawasan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) merupakan perwakilan ekosistem hutan hujan tropika dataran rendah yang di dalamnya terkandung kekayaan keanekaragaman hayati (biodiversity) yang tinggi dan mempunyai nilai ilmiah penting sebagai sumber plasma nutfah yang dapat dimanfaatkan dan harus dilestarikan.

Berdasarkan SK Ditjen PKA nomor: 185/Kpts/DJV/1999 13 Desember 1999, ditetapkan sistem zonasi pada Taman Nasional Meru Betiri:

  1. Zona Inti seluas 27.915ha terdiri atas hutan pantai, hutan hujan tropis dan hutan bambu. Zona ini hanya dimanfaatkan untuk penelitian dan inventarisasi flora dan fauna yang bermanfaat, yang hingga saat ini masih belum banyak diketahui
  2. Zona Rimba seluas 22.622ha terdiri atas hutan mangrove, hutan pantai, hutan rawa, hutan hujan tropis dan hutan bambu. Zona ini umumnya digunakan untuk menunjang upaya penelitian seperti pengamatan satwa dan habitatnya serta ekosistem yang menunjang pendidikan dan rekreasi
  3. Zona Rehabilitasi seluas 4.023ha merupakan formasi hutan hujan tropis dan hutan bambu. Kawasan rimba ini secara khusus telah dimanfaatkan penduduk setempat untuk menanam palawija dan tanaman endemik, dan dipergunakan juga oleh peneliti untuk merehabilitasi kawasan yang telah rusak atau gundul
  4. Zona Pemanfaatan Intensif seluas 1.285ha tersusun atas hutan pantai dan hutan bambu yang secara khusus dimanfaatkan untuk pendidikan, pelatihan, paket wisata
  5. Zona Penyangga/Perkebunan seluas 2.155ha yang hanya merupakan hutan hujan tropis ini dikembangkan untuk ekoagrotourism dan budidaya tanaman obat serta penangkaran satwa jenis tertentu.
0g1

Gambar 1. Peta Zonasi Kawasan Taman Nasional Meru Betiri

Kawasan TNMB terletak di dua kabupaten, masing-masing Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi. Area yang berbatasan dengan Kabupaten Jember dikelilingi oleh 8 desa (Ds) yang terletak di kawasan penyangga, masing-masing (a) Ds. Andongrejo, (b) Ds. Curahnongko, (c) Ds. Sanenrejo, (d) Ds. Curahtakir, (e) Ds. Sidodadi, (f) Ds. Wonosari, (g) Ds. Mulyorejo dan (h) Ds. Sabrang (Anonim 1999, 2000)..

Sebagian besar penduduk desa di sekitar daerah penyangga Taman Nasional Meru Betiri adalah suku Madura dan suku Jawa. Berdasar data yang dikumpulkan tahun 2002 diketahui jumlah penduduk desa seluruhnya 86.889 orang, terdiri atas 43.362 jiwa laki-laki (49,91%) dan 43526 jiwa perempuan (50,49%). Secara rinci jumlah penduduk dan penyebarannya disajikan dalam Tabel 1.

0t1

Formasi vegetasi di kawasan TNMB terdiri atas berbagai macam, yaitu: vegetasi pantai, hutan bakau, rawa, hutan bambu dan hutan hujan tropis dataran rendah. Formasi-formasi ini menyangga ± 362 jenis flora dan ± 181 jenis fauna. Diantara jenis-jenis tersebut di atas banyak yang mempunyai nilai jual cukup tinggi seperti kayu jati, rotan, bambu, tanaman obat, rusa dan penyu. Perambahan hutan yang pada mulanya berkisar di zona rehabilitasi, saat ini telah masuk ke zona inti.

Kerusakan kawasan Taman Nasional Meru Betiri yang semakin parah pada akhir-akhir ini telah dianggap melampaui ambang batas toleransi. Padahal Taman Nasional iini merupakan salah satu kawasan hutan yang memiliki posisi strategis, karena merupakan daerah perlindungan bagi sumberdaya hayati, flora, dan fauna yang cukup potensial di wilayah ujung timur pulau Jawa bagian selatan. Pertambahan penduduk yang sangat pesat disekitar kawasan, serta terjadinya reformasi politik tahun 1998 yang lalu, memilki dampak ikutan terhadap kerusakan hutan Taman Nasional ini, akibat penjarahan oleh penduduk. Kerusakan tersebut diperkirakan akan semakin parah, jika tidak segera dilakukan penanganan yang serius oleh semua pihak.

Faktor lain yang tampaknya ikut memberikan kontribusi bagi terjadinya kerusakan hutan Taman Nasional Meru Betiri tersebut adalah faktor sosial budaya masyarakat setempat. Rendahnya tingkat pendidikan, lemahnya penegakan hukum, kurangnya kesadaran lingkungan, dan faktor kemiskinan masyarakat daerah penyangga, semakin mempercepat terjadinya perusakan hutan Taman Nasional tersebut. Paradigma pembangunan dari rezim Orde Baru yang memprioritaskan pertumbuhan pada akhirnya hanya melahirkan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam, menjamurnya konglomerasi, serta kesenjangan sosial.

Perubahan paradigma pengelolaan hutan Departemen Kehutanan akhir-akhir ini tampaknya mulai dapat memberikan angin segar bagi sistem pelestarian hutan dimasa yang akan datang. Asumsi ini diharapkan dapat terealisir jika paradigma tersebut dilaksanakan secara konsisten, terpadu, dan berkelanjutan. Paradigma departemen dari semula bersifat sentralistik dan hanya memperhatikan aspek ekonomi telah diubah dengan arah yang lebih mengutamakan keseimbangan ekologi, ekonomi dan sosial budaya masyarakat di sekitarnya. Rehabilitasi hutan dan lahan merupakan strategi pemerintah dalam mengembangkan pemberdayaan ekonomi rakyat melalui sistem setempat (community based forest management) yang sekaligus merupakan upaya penyelamatan kelestarian hutan.

Secara realistis, kerusakan Taman Nasional Meru Betiri diluar faktor-faktor yang bersifat alamiah, tampaknya tidak terlepas dari akibat campur tangan manusia. Tingkat pemahaman, perhatian, serta kepedulian masyarakat terhadap keberadaan Taman Nasional, banyak dipengaruhi oleh tingkat perkembangan sosial budaya masyarakat yang bersangkutan. Aspek-aspek struktural maupun kultural seringkali sangat berpengaruh terhadap persepsi maupun kepedulian masyarakat daerah penyangga terhadap Taman Nasional Meru Betiri. Tingginya kesenjangan sosial akibat adanya stratifikasi sosial, dan polarisasi sosial merupakan suatu situasi yang perlu diwaspadai bagi kelestarian Taman Nasional Meru Betiri. Bertahannya nilai-nilai dan norma-norma sebagai perwujudan budaya masyarakat, memiliki makna yang strategis bagi upaya-upaya pelestrian lingkungan Taman Nasional Meru Betiri.

Di samping beberapa persoalan tersebut di atas, potensi SDA di daerah penyangga tampaknya juga memiliki arti penting bagi kelestarian lingkungan Taman Nasional Meru Betiri. Jika kondisi SDA di daerah penyangga Taman Nasional memiliki daya dukung untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat (pangan, sandang, papan, dan lapangan kerja) yang ada disekitarnya, maka diperkirakan sentuhan/ gangguan terhadap SDA yang ada “di dalam” Taman Nasional akan dapat ditekan sekecil mungkin. Akan tetapi, sebaliknya kemungkinan akan terjadi, jika potensi SDA di daerah penyangga Taman Nasional tersebut tidak memadai bagi penduduk di sekitarnya, maka akibatnya terjadi penggerogotan, gangguan, dan bahkan penjarahan terhadap SDA di dalam Taman Nasional Meru Betiri.
Oleh karena itu pemahaman kondisi SDA di daerah penyangga Taman Nasional Meru Betiri menjadi sangat penting. Potensi SDA di daerah penyangga Taman Nasional akan menjadi faktor penentu terjadinya tekanan penduduk terhadap SDA yang ada di dalam kawasan Taman Nasional. Jika tekanan penduduk lebih besar dari ketersediaan lahan garapan, maka kemungkinan besar akan terjadi tekanan yang kuat terhadap lahan Taman Nasional Meru Betiri.

II. PERMASALAHAN

Berdasarkan berbagai kondisi riil tersebut di atas, hal yang perlu mendapatkan prioritas perhatian adalah keterkaitan kondisi sosial budaya masyarakat daerah penyangga Taman Nasional tersebut dalam merespon keberadaan Taman Nasional sebagai sumber kehidupan yang mempengaruhinya. Kiranya tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa faktor perilaku manusia sangat menentukan bagi kelestarian hutan Taman Nasional.

Dari berbagai persoalan sosial budaya yang menjadi faktor determinan bagi kerusakan hutan Taman Nasional, faktor sosial budaya tampaknya juga memberikan harapan bagi daya dukung pelestarian hutan Taman Nasional Meru Betiri. Unsur sosial budaya yang memiliki potensi cukup strategis untuk membangun “kesadaran kolektif” masyarakat daerah penyangga Taman Nasional adalah keberadaan “kelembagaan tradisional” masyarakat setempat. Hal ini didasarkan kepada kondisi masyarakat desa daerah penyangga yang masih didominasi oleh budaya paternalistik yang cukup kuat. “Kesadaran kolektif” dan “solidaritas sosial” biasanya mudah dibangun melalui sarana “kelembagaan sosial” yang sudah ada (Rahman, 2000). Pemanfaatan kelembagaan tradisional tersebut diharapkan dapat menjadi sarana yang efektif jika disesuaikan dengan definisi masyarakat tentang kelembagaan yang dimilikinya. Makna subyektif masyarakat terhadap Taman Nasional Meru Betiri juga memiliki posisi sentral bagi pelestarian hutan yang ada di Taman Nasional tersebut. Beberapa permasalahan tersebut antara lain:

  1. Bagaimanakah pengaruh Sosial Budaya masyarakat daerah penyangga terhadap Taman Nasional Meru Betiri ?
  2. Adakah sistem kelembagaan tradisional yang mampu mendukung bagi kelestarian Taman Nasional Meru Betiri?

III. KERANGKA TEORETIK

Sejak awal perkembangan kapitalisme sumberdaya alam telah dianggap sebagai salah satu faktor produksi yang cukup penting, selain faktor sumberdaya manusia, dan modal. Secara teoretik, kapitalisme – sebagai ideology – bertujuan melakukan pemupukan modal (capital accumulation) melalui proses-proses penanaman modal (capital investment). Dalam prakteknya ideologi ini akan mendorong terjadinya ekspansi keluar dalam bentuk penguasaan pasar, sumber pasokan bahan baku, dan mencari tenaga kerja semurah mungkin. Globalisasi dan penanaman ideologi pasar bebas merupakan salah satu bentuk rekayasa pengembangan ideologi imperialisme baik secara halus, yang dengan mudah diakses oleh negara-negara sedang berkembang.

Berkembangnya upaya masing-masing negara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi makro yang mementingkan orientasi pertumbuhan dan mekanisme pasar, merupakan salah satu bentuk kemenangan imperialisme dan kapitalisme. Hampir sebagian besar negara sedang berkembang tampaknya berusaha mengejar pertumbuhan ekonominya, dengan melakukan berbagai cara, termasuk eksploitasi secara besar-besaran terhadap sumberdaya alamnya. Eksplorasi hutan tropis – yang menjadi kekayaan Indonesia – secara besar-besaran sejak tahun 1980-an yang lalu sebenarnya juga merupakan upaya pemerintah rezim Orde Baru dalam rangka mengejar pertumbuhan. Kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dan hutan melahirkan persaingan kepentingan dan keragaman struktur sosial di dalamnya. Persaingan kepentingan itu antara lain melibatkan berbagai pihak seperti: 1) pemerintah, baik pusat maupun daerah; 2) pelaku bisnis, terutama pengusaha dan investor yang menanamkan usahanya di sektor sumberdaya alam; 3) masyarakat sekitar daerah eksploitasi; dan 4). Organisasi-organisasi sosial yang memiliki kepedulian terhadap kerusakan lingkungan akibat eksploitasi (Usman, 2001).

Dampak terbatasnya sumberdaya alam dan munculnya berbagai kepentingan ini melahirkan konflik-konflik yang berakibat ketidak harmonisan hubungan, Pelly (1993) menyebutnya sebagai ketidak serasian sosial.

Deforestasi merupakan akibat dari berbagai macam kekuatan. Namun deforestasi berskala besar yang paling mengancam ditimbulkan oleh tekanan kemiskinan dan tekanan keserakahan. Persoalan-persoalan sosial yang tak terpecahkan seringkali mengkondisikan kerusakan lingkungan, sementara ketamakan atau keserakahan sejumlah orang yang tidak dibatasi mengkondisikan kebiasaan untuk menghambur-hamburkan sumberdaya alam (Goeltenboth, 1992:31)

IV. HASIL PENELITIAN DAN UPAYA PELESTARIAN HUTAN TNMB DI MASA DEPAN

4.1 Kemiskinan

Hasil penelitian di 9 (sembilan ) desa penyangga Taman Nasional Meru Betiri – Kabupaten Jember, mengindikasikan bahwa faktor-faktor struktural dan kultural ikut memberikan andil bagi kerusakan Taman Nasional Meru Betiri. “Kemiskinan” dan kesenjangan sosial penduduk di daerah penyangga tampaknya memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap upaya pengambilan hasil hutan di wilayah ini (87,75% responden yang berpendidikan rendah memiliki kontribusi tinggi mengambil hasil hutan). Hal ini juga didukung oleh kondisi kekurangan lahan yang selama ini diderita oleh sebagian besar masyarakat di desa-desa daerah penyangga Taman Nasional Meru Betiri. Lahan yang merupakan sumberdaya langka, ternyata menjadi semakin langka sebagai akibat perkembangan jumlah penduduk yang terus berlangsung (man land ratio 15 orang/Ha sawah dan 22 orang/Ha pekarangan). Proporsi angka tersebut jauh melampaui angka ideal yaitu 7 orang/ Ha sawah dan 17 orang/Ha pekarangan. Kehausan akan lahan pertanian untuk menyambung hidup pada akhirnya dipenuhinya dengan cara pembabatan hutan sebagai salah satu jalan pintas yang tercepat.

Hasil penelitian mengindikasikan bahwa di daerah penyangga Taman Nasional Meru Betiri telah terjadi tekanan penduduk yang cukup tinggi. Sistem Pertanian sebagai sumber mata pencaharian tampaknya tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup penduduk desa, khususnya petani dan keluarganya. Pada akhirnya, mereka mencari beberapa alternatif sumber mata pencaharian lain sebagai sumber pendapatan seperti: mengambil hasil hutan, beternak, buruh tani, bekerja di kota dan menjadi tukang atau pengrajin. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa selama kurang lebih 17 tahun telah terjadi bahwa pekerjaan tambahan mengambil hasil hutan pada sebagian penduduk telah bergeser menjadi pekerjaan utama justru dengan motivasi tinggi (74,5%).

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa meskipun penduduk daerah penyangga TNMB, sudah melakukan variasi 5 jenis sumber penghidupan (bertani, beternak, mengambil hasil hutan, buruh tani, dan pengrajin), dan pengambilan hasil hutan merupakan sumber yang penting, akan tetapi tingkat pendapatan penduduk perkapita pertahun masih tergolong rendah. Pendapatan sebagian penduduk di daerah penyangga ternyata dibawah tingkat hidup yang memadai, yaitu lebih rendah dari pendapatan setara dengan 320 kg beras perkapita pertahun. Kondisi seperti ini secara rasional sebenarnya termasuk dalam kategori hidup miskin.

4.2 Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Penyangga.

Taman Nasional Meru Betiri berada di wilayah bagian Selatan Kabupaten Jember, yang merupakan wilayah dataran rendah relatif subur. Hampir semua desa penyangga yang mengitari Taman Nasional meru Betiri, merupakan desa-desa yang dihuni oleh masyarakat dengan budaya Jawa, sebagian lainnya bercampur dengan masyarakat dengan budaya Madura. Kedua masyarakat ini secara historis telah menjadi ciri khas masyarakat kabupaten Jember, yang secara geografis seharusnya wilayah bagian selatan Kabupaten Jember didominasi oleh masyarakat Jawa, sedangkan masyarakat Madura mendominasi wilayah Jember bagian Utara.

Akan tetapi, karena sebagian kecil wilayah selatan ini terdapat beberapa perkebunan, yang sebagian para pekerjanya menurut sejarah didatangkan dari wilayah Madura, maka di wilayah bagian selatan ini terdapat kantong-kantong penduduk yang berbudaya Madura. Oleh karena itu, menjadi tidak asing pula jika di dalam wilayah ini terjadi percampuran budaya antara masyarakat Madura dengan masyarakat Jawa, meskipun yang tetap dominan adalah budaya Jawa. Masyarakat Madura relatif dominan di beberapa desa yaitu: desa Sanenrejo, desa Curahtakir, dan desa Curahnongko. Sedangkan di beberapa desa lainnya meskipun mereka banyak yang berbahasa Madura, namun mereka lebih merupakan masyarakat dengan budaya “pendalungan”, yaitu bentuk percampuran antara Jawa dengan Madura. Salah satu ciri masyarakat dengan budaya campuran ini adalah bersifat “ekspresif”, dan “ekstrovert”, yaitu satu bentuk perilaku masyarakat yang cenderung terbuka, keras, reaktif, dan spontanitas.

Kondisi masyarakat di wilayah penyangga Taman Nasional Meru Betiri sebagian besar masih berpendidikan rendah, hal ini dapat dilihat dari proporsi responden yang rata-rata (54, 4%) masih tidak tamat Sekolah Dasar, sebanyak 31,1% mengaku tamat SD, 10% mengaku tamat SLTP, dan hanya 3,3% tamat SLTA, serta 1,1% menyelesaikan Perguruan Tinggi. Proporsi rendahnya tingkat pendidikan penduduk tersebut memiliki pengaruh terhadap rendahnya tingkat pemahaman lingkungan hutan yang ada di sekitarnya.

Pada beberapa wilayah pedesaan, masih lestarinya budaya-budaya tabu ternyata menjadi sangat efektif untuk melindungi lingkungan flora dan fauna tertentu. Sebagian masyarakat tradisional secara emosional memiliki keterikatan dengan nilai-nilai “pantangan” sebelum melakukan eksplorasi terhadap alam sekitarnya. Hasil penelitian ternyata menunjukkan bahwa di daerah penyangga Taman Nasional Meru Betiri ini tampaknya telah tidak ada lagi upacara tradisional dan nilai tabu yang secara langsung bersentuhan dengan kelestarian hutan. Hal ini tercermin dari pernyataan sebagian besar responden yang tidak tahu menahu tentang nilai-nilai tabu yang ada di masyarakatnya. Hampir seluruh desa penelitian tampaknya “tidak memiliki” lagi nilai-nilai “tabu” atau “pantangan” yang berkaitan dengan hutan Taman Nasional Meru Betiri. Perilaku masyarakat untuk berpantang melakukan sesuatu karena terkait dengan nilai-nilai tabu, hampir tidak dikenal lagi. “Hutan larangan”, wilayah –wilayah yang “dikeramatkan”, binatang yang “disucikan”, pohon-pohon yang dikeramatkan, “makluk-makhluk gaib” yang harus dihormati, tampaknya sudah bukan menjadi wacana masyarakat desa penyangga lagi.

Berkurangnya perhatian masyarakat terhadap bentuk kegiatan ritual tradisional serta nilai-nilai tabu tersebut tampaknya banyak dipengaruhi oleh meningkatnya rasionalitas masyarakat terhadap berbagai fenomena alam yang terjadi. Di samping itu, perkembangan teknologi yang melahirkan berbagai bentuk peralatan dan mesin-mesin pemotong kayu maupun gergaji modern, senapan berburu, serta alat transportasi yang cepat dan lancar, telah membantu masyarakat dari berbagai kesulitan dan “tantangan alam”. Nilai budaya masyarakat tradisional yang biasanya “tunduk kepada alam” telah begeser kepada nilai-nilai yang “menaklukkan alam” dengan tersedianya peralatan teknologi modern. Pada akhirnya, persepsi masyarakat terhadap makna ritual dan upacara tradisional tersebut mengalami pergeseran dari pandangan semula yang harus tunduk dan menyesuaikan diri kepada alam, menjadi sekedar “ritual sosial” untuk menjaga “harmoni” dengan lingkungannya.

Sebagaimana masyarakat Jember pada umumnya, yang memiliki budaya paternalistik, maka sebagian masyarakat daerah penyangga Taman Nasional Meru Betiri ini, juga memiliki tingkat kepatuhan yang cukup kuat terhadap figur kepemimpinan informal maupun pemimpin formal. Seorang pemimpin informal biasanya dipilih dan diangkat oleh para pengikutnya, yang disertai dengan penerimaan dengan baik serta pengakuan oleh para pengikutnya. Pengangkatan pemimpin informal biasanya didasarkan oleh kewibawaan, rasa kepercayaan yang diberikan oleh pengikutnya. Pemimpin informal telah sejak lama menjadi kunci kepatuhan masyarakat di wilayah ini, meskipun pada masa lalu (semasa Orde Baru) pernah terjadi “pembalikan” perhatian pada pemimpin formal, karena begitu kuatnya tekanan struktural yang terjadi pada masa itu.

Perhatian akan fungsi dan peran pemimpin informal ini ditandai oleh adanya figur-figur kepemimpinan dari berbagai bidang yang ada di setiap desa. Hal ini terlihat dari data lapangan yang masih menunjukkan peran beberapa pemimpin informal pada berbagai segi kehidupan seperti dalam bidang sosial, adat istiadat, pengenalan teknologi maupun dalam bidang keagamaan. Sayangnya, seringkali terjadi bahwa seseorang yang diakui sebagai pemimpin informal, juga berstatus sebagai pemimpin formal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dominasi pemimpin informal lebih menonjol dan selalu tampak di setiap desa penyangga.

Setiap pemimpin informal maupun formal memiliki cara-cara tersendiri dalam mengembangkan komunikasi dengan warganya. Bentuk-bentuk komunikasi yang bersifat dialogis selama ini dipandang paling efektif, melalui sarana-sarana kelembagaan tradisional yang telah ada. Sebagaimana masyarakat desa pada umumnya, pola-pola komunikasi yang “terlalu formal” merupakan suatu beban psikis bagi masyarakat setempat. Efek dari hubungan yang unik tersebut turut mempengaruhi bentuk kepatuhan dari masing-masing warga masyarakat terhadap masing-masing pemimpin informal yang ada di desanya.

Pemimpin informal bagi masyarakat desa daerah penyangga ini memiliki posisi strategis, karena melalui mereka-lah berbagai informasi dan komunikasi dapat dialirkan bagi kepentingan masyarakat. Segala bentuk perilaku dan sikap seringkali bersumber dari seseorang yang dianggap sebagai panutan dan sumber pengetahuan. Sosok sebagai figur panutan biasanya diperoleh seseorang melalui berbagai cara yang secara otomatis dilekatkan oleh masyarakat setempat, seperti karena pengaruh kewibawaannya, kepandaiannya, kekayaannya, keberaniannya atau karena kekuasaannya. Jika seseorang telah mendapatkan predikat sebagai panutan maka biasanya menjadi sumber segala perhatian masyarakat, yang secara emosional menjadi acuan sikap dan perilakunya.

Melalui figur kepemimpinan informal tersebut, berbagai program pemerintah dan missi pembangunan dapat diselenggarakan secara efektif dan efisien. Oleh karena itu dalam berbagai kegiatan pembangunan masyarakat tradisional, sosok pemimpin informal tidak bisa diabaikan peranannya. Meskipun demikian, penggunaan saluran formal tetap berdaya guna, karena dengan cara formal biasanya disertakan pula alat pemaksa berupa sanksi hukum formal. Dengan demikian akan menjadi lebih baik jika digunakan kedua-duanya sekaligus, sebab di satu sisi pemberdayaan masyarakat harus tetap berjalan, di sisi yang lain penegakan hukum formal juga perlu terus ditegakkan.

Berdasarkan informasi dari beberapa informan yang ada di desa penelitian menunjukkan bahwa akhir-akhir ini telah terjadi pergeseran konsentrasi perhatian masyarakat terhadap status kepemimpinan informal tersebut, yaitu lebih mengedepannya kepemimpinan informal keagamaan. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa figur kepemimpinan agama selalu terdapat di semua desa dibanding dengan figur kepemimpinan adat yang tidak selalu ada di setiap desa.
Kondisi di lapangan penelitian juga mengindikasikan bahwa keberadaan pemimpin formal maupun informal di semua desa penelitian, memiliki peranan yang cukup besar. Hal ini tampak dari kegiatan komunikasi yang sering dilakukan terhadap masyarakat setempat selalu dilakukan dengan model dialogis. Sistem komunikasi dialogis akan efektif jika kedua belah pihak telah saling mengenal dengan baik.

Secara rasional keberadaan pemimpin dalam masyarakat desa penyangga Taman Nasional dapat berfungsi sebagai “perantara” program pelestarian lingkungan Taman Nasional Meru Betiri. Akan tetapi, berdasarkan identifikasi lapangan, tampaknya keberadaan pemimpin formal maupun informal tersebut tidak termanfaatkan dengan efektif. Hal ini dapat ditelusuri dari data lapangan yang menunjukkan bahwa hampir semua pemimpin yang ada baik formal maupun informal kurang memberikan motivasi tentang fungsi Taman Nasional secara efektif dengan masyarakatnya (45%).

Dari 9 (sembilan ) desa sampel, hanya terdapat 4 (empat ) desa yang menunjukkan motivasi para pemimpinnya berkaitan dengan pelestarian Taman Nasional, yaitu desa Sanenrejo, Andongrejo, Wonoasri dan Curahtakir. Di samping itu, ternyata di keempat desa tersebut motivasi penduduknya untuk mengambil hasil hutan, ternyata juga masih relatif tinggi. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa aktivitas para pemimpin masyarakat baik formal maupun informal memberikan motivasi tentang pelestarian hutan TNMB, tampaknya tidak berkaitan dengan aktivitas masyarakat untuk melakukan pengambilan hasil hutan Taman Nasional Meru Betiri. Ternyata, meskipun di beberapa desa telah dilakukan penyuluhan tentang fungsi dan pelestarian TNMB oleh pemimpin masyarakat, angka pengambilan hasil hutannya masih tetap tinggi (Sanenrejo=87,5%; Curahnongko=80%; Jatisari=80% ; Curahtakir=85,7% dan Wonoasri=77,8%).

Hal ini memerlukan kajian yang lebih dalam, tentang efektivitas penyampaian motivasi dari masing-masing pemimpin masyarakat tersebut. Penyampaian motivasi oleh pemimpin formal tampaknya sudah sulit mendapatkan kepercayaan masyarakat, sedangkan pemimpin informal tampaknya masih belum memperoleh kepercayaan masyarakat. Pada masa-masa transisi (pasca reformasi) hampir sebagian besar masyarakat tampaknya berada pada posisi “marginal”. Dalam satu sisi, masyarakat telah mengalami kehilangan norma lama, sedangkan norma-norma baru tampaknya masih belum terinternalisasi. Secara sosiologis dalam situasi seperti ini masyarakat berada dalam suatu kondisi “anomie”, yaitu suatu kondisi kefakuman nilai-nilai dan norma budaya.

Berdasarkan hasil pengamatan, ternyata pekerjaan pengambilan hasil hutan terjadi pada semua desa penyangga, dengan sebaran prosentase rendah sampai tinggi. Meskipun demikian, salah satu aspek yang perlu diwaspadai adalah proporsi “pengambilan kayu-kayu bangunan”. Hal ini karena semakin besar proporsi penebangan kayu bangunan ini, tampaknya memberikan suatu indikasi semakin mempercepat proses penggundulan hutan.

4.3 Kelembagaan Tradisional

Menonjolnya figur kepemimpinan keagamaan di daerah penyangga Taman Nasional Meru Betiri, tampaknya berimplikasi terhadap kelembagaan tradisional masyarakat. Kepatuhan masyarakat di daerah Jember pada umumnya dan daerah penyangga Taman Nasional Meru Betiri khususnya, mendorong berkembangnya kelembagaan tradisional keagamaan sebagai sarana komunikasi yang efektif antar warga masyarakat. Kelompok-kelompok pengajian, Yasinan, Tahlilan, yang biasanya diikat dengan arisan antar warga menjadi sarana berkumpulnya warga untuk mengikatkan diri dalam kesatuan “soliraritas sosial” yang kuat. Dalam kelompok-kelompok tradisional seperti inilah masyarakat daerah penyangga memiliki “kesadaran kolektif” sebagai satu kesatuan komunitas yang utuh.

Motivasi pelestarian hutan yang disampaikan oleh pemimpin informal keagamaan akan menjadi sangat efektif, diterima oleh warga masyarakat daerah penyangga Taman Nasional. Bahtsul Masail (lokakarya) “Fiqih Lingkungan” yang diselenggarakan di Pondok Pesantren “Roudlatul Ulum” Sumberwringin – Sukowono- Kabupaten Jember pada tanggal 28 – 29 Januari 2002, merupakan salah satu upaya bentuk kepedulian terhadap pelestarian lingkungan, khususnya di Taman Nasional Meru Betiri. Pemahaman “hukum lingkungan” menurut Agama akan lebih efektif dalam membentuk kesadaran lingkungan bagi warga masyarakat desa.

Berdasarkan hasil penelitian, ternyata meskipun kegiatan kelembagaan tradisional keagamaan tersebut aktifitasnya relatif tinggi, tetapi belum dimanfaatkan secara efektif oleh pihak yang berwenang. Pemanfaatan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap para pemimpin informal keagamaan, sebenarnya dapat dijadikan model kemitraan antara lembaga tradisional dengan pihak pemerintah untuk menjaga kelestarian hutan Taman Nasional Meru Betiri.

Aktivitas masyarakat di desa-desa kawasan penyangga Taman Nasional dalam bentuk kelembagaan tradisional dapat dimanfaatkan sebagai sarana yang efektif untuk men-sosialisasi-kan program-program tentang kelestarian hutan dan Taman Nasional. Tingkat ketergantungan masyarakat dan komitmen yang tinggi terhadap kegiatan lembaga informal tersebut dapat dijadikan sarana komunikasi serta diskusi antar warga, yang lebih bernuansa egalitarian. Kerjasama yang efektif dan efisien antara pemerintah dengan kelembagaan lokal yang ada, diharapkan akan mampu “menjembatani kesenjangan kepentingan” yang selama ini terjadi.

Langkah selanjutnya perlu juga diupayakan, yaitu: lembaga-lembaga tradisional yang mengajarkan tentang “kearifan masyarakat” terhadap kelestarian alam, dan berbagai bentuk pantangan adat, perlu terus dipertahankan, bahkan jika masih diperlukan, dapat digali kembali lembaga-lembaga tradisional yang pernah efektif sebagai pengendali “keganasan” perusakan lingkungan oleh manusia. Jika masih memungkinkan perlu juga memfungsikan kembali sistem “tabu-tabu”, yang pernah hidup di tengah masyarakat, sebagai “penghambat” terjadinya perusakan lingkungan.

Satu hal yang mungkin perlu mendapatkan perhatian adalah, terjadinya proses transisi dari model kelembagaan lama ke model kelembagaan baru setelah masa reformasi. Lembaga-lembaga yang berkembang kemudian, jika tidak disertai proses pendampingan yang mampu menjembatani transisi dari sentralistis menjadi desentralisasi, tentu akan cenderung menjadi anarki. Untuk itu, sistem pendampingan oleh para ahli (LSM serta lembaga lainnya) akan sangat mendukung terjadinya transisi. Tingkat rasionalitas masyarakat yang relatif masih rendah, akan menjadi kendala yang cukup serius bagi perwujudan lembaga-lembaga ideal sesuai dengan harapan masyarakat.

V. KESIMPULAN

Campur tangan manusia tampaknya merupakan salah satu faktor utama bagi kerusakan hutan Taman Nasional Meru Betiri. Proporsi penduduk di daerah penyangga yang tidak diimbangi dengan tersedianya lapangan kerja, serta ketersediaan lahan pertanian yang memadai, menyebabkan terjadinya intervensi penduduk ke dalam wilayah Taman Nasional Meru Betiri. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa di daerah penyangga Taman Nasional Meru Betiri telah terjadi tekanan penduduk yang cukup tinggi. Sistem Pertanian sebagai sumber mata pencaharian tampaknya tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup penduduk desa daerah penyangga, khususnya petani dan keluarganya.

Kondisi masyarakat di wilayah penyangga Taman Nasional Meru Betiri sebagian besar masih berpendidikan rendah, hal ini dapat dilihat dari proporsi responden yang rata-rata (54, 4%) masih tidak tamat Sekolah Dasar, dan sebanyak 31,1% mengaku tamat SD. Proporsi rendahnya tingkat pendidikan penduduk tersebut memiliki pengaruh terhadap rendahnya tingkat pemahaman lingkungan hutan yang ada di sekitarnya.

Beberapa faktor tersebut kemudian diperkuat oleh faktor degradasi budaya , faktor “kemiskinan” dan kesenjangan sosial penduduk di daerah penyangga, tampaknya memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap upaya pengambilan hasil hutan di wilayah ini (87,75% responden yang berpendidikan rendah memiliki kontribusi tinggi mengambil hasil hutan ).
Memudarnya nilai-nilai budaya tradisional masyarakat yang selama ini dipandang sangat efektif bagi pengendalian lingkungan, tampaknya berpengaruh terhadap persepsi masyarakat daerah penyangga Taman Nasional Meru Betiri. Hampir seluruh desa penelitian tampaknya “tidak memiliki” lagi nilai-nilai “tabu” atau “pantangan” yang berkaitan dengan hutan Taman Nasional. Tersedianya teknologi modern dalam bentuk peralatan dan mesin-mesin pemotong kayu maupun gergaji, senapan berburu, serta alat transportasi yang cepat dan lancar, telah membantu merubah pandangan masyarakat dari “tantangan alam” dan “tunduk kepada alam” telah begeser kepada nilai-nilai “menaklukkan alam”.

Menonjolnya figur kepemimpinan keagamaan di daerah penyangga Taman Nasional Meru Betiri, tampaknya berimplikasi terhadap kelembagaan tradisional masyarakat. Kepatuhan masyarakat terhadap pemimpin tradisional keagamaan mendorong berkembangnya kelembagaan tradisional keagamaan sebagai sarana komunikasi yang efektif antarwarga masyarakat. Jika kondisi yang demikian dapat dimanfaatkan dengan baik, maka upaya-upaya pemerintah untuk melaksanakan pelestarian hutan dengan pola kemitraan dengan melibatkan masyarakat daerah penyangga dapat terlaksana lebih efektif. Aktivitas masyarakat di desa-desa kawasan penyangga Taman Nasional dalam kelembagaan tradisional dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk men-sosialisasi-kan program-program tentang pelestarian hutan dan Taman Nasional. Tingkat ketergantungan masyarakat dan komitmen yang tinggi terhadap kegiatan lembaga informal tersebut dapat dijadikan sebagai sarana komunikasi serta diskusi antarwarga yang lebih bernuansa egalitarian. Kerjasama yang efektif dan efisien antara pemerintah dengan kelembagaan lokal yang ada diharapkan dapat “menjembatani kesenjangan kepentingan” yang ada selama ini.

Daftar Pustaka

Anonim. 1999. Kerangka Acuan Rehabilitasi Kawasan Taman Nasional Meru Betiri. Jember: Balai Taman Nasional Meru Betiri.

Anonim. 2000. Statistik Kehutanan Balai Taman Nasional Meru Betiri. Jember: Balai Taman Nasional Meru Betiri.

Goeltenboth, Friedhelm, 1992. “Kerusakan Hutan dan Implikasi bagi Kesinambungan Daya Dukung Lingkungan. Prisma, No.6, Tahun XXI. Jakarta: LP3ES.

Identifikasi Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Sekitar Penyangga Taman Nasional Meru Betiri, Laporan Penelitian. Balai Pengelolaan DAS Sampean – Madura, Balai Taman Nasional Meru Betiri dan Universitas Jember. Tahun 2002.

Pelly, Usman, 1993. Pengukuran Intensitas Potensi Konflik dalam Masyarakat Majemuk, Analisis CSIS, Th.XXII, No. 3, Mei – Juni.

Rahman Bustami dan Hary Yuswadi, 2000. Sistem Sosial Budaya Indonesia, Laboratorium Kajian Pemberdayaan Masyarakat – FISIP – Universitas Jember.

Usman, Sunyoto, 2001. Konflik dan Resolusi Konflik Sumberdaya Alam Perspektif Sosiologi, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Tgl. 15 September 2001 di Yogyakarta.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.