Kelembagaan DAS

Wawan Heryawan dan Syaikhu Usman

KAPASITAS KELEMBAGAAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI DAERAH

Oleh: Wawan Heryawan1  dan Syaikhu Usman2

1 Wawan Heryawan adalah staf Unit Kajian Pembangunan Regional Bappenas
2 Syaikhu Usman adalah peneliti senior SMERU.

Newsletter SMERU No. 21: Jan-Mar/2007

Kelembagaan1 penanggulangan kemiskinan makin mendesak setelah Indonesia mengalami krisis ekonomi yang menyebabkan makin banyaknya jumlah penduduk miskin. Sementara itu, berbagai kebijakan dan program untuk membantu orang miskin belum terkoordinasi. Pada saat pemerintahan Gus Dur, dibentuk Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (BKPK). BKPK ternyata tidak berumur panjang dan berganti nama menjadi Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK). Memasuki era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, KPK berubah nama lagi menjadi Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK).

——-
1 Dalam tulisan ini, lembaga dimaknai sebagai organisasi (misalnya organisasi Departemen Kesehatan), bukan institusi seperti pada lembaga perkawinan. Dalam domain organisasi, lembaga kerap berada di atas individu. Ketika memasuki suatu lembaga, orang dituntut untuk menekan kepentingan individunya. Lembaga dapat pula dikaji dari sifatnya yang inklusif atau eksklusif. Dalam ranah kelembagaan pemerintah, misalnya, kita mengenal ungkapan egosektoral. Menghadapi sifat eksklusif seperti ini, pemerintah mengatasinya dengan upaya koordinasi yang kemudian melahirkan organisasi, seperti “kantor menteri koordinator” dan “badan koordinasi”
——–

Seperti halnya BKPK dan KPK, TKPK merupakan forum lintas pelaku yang diharapkan berperan mewadahi semua upaya penanggulangan kemiskinan. Tim ini berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Untuk mendukung tugas dan fungsi TKPK, sebagai penjabaran dari Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2005, pada 17 Februari 2006 diterbitkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat No. 05/KEP/MENKO/KESRA/II/2006 tentang Pedoman Umum dan Kelompok Kerja TKPK Pusat. Selanjutnya, kelembagaan penanggulangan kemiskinan di daerah diatur dengan Surat Mendagri No. 412.6/2179/SJ perihal Panduan Operasional TKPK Daerah. Hubungan TKPK daerah dengan TKPK Pusat adalah fungsional dan bukan subordinat. Di tengah kondisi kemiskinan yang semakin rumit ini, kebijakan pemerintah masih berkutat di sekitar pertanyaan siapa mengerjakan apa dan belum fokus pada memerangi kemiskinan. Sampai sekarang, lembaga penanggulangan kemiskinan belum cukup berhasil melakukan koordinasi lintas sektoral dan belum mampu membangun sinergi antarpelaku pembangunan dalam mempercepat pengurangan kemiskinan.

Perubahan status TKPK dari “badan” menjadi “komite”, kemudian berubah menjadi “tim” dinilai oleh beberapa pihak justru memperlemah kapasitas kelembagaannya. Keanggotaan TKPK yang cenderung eksklusif, didominasi oleh lembaga pemerintah, diduga makin memperlemah upaya penanggulangan kemiskinan. Di tengah lemahnya koordinasi dan kurangnya sinergi antarlembaga pemerintah, beberapa pihak mengusulkan untuk membentuk lembaga independen dengan keanggotaan yang lebih inklusif. Lembaga seperti ini harus menyediakan ruang seluas mungkin bagi berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat sipil, termasuk untuk menjadi pimpinan sesuai dengan moto pemerintah “Bersama Kita Bisa”.

0k1

Bagi beberapa pemerintah daerah (pemda) yang sudah membentuk organisasi penanggulangan kemiskinan, perubahan KPKD menjadi TKPK daerah dilihat sebagai kemubaziran, membingungkan, dan merepotkan. KPKD yang baru mulai merangkak dipaksa sudah harus diganti menjadi TKPK daerah. Namun demikian, pemda harus mengikuti peraturan Pemerintah Pusat. Pada dasarnya, berbagai hal yang tertuang dalam Panduan Operasional TKPK daerah (lihat Kotak 1) juga menjadi sasaran dan tujuan KPKD dan organisasi sejenis sebelumnya.

Beragamnya Kapasitas Kelembagaan Penanggulangan Kemiskinan di Daerah

Dalam struktur kewenangan pemerintahan sekarang, ujung tombak penanggulangan kemiskinan adalah pemda. Pemerintah Pusat lebih berperan dalam proses fasilitasi dan asistensi guna mempercepat pengurangan tingkat kemiskinan. Untuk mewujudkan efektivitas pemda dalam penanggulangan kemiskinan dengan dukungan aktif para pemangku kepentingan diperlukan perbaikan sistem koordinasi melalui TKPK daerah.

Namun demikian, dalam kenyataannya, pemda tidak selalu mulai dengan pembentukan lembaga. Kemunculan inisiatif daerah tergantung pada beberapa hal, seperti komitmen kepala daerah dan DPRD, serta dukungan para pemangku kepentingan dalam membangun tata pemerintahan yang berorientasi pada perbaikan pelayanan publik dan pemberdayaan kaum miskin. Dalam praktiknya, di samping upaya pengefektifan lembaga pemerintahan dan pengembangan program kerja, pemda juga mengembangkan kerja sama dengan lembaga nonpemerintah. Penyesuaian kelembagaan dengan kebijakan Pemerintah Pusat baru dilaksanakan kemudian. Oleh karena itu, kebijakan Pemerintah Pusat dituntut untuk selalu mempertimbangkan inisiatif daerah yang sudah berjalan, agar mereka tidak terbebani oleh perubahan yang tidak menentu. Beberapa di antara pemda yang melaksanakan penanggulangan kemiskinan dengan berbagai inovasinya antara lain Kabupaten Jembrana, Kota Balikpapan, Kabupaten Gorontalo, dan Kabupaten Sragen.

Kota Balikpapan, misalnya, mengembangkan tata pemerintahan yang berorientasi pada efektivitas pelayanan publik dan memberikan manfaat pada kelompok miskin (Bappenas 2005). Pelayanan publik tersebut berbasis pada informasi kependudukan yang akurat, terpadu, dan mutakhir, sehingga mudah menentukan sasaran program, seperti pelatihan kerja, bantuan untuk keluarga miskin, program sekolah gratis, dan sebagainya. Inisiatif ini dikoordinasikan melalui TKPK yang dibentuk pada 2002 yang pada waktu itu masih berbentuk kelembagaan KPK. Dalam tim ini, Kepala Bappeda menjadi ketua, Kepala Kantor Pemberdayaan Masyarakat sebagai wakil ketua, dan Kepala Bidang Sosial-Budaya Bappeda menjadi sekretaris. Anggota tim terdiri dari wakil pemerintah, perguruan tinggi, dan LSM. Operasionalisasi tim dibantu oleh sebuah sekretariat yang berkedudukan di Kantor Bappeda. Selain itu, tim mempunyai empat Kelompok Kerja Fungsional yang terdiri dari pelaksana program pendidikan, program kesehatan, program bantuan modal, dan program bantuan keterampilan.

Contoh lain, Kabupaten Sragen, melakukan pelayanan publik secara komprehensif, berupa pemberdayaan di bidang perekonomian rakyat dan ketenagakerjaan, serta pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatan. Untuk melaksanakan tugas penanggulangan kemiskinan, pemda membentuk KPK Kabupaten, KPK Kecamatan, dan KPK Desa. Di samping itu, dibentuk juga beberapa lembaga lain yang memiliki tugas khusus, yaitu:

  • tim independen Dewan Ekonomi dan Penanggulangan Kemiskinan sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan;
  • kelompok kerja Jasa Pengembangan Usaha (Business Development Service/BDS) dan Pelayanan Satu Tempat (One-Stop Service/ OSS) yang dibentuk untuk meningkatkan pelayanan publik;
  • satuan tugas Pemberdayaan Konsultan Keuangan/Pendamping Mitra Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang bertugas membantu kerja sama dengan pihak perbankan;
  • dewan pendidikan yang dibentuk untuk menjamin pelaksanaan pendidikan yang bermutu;
  • tim Pembina Wilayah Program Penanggulangan Kemiskinan yang betugas menyiapkan data kemiskinan yang partisipatoris, melakukan koordinasi vertikal dan horisontal dengan instansi terkait, memantau, mengendalikan, memonitor, dan mengevaluasi pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan secara berkala.

Upaya untuk memadukan lembaga KPKD/TKPK daerah dengan berbagai program penanggulangan kemiskinan dilakukan juga oleh pemerintah provinsi. Misalnya, Program Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan (Gerdu-Taskin) di Jawa Timur. Program Gerdu Taskin dilaksanakan sejak 2002 dan memiliki program kerja berjangka lima tahun dengan dukungan dana APBD provinsi. Pada pelaksanaan program Fase I (2002-2004), prioritas program diarahkan untuk menanggulangi dampak krisis ekonomi, khususnya di desa/kelurahan miskin melalui Pendekatan Tridaya yang meliputi pemberdayaan manusia, usaha, dan lingkungan. Pada Fase II (2005-2007), gerakan ini lebih diarahkan pada pola pengembangan dan pengelolaan program yang lebih terpadu dan berkelanjutan. Kegiatan ini dilakukan dengan pola kemitraan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota dan pemangku kepentingan lainnya.

Pada kasus Kabupaten Bima, KPKD dibentuk dengan Keputusan Bupati No. 95 Tahun 2004 dan terdiri dari unsur pemerintah dan  nonpemerintah. Susunan pimpinan KPKD terdiri dari Bupati sebagai penanggung jawab; Sekretaris Daerah, Asisten Administrasi Pembangunan dan Kesejahteraan, dan Ketua Bappeda sebagai pengarah; Kepala Badan Pembangunan Masyarakat dan Pemberdayaan Perempuan (BPMPP) sebagai ketua pelaksana; dan Kepala Bidang Ekonomi BPMPP sebagai sekretaris. Untuk melaksanakan program kerjanya, KPKD membentuk empat kelompok kerja (pokja). Pemimpin atau anggota pokja unsur nonpemerintah terdiri dari akademisi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga donor.

Sejak pembentukannya, KPKD Kabupaten Bima telah melakukan beberapa kegiatan, seperti inventarisasi program penanggulangan kemiskinan, pendataan keluarga miskin, dan penyusunan draf Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD). Meskipun begitu, banyak pihak, termasuk beberapa anggota KPKD, menilai bahwa efektivitas lembaga ini dalam mengkoordinasikan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan masih lemah. Kelemahan tersebut disebabkan terbatasnya dukungan dana APBD sehingga untuk melaksanakan rapat koordinasi secara intensif pun tidak memungkinkan. Selain itu, penyebab yang lebih mendasar justru terletak pada struktur kelembagaan KPKD sendiri. Surat Mendagri yang menunjuk ketua pelaksana KPKD untuk dijabat oleh Kepala BPMPP dan sekretariat KPKD supaya juga berada di Kantor BPMPP belum tentu cocok untuk semua daerah. Berdasarkan tugas dan fungsinya, BPMPP memang bukan koordinator pembangunan di daerah. Fungsi koordinasi secara fungsional dilaksanakan oleh Bappeda. Oleh karena itu, di Kabupaten Bima inisiatif koordinasi kegiatan KPKD banyak diperankan oleh Bappeda yang memang mempunyai basis data yang lebih memadai dan lebih banyak staf yang kompeten. Dalam praktiknya, meskipun sekretariat KPKD berada di kantor BPMPP, peran Bappeda sangat besar dalam penyusunan SPKD dan pengintegrasian agenda penanggulangan kemiskinan dalam dokumen perencanaan daerah.

Sehubungan dengan Surat Mendagri No. 412.6/2179/SJ Tahun 2006 perihal Panduan Operasional TKPK daerah yang dinilai cenderung bersifat eksklusif, maka KPKD Kabupaten Bima tengah mencari cara penyesuaian diri dengan kebijakan Pemerintah Pusat tersebut. Keeksklusifan tersebut terlihat dari tidak tersedianya ruang bagi masyarakat sipil untuk menjadi pemimpin, termasuk di tingkat pokja.

Sementara itu, KPKD Kabupaten Tapanuli Tengah dibentuk pada 2003 berdasarkan SK Bupati No. 255/PMD/Tahun 2003. Anggotanya terdiri dari 10 lembaga satuan kerja pemda. Penangung jawabnya adalah Bupati, dengan ketua pelaksana Kepala Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD). Sekretaris KPKD berasal dari Kantor PMD, sementara pengarah ditugaskan kepada Kepala Bappeda. Sejak terbentuknya KPKD sampai dengan pelaksanaan studi SMERU, KPKD belum melakukan kegiatan karena pemda tidak mengalokasikan dana dalam APBD. Keberadaan KPKD tidak banyak diketahui dinas sektoral. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau Kabupaten Tapanuli Tengah belum menyusun dokumen SPKD dan belum melakukan upaya untuk mengkoordinasikan kebijakan penanggulangan kemiskinan. Beberapa program dinas sektoral yang diberi label penanggulangan kemiskinan dikelola oleh masing-masing instansi.

Melalui gambaran ringkas kelembagaan di atas, terlihat bahwa lembaga penanggulangan kemiskinan di beberapa daerah cukup nyata keberadaannya. Di daerah seperti itu, proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pemantauan dan evaluasi program berjalan cukup baik. Berbeda halnya dengan kabupaten/kota lain yang belum membentuk lembaga penanggulangan kemiskinan, atau telah membentuk KPKD/TKPK daerah namun sekadar untuk memenuhi peraturan Pemerintah Pusat. Mereka belum mampu menjalankan koordinasi lintas sektoral dan lintas pelaku. Meskipun begitu, belum aktifnya lembaga KPKD/TKPK daerah tidak berarti rendahnya kapasitas daerah dalam penanggulangan kemiskinan. Di beberapa daerah, pelaksanaan penanggulangan kemiskinan lebih banyak digerakkan oleh dinas-dinas pelayanan publik, sementara koordinasi lintas sektor dilakukan oleh Bappeda.2

——–

2 Dinamika seperti ini antara lain dapat dilihat dari hasil studi Lembaga Penelitian SMERU tentang ‘Kajian Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Kemiskinan melalui Analisis Kemiskinan Partisipatoris (AKP)’ di Kabupaten Bima dan Kabupaten Tapanuli Tengah. Lihat Suharyo et al (2006).
———

Kesimpulan

Keragaman kapasitas kelembagaan penanggulangan kemiskinan di daerah terbentuk dan dipengaruhi oleh komitmen kepala daerah, dukungan jajaran DPRD, dan partisipasi masyarakat sipil. Instruksi pembentukan TKPK daerah dapat menjadi instrumen untuk memperkuat upaya penanggulangan kemiskinan, sejauh inisiatif penanggulangan kemiskinan sudah menjadi kebijakan dan program daerah.

Hambatan pengoptimalan kinerja kelembagaan TKPK daerah di antaranya bersumber dari sifat organisasi yang cenderung eksklusif, sifat egosektoral instansi pemerintah yang mempersulit upaya koordinasi, dan keterbatasan dana. Berkaitan dengan hal tersebut, TKPK daerah harus mau lebih terbuka dan aktif berkomunikasi dengan daerah lain. Setiap TKPK daerah perlu mengetahui upaya-upaya apa yang dilakukan di daerah lain, apa yang berhasil dan tidak berhasil, sehingga mereka bisa belajar dari pengalaman daerah lain. Pada saat bersamaan, kelembagaan perlu menerapkan pendekatan yang lebih aktif mendorong partisipasi masyarakat dari berbagai lapisan dan unsur, termasuk perempuan, dan lebih responsif terhadap permasalahan dan usul mereka.

Di tingkat Pemerintah Pusat, perumusan kebijakan hendaklah selalu disusun berdasarkan akumulasi informasi mengenai berbagai kondisi yang berlangsung di daerah. Dalam hal TKPK, kebijakannya perlu secara luas menyediakan ruang partisipasi masyarakat sipil, termasuk untuk menjadi pemimpin. Pada akhirnya otonomi daerah tidak boleh hanya berhenti pada lembaga pemerintah, tetapi harus menjangkau masyarakat sipil.

Daftar Pustaka

Bappenas (2005) ‘Hasil Kajian Pembelajaran dari Daerah dalam Penanggulangan Kemiskinan.’ Sekretariat Kelompok Kerja Perencanaan Makro Penanggulangan Kemiskinan

Suharyo, Widjajanti et al (2006) ‘Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Kemiskinan melalui Analisis Kemiskinan Partisipatoris (AKP).’ Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.