Kelembagaan DAS

Suharyanto

ANALISIS KELEMBAGAAN MODEL SISTEM INTEGRASI TANAMAN KOPI – TERNAK KAMBING

Oleh: Suharyanto; Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali

ABSTRAK

Model sistem integrasi tanaman kopi – ternak kambing merupakan salah satu bentuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lahan perkebunan dalam upaya meningkatkan pendapatan petani. Kajian bertujuan untuk : (a) mengkaji kelembagaan pengelolaan sistem integrasi tanaman kopi – ternak kambing dan (b) keragaan managemen dan pelaku sistem integrasi tanaman kopi – ternak kambing. Lokasi pengkajian ditentukan secara purposive di Desa Bongancina, Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng yang merupakan lokasi pengkajian integrasi tanaman kopi dengan ternak kambing. Pengkajian dilaksanakan pada bulan Juni – Agustus 2006, dengan melibatkan 30 petani responden yang merupakan petani koperator. Pengumpulan data primer dengan menggunakan kuisioner melalui survei wawancara disertai depth interview,observasi dan analisis dokumen. Data dianalisis secara deskriptif yang berbasis informasi primer. Hasil kajian menunjukkan bahwa : keberhasilan model integrasi sangat ditentukan oleh kekompakan anggota dan iklim organisasi yang kondusif, aturan main yang dijalankan, kekompakan dan kredibelitas pengurus dan anggota merupakan faktor penting dalam mewujudkan integritas anggota dan pencapaian tujuan, pemilihan lokasi model integrasi perlu mempertimbangkan persepsi petani dan derajat aksi kolektif untuk penyusunan strategi yang tepat. Dukungan Pemerintah Daerah sangat berperan dalam menunjang pengembangan model kelembagaan integrasi tanaman kopi – ternak kambing.

Kata kunci : kelembagaan, integrasi, kopi, kambing.

PENDAHULUAN

Integrasi tanaman-ternak merupakan suatu sistem pertanian yang dicirikan oleh keterkaitan yang erat antara komponen tanaman dan ternak dalam suatu usahatani atau dalam suatu wilayah. Keterkaitan tersebut merupakan suatu faktor pemicu dalam mendorong pertumbuhan pendapatan masyarakat tani dan pertumbuhan eknomi wilayah dengan cara yang berlanjut. Ciri keterkaitan antara lain adalah penggunaan sumberdaya yang beragam seperti tanaman hijauan, residu tanaman, dan pupuk organik yang dihasilkan ternakdalam suatu proses produksi dan dalam suatu siklus hara. Hubungan sinergis yang dihasilkan memungkinkan ternak memberikan keuntungan yang tinggi per satuan input tenaga kerja disamping memberikan pupuk bagi tanaman. Produktivitas tanaman yang meningkat memberi peluang bagi peningkatan pendapatan masyarakat dan mendorong meningkatnya permintaan terhadap produk ternak yang pada gilirannya mendorong munculnya kesempatan kerja di pedesaan (Pasandaran et al., 2005)

Teknologi yang bersifat spesifik lokasi, supaya teknologi tersebut sesuai secara teknis, ekonomi menguntungkan, social dapat diterima oleh pengguna, mendukung kebijakan Pemda serta ramah lingkungan. Dengan demikian diharapkan kedepan adopsi teknologi tersebut menjadi lestari, baik oleh pengguna (petani) maupun stakeholder. Teknologi yang diciptakan harus efisien dalam arti biaya per unit produk yang dihasilkannya serendah mungkin sehingga mampu bersaing dipasaran, serta optimal yaitu mampu memanfaatkan sumberdaya lokal yang dimiliki petani secara seimbang dan maksimal (Sudana, 2005).

Pemberdayaan kelembagaan petani dalam bentuk kelompok bertujuan untuk pemberdayaan petani dalam penerepan inovasi teknologi secara berkelanjutan. Disadari bahwa keberhasilan pengembangan inovasi teknologi pertanian tidak hanya tergantung pada faktor teknologi semata, namun juga faktor sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan kelembagaan. Keempat faktor tersebut merupakan unsur penggerak dalam pembangunan pertanian yang sinergis, sehingga apabila salah satu faktor mengalami hambatan atau tidak sesuai maka kegiatan yang dilakukan tidak memberi hasil yang optimal. Dengan demikian penerapan teknologi saja tidak cukup untuk mengatasi permasalahan di lapang tetapi perlu diimbangi dengan pengelolaan sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan kelembagan kelompok serta penguatan modal (Saleh et al., 2004). Kajian bertujuan untuk : (a) mengkaji kelembagaan pengelolaan sistem integrasi tanaman kopi – ternak kambing dan (b) keragaan managemen dan pelaku sistem integrasi tanaman kopi – ternak kambing

METODOLOGI PENELITIAN

Pengkajian dilaksanakan pada bulan Juni – Agustus 2006, dengan melibatkan 30 petani responden yang merupakan petani koperator. Pendekatan yang digunakan dalam pengkajian ini adalah sebelum dan setelah menerapkan teknologi integrasi tanaman kopi dengan ternak kambing. Lokasi pengkajian ditentukan secara purposive di kelopok Satwa Sari Ramban, Desa Bongancina, Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng yang merupakan lokasi penkajian integrasi tanaman kopi dengan ternak kambing. Pengumpulan data primer dengan menggunakan kuisioner melalui survei wawancara disertai depth interview pada beberapa informan kunci, observasi dan analisis dokumen. Analisis data dilakukan secara deskriptif yang berbasis pada informasi data primer yang kemudian dianalisis dan diinterpretasikan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persepsi Responden Terhadap Pengembangan Teknologi Integrasi

Untuk mendapatkan umpan balik terhadap teknologi integrasi tanaman kopi-ternak kambing, maka diperlukan adanya feed back dari petani terhadap kemungkinan adanya kendala dalam pengembangannya. Umpan balik yang diharapkan tidak hanya dari aspek biofisik, social ekonomi namun juga terhadap teknologi yang telah terapkannya dan kemungkinan adanya inovasi teknologi yang berkaitan dengan teknologi terdahulu, mengingat teknologi selalu bersifat dinamis. Menggali kearifan lokal tidak dapat dianggap sebagai langkah mundur tetapi hendaknya disikapi sebagai upaya menggali sari-sari pikiran yang cerdas, bijak, berwawasan kedepan, dan menggali nilai-nilai budaya yang mengandung integritas moral yang tinggi yang diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya alam.

0t1

Persepsi petani terhadap kendala dalam pengembangan teknologi dari aspek biofisik adalah masih belum banyaknya alat pengolahan limbah kopi (21,26%), baik untuk pakan ternak maupun yang diolah untuk pupuk organik. Hal ini karena ketersediaan alat yang terbatas, sedangkan jarak lokasi antara kebun atau tempat tinggal mereka agak jauh ke lokasi pengolahan. Sedangkan kendala dari aspek social ekonomi yang dominan adalah permodalan, yaitu tidak adanya akses ke sumber permodalan (26,18%) dan modal usaha yang terbatas dalam pengembangan usahanya (22,40%). Hal ini senada dengan hasil kajian Sudana (2005) bahwa masalah utama yang dihadapi petani dalam mengadopsi suatu teknologi adalah terbatasnya modal petani, disamping itu sumber modal berupa kredit usahatani baik formal mupun non formal tidak tersedia di lokasi kajian. Keadaan ini cukup mempersulit petani didalam mengadopsi suatu teknologi,karena adopsi teknologi baru membutuhkan biaya tambahan. Sesungguhnya disinilah peran Pemerintah Daerah dalam menginisiasi adanya kemitraan dalam hal mengakses ke sumber permodalan sehingga proses transfer teknologi dapat berjalan sesuai yang diharapkan dan skala usaha dapat ditingkatkan.

Saptana et al., (2004) menyatakan bahwa agar kemitraan yang dibangun bisa berjalan seimbang maka perlu adanya konsolidasi kelompok, baik dari keanggotaannya maupun manajemen (pengadaan saprodi, pascapanen, pemasaranserta permodalannya). Oleh sebab itu yang terpenting dalam mengembangkan kelembagaan ditingkat petani bukan struktur formalnya tetapi kompatibilitasnya dengan fungsi-fungsi yang harus dijalankan. Dengan demikian yang perlu memperoleh perhatian serius adalah mengidentifikasi secara seksama kelembagaan lokal yang dapat dijadikan embrio kelembagaan dalam kerangka kemitraan usaha. Pengembangan kelembagaan kelompok harus dilakukan melalui proses sosial yang matang, terencana, tersosialisasikan, yang akhirnya dapat operasional dengan baik.

Kendala dari aspek teknologi sebenarnya tidak ada yang begitu dominan, karena dari aspek penerapan teknologi integrasi yang sudah dibina kurang lebih lima tahun oleh BPTP, petani sudah cukup mampu dalam hal penerapan teknologi integrasi. Adanya inovasi teknologi lainnya yang berkaitan dengan usaha petani/peternak justru yang sangat diharapkan oleh mereka guna mendukung keberlanjutan usatani mereka.

Keragaan Pelaksanaan Teknologi Integrasi Tanaman Kopi-Ternak Kambing

Dikawasan perkebunan para petani umumnya tergabung dalam organisasi Subak Abian, dengan ketua kelompok (Kelian Subak Abian) yang dipilih secara musyawarah oleh para anggotanya. Beberapa subak abian yang petaninya juga memiliki ternak, membentuk sub kelompok (peternakan) yang tetap terintegrasi dalam subak abian. Saat ini di desa Bongan Bongancina sudah terdapat tiga kelompok tani ternak dengan jumlah anggota 81 orang, namun cikal bakal berdirinya kelompok-kelompok tersebut diinisiasi oleh kelompok tani ternak Satwa Sari Ramban, yang pada awal pengkajian hanya beranggotakan 25 orang dengan 78 ekor kambing atau rata-rata 3.1 ekor per KK dan lebih dari 50 persennya terserang penyakit scabies. Namun saat ini jumlah ternak kambing telah menjadi 336 ekor dengan rat-rata kepemilikan 11.2 ekor per KK.

Pada awalnya motivasi para petani kebun untuk beternak kambing adalah untuk memperoleh bahan pupuk kandang bagi tanaman di kebun mereka, disamping untuk memperoleh anaknya. Di lain pihak hampir seluruh kebutuhan pakan (hijauan) untuk kambing diambil dari hasil pemangkasan tanaman penaung. Hal ini menunjukan pola integrasi antara usahatani perkebunan dan ternak kambing telah terjadi sejak lama. Namun polanya belum intensif, antara lain kambing yang dipelihara jumlahnya terlalu sedikit dibanding dengan luas lahan perkebunan, yakni antara 3-4 ekor. Padahal dengan luas kebun rata-rata 1,5 hektar petani bisa memelihara kambing hingga 30 ekor.Selain itu mutu kambing masih rendah dan pola pemeliharaan kambing dan kopi juga masih tradisional (Guntoro et al., 2004). Usahatani integrasi merupakan bentuk diversifikasi usahatani yang memiliki satu rantai ekosistem terutama dalam pemanfaatan biomasa. Melalui sentuhan teknologi maju seperti teknologi pemberian pakan penguat dari limbah tanaman perkebunan, teknologi pembuatan kompos dari limbah ternak, peningkatan mutu genetic kambing dan pengolahan hasil susu kambing, integrasi tanaman kopi-ternak kambing secara nyata telah meningkatkan pendapatan petani.

Teknologi baru diharapkan dapat meningkatkan efisiensi usahatani. Peningkatan efisiensi bisa berupa penghematan biaya produksi atau peningkatan produktivitas sehingga memberi pendapatan bersih yang lebih tinggi dari sebelumnya. Di masa mendatang, hanya usahatani yang efisien yang mampu berkembang menjadi sistem agribisnis untuk menghasilkan produk primer atau produk olahan yang mampu bersaing di pasar global. Dalam sistem agribisnis, semua sub-sistem (mulai dari pasar input, sistem usahatani, pengolahan, sampai pemasaran hasil) serta sarana-prasarana pendukung lainnya harus berjalan dengan baik dan dapat diakses oleh seluruh pelaku agribisnis.

Input untuk kopi yang menjadi perhatian dalam studi ini adalah pupuk, obat-obatan dan fermentor untuk pembuatan pupuk kompos. Selama teknologi introduksi menggunakan tanaman yang sudah ada, maka ketersediaan bibit belum menjadi masalah. Dalam hal pemupukan, pupuk yang digunakan adalah bersumber dari limbah ternak petani. Selama petani adopter memelihara kambing yang saat ini rata-rata 11 ekor per petani, maka ketersediaan pupuk kandang tergolong baik. Dari input yang diintroduksikan, hanya fermentor yang belum tersedia. Untuk ternak kambing, input yang menjadi perhatian adalah: bibit, pakan, vaksin, semen beku untuk IB, dan fermentor untuk pengolahan limbah kopi dan kakao menjadi pakan konsentrat. Ketersediaan berbagai input tersebut umumnya cukup memadai, kecuali semen beku dan fermentor yang belum tersedia di pasar.

Jenis produk olahan yang dihasilkan yakni biji kopi kering dari kopi dan es krim susu kambing dari ternak kambing. Bahan baku kedua produk tersebut seluruhnya lokal, tidak ada yang dibeli dari daerah lain. Dalam kaitannya dengan teknologi, penguasaan teknologi budidaya kopi dengan pupuk organik dan pemeliharaan kambing dengan menyediakan pakan konsentrat sendiri relatif baik. Namun disayangkan bahwa kerjasama kemitraan kelembagaan untuk pengadaan input dan penanganan hasil belum ada. Namun demikian, nilai tambah yang diperoleh petani dari pengolahan sederhana relatif baik.

Di sisi pasar output, persentase harga yang diterima petani dari produk olahan kopi sebesar 80 persen, sedang sisanya diterima oleh pihak lain, seperti pedagang, buruh dsb. Untuk kambing, baik produk primer maupun sekunder, persentase harga yang diterima petani 100 pesen. Artinya nilai atau harga kambing tidak dibagi dengan pihak lain, karena petani melakukan pemasaran produk ternak ini langsung ke konsumen. Efisiensi pemasaran untuk ke dua komoditas masing-masing relatif baik, karena struktur pasar yang terbentuk adalah bersaing. Seperti halnya dalam pengolahan hasil, kemitraan dalam pemasaran juga belum ada. Dalam hal kopi, petani dengan bimbingan BPTP dan Pemda Bali telah memprakarsai pengolahan basah untuk kopi petik merah. Hal ini merupakan salah satu bentuk diversifikasi pasar dengan sasaran perusahaan exportir kopi. Bahkan Pemda Bali telah mencanangkan promosi kopi organik dari hasil introduksi teknologi kopi menggunakan pupuk organik dan tanpa bahan kimia. Kopi petik merah dan kopi organik mempunyai segmen pasar tersendiri, yaitu hotel internasional dan expor (Swastika, 2005).

Dari aspek permodalan, saat ini petani adopter masih menggunakan modal sendiri untuk melakukan kegiatan usahatani integrasi tanaman perkebunan dengan ternak kambing. Di desa kajian belum dikenal adanya kredit program, sehingga petani masih mengandalkan modal sendiri. Hal ini disebabkan akses kredit ke perbankan masih dirasakan sulit, baik dalam hal jarak maupun prosedur administrasi yang harus ditempuh.

Kelembagaan Pengelolaan Teknologi Integrasi Tanaman Kopi-Ternak Kambing

Penerapan teknologi akan berhasil apabila kelembagaan yang ada didalamnya juga solid, sebagaimana dinyatakan Binswanger dan Ruttan dalam Syahyuti (2003) bahwa kelembagaan merupakan faktor utama yang menghasilkan teknologi. Teknologi yang baik hanya dapat dihasilkan dari suatu manajemen kelembagaan yang baik pula. Seterusnya, penerapan suatu teknologi yang telah dihasilkan tersebut akan lebih berhasil bila dilakukan oleh kelembagaan yang memadai pula.

Pengelolaan kelembagaan teknologi integrasi tanaman kopi-ternak kambing di lokasi pengkajian tidak kesemuanya dilakukan secara kolektif. Namun demikian pengelolaannya mengalami penyesuaian sesuai dengan sosiokultur masyarakat petani/peternak. Perbedaan pola pengelolaan ini dipandang sebagai suatu upaya adaptasi teknologi melalui rekayasa kelembagaan yang diintroduksi. Beberapa kegiatan yang dikelola secara kolektif antara lain dalam hal pengolahan limbah kopi/kakao, pelaksanaan IB atau laser punktur, dan aspek pemasaran. Hingga saat ini kerjasama dalam pemasaran yang telah berjalan antara lain dalam hal : pemasaran kambing, pemasaran susu, pemasaran hasil-hasil olahan susu (kerupuk susu kambing dan ice cream susu kambing). Hal ini disebabkan karena pemasaran melalui kelompok diyakini lebih efektif dan efisien disbanding secara individu, dan untuk individu yang menangani seksi pemasaran memiliki tanggung jawab yang besar baik dalam hal mencari informasi pasar maupun dalam hal kemitraan usaha. Salah satu alasan utama pemasaran output hasil susu kambing adalah karena di kelompok tersedia alat penyimpanan sehingga produk tidak akan mangalami kerusakan, walaupun tiap anggota yang menjual produknya melalui kelompok dikenakan iuran wajib/potongan namun mereka tidak merasa keberatan. Hal ini dikarenakan selain potongan yang tidak terlalu besar, juga karena sumbangan tersebut guna pemupukan modal tabungan simpan pinjam di kelompok yang akan digulirkan di anggota.

Dalam hal dinamika kelompok sudah berjalan cukup optimal, hal ini dapat tercermin masih rutinnya pertemuan kelompok yang diselenggarakan sebulan sekali namun dalam hal pengkaderan/pergantian pengurus belum berjalan maksimal. Walaupun dalam aturan dikelompok sudah tertulis periode pergantian kepengurusan namun tidak keseluruhan dijalankan. Reward and punishment juga sudah mulai diterapkan dikelompok mulai dari yang terkecil seperti apabila dalam setiap pertemuan bulanan anggota tidak hadir maka diwajibkan untuk membayar denda, sesuatu yang kecil namun sangat berarti bagi keberlanjutan kelompok.

Dalam hal pengelolaan sumberdaya manusia di kelompok, masing-masing individu sudah memerankan kewajiban sesuai dengan tugasnya dimasing-masing seksi kelompok sesuai dengan keahliannya setelah mengikuti pelatihan-pelatihan yang sesuai dengan bidangnya. Teradopsinya berbagai komponen teknologi telah meningkatkan peran wanita tani dalam usahatani, sebagaimana yang dinyatakan oleh Guntoro et al., (2004) peran wanita tani dalam berusahatani meningkat meningkat dari 25-30% menjadi 40% terutama dalam hal pengolahan hasil seperti penanganan limbah kopi, penanganan susu kambing . Hal ini mengindikasikan bahwa kesetaraan gender sudah mulai dijalankan pada kelembagaan integrasi tanaman kopi ternak kambing.

KESIMPULAN DAN SARAN

  1. Eksistensi kelembagaan kelompok tani sangat ditentukan oleh kepengurusan kelompok, dinamika aturan-aturan yang berlaku dan disepakati bersama oleh para pelaku dan berpengaruh terhadap interaksi sosial ekonomi. Kelembagan ini juga akan mengatur hubungan antar petani dalam penguasaan faktor produksi.
  2. Tingkat kemanfaatan kelompok belum menjangkau aspek pascapanen, pemasaran dan modal secara optimal. Pinjaman modal mutlak diperlukan dalam pengembangan model usatatani integrasi.
  3. Untuk lebih meningkatkan kinerja kelompok maka adanya pola kemitraan sangat diperlukan baik dalam hal penyediaan input, modal maupun dalam hal pemasaran hasil usahatani.

DAFTAR PUSTAKA

Guntoro, S., I M Rai Yasa, N Suyasa dan Rubiyo. 2004. Succes Story. Integrasi Tanaman Industri Dengan Ternak Kambing. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali. Denpasar. 22 hal.

Pasandaran, E., A. Djajanegara., K. Kariyasa dan F Kasryno. 2005. Kerangka Konseptual Integrasi Tanaman-Ternak di Indonesia. Dalam Integrasi Tanaman-Ternak di Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Deptan Jakarta. hal 9-31.

Saleh, A., B. Rachman., A Gozali dan Z. Zaini. 2004. Analisis Kelembagaan Sistem Integrasi Padi Ternak . Studi Kasus Provinsi Sulawesi Selatan dan Jawa Barat. Working Paper. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor. 13 hal.

Saptana, Susmoro, Suwarto dan M nur. 2004. Kinerja Kelembagaan Agribisnis Beras di Jawa Barat dalam Aspek Kelembagaan dan Aplikasinya dalam Pembangunan Pertanian. Monograph Series No.25. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. hal 75-100.

Sudana, W. 2005. Evaluasi Kinerja Diseminasi Teknologi Integrasi Ternak Kambing dan Kopi di Bongancina, Bali. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis SOCA. Vol 5 No3. Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Denpasar. hal 326-333.

Swastika, D.K.S. 2005. Studi Dampak Pengembangan Teknologi Unggulan BPTP Bali. Modul pelatihanAnalisis Finansial dan Ekonomi Bagi Pengembangan Sistem dan Usahatani Agribisnis Wilayah. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. 22 hal.

Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan. Strategi Pengembangan dan Penerapannya dalam Penelitian Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. 123 hal.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.