Kelembagaan DAS

Benny Rachman dan Ketut Kariyasa

DINAMIKA KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR IRIGASI

Oleh: BENNY RACHMAN DAN KETUT KARIYASA

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen.Pertanian R.I.

ABSTRACT

The increasing demand of water for economic activities trigger a consequence of higher pressure of irrigation water needs. On the other side, Water User’s Association (P3A), an organization managing irrigation water from tertiary and quarter channel up to the rice field, finds it difficult to manage water resource in perspective of quantity, times and place. In line with that, institutional adjustment in both government institution and institution at farm level should be carried out in order to improve efficiency of water management. Furthermore, to support local autonomy and the empowerment of Water Users Assosiation to undertake larger responsibility in irrigation management as a strategic approach to improve efficiency of irrigation system management at the local level. The involvement of farmers in managing irrigation water distribution should be promoted up to the upper level, i.e. through the development of P3A federation based on hidrological spread i.e. irrigation area.

Key words : Institutional, P3A Federation, Autonomy

PENDAHULUAN

Dalam upaya menciptakan pengelolaan sumberdaya air yang efisien dan merata, diperlukan penyesuaian kelembagaan baik untuk kelembagaan pemerintah, swasta maupun petani. Pada tingkat petani, dipandang penting untuk mengembangkan kapasitas asosiasi pemakai air menjadi suatu organisasi yang mampu berperan ganda, bukan hanya sebagai pengelola jaringan irigasi tetapi juga kegiatan usaha ekonomi.

Selain usaha perubahan di tingkat lokal, terjadinya pengalokasian sumberdaya air efisien dan merata juga ditentukan oleh keberhasilan kinerja lembaga pengelola air di tingkat jaringan (distribusi) dan tingkat sungai (alokasi). Dengan demikian, kelembagaan yang perlu mendapat perhatian adalah kelembagaan Panitia Irigasi (TK.I dan II), Panitia Tata Pengaturan Air (PTPA) dan P3A. Hal ini, mengisyaratkan bahwa organisasi sumberdaya asosiasi lokal perlu diberi kesempatan untuk mengelola sumberdaya air yang tidak hanya terbatas pada tingkat usahatani, namun melibatkan secara lebih luas di tingkat distribusi dan alokasi. Hal ini sangat penting dalam menghadapi otonomi daerah yang menuntut adanya sistem pengelolaan air irigasi yang semakin kompetitif dan profesional.

Dalam konteks kelembagaan irigasi terdapat tiga aspek penting yang sangat berperan yang menyangkut aspek: (1) batas yurisdiksi (jurisdiction of boundary), (2) hak kepemilikan (property rights), dan (3) aturan representasi (rule of representation). Sedangkan aspek teknis menyangkut: (1) alokasi air (water allocation), dan (2) operasi dan pemeliharaan (operation and maintenance). Keterpaduan aspek teknis dan sistem kelembagaan dalam pengelolaan irigasi akan berpengaruh terhadap hasil (outcomes), efisiensi dan optimasi pengalokasian sumberdaya air. Lemahnya keterpaduan aspek teknis dan sistem kelembagaan seringkali menimbulkan management conflict sumberdaya air. Oleh karenanya, kejelasan water use rights akan merefleksikan hak dan tanggung jawab dalam “maintenace” sistem irigasi, dan kemudahan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya air. Secara konkrit, keterkaitan ini disajikan pada Pasandaran dan Rachman (2001).

Dalam konteks ini, makalah ditujukan untuk menganalisis beberapa aspek kelembagaan pengelolaan irigasi yang erat kaitannya dengan perspektif otonomi daerah. Secara khusus, aspek yang dikaji adalah: (1) kebijakan pengelolaan irigasi pasca Inpres No. 3/1999, (2) implementasi Inpres No.3/1999, (3) potensi konflik, dan (4) penyaluran dana iuran pelayanan air irigasi (IPAIR).

KEBIJAKAN PENGELOLAAN IRIGASI PASCA INPRES NO.3/1999

Pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi yang berkesinambungan memerlukan keterpaduan yang holistik antara investasi jangka pendek (untuk kegiatan OP) dan jangka panjang untuk kegiatan rehabilitasi dari sistem irigasi. Terbatasnya kemampuan pemerintah dari segi dana untuk menangani kegiatan operasi dan pemeliharaan (OP) irigasi, maka pemerintah mencanangkan kebijakan iuran pengeloaan air (IPAIR) sepenuhnya dikelola oleh P3A. Tujuan IPAIR adalah untuk mencapai pemulihan biaya secara penuh atas biaya OP  dari sistem jaringan irigasi. Hal ini merupakan tantangan dan peluang bagi P3A dalam memperluas kegiatan usaha ekonominya yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan para anggotanya. Untuk meningkatkan kapasitas P3A dalam mengelola jaringan irigasi secara mandiri, diperlukan adanya penyesuaian dalam fungsi kelembagaan P3A.

Secara umum kebijakan pengaturan irigasi yang dikeluarkan pemerintah memuat tentang perlindungan sumberdaya air dan pengaturan pemanfaatannya. Perubahan fenomenal terlihat dari kebijakan pemerintah terbaru dalam pengelolaan air irigasi yaitu Inpres No.3/1999 tentang pembaharuan kebijakan pengelolaan irigasi yang memuat 5 (lima) isi pokok sebagai berikut : (1) Redefinisi tugas dan tanggung jawab lembaga pengelola irigasi, (2) Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air, (3) Penyerahan Pengelolaan Irigasi (PPI) kepada P3A, (4) Pembiayaan operasional dan pemeliharaan (OP) jaringan irigasi melalui IPAIR, dan (5) keberlanjutan sistem irigasi. Terlaksananya pembaharuan kebijakan pengelolaan irigasi ini sangat bergantung pada upaya pemerintah dalam pemberdayaan P3A, khususnya menyangkut tiga aspek pokok yaitu: (1) penyerahan pengelolaan irigasi (PPI), (2) pelaksanaan IPAIR, dan (3) pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi.

Dari sisi petani (P3A) pelaksanaan PPI dapat memberi manfaat sebagai berikut: (a) meningkatkan kemampuan P3A sebagai lembaga petani yang mandiri, dan mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, dan (b) petani mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan dana IPAIR. Sedangkan dari sisi pemerintah adalah : (a) beban pemerintah daerah dalam kegiatan OP jaringan berkurang, (b) pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator, dan (c) pemerintah bersifat koordinatif dan menjaga keberlanjutan sumberdaya air.

Implementasi kebijakan pemerintah tersebut membawa perubahan besar dalam pola pengelolaan irigasi, baik dalam aspek peran dan tanggung jawab lembaga pengelola irigasi serta pendanaan terhadap kegiatan OP jaringan irigasi. Mengingat setiap daerah memiliki kondisi teknis jaringan dan sosiokultur yang beragam, maka perlu adanya pedoman penyerahan pengelolaan irigasi (PPI) secara jelas dan rinci sesuai dengan kondisi dan situasi daerahnya. Dengan adanya pedoman tersebut diharapkan dapat terwujud pelaksanaan OP jaringan irigasi yang efisien dan efektif serta berkelanjutan melalui peran aktif masyarakat dan pemberdayaan kelembagaan P3A/P3A Gabungan.

Fakta menunjukkan bahwa kemampuan dan kondisi sosio-kultural masyarakat maupun lembaga pemerintah pengelola irigasi relatif heterogen, maka kegiatan PPI harus dilakukan dengan asas selektif, bertahap dan demokratis disesuaikan dengan kondisi jaringan irigasi dan tingkat kesiapan P3A/P3A Gabungan setempat. Disamping itu, jaringan irigasi yang akan diserahkan merupakan jaringan irigasi yang secara teknis siap untuk diserahkan. Dengan demikian, diperlukan kriteria yang jelas serta disepakati bersama antara pemerintah dan P3A/P3A Gabungan.

PPI mengandung makna pengalihan wewenang dan tanggung jawab. Belum adanya dasar hukum yang melandasi pelaksanaan PPI, khususnya menyangkut luas cakupan, wewenang dan tanggung jawab yang dialihkan akan menyebabkan terhambatnya mekanisme pengalihan tersebut. Sebagai ilustrasi, Kabupaten Grobogan dan Kulon Progo, Propinsi Jawa Tengah yang merupakan pilot Project penyerahan pengelolaan Irigasi (PPI) belum disertai adanya dasar hukum yang konkrit, sehingga ketentuan hukum yang digunakan mengacu pada Peraturan Daerah Propinsi (Agus Anggono, 2000). Mekanisme birokrasi yang harus ditempuh adalah melalui surat Gubernur yang berisi penyerahan kewenangan kepada Bupati untuk menyiapkan perangkat hukum dan Surat Keputusan (SK) penyerahan pengelolaan irigasi kepada P3A/P3A Gabungan.

IMPLEMENTASI INPRES NO.3/1999

0g1

Gambar 1. Struktur Organisasi Federasi P3A

Pembentukan Lembaga Pengelola Air

Pasca Inpres No.3/1999 di propinsi contoh (Jawa Tengah dan Jawa Timur) di tingkat petani telah dibentuk P3A Gabungan dan P3A Federasi dimana pengurusnya terdiri dari semua ketua P3A yang ada di wilayah kerjanya. Pemilihan ketua dan pengurusnya dilakukan secara demokrasi dalam suatu rapat anggota. Akan tetapi ada perbedaan cakupan wilayah yang menjadi dasar pembentukan kelembagaan tersebut diantara kedua propinsi contoh, yaitu pembentukan P3A Gabungan/Fedrasi di Jawa Timur berdasarkan wilayah administratif, sedangan di Jawa Tengah berdasarkan satu wilayah hidrologis. Struktur organisasi P3A Gabungan/Federasi di kedua propinsi contoh disajikan pada Gambar 1.

Jalur dan Penggunaan Dana IPAIR

Sejalan dengan semangat Inpres No.3/1999 dalam penyetoran dan pengelolaan dana IPAIR ada perbedaan prinsip yang mendasar sebelum dan sesudah adanya Inpres tersebut. Dalam pola sebelum Inpres No.3/1999 tentang Penyerahan Pengelolaan irigasi (PPI), siklus penyetoran dan pengelolaan Iuran Pelayanan Irigasi (IPAIR) di Jawa Timur dan Jawa Tengah disajikan pada Gambar 2, dengan tahapan sebagai berikut:

  1. Petugas blok/petak sawah memungut IPAIR dari para anggotanya, dimana besarnya sudah ditentukan oleh Pemda Tk. II, dan menyetorkannya ke bendahara P3A. Besarnya jasa pungut sebesar 5 persen (termasuk untuk insentif pengurus P3A).

    0g2

    Gambar 2. Jalur IPAIR Sebelum Inpres No.3/1999

  2. Setelah IPAIR terkumpul dari masing-masing ketua blok/petak, bendahara P3A menyetornya ke Dinas Pendapatan Daerah Tk. II (Dipenda Tk II) melalui Bank Kredit Kecamatan (BKK).
  3. Dari Dipenda IPAIR tersebut diteruskan ke Badan Musyawarah (BAMUS) Tk II yang anggotanya terdiri dari Bupati, Sekwilda, Ketua Bappeda dan Ketua Dinas Pengairan.

Sementara itu, siklus penyetoran dan penggunaan dana IPAIR yang kepanjangannya berubah menjadi Iuran  Pengelolaan Air pasca Inpres No.3/1999 yang lebih menekankan bahwa IPAIR itu “dari, oleh, dan untuk” petani pemakai air tampak seperti pada Gambar 3, dengan tahapan sebagai berikut:

  1. Petugas blok/petak sawah memungut IPAIR dari para anggotanya menyetorkannya ke bendahara P3A. Besarnya IPAIR ditentukan oleh P3A Gabungan bersama-sama Bamus Kabupaten dan Kecamatan, dan juga dengan melibatkan para petugas blok/petak.

    0g3

  2. Bendahara P3A bertugas menyetorkan sebagian IPAIR tersebut ke P3A Gabungan dan besarnya sesuai keputusan yang telah disepakti.
  3. Ditingkat P3A Gabungan selanjutnya dana IPAIR tersebut dikelola untuk dana OP dan membiaya keberlangsungan dari organisasi tersebut.
  4. Pada pola sebelum Inpres No.3/1999 kelemahnya adalah “tidak semua dana IPAIR” tersebut dikembalikan ke petani. Hal ini sangat terasa terutama pada saluran P3A yang tidak kebagian proyek OP, sehingga menyebabkan petani kurang bersemangat untuk membayar IPAIR. Sisi positifnya adalah pola ini bisa membiayai proyek dengan skala besar, karena dana tersebut bisa disubsidi-silangkan (cross subsidy) ke DI lainnya.

Sementara itu, pada pola pasca Inpres No.3/1999 selain untuk membiayai kelangsungan dari kehidupan organisasi tersebut, dana tersebut hampir 100 persen dikembalikan lagi ke petani dalam bentuk OP baik untuk perbaikan dan pemeliharaan saluran primer maupun saluran sekunder. Dengan demikian terjadi transparansi dan adanya pemerataan dalam penggunaan dana OP. Pada pola ini petani merasa iuran yang mereka bayarkan memang benar-benar digunakan untuk OP dan secara nyata mereka bisa nikmati.

Potensi Konflik

Implentasi dari Inpres No.33/1999 baik di Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur telah dibentuk lembaga P3A Gabungan/Federasi. Namun demikian, pada kedua propinsi contoh ada perbedaan pendekatan dalam pembentukan lembaga tersebut. Pengalaman di Jawa Tengah (Rachman, dkk., 2000) menunjukkan bahwa pembentukan P3A Gabungan/P3A Federasi yang pendekatannya berdasarkan batas hidrologis telah mampu menetapkan tugas dan tanggujawab yang jelas dalam pembiayaan OP yaitu: (a) perbaikan dan pemeliharaan sepanjang saluran primer menjadi tanggung jawab P3A Federasi, (b) perbaikan sepanjang saluran sekuder menjadi tanggung jawab P3A Gabungan, dan (c) perbaikan dan pemeliharaan saluran tersier ke bawah masih menjadi tanggung jawab P3A yang dananya berasal dari iuran P3A.

Sementara pembentukan P3A Gabungan/Federasi di Propinsi Jawa Timur yang pendekatannya berdasarkan batas wilayah administratif, dikuatirkan akan mengalami kesulitan dalam perbaikan dan pemeliharaan baik untuk saluran primer maupun sekunder yang kebetulan melintasi lebih dari satu wilayah administratif. Dengan pola pendekatan tersebut, bagi wilayah adminsitratif yang dilewati oleh saluran primer dan sekunder akan tetapi secara formal tidak menikmati kegunaan air tersebut tentunya tidak mau berkontribusi dalam pembiayaan OP. Sebaliknya, bagi wilayah administratif pengguna air ada kecenderungan tidak mau membiayai OP untuk saluran yang berada di wilayah administratif lainnya, walaupun air yang digunakannya bersumber dari saluran tersebut. Mereka lebih tertarik untuk berkontribusi dalam pembiayaan OP sepanjang saluran yang melalui wilayah administratifnya.

Potensi konflik juga disebabkan tidak adanya keseimbangan antara hak atas pelayanan air dengan besarnya kewajiban yang dibebankan (Rachman dan K. Kariyasa, 2001). Sebagai ilustrasi, belum terjadinya keseimbangan antara hak dan kewajiban yang diterima petani antara BLT (Blitar-Lodoyo-Tulungagung) di Kabupaten Blitar dan Tulungagung. Petani di Kabupaten Blitar (BLT-1 dan BLT-2) dibebani iuran P3A berkisar Rp 36.000–Rp 42.000/ha/musim, sedangkan bagi petani di Kabupaten Tulungagung (BLT-3, BLT-4, dan BLT-5) harus membayar iuran P3A yang besarnya hampir dua kali lipat (Rp 84.000 – Rp 90.000/ha/musim). Sebaliknya dalam hal hak akan air, tampaknya BLT-1 dan BLT-2 relatif mempunyai hak yang lebih besar akan penggunaan air, mengingat lokasinya relatif lebih akses ke sumber air. Sementara bagi petani di Kabupaten Tulungagung terutama yang berada di BLT-5 (paling hilir) hak atas pemanfaatan air kurang diperhatikan, padahal mereka yang diwajibkan membayar paling mahal.

0g4

Gambar 4 . Wilayah BLT - Lodagung di Jawa Timur

Disepakati bahwa pergiliran air sebagai berikut: (1) pada 5 hari pertama giliran BLT-1 dan BLT-5 yang dapat air, dan (2) pada tahap berikutnya giliran BLT-2, BLT-3, dan BLT-4 yang mendapatkan air. Namun dalam prakteknya, kesepakatan tersebut sering tidak dipatuhi terutama oleh petani yang berlokasi di BLT-1 dan BLT-2 dimana posisinya relatif lebih hulu dibanding dengan BLT lainnya, dan tentunya lebih akses ke sumber air. Sebagai contoh, jika BLT-1 dan BLT-5 yang mendapat jatah air, petani atau Petugas Pintu Air (PPA) di BLT-2 sering membuka pintu air dilokasi tersebut, sehingga petani di BLT-5 sering tidak mendapatkan air, padahal pada hari tersebut air tersebut merupakan hak petani di BLT-5. Demikian juga, jika giliran BLT-2, BLT-3 dan BLT-4 yang mendapat jatah air, petani/PPA di BLT-1 sering memasukan air ke wilayahnya, sehingga mengurangi debit air yang masuk ke BLT-3 dan BLT-4.

Prilaku petani di BLT-1 dan BLT-2 tentunya sangat merugikan petani di BLT-5. Pada saat petani memerlukan air, sehingga permintaan air melebihi suplai menyebabkan terjadinya kelangkaan air di BLT-5. Sebaliknya, jika tanaman sudah tidak membutuhkan air lagi, semua air yang keluar dari waduk Wlingi Raya tersebut akan mengalir ke BLT-5 sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan pada tanaman.

MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR IRIGASI YANG ANTISIPATIF

Hasil kajian di Propinsi Jawa Timur oleh Rachman dan K. Kariyasa (2001) menunjukkan bahwa belum ada kerjasama yang baik antara pelaku pengelola di tingkat atas (dalam hal ini Perum Jasa Tirta I dan Pemda setempat) dengan pengelola di tingkat bawah (P3A, P3A Gabungan atau P3A Federasi). Dalam prakteknya secara teknis dan manajemen organisasi P3A hanya berhubungan dengan instansi pemerintah/Dinas Pengairan dan belum ada ikatan kerjasama dengan Perum Jasa Tirta I. Padahal sebenarnya dalam sistem pengelolaan air, ketersediaan air di tingkat bawah (di petak sawah petani) ditentukan oleh kinerja Perum Jasa Tirta I yang diberi wewenang khusus untuk mengelola air di tingkat atas.

Di sisi lain, sistem pengelolaan IPAIR/iuran P3A tidak pernah teralokasikan ke Perum Jasa Tirta I, termasuk pasca Inpres No.3 1999 dimana pengelolaan IPAIR/iuran P3A sepenuhnya diserahkan ke P3A/Gabungan/Federasi. Dalam kerangka otonomi daerah Perum Jasa Tirta I sendiri untuk kedepannya ingin lebih bersifat profesional dan komersial, karena subsidi pemerintah pun akan dikurangi secara bertahap. Kalau tidak adanya suatu sistem kerjasama yang baik antara pengelola di tingkat mikro dan makro, maka dapat dipastikan Perum Jasa Tirta I didalam pengelolaan air akan lebih banyak ke unit pengelolaan non irigasi yang mampu memberikan imbalan yang lebih memadai, dan ini akan sangat mengganggu ketersediaan air untuk keperluan pertanian. Demikian juga tanpa adanya kontribusi dari pemakai air irigasi, dikuatirkan biaya OP pada SWS dan bendungan akan berkurang drastis, dan tentunya ini sangat berdampak pada ketersediaan air di tingkat petani. Artinya agar terjadi pengelolaan dan distribusi air secara adil dan merata serta berkelanjutan, maka perlu diciptakan suatu kerjasama yang saling ketergantungan dan menguntungkan. Memperhatikan profil kelembagaan pengelolaan air yang eksis dan dikaitkan dengan pelaksanaan OTDA, maka model sistem kelembagaan pengelolaan air irigasi yang disarankan seperti disajikan pada Gambar 5.

0g5

Gambar 5. Model Sistem Kelembagaan Irigasi Dalam Perspektif Otonomi Daerah

Pada model yang disarankan ini, pengelolaan air diharapkan secara profesional dengan kandungan komersial lebih kental dari aspek sosialnya. Sehingga di tingkat atas, pengelolaan air sepenuhnya diserahkan kepada pihak swasta (kebetulan di Jatim sudah ada Perum Jasa Tirta I). Wilayah kerja Perum Jasa Tirta I meliputi satuan wilayah sungai (SWS) dimana penggunaan airnya bersifat umum (pertanian dan non pertanian) yang bisa lintas administratif (propinsi, kabupaten). Pada tingkat pengelolaan SWS lintas propinsi, pemerintah pusat diharapkan sebagai pembina dan fasilitatornya, sedangkan jika lintas kabupaten, maka cukup pemerintah propinsi/instansi terkait Tk I. Pada tingkat Perum Jasa Tirta I sendiri disarankan ada unit khusus (unit irigasi) yang membawahi satu bendungan dimana tugas dan fungsinya adalah mengelola dan bertanggung jawab terhadap ketersediaan air untuk keperluan pertanian. Penguna air bendungan ini bisa lintas adminstrasi (propinsi, kabupaten). Seperti air Bendungan Wlingi Raya melintasi Kabupaten Blitar dan Tulungagung.

Sementara di tingkat bawah, pembentukan P3A Gabungan dan P3A Federasi sebaiknya mengacu pada batas hidrologis, bukan berdasarkan batas administratif sehingga memudahkan dalam penarikan biaya OP terutama yang salurannya lintas administratif, sehingga mempunyai potensi konflik lebih kecil. Hal ini diperkuat hasill penelitian Jelantik Sushila (1987) di Bali menunjukkan bahwa pembentukan Subak setara P3A, dan penggabungan subak menjadi Subak Gede setara P3A Gabungan, dan penggabung subak gede menjadi Subak Agung setara P3A Federasi berdasarkan batas aliran satu sungai sehingga lebih memudahkan dalam pembiayaan OP dan mampu mengurangi resiko konflik. Sehingga anggota Subak/Subak Gede/Subak Agung bisa berasal dari beberapa wilayah administratif. Sebaliknya seorang petani yang berada pada suatu wilayah administratif karena sawahnya terletak di wilayah administratif lainnya, sehingga mengharuskan petani bersangkutan harus masuk anggota subak di wilayah administratif sesuai lokasi sawahnya. Pendapat senada juga dikemukan oleh Mochtar dan Sjofyan Asnawi (1995) dimana pembentukan P3A/P3A Gabungan atas dasar sumber air/hidrologis akan lebih efektif dalam menciptakan kelembagaan yang mandiri dalam pembiayaan OP dan mengatasi ancaman luar.

Agar terjaminnya persediaan air yang berkelanjutan, maka perlu adanya kerjasama antara petani pemakai air melalui wakil-wakilnya yang duduk di P3A Ferasi dengan Perum Jasa Tirta I. Dalam bentuk kerjasama tersebut P3A Federasi berkewajiban menyetorkan sebagian penerimaannya ke Perum Jasa Tirta I dan selanjutnya P3A berhak mendapat pelayanan (jatah) air yang memadai ke saluran primer sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Sementara itu, Perum Jasa Tirta I berkewajiban memberikan pelayanan air yang memadai dan berkelanjutan dengan tetap menjaga keseimbangan air pada SWS atau bendungan, dan sebaliknya mempunyai hak mendapatkan penerimaan dari pengguna air. Untuk itu perlu ada kesepakatan kerjasama antara P3A Federasi melalui wakil-wakilnya yang duduk dalam rapat anggota dengan Pihak Perum Jasa Tirta I yang diwakili oleh Unit Bagian Irigasi. Tugas wakil-akil P3A yang duduk dalam rapat anggota tersebut diharapkan mampu membawa dan memperjuangkan aspirasi anggotanya, dan juga mampu merumuskan pola kerja sama yang saling menguntungkan.

Perlu dibentuk Dewan Air (Nasional, Propinsi, Kabupaten) sebagai pengawas dan koreksi terhadap kinerja pengelolan air tingkat atas (Perum Jasa Tirta I) dalam mentaati utamanya mengenai isi perjanjian terhadap P3A Federasi. Hal senada juga disarankan oleh Sutawan N. (2002) Fungsi pengawasan dan koreksi ini juga ditujukan kepada P3A Federasi sampai level di bawahnya. Keanggotaan Dewan Air ini bisa berasal dari Perguruan Tinggi, LSM, Swasta, dan Para Pakar. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, dewan ini bekerja  sama dengan instansi terkait namun bersifat independen. Dewan air ini diharapkan mampu sebagai mediator didalam memperjuangkan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak. Dalam model juga tampak bahwa secara teknis peranan pemerintah (instansi terkait) semakin berkurang, dimana dalam jangka panjang hubungan organisasi dengan pemerintah/Dinas Pengairan hanya bersifat konsultatif saja. Dengan berkurangnya peranan pemerintah tersebut, disisi lain harus dibarengi dengan semakin mandirinya organisasi P3A didalam mengelola irigasi. Dengan demikian bukan berarti Pemda setempat sudah lepas tangan, malahan dalam proses menuju kemandirian organisasi tersebut bantuan teknis, finansial, dan manajemen pemerintah masih sangat dibutuhkan, dimana setelah mandiri peran tersebut diharapkan mulai bergeser dan berfungsi sebagai patner atau konsultatif saja. Dalam perkumpulan P3A sebaiknya tidak hanya pengelolaan air sebagai unit usaha, perlu adanya unit usaha sampingan seperti pengadaan saprodi, simpan pinjam, jasa alsintan, dan lain sebagainya sehingga mampu melayani berbagai kebutuhan anggotanya, namun demikian basis unit kegiatan tetap pada pengelolaan air irigasi (Sutawan N., 2002).

Pengembangan unit baru ini diharapkan mampu menghidupkan aktivitas perekonomian wilayah setempat serta mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan anggota. Pengembangan unit usaha tersebut sebaiknya dilakukan mulai pada level organisasi P3A Gabungan mengingat pada tingkat ini jumlah anggotanya sudah relatif banyak (setara dengan satu kecamatan). Selain mampu memenuhi kebutuhan petani dengan harga yang lebih murah, nantinya sebagian keuntungan dari unit usaha baru ini bisa dialokasikan untuk pembiayaan OP (saluran air menjadi bagus/ketersediaan air lebih terjamin), yang tentunya sangat berdampak pada tingkat produksi mendatang. Dalam perjalanannya, ada kemungkinan kontribusi terbesar dalam pendanaan biaya OP bukan lagi berasal dari iuran irigasi, malahan dari sumbangan unit usaha lainnya, seperti yang telah terjadi pada “Tani Subur” di Cibadak Sukabumi-Jawa Barat (Ganjar Kurnia dan Renyasih Judawinata, 2000) dimana kontribusi terbesar dalam pembiayaan OP berasal dari unit usaha warung saprodi. Walaupun belum optimal dan belum melakukan seluruh fungsi dan peran P3A yang diharapkan, apa yang telah dilakukan oleh P3A “Tani Subur” dapat dijadikan sebagai salah satu contoh bahwa P3A mempunyai potensi yang baik untuk berkembang menuju kemandirian. Hal ini sekaligus menjadi salah satu fakta yang menunjukkan bahwa P3A pun mempunyai peluang dan mampu membangun selain unit usaha irigasi juga membangun beberapa unit usaha lainnya seperti saprodi, jasa alsintan, simpan pinjam, dan lain sebagainya dengan memanfaatkan potensi sumberdaya yang ada.

Kunci kekuatan P3A untuk mandiri dalam melakukan kegiatan dan mengatasi persoalan yang dihadapinya adalah kepercayaan yang cukup tinggi dari anggota terhadap pengurus P3A. Tumbuhnya kepercayaan anggota tersebut lahir dari pendekatan yang dilakukan oleh P3A yang mampu merespon dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan anggota. Dari sisi peran pengurus yang mampu mengorganisir dan memobilisasi sumberdaya tanpa mengesampingkan kepentingan-kepentingan anggota menjadi bagian yang sangat penting dalam meningkatkan partisipasi anggota terhadap kegiatan yang dilakukan oleh P3A.

Kepentingan anggota yang mampu diakomodasi oleh P3A terlihat sangat jelas dari upaya pemenuhan kebutuhan petani terhadap input produksi seperti pupuk, dan obat-obatan melalui pengembangan unit usaha lain.

Lebih lanjut perlu juga dipikirkan agar organisasi tersebut berbadan hukum, sehingga memudahkan untuk mendapatkan kredit seperti kredit pengairan. Menurut Mochtar dan Sjofyan Asnawi (1995) semua unit usaha yang dilakukan oleh P3A dapat ditampung dalam bentuk Koperasi Air yang berbadan hukum sehingga akan lebih memudahkan dalam mendapatkan kredit bank. Selanjuntya melalui pengembangan berbagai macam unit usaha tersebut dan didukung oleh pendanaan yang memadai melalui pinjaman kredit dari pemerintah maka diharapkan akan lebih mempercepat dalam mencapai kemandirian dari organisasi P3A tersebut .

Dalam upaya memperkuat permodalan Perum Jasa, maka sebaiknya saham Perum Jasa Tirta tersebut juga bisa dimiliki petani anggota P3A. Cara ini dianggap sebagai alternatif yang cukup bagus dalam memperbesar dan memperkuat permodalannya dan juga berdampak positif terhadap petani pemakai air. Sistem kepemilikan saham ini akan mampu meningkatkan rasa kepemilikan petani terhadap organisasi tersebut, serta juga mampu meningkatkan rasa saling ketergantungan yang semakin kuat. Sehingga proses pelayanan air dan kewajiban membayar iuran akan dapat berjalan dengan lancar.

Untuk mendukung adanya proses pelayanan air secara memadai dan berkelanjutan, maka harus ada kejelasan antara hak dan kewajiban diantara masing-masing pihak yang terlibat. Ada dua hal pokok kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak yaitu kewajiban dalam pembagian batas saluran dalam pembiayaan OP yang tercermin dari kelancaran dalam pelayanan air dan kewajiban dalam menyetorkan sebagian penerimaanya ke organisasi di atasnya. Secara detail pembagian kedua kewajiban tersebut sebagai berikut:

Kewajiban dalam pembiayaan OP adalah sebagai berikut:

  1. Dari atas sampai bendungan menjadi tanggung jawab Perum Jasa Tirta I
  2. Sepanjang saluran primer menjadi tanggung jawab P3A Federasi
  3. Sepanjang saluran sekunder menjadi tanggung jawab P3A Gabungan
  4. Dari saluran tersier ke bawah (sampai petak sawah petani) menjadi tanggung jawab P3A.

Kewajiban dalam pembayaran IPAIR/iuran P3A adalah sebagai berikut:

  1. Setiap petani pemakai air diwajibkan membayar IPAIR/iuran P3A dimana besarnya per ha sesuai dengan kesepakatan.
  2. Di tingkat P3A iuran tersebut dikelola, sebagian di pakai untuk biaya OP, insentif pengurus, administrasi, dan sebagian lagi disetorkan ke P3A gabungan.
  3. Cara pengelolaan dana yang terkumpul di tingkat P3A Gabungan sama dengan di tingkat P3A, dan sebagian lagi disetor ke P3A Federasi.
  4. Demikian juga di tingkat P3A Federasi dana itu dikelola seperti di tingkat P3A dan P3A Gabungan dan sebagian disetor ke Perum Jasa Tirta I.
0g6

Gambar 6. Jalur pengelolaan dana IPAIR/iuran P3A dan Tanggung Jawab OP

Secara ringkas aliran dana dan tanggung jawab pembiayaan OP disajikan pada Gambar 6. Agar masing-masing organisasi itu bisa berperan dalam menjalankan tugasnya baik untuk menghidupi organisasinya sendiri maupun dalam tanggung jawab pembiayaan OP tentunya perlu didukung oleh pendanaan yang memadai. Semua dana itu dalam jangka panjang diharapkan berasal dari petani pemakai air. Akan tetapi dalam proses menuju kemandirian, khusus untuk SWS/bendungan dan saluran primer yang membutuhkan biaya OP relatif tinggi subsidi pemerintah masih tetap diperlukan.

Disamping adanya kewajiban yang harus dipenuhi oleh petani pemakai air, maka petani pun berhak untuk mendapatkan pelayanan air yang memadai. Untuk itu diharapkan masing-masing organisasi di atasnya seperti P3A, P3A Gabungan dan Federasi betul-betul memperjuangkan dan memperhatikan hak petani pemakai air, jangan sekedar sebatas tanggung jawab OP saja.

Untuk menjamin adanya keseimbangan antara pelayanan air yang diterima petani dengan jumlah yang telah dikorbankan maka perlu dibuat aturan dengan penerapan sangsi yang jelas dan secara konsisten, misal jika terjadi pencurian air, pengerusakan saluran, pelanggaran jadwal tanam dan pola tanam, dan lain sebaginya. Demikian juga penerapan sangsi yang memadai bagi petani yang menunggak/tidak membayar iuran akan mampu meningkatkan rasa tanggung jawab petani dalam berorganisasi. Dari pengalaman menunjukkan bahwa tidak adanya kejelasan aturan dan penerapan sangsi secara konsisten di masing-masing BLT maupun antar BLT di Kaupaten Blitar dan Tulungagung pada sebagian petani tertentu telah menyebabkan adanya ketidak seimbangan antara layanan air yang mereka dapat dengan jumlah korbanan yang harus dibayar.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

  1. Partisipasi petani dalam pengelolaan sumberdaya air perlu ditingkatkan, tidak hanya pada pengelolaan di tingkat usahatani, namun sampai kepada distribusi dan transportasi di tingkat atas. Pembentukan organisasi P3A Gabungan/Federasi berdasarkan hamparan hidrologis merupakan langkah strategis dalam upaya memberi kewenangan lebih luas dalam pengelolaan OP irigasi. Selain upaya penyesuaian kelembagaan di tingkat petani, keberhasilan pengelolaan irigasi juga bergantung kepada kinerja lembaga pengelola air di tingkat distribusi dan alokasi. Dengan demikian, kelembagaan yang perlu mendapat perhatian seksama adalah Panitia Irigasi Tk.I dan II, Panitia Tata Pengaturan Air (PTPA), dan unit Pengelola Sumber Air serta P3A.
  2. Melalui penggabungan P3A berdasarkan hamparan hidrologis diikuti dengan kewenangan yang diperluas akan menunjang peningkatan efisiensi kinerja P3A. Hal ini akan dicirikan oleh: (a) kurangnya unsur birokratis, (b) komunikasi dan koordinasi relatif cepat dan lancar, (c) pihak-pihak yang berkepentingan terepresentasi dalam kepengurusan organisasi gabungan P3A/Federasi, dan (d) pengelolaan dana IPAIR akan lebih transparan dan demokratis.
  3. Agar sistem pengelolaan air itu bisa berjalan dengan lancar dan berkelanjutan, diperlukan adanya kemandirian organisasi terutama di tingkat bawah yang paling tidak mencakup empat hal: (a) organisasi dan manajemen, (b) pengelolaan keuangan, (c) pembiayaan OP dan (d) menghadapi kekuatan-kekuatan luar.
  4. Keberhasilan dari penerapan model yang disarankan tergantung dari dukungan Pemda setempat dan instansi terkait, serta adanya komitmen dan disiplin yang tinggi dari para pelaku pengelola air irigasi. Model tersebut bersifat lentur terhadap perubahan-perubahan sesuai dengan dinamika yang berkembang, sehingga dalam proses pematangannya, perlu dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan agar model selalu mampu mangakomdasi kepentingan dari para pelakunya.

DAFTAR PUSTAKA

Agus Anggono. 2000. Kesiapan Daerah Kabupaten Kulon Progo Dalam Pengelolaan Irigasi Yang Otonom. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Air Dalam Konteks Otonomi daerah dan Musyawarah Anggota Jaringan Komunikasi irigasi Indonesia. Yogyakarta, 28-30 maret 2000.

Pasandaran E. dan B. Rachman. 2001. Sistem Kelembagaan Pengelolaan Air Irigasi dalam Perspektif Otonomi Daerah dan Ketahanan Pangan. Makalah disampaikan dalam Seminar Air, Lahan dan Ketersediaan Pangan., 16 – 17 Nopember 2000, di Hotel Salak-Bogor.

Rahman B., Ketut Kariyasa dan M. Mardiharini. 2000. Analisis Sistem Kelembagaan Jaringan Air serta Sikap dan Prilaku Petani Pemakai Air. Laporan Teknis Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor

Rahman B. dan Ketut Kariyasa. 2001. Sistem Kelembagaan Pengelolaan Air Irigasi dalam Perspektif Otonomi Daerah. Laporan Teknis Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor

Sutawan N. 2002. Pengelolaan Sumberdaya Air untuk Pertanian Berkelanjutan: Masalah dan Saran Kebijaksanaan. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis. Fakultas Pertanian Universitas Udayana., Denpasar.

Sushila J. 1986. Subak : Sistem Irigasi di Bali dalam Irigasi di Indonesia: Dinamika Kelembagaan Petani. LP3ES.

Mochtar Naim dan Sjofian Asnawi. 1995. Aspek Kelembagaan Pembangunan Irigasi: Sebuah Pendekatan Holistik Terpadu. Pusat Studi Pembangunan Universitas Padjadjaran. Bandung.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.