Kelembagaan DAS

Ditjen Penataan Ruang PU

HUKUM DAN KELEMBAGAAN

Oleh: Ditjen Penataan Ruang

Bab 7 dari Buku  “Metropolitan di Indonesia;  kenyataan dan tantangan dalam penataan ruang”

H U K U M

Pendahuluan

Aspek hukum penataan ruang metropolitan adalah keseluruhan asas-asas dan kaidahkaidah yang mengatur bagaimana suatu metropolitan ditata (mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan pengelolaannya) dan juga meliputi lembaga-lembaga dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah itu dalam masyarakat metropolitan (Kusumaatmadja 1986; Jacqueline 1992). Dengan demikian, aspek hukum penataan ruang metropolitan bukan hanya merupakan kumpulan aturanaturan − yang mungkin dalam kenyataan kehidupan sehari-hari tidak dilaksanakan. Akan tetapi, juga meliputi institusi (pranata) yang membuat aturan tersebut dilaksanakan serta proses-proses yang menjadikan aturan tersebut berlaku dan dilaksanakan dalam masyarakat metropolitan. Oleh karena itu, dalam bagian aspek hukum penataan metropolitan ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan langsung dengan peraturan penataan ruang metropolitan dan masalah penegakkan peraturan tersebut. Secara garis besar akan dibahas dasar-dasar hukum metropolitan, permasalahan pengaturan penataan ruang metropolitan, dan perspektif aspek hukum penataan ruang metropolitan ke depan.

Dasar Hukum Penataan Ruang Metropolitan

Pada hakikatnya, pada hampir seluruh kawasan metropolitan di dunia, baik di negaranegara maju maupun di negara-negara berkembang, dijumpai permasalahan yang hampir sama (Derycke, 1999), yaitu menurunnya tingkat pelayanan umum yang dibutuhkan oleh masyarakat metropolitan. Untuk konteks Indonesia, pembangunan kawasan perkotaan selain menunjukkan hasil berupa terbangunnya prasarana dan sarana fisik yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, menyimpan pula berbagai permasalahan yang makin lama makin kompleks dan multidimensional. Permasalahan pokok yang mengiringi pembangunan perkotaan tersebut di antaranya: terjadinya degradasi kondisi sosial masyarakat yang semakin tajam, bertambahnya angka kemiskinan dan pengangguran, tidak terkendalinya pertumbuhan sektor informal, terjadinya penurunan daya dukung lingkungan, makin terbatasnya prasarana dan sarana pendukung, makin menurunnya kualitas pelayanan umum, lemahnya sumber daya manusia, serta pemahaman yang masih kurang terhadap prinsip-prinsip manajemen pengelolaan perkotaan yang baik (good urban governance).

Berbagai permasalahan tersebut terutama disebabkan oleh beberapa faktor, seperti (1) keterbatasan sumber daya pembangunan metropolitan; (2) ketidakjelasan manajemen pembangunan metropolitan; (3) belum optimal dan tidak jelasnya pembagian peran antara masyarakat, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat dalam pembangunan metropolitan; serta (4) belum adanya peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum dalam penyelenggaraan pembangunan metropolitan yang mampu memberikan jaminan kepastian dan keberlanjutan pembangunan metropolitan sesuai dengan prinsipprinsip pengelolaan yang berdaya guna dan berhasil guna. Permasalahan belum adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan pembangunan metropolitan dapat dilihat dari adanya fakta hukum sebagaimana akan dibahas di bawah.

Sumber Hukum Penataan Ruang Metropolitan

Sumber hukum adalah sebuah istilah yang digunakan untuk membahas atau menjawab pertanyaan-pertanyaan: mengapa hukum itu mengikat? Dimanakah hukum itu sendiri dapat ditemukan? Persoalan pertama dijelaskan oleh beberapa teori mengapa orang taat kepada hukum. Pada tulisan ini kita hanya akan membahas secara singkat persoalan kedua, yaitu persoalan mengenai keseluruhan sumber aturan sebagai alasan hak untuk melakukan suatu tindakan. Secara teoritis, sumber hukum dapat dibedakan kedalam sumber hukum formal dan sumber hukum material. Sumber hukum formal adalah dokumen atau “tempat” di mana saja kita dapat menemukan ketentuan-ketentuan hukum/kaidah-kaidah hukum. Untuk itu harus diketahui hukum positif (hukum yang saat ini berlaku di suatu tempat) yang meliputi: (1) Sumber hukum langsung, yang meliputi: undang-undang hingga peraturan daerah, kebiasaan dan adat, serta traktat/ perjanjian antar negara; dan (2) Sumber hukum tak langsung, yang meliputi yurisprudensi/ keputusan hakim yang diikuti oleh hakim lainnya untuk kasus yang sama dan doktrin/ilmu pengetahuan. Sedangkan sumber hukum material merupakan suatu usaha pendalaman teoritis tentang hukum yang dapat menggunakan banyak pendekatan, baik itu pendekatan sejarah, falsafah, sosiologi, ekonomi, agama, hukum itu sendiri, atau kombinasi dari pendekatan-pendekatan tersebut.

Untuk konteks penataan ruang metropolitan, sumber hukum formal yang dikenal dapat dikategorikan kedalam dua fase, yaitu fase sebelum dan sesudah ditetapkannya Undang-Undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang (UUPR 1992).

Fase sebelum UUPR 92

Meskipun kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tahun 1945, tetapi Pemerintah Belanda baru mengakui kemerdekaan Indonesia secara resmi pada tahun 1959 dengan dilakukannya penyerahan kedaulatan pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Oleh karena itu, selama kurun waktu 1945 sampai dengan 1959, pemerintah kolonial masih tetap mengeluarkan berbagai peraturan termasuk undang-undang tentang Pembentukan Kota (Stadsvormings Ordonantie [SVO]) pada tahun 1948 dan Peraturan Pemerintah tentang Pembentukan Kota (Stadsvormings Verordening [SVV]) pada tahun 1949. Semula, peraturan-peraturan tersebut berlaku hanya untuk 14 kota yang hancur akibat perang, kemudian dijadikan rujukan dalam pembangunan kota secara umum di Indonesia. Semangat pembaharuan hukum pada tahun 1970-an untuk mengganti peraturan peninggalan pemerintah kolonial menyentuh pula bidang pembangunan perkotaan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya prakarsa Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik untuk menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pokok- Pokok Bina Kota pada tahun 1972 yang mengalami perubahan baik substansi maupun judulnya menjadi RUU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pembinaan Kota pada tahun 1975, kemudiaan menjadi RUU tentang Tata Ruang Kota pada tahun 1978. Perubahan tersebut terutama untuk menyesuaikan dengan RUU tentang Pemerintah di daerah, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, dan RUU tentang Tata Guna Tanah yang diajukan oleh Departemen Dalam Negeri1. Dengan demikian, hingga saat itu tidak ada peraturan khusus tentang pembangunan kota setingkat undang-undang yang dilahirkan.

———-

1 Perubahan-perubahan tersebut juga didasari oleh pemikiran bahwa berbagai RUU berkaitan erat satu sama lain sehingga perlu dirangkum dalam satu RUU tentang Pokok-pokok Tata Ruang yang selanjutnya melalui berbagai pembahasan dan perubahan menjadi Undang-Undang Penataan Ruang yang ditetapkan pada tahun 1992. Lihat Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Ditjen Penataan Ruang. 2003. Beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang Indonesia 1948-2000. Jakarta : Ditjen Penataan Ruang.

——-

Seiring dengan pelaksanaan pembangunan nasional yang diusung Pemerintah Orde Baru, mulai dirasakan perlunya peraturan tentang pembangunan kota yang lebih cepat dapat dioperasionalkan sambil menunggu terbitnya peraturan tingkat Undang-Undang yang penyusunan dan prosesnya memakan waktu lama. Untuk itu pada dekade 1980-an terbit berbagai peraturan tentang pembangunan kota, khususnya tentang perencanaan kota. Pada masa ini terdapat dualisme pengaturan yang ditandai dengan “konflik” kewenangan antara Departemen Pekerjaan Umum dengan Departemen Dalam Negeri dalam pembinaan pembangunan kota kepada pemerintah daerah. Masing-masing pihak menganggap bahwa dirinya berwenang dalam bidang pembangunan kota. Pada Depertemen Pekerjaan Umum terdapat Direktorat Jenderal Cipta Karya yang memiliki Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah, sedangkan pada Departemen Dalam Negeri terdapat Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah yang memiliki Direktorat Bina Pembangunan Kota yang mempunyai tugas pokok dan fungsi yang mirip. “Konflik” ini sangat tampak dari berbagai peraturan terkait pembangunan kota yang dikeluarkan oleh masing-masing instansi, antara lain: Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Permendagri No. 4 tahun 1980 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota yang direvisi dengan Permendagri No. 2 tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota, Kepmendagri No. 650-658 tahun 1986 tentang Keterbukaan Rencana Kota untuk Umum, dan Permendagri No. 7 tahun 1986 tentang Penetapan Batas Wilayah Kota; sedangkan Menteri Pekerjaan Umum mengeluarkan Kepmen PU No. 640/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota dan pada tahun 1987 mempelopori penyerahan sebagian urusan pemerintahanan kepada daerah termasuk urusan pembangunan kota melalui terbitnya PP No. 14 tahun 1987 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan diBidang Pekerjaan Umum kepada Daerah, yang ditindaklanjuti dengan Permen PU No. 57/PRT/1991 dan No. 58/PRT/1991 tentang Pengawasan Teknis Bidang PU kepada Dinas PU. Dualisme tersebut tentunya mengakibatkan kebingungan bagi pemerintah daerah, khususnya pemerintah kabupaten/ kotamadya, dalam pelaksanaan pembangunan kota, khususnya perencanaan kota. Masing-masing pihak, baik Departemen Dalam Negeri maupun Departemen Pekerjaan Umum, memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Sebenarnya pada tahun 1985 diupayakan penyelesaiaan untuk mengakhiri “konflik” kewenangan tersebut dengan terbitnya Surat Keputusan Bersama Mendagri dan MenPU No. 650-1597 dan No. 503/KPTS/1985 tentang Tugas-Tugas dan Tanggung Jawab Perencanaan Kota di mana Departemen Dalam Negeri bertanggung jawab dalam pembinaan administrasi perencanaan kota dan Departemen Pekerjaan Umum bertanggung jawab dalam teknis perencanaan kota. Namun, dalam praktek perencanaan kota, “konflik” ini tetap berlangsung.

Fase sesudah penetapan UUPR

Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 24 tahun 1992 (UUPR 1992) tentang Penataan Ruang dapat dikatakan bahwa secara nasional Indonesia memiliki peraturan tentang penataan ruang metropolitan pada tingkat undang-undang meskipun undangundang tersebut tidak secara eksplisit mengatur tentang penataan ruang metropolitan.

Kawasan metropolitan merupakan objek pengaturan dari kawasan perkotaan maupun kawasan tertentu yang diatur dalam undang-undang ini. Saat ini, pengaturan perkotaan, terutama sepanjang mengenai pembangunan kota atau perkotaan termasuk metropolitan, tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Terdapat beberapa undangundang yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan pembangunan perkotaan yang berarti juga sebagai landasan hukum dalam penataan ruang metropolitan, yaitu:

  1. Undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang; UUPR memuat kaidah-kaidah administrasi berupa kewenangan, proses dan prosedur, serta kelembagaan sebagai pedoman bagi administrasi dalam kegiatan penataan ruang yang meliputi: penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang di sini meliputi penataan ruang pada wilayah administrasi maupun pada kawasan fungsional termasuk metropolitan.
  2. Undang-undang No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman; Undangundang ini mengatur mengenai penataan dan pengelolaan perumahan dan permukiman. Khusus yang berkaitan dengan penataan metropolitan adalah sepanjang mengenai penataan permukiman yang mencakup kegiatan pembangunan baru, perbaikan, peremajaan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya.
  3. Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung; Undang-undang ini mengatur penyelenggaraan bangunan gedung sebagai kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran. Bangunan gedung dimaksud adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/ atau di dalam tanah dan/ atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
  4. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah; Undangundang ini mengatur pembagian kewenangan atau urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
  5. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA); Undang-undang ini mengatur peruntukan tanah kedalam berbagai kategori seperti untuk kepentingan pertanian, perkantoran, tempat ibadah, fasilitas umum, dan sebagainya. Peruntukan tersebut dikenal dengan istilah tata guna tanah atau tata guna lahan (land use) yang merupakan bagian penting dalam perencanaan kota.
  6. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; Undang-undang ini mengatur pengelolaan lingkungan hidup termasuk persyaratan penataan lingkungan hidup yang antara lain meliputi perizinan, khususnya penerbitan izin melakukan usaha dan/ atau kegiatan pada metropolitan.
  7. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air; Undang-undang ini antara lain juga mengatur peningkatan kemanfaatan fungsi sumber daya air guna memenuhi kebutuhan air baku untuk rumah tangga, pertanian, industri, pariwisata, pertahanan, pertambangan, energi, perhubungan, dan untuk berbagai keperluan lainnya termasuk untuk mendukung kebutuhan metropolitan yang harus dilaksanakan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.
  8. Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 Tentang Jalan; Undang-undang ini mengatur tentang penyelenggaraan jalan sebagai infrastruktur penting guna menjamin terselenggaranya kegiatan sosial ekonomi masyarakat secara optimal termasuk di  dalamnya adalah penyelenggaraan jalan untuk perkotaan.
  9. Undang-Undang No. 25 Tahun 2005 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; Undang-Undang ini mengatur tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan di tingkat pusat dan daerah.

Dari berbagai undang-undang yang diulas di atas, hanya empat undang-undang yang berkaitan erat dengan penataan metropolitan, yaitu: undang-undang tentang penataan ruang, undang-undang tentang perumahan dan permukiman, undang-undang tentang bangunan gedung, dan undang-undang tentang pemerintahan daerah. Undang-undang tentang Penataan Ruang (UUPR 1992) serta peraturan pelaksanaannya pada dasarnya hanya mengatur tentang bagaimana tata ruang kawasan perkotaan direncanakan, sedangkan bagaimana tata ruang perkotaan tersebut diwujudkan dalam suatu upaya pembangunan tidak diatur.

Undang-undang tentang perumahan dan permukiman berikut peraturan pelaksanaannya sebenarnya sudah mengatur bagaimana suatu kota diwujudkan, baik mulai dari metode penyiapan lahannya maupun pembangunan prasarana dan sarananya. Namun, undang-undang ini hanya terbatas mengatur perumahan dan permukiman, sedangkan sektor-sektor kegiatan perkotaan yang lain masih belum lengkap diatur, seperti pusat-pusat bisnis, industri, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Undang-undang tentang bangunan gedung beserta peraturan pelaksanaannya hanya mengatur perwujudan fisik bangunan gedung yang pada dasarnya mendominasi penggunaan ruang pada kawasan metropolitan.

Sementara itu, undang-undang tentang pemerintahan daerah berikut peraturan pelaksanaannya hanya mengatur tentang arah administratif atau aspek pemerintahan dari satu daerah (termasuk daerah kota). Selain itu, perangkat undang-undang ini hanya mengatur kewenangan yang dimiliki oleh tiap-tiap pemerintah (kabupaten/ kota), tetapi tidak mengatur bagaimana pembangunan dan pengelolaan kota dan perkotaan dilakukan.

Dengan kata lain, tidak ada suatu peraturan yang khusus mengatur pembangunan perkotaan termasuk metropolitan pada tingkat undang-undang. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum karena ketidakadaan peraturan khusus dan komprehensif yang langsung dapat dijadikan sebagai landasan dan rujukan dalam pembangunan perkotaan.

Sementara itu, dalam rangka pelaksanaan tugasnya selaku Ketua Tim Teknis Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional2 (terakhir ditetapkan dengan Keppres No. 62 tahun 2000 tentang Koordinasi Penataan Ruang Nasional), Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah yang membidangi urusan Pekerjaan Umum menetapkan Kepmen Kimpraswil No. 327/KPTS/M/2002 tentang Penetapan Enam Pedoman Bidang Penataan Ruang. Termasuk di antaranya adalah Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan dan Pedoman Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan.

——–

2 Badan ini merupakan Badan Koordinasi sebagai pelaksanaan amanat Undang-Undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

Dalam Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan yang termuat dalam Lampiran V Keputusan Menteri tersebut diatur mengenai Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan yang terutama memuat ketentuan-ketentuan tentang: Fungsi Rencana, Manfaat Rencana, Muatan Rencana, Proses Rencana, Produk Rencana dan Legalisasi Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan. Sedangkan pada Lampiran VI diatur Pedoman Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan (termasuk kawasan perkotaan metropolitan) yang berisi antara lain: Dasar Peninjauan Kembali, Kriteria Peninjauan Kembali, dan Tata Cara Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan. Dengan kata lain, sudah ada peraturan tentang perencanaan tata ruang metropolitan, tetapi belum ada peraturan tentang pelaksanaan dan pengawasan pembangunan perkotaan (metropolitan). Dengan demikian, untuk level peraturan di bawah undang-undang pun, belum ada peraturan penataan metropolitan yang menyeluruh dari mulai perencanaan hingga pelaksanaan pembangunannya.

Permasalahan Pengaturan Penataan Metropolitan

Belum Lengkapnya Peraturan dalam Penataan Ruang Metropolitan

Dari sedikit uraian di atas, dapat dipahami bahwa sejauh ini peraturan yang ada baru menyentuh perencanaan kawasan metropolitan dan komponen fisik pembentuk metropolitan, belum ada peraturan yang secara menyeluruh mengatur kawasan metropolitan dari mulai perencanaan hingga pelaksanaan pembangunan/pengelolaannya. Di lain pihak, SVO sebagai landasan pembangunan kota yang sebenarnya juga dapat dijadikan acuan dalam perencanaan dan pembangunan fisik metropolitan telah dicabut oleh UUPR 1992. Dengan demikian, terdapat kekosongan hukum/ recht vacuum (khususnya peraturan setingkat undang-undang) dalam penataan metropolitan, dalam arti pembangunan dan pengelolaannya. Catatan di bawah ini menunjukkan adanya kekosongan tersebut :

  1. SVO/ SVV sebagai landasan pembangunan kota setingkat undang-undang dan peraturan pemerintah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Secara substansial, SVO/SVV memuat ketentuan yang mengatur mengenai pembangunan perkotaan walaupun dalam skala kota pada lokasi tertentu.
  2. Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang lebih bersifat umum mengatur perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Amanat Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang untuk menyusun dan menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penataan Ruang Kawasan Perkotaan sebagai tindak lanjut dan peraturan pelaksanaan dari undang-undang sampai saat ini belum juga ditetapkan.
  3. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hanya memberikan pengaturan yang terbatas terhadap kawasan perkotaan dan lebih dititikberatkan pada pengaturan yang lebih bersifat administratif. Undang-undang ini secara implisit memperlihatkan bahwa untuk pengaturan kawasan perkotaan lebih lanjut, lebih detail, dan lebih mendalam akan diatur oleh peraturan perundangundangan.
  4. Peraturan operasional lainnya ditemukan tersebar dan partial yang menunjukkan pengaturan dalam ruang lingkup terbatas terhadap kawasan perkotaan dan/ atau kota dalam pengertian administratif, sehingga cukup menyulitkan dalam pengimplementasiannya secara terpadu, serta belum mampu memberikan jaminan kepastian dan ketertiban hukum dalam penyelenggaraan pengelolaan/ pembangunan perkotaan.

Dengan ditemuinya fakta-fakta hukum tersebut, maka pengaturan terhadap penyelenggaraan pengelolaan/ pembangunan perkotaan termasuk kawasan metropolitan belum dilakukan secara lengkap sehingga landasan hukum yang kuat dan memiliki kepastian hukum guna menjamin kepentingan-kepentingan masyarakat pada kawasan metropolitan masih belum memadai.

Masalah Penegakan Peraturan Penataan Ruang Metropolitan

Berkembangnya berbagai permasalahan pada kawasan metropolitan, seperti semakin meningkatnya permasalahan bencana banjir; semakin meningkatnya kemacetan lalu lintas dan perumahan kumuh, semakin berkurangnya ruang publik dan ruang terbuka hijau; kurang memadainya kapasitas kawasan metropolitan terhadap tekanan jumlah penduduk; dan maraknya premanisme sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh lemahnya penegakkan hukum daripada masih kurangnya peraturan dalam penataan metropolitan. Penegakan hukum merupakan aspek penting dalam keseluruhan sistem hukum, tetapi seringkali aspek ini dirasakan sebagai aspek yang paling lemah. Dalam penataan metropolitan, penegakan hukum juga merupakan aspek yang paling sering diucapkan dan dipersalahkan dalam menjelaskan kegagalan menata metropolitan secara tertib. Hal ini dapat diterima karena memang aspek inilah yang paling sulit dilaksanakan dari semua aspek yang berkaitan dengan penataan metropolitan. Ada empat faktor yang berkaitan langsung dengan penegakan hukum, yaitu: substansi peraturannya sendiri, aparat penegak hukum, sarana dan prasarana hukum, dan kesadaran hukum masyarakat.

Lemahnya aspek pengendalian pemanfaatan ruang sebagai perangkat penegakan hukum, dari sisi substansi peraturannya sendiri antara lain karena UUPR sebagai landasan dasar penataan metropolitan yang ada lebih banyak mengatur keterpaduan proses, sedangkan kaidah-kaidah hukum yang dimuat lebih bersifat adminitratif, khususnya kaidah-kadaih penuntun bagi administrasi negara dalam perencanaan tata ruang. Kaidah-kaidah perilaku masyarakat yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang tidak banyak diatur dalam UUPR, didasarkan pada pertimbangan bahwa kaidah-kaidah perilaku tersebut telah diatur dalam undang-undang sektoral. Dengan semikian, jika seseorang melanggar rencana tata ruang maka penerapan sanksi tergantung pada peruntukan yang dilanggar. Sanksi tersebut dapat dikenakan mungkin dari Undang- Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam, atau undang-undang lainnya. Pendekatan ini ternyata dalam praktek tidak berjalan efektif, antara lain disebabkan undang-undang sektoral belum spesifik mengadopsi pendekatan penataan ruang. Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, misalnya, yang terkait langsung dengan penataan ruang hanya dapat diterapkan sanksinya, sepanjang pada perubahan fungsi ruang (peruntukan) itu terdapat unsur “pencemaran” dan/ atau “kerusakan” lingkungan. Dengan demikian, dalam praktek, kaidah perilaku luput dari pengaturan UUPR. Oleh karena UUPR lebih banyak mengatur kaidah-kaidah perencanaan tata ruang, dimana subyek utamanya adalah administrasi negara, maka terhadap administrasi negara tersebut tidak dapat digunakan instrumen hukum pidana, melainkan hukum administrasi.

Selain itu, kesadaran masyarakat untuk secara sukarela tunduk pada peraturanperaturan yang ada masih dirasa belum memadai. Banyak ketentuan hukum termasuk di bidang penataan ruang dan lingkungan hidup dengan sengaja dilanggar. Persepsi yang telah berkembang di masyarakat telah menjadi pembenaran bahwa pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan penataan ruang pun bukan merupakan sesuatu yang harus dihindari, apalagi ditakuti. Pemanfaatan lahan-lahan di sepanjang sempadan sungai, trotoar jalan, taman, dan lahan-lahan yang seharusnya bebas dari kegiatan untuk perumahan, perdagangan, dan sebagainya merupakan pemandangan yang biasa di kawasan-kawasan perkotaan.

Semua itu terjadi tanpa adanya upaya penegakan hukum yang tegas dari aparat pemerintah. Pemerintah daerah tidak mampu berbuat banyak untuk menegakkan hukum, hal ini disebabkan tidak mempunyai wibawa hukum yang memadai karena prinsipprinsip good urban governance yang intinya terdiri dari accountability, transparancy, dan rule of law tidak dilaksanakan secara konsisten.

Sebagai ilustrasi, izin sebagai instrumen penegakan hukum belum diikuti dengan pengawasan yang cukup. Pengawasan yang dimaksud merupakan tindakan yang dilakukan pemerintah pusat atau daerah untuk mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran terhadap izin atau ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengawasan ini seyogianya ditujukan untuk memantau kepatuhan masyarakat dan juga kedisiplinan aparat. Untuk itu, kewenangan membatalkan izin seperti yang diatur dalam UUPR, termasuk terhadap izin-izin yang diterbitkan oleh bupati/ walikota atau perangkat administrasi negara lainnya harus disertai dengan prosedur penegakannya. Sementara itu, instrumen perizinan yang semestinya berperan sebagai perangkat penegakkan hukum seringkali bergeser peran secara paradoksal menjadi alat penyimpangan terhadap aturan hukum. Misalnya izin mendirikan bangunan (IMB) yang seharusnya berperan sebagai alat kontrol untuk menjamin kesesuaian pembangunan fisik dengan rencana tata ruang, setelah era otonomi dijadikan sebagai alat untuk menambah Pendapatan Asli Daerah dengan dibebani target pemasukan tertentu setiap tahunnya. Dengan demikian, pada hakikatnya IMB tidak lagi berfungsi sebagai instrumen pengendalian, melainkan lebih berperan sebagai mesin penghasil PAD. Seringkali izin yang dikeluarkan tidak lagi sesuai dengan rencana tata ruang, demi untuk mengejar target pemasukan.

Selain itu, seringkali izin yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan lolos karena berbagai hal. UUPR mengenal konsep insentif dan disinsentif untuk melapisi pengendalian izin yang seringkali lolos tersebut, tetapi konsep itu sejauh ini tidak pernah dilaksanakan dalam penataan metropolitan bahkan dalam penataan ruang secara keseluruhan.

Perspektif Aspek Hukum Penataan Metropolitan

Wacana Pengaturan Kawasan Metropolitan dalam Rancangan Peraturan

Penataan ruang metropolitan hendaknya mampu mengantisipasi berbagai permasalahan akibat terjadinya perubahan fungsi ruang atau pengalihan fungsi lahan kawasan perkotaan sebagai akibat dinamika kegiatan pembangunan kawasan perkotaan yang di dalamnya termasuk peremajaan fisik perkotaan dan pembangunan permukiman perkotaan dalam skala besar maupun kecil. Pertumbuhan kawasan perkotaan yang pesat dan dinamis perlu diarahkan secara terencana dan terpadu baik dalam penataan perkotaan sebagai suatu sistem perkotaan maupun secara individu perkotaan. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi pertumbuhan dan perkembangan kawasan perkotaan yang semakin pesat serta untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat di kawasan perkotaan, diperlukan adanya perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan kawasan perkotaan termasuk metropolitan.

Sebagaimana telah dikupas di atas bahwa peraturan perundang-undangan yang ada dipandang belum cukup mengatur secara menyeluruh dan memberikan kepastian hukum yang memadai dalam pembangunan kawasan perkotaan secara efisien dan efektif. Oleh karenanya, berkembang pemikiran untuk menyusun suatu peraturan tentang pengelolaan kawasan perkotaan yang bertujuan3 mewujudkan kondisi kawasan perkotaan yang optimal, baik secara sistem maupun individu; mengatur pemanfaatan ruang kawasan perkotaan guna meningkatkan kemakmuran rakyat dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan alam, lingkungan buatan, dan lingkungan sosial; meningkatkan fungsi kawasan perkotaan secara serasi, selaras, dan seimbang antara perkembangan lingkungan dengan tata kehidupan masyarakat; mencapai kualitas tata ruang kawasan perkotaan yang optimal, serasi, selaras, dan seimbang dalam pengembangan kualitas hidup manusia; mendorong dinamika kegiatan pembangunan perkotaan sehingga dicapai kehidupan perkotaan yang layak, dinamis, optimal, berwawasan lingkungan, berkeadilan, serta menunjang pelestarian nilai-nilai budaya; menyelenggarakan pemerintahan di kawasan perkotaan yang mampu memberikan pelayanan perkotaan secara efektif dan efisien kepada masyarakat kawasan perkotaan; meningkatkan peran pemerintah dan masyarakat termasuk dunia usaha dalam pembangunan kawasan perkotaan sebagai usaha bersama sesuai dengan tatanan yang efisien, efektif, demokratis, dan bertanggung jawab; dan mendayagunakan seluruh potensi yang dimiliki oleh pemerintah dan masyarakat termasuk dunia usaha dalam upaya menciptakan kawasan perkotaan sebagai ruang kehidupan yang serasi, selaras, seimbang, layak, berkeadilan, berkelanjutan, dan menunjang pelestarian nilai-nilai sosial budaya; menumbuh-kembangkan inovasi dalam penyelenggaraan pelayanan dan peningkatan lingkungan fisik, sosial, budaya, politik dan ekonomi, serta menciptakan kohesi sosial. Selanjutnya, pemikiran ini dituangkan dalam suatu naskah Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pedoman Pengelolaan Kawasaan Perkotaan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang tentang Penataan Ruang dan undang-undang tentang pemerintahan daerah. Dalam RPP tersebut, yang saat ini statusnya masih dalam pembahasan intern departemen, dikembangkan landasan pengaturan yang kuat yang ditunjukkan dengan dimuatnya beberapa peristilahan kunci yang antara lain meliputi kawasan perkotaan, kawasan perkotaan baru, metropolitan, pengelolaan kawasan perkotaan, rencana tata ruang kawasan perkotaan, forum pengelola kawasan perkotaan, forum perkotaan, peran masyarakat dalam pembangunan perkotaan, dan warga perkotaan.

———-

3 Pemikiran ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Penataan Ruang untuk menyusun dan menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penataan Ruang Kawasan Perkotaan dan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah yang mengamanatkan disusunnya Peraturan Pemerintah tentang Pemerintahan Kota

——-

Secara garis besar muatan pokok dalam RPP tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut:

1) Kriteria dan klasifikasi kawasan perkotaan

Kawasan perkotaan adalah kawasan yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a) memiliki fungsi kegiatan utama budi daya bukan pertanian atau lebih dari 75 persen mata pencaharian penduduknya di bidang industri, perdagangan, dan jasa; b) memiliki jumlah penduduk sekurang-kurangnya 10.000 jiwa; c) memiliki kepadatan penduduk sekurang-kurangnya 50 jiwa per hektar; dan d) memiliki fungsi sebagai pemusatan dan distribusi pelayanan barang dan jasa yang didukung dengan prasarana dan sarana termasuk pergantian moda transportasi.

Secara umum, suatu kawasan perkotaan dapat merupakan daerah kota, atau bagian dari daerah kabupaten, atau bagian dari dua atau lebih daerah kabupaten dan atau kota. Sedangkan secara kategoris, terutama untuk pengembangan sistem pelayanannya, kawasan-kawasan perkotaan dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah penduduk sebagai berikut: a) Kawasan perkotaan kecil dengan jumlah penduduk yang dilayani sebesar 10.000 hingga 100.000 jiwa; b) Kawasan perkotaan sedang dengan jumlah penduduk yang dilayani sebesar 100.001 hingga 500.000 jiwa; c) Kawasan perkotaan besar dengan jumlah penduduk yang dilayani lebih besar dari 500.000 jiwa. Selain itu, terdapat metropolitan yang harus memenuhi kriteria sebagai berikut: memiliki sistem pusat permukiman perkotaan yang terdiri dari suatu kota inti dan kawasan pusat permukiman di wilayah sekitarnya yang berfungsi sebagai satelit sebagai satu kesatuan fungsional secara fisik, ekonomi, dan sosial; dan jumlah penduduknya secara keseluruhan lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa.

2) Kelembagaan dan pembiayaan kawasan perkotaan

Untuk kawasan perkotaan selain metropolitan (kawasan perkotaan kecil, sedang, dan besar), kelembagaannya diatur oleh kepala daerah dan dimungkinkan serta didorong dengan adanya kerja sama antara daerah dalam rangka pembangunan perkotaan. Dalam hal kawasan perkotaan merupakan kawasan perkotaan baru (yang biasanya berada pada suatu kabupaten) maka dapat dibentuk badan atau unit pengelola pembangunan yang ditetapkan dengan keputusan bupati. Sedangkan dari segi pembiayaan pada dasarnya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten bersangkutan atau sumber pendanaan lain yang sah.

Pembiayaan di sini terdiri atas penetapan komponen-komponen dan besaran pembiayaan yang disesuaikan dengan prioritas program. Khusus untuk pembangunan kawasan perkotaan baru, maka pembiayaannya dapat bersumber dari: a) dana masyarakat; b) dana publik yang berasal dari pemerintah pusat, daerah, dan atau desa; c) pendapatan yang diperoleh dari bagi hasil pengelolaan aset pemerintah pusat, pemerintah daerah, pemerintah desa, swasta dan aset badan atau lembaga masyarakat di kawasan yang direncanakan sebagai kawasan perkotaan baru; dan d) dana yang berasal dari pinjaman sesuai ketentuan perundang-undangan. Untuk pengelolaan dan pemeliharaan prasarana dan sarana lingkungan pasca pembangunan, selain sebagaimana dimaksud di atas, sumber dana dapat juga berasal dari pendapatan yang dipungut dari konsumen.

Untuk kawasan perkotaan metropolitan yang mencakup dua atau lebih daerah kabupaten dan atau kota yang berbatasan langsung dilakukan atas dasar kerja sama antardaerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam rangka kerja sama antardaerah tersebut dapat dibentuk badan metropolitan. Badan ini dapat memperoleh pelimpahan kewenangan dari kepala daerah yang ditetapkan dengan keputusan bersama kepala daerah setelah mendapat persetujuan dewan perwakilan rakyat daerah masing-masing. Adapun kewenangan dimaksud dapat meliputi: a) penyusunan program dan pemberian izin bagi kegiatan dan pelayanan lintas daerah dalam kawasan metropolitan; b) pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pembangunan di kawasan metropolitan. Dalam hal pembiayaannya, badan metropolitan ditetapkan dalam anggaran penerimaan dan pengeluaran badan metropolitan, yang bersumber dari: a) anggaran pendapatan dan belanja daerah dari tiap-tiap pemerintah daerah yang disepakati bersama; b) sumber pendapatan lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3) Peran Masyarakat

Dalam penyelenggaraan pengelolaan kawasan perkotaan, pengelola kawasan perkotaan mengikutsertakan masyarakat perkotaan. Pengikutsertaan masyarakat perkotaan dapat diselenggarakan melalui suatu forum perkotaan atau bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik masyarakat perkotaan setempat. Masyarakat dapat secara aktif ikut serta dalam perumusan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan perkotaan, penyusunan rencana tata ruang, penyusunan program
pembangunan, dan pengendaliannya.

4) Perencanaan tata ruang kawasan perkotaan

Dalam rangka pengelolaan kawasan perkotaan disusun rencana tata ruang kawasan perkotaan. Rencana tata ruang kawasan perkotaan yang berada di dalam wilayah daerah kabupaten adalah bagian dari rencana tata ruang wilayah daerah kabupaten yang bersangkutan. Dalam hal kawasan perkotaan merupakan daerah kota, rencana tata ruang kawasan perkotaan adalah rencana tata ruang wilayah kota. Rencana tata ruang kawasan perkotaan berisi rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang. Rencana struktur ruang mencakup rencana pusat-pusat pelayanan perkotaan, pusatpusat lingkungan permukiman, dan rencana infrastruktur. Sementara itu, rencana pola pemanfaatan ruang kawasan perkotaan merupakan bentuk pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang menggambarkan ukuran, fungsi, serta karakter kegiatan manusia dan atau kegiatan alam.

Rencana tata ruang kawasan perkotaan berdasarkan kedalaman rencananya dibedakan atas: a) rencana struktur tata ruang metropolitan; b) rencana umum tata ruang kawasan perkotaan; c) rencana detail tata ruang kawasan perkotaan; d) rencana teknik ruang kawasan perkotaan atau rencana tata bangunan dan lingkungan.

Rencana tata ruang kawasan perkotaan dapat ditinjau kembali dan atau disempurnakan sesuai dengan tuntutan pembangunan dan perkembangan kawasan perkotaan. Peninjauan kembali rencana tata ruang kawasan perkotaan merupakan bagian dari peninjauan kembali rencana tata ruang wilayah kabupaten/ kota dan dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun, sedangkan penyempurnaan rencana tata ruang kawasan perkotaan dilakukan dalam hal peninjauan kembali rencana tata ruang kawasan perkotaan yang menunjukkan perubahan dan atau penyimpangan yang mendasar.

5) Pembangunan kawasan perkotaan

Pembangunan kawasan perkotaan dilaksanakan melalui program dan pelaksanaan
pembangunan kawasan sebagai berikut:

  1. Program Pembangunan
    Pembangunan kawasan perkotaan diselenggarakan dalam rangka pemanfaatan ruang berdasarkan rencana tata ruang. Untuk itu dapat disusun suatu rencana program pembangunan kawasan perkotaan. Program pembangunan beserta pembiayaannya diselenggarakan secara bertahap sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam rencana tata ruang.
    Program pembangunan kawasan perkotaan terdiri dari program jangka pendek (tahunan) dan program jangka menengah (lima tahunan). Penyusunan program pembangunan kawasan perkotaan didasarkan pada kemampuan nyata pengelola kawasan perkotaan termasuk kemampuan untuk pengoperasian dan pemeliharaannya;
  2. Pelaksanaan Pembangunan
    Pelaksanaan pembangunan kawasan perkotaan, baik fisik maupun nonfisik, mengacu pada program pembangunan kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud di atas yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat, baik secara sendirisendiri maupun melalui pola kemitraan.

6) Pengendalian pembangunan kawasan perkotaan

Pengendalian pembangunan kawasan perkotaan dilakukan melalui mekanisme perizinan, pengawasan, penertiban, dan pemberian informasi. Dalam hal ini, pemerintah perlu menetapkan pedoman penyusunan ketentuan perizinan di kawasan perkotaan.

Pengawasan terhadap pengelolaan kawasan perkotaan dilaksanakan oleh pemerintah pusat, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/ kota dan masyarakat sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku; sedangkan penertiban atas pelanggaran ketentuan perencanaan, pelaksanaan, dan pemanfaatan pembangunan kawasan perkotaan dilakukan oleh pemerintah kabupaten/ kota.

7) Pembinaan dan pengawasan

Pembinaan dan pengawasan pengelolaan kawasan perkotaan dilakukan oleh pemerintah pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila terjadi perselisihan antardaerah dalam pengelolaan kawasan perkotaan diselesaikan oleh pemerintah pusat secara musyawarah.

Pada tingkat nasional dan atau propinsi dapat dibentuk forum pengembangan perkotaan yang berfungsi memberikan masukan kebijakan pembangunan kawasan perkotaan. Keanggotaan forum pengembangan perkotaan terdiri atas: instansi pemerintah terkait, Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia, perguruan tinggi, dan organisasi nonpemerintah.

Sementara itu, dalam RUU Penataan Ruang yang merupakan rancangan pengganti UUPR diatur juga penataan metropolitan sebagai bagian dari kawasan perkotaan. Dalam hal ini, penataan ruang kawasan perkotaan diselenggarakan pada kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari wilayah kabupaten atau kawasan yang secara fungsional berciri perkotaan yang mencakup dua atau lebih wilayah kabupaten/ kota pada satu atau lebih wilayah propinsi. Kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud di atas dapat berbentuk kawasan metropolitan atau megapolitan.

Secara garis besar RUU memuat hal-hal pokok mengenai kawasan perkotaan sebagai berikut:

  1. Perencanaan Tata Ruang Kawasan Perkotaan
    Rencana tata ruang kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari wilayah kabupaten adalah rencana detail dari rencana tata ruang wilayah kabupaten. Untuk kawasan perkotaan yang mencakup dua atau lebih wilayah kabupaten/ kota, maka rencana tata ruang kawasan perkotaan merupakan alat koordinasi dalam pelaksanaan pembangunan yang bersifat lintas wilayah. Rencana tata ruang ini berisi arahanstruktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang bersifat lintas wilayah administratif.
    Sementara itu, rencana tata ruang kawasan metropolitan merupakan alat koordinasi pelaksanaan pembangunan lintas wilayah yang tidak berbentuk sebagai rencana seperti halnya rencana tata ruang wilayah tetapi merupakan pedoman untuk sinkronisasi perencanaan wilayah administrasi di dalam kawasan. Rencana ini berisi  rencana struktur ruang dan rencana pola pemanfaatan ruang yang merupakan sinkronisasi dari struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang wilayah administratif di dalam kawasan; arahan pengelolaan kawasan metropolitan; dan indikasi program pemanfaatan ruang kawasan metropolitan.
  2. Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan
    Pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari wilayah kabupaten merupakan bagian dari pemanfaatan ruang wilayah kabupaten, sedangkan pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari dua atau lebih wilayah kabupaten/ kota dilaksanakan melalui penyusunan program pembangunan beserta pembiayaannya secara terkoordinasi antarwilayah kabupaten/ kota terkait.
  3. Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan
    Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari wilayah kabupaten merupakan bagian dari pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten. Sementara itu, pengendalian pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang mencakup dua atau lebih wilayah kabupaten/ kota dilaksanakan oleh tiap-tiap kabupaten/ kota. Untuk kawasan perkotaan yang mencakup dua atau lebih wilayah kabupaten/ kota yang mempunyai lembaga pengelolaan tersendiri, pengendaliannya dapat dilaksanakan oleh lembaga yang dimaksud.
  4. Kerja sama Pengelolaan Kawasan Perkotaan
    Pengelolaan kawasan perkotaan yang mencakup dua atau lebih wilayah kabupaten/ kota dilaksanakan melalui kerja sama antardaerah.

Kebutuhan peraturan metropolitan

Peraturan metropolitan seyogianya merupakan suatu keseluruhan kaidah-kaidah tertulis yang mengatur penataan metropolitan dari mulai perencanaan, pembangunan hingga operasionalisasi kegiatan-kegiatan perkotaan yang menjadi domain publik dalam pengaturannya. Dari uraian tentang rancangan peraturan yang ada dapat disimpulkan bahwa penataan kawasan perkotaan termasuk penataan metropolitan ke depan akan diatur secara lebih menyeluruh, tetapi aspek-aspek penegakan hukumnya masih belum diatur secara lebih rinci. Pengaturan aspek penegakan hukum secara rinci sangat diperlukan untuk memudahkan implementasi materi peraturan yang akan ditetapkan. Sebagus apapun materi suatu aturan, kalau penegakannya lemah maka peraturan tersebut sebenarnya sudah kedaluwarsa atau dengan kata lain hanyalah merupakan ‘macan kertas’.

Secara umum kaidah-kaidah yang perlu ada dan disusun dalam suatu sistem pengaturan penataan metropolitan adalah pertama, pengaturan yang berkaitan dengan perencanaan penataan metropolitan. Sesuai dengan pengalaman dalam pengembangan metropolitan selama ini serta “Best Practice” yang dijalankan di negara-negara lain, khususnya negara-negara maju, maka pengaturan perencanaan metropolitan meliputi perencanaan tata ruang yang bersifat makro yang produknya biasa dikenal sebagai master plan atau schéma directeur dan perencanaan tata ruang yang bersifat mikro yang produknya dalam bentuk rencana rinci atau rencana detail tata ruang yang memuat atau dilengkapi dengan peraturan zoning

Rencana tata ruang yang bersifat makro menurut UU No. 24 tahun 1992 dikenal sebagai rencana tata ruang wilayah kabupaten/ kota merupakan dokumen rencana yang harus menjadi acuan pertama dalam pengembangan perkotaan. Rencana ini mestinya memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat kaku sehingga tidak dimungkinkan adanya perubahan peruntukan pemanfaatan ruang, juga memuat ketentuan-ketentuan yang dapat bersifat fleksibel sehingga dapat menampung dinamika yang terjadi pada masyarakat. Rencana yang bersifat makro ini haruslah merupakan dasar perizinan lokasi kegiatan. Pada tataran rencana mikro atau rencana rinci, rencana ini harus menjadi arahan bagi perizinan mendirikan bangunan. Dalam hal ini tidak perlu ada dualisme pengaturan tata ruang dan tata guna tanah. Rencana rinci tersebut merupakan satu-satunya dokumen legal yang mengatur peruntukan penggunaan ruang termasuk tanah.

Kedua, perlunya pengaturan tentang operasionalisasi pembangunan perkotaan/ metropolitan. Dalam hal ini diperlukan pengaturan tentang bagaimana rencana tata ruang metropolitan diimplementasikan menjadi suatu kegiatan penataan metropolitan untuk mewujudkan rencana yang dimaksud. Untuk itu diperlukan ketentuan yang memuat tentang program penataan ruang metropolitan dan ketentuan-ketentuan tentang penyiapan kawasan maupun lingkungan siap bangun, yang semestinya menjadi bagian sentral dari pengaturan pada tahap ini. Selama ini, UU No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman baru mengatur kawasan dan lingkungan siap bangun untuk perumahan dan permukiman. Dalam pengaturan tentang operasionalisasi pembangunan perkotaan di sini harus memuat seluruh pengaturan tentang penyediaan kawasan maupun lingkungan siap bangun untuk seluruh sektor kegiatan pembangunan perkotaan. Selain diperlukan kaidah-kaidah tentang penyiapan tanah matang, juga sangat diperlukan pengaturan atau rujukan pengaturan tentang perolehan tanah (land acquisition), seperti pembebasan tanah, konsolidasi tanah, bank tanah, dan lain-lain untuk keperluan pembangunan perkotaan.

Ketiga, perlunya pengaturan tentang pengelolaan pelayanan umum. Maksudnya, perlu pengaturan tentang jenis metode pengelolaan dan penanggung jawab atau pelaku pengelolanya sendiri. Secara umum, jenis metode pengelolaan pelayanan umum dapat dikelompokkan kedalam dua bagian, yaitu :

  1. Pengelolaan langsung yang dilakukan sendiri secara swakelola oleh dinas-dinas terkait maupun melalui kerja sama antardinas di bawah sistem kerja sama antara daerah;
  2. Pengelolaan yang didelegasikan baik kepada organisasi semi publik seperti Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau organisasi sejenis lainnya, maupun kepada perusahaan swasta dengan jenis-jenis kerja sama yang terukur dan diatur secara rinci dalam peraturan perundang-undangan. Jenis-jenis pengelolaan pelayanan umum yang dapat disediakan oleh swasta dapat dilakukan antara lain melalui skema BOO, BOT, Ruilslag, Turn Key, dan konsesi.

Keempat, perlunya pengaturan tentang aspek-aspek penegakan hukum yang dititikberatkan pada mekanisme perizinan berikut pengawasannya, ketentuan sanksi serta prosedur penerapannya, pengembangan kemampuan dan integritas aparatur, pengembangan prasarana dan sarana penegakan hukum, dan pengembangan kesadaran masyarakat untuk patuh pada peraturan penataan metropolitan.

Penutup

Kawasan metropolitan yang semula hanya merupakan fenomena dari kawasan perkotaan dengan ciri-ciri tertentu, dengan adanya penetapan suatu kawasan perkotaan sebagai kawasan metropolitan yang perlu dikelola secara khusus dalam berbagai rancangan peraturan, menjadi sebuah status yaitu suatu entitas objek pengaturan yang jelas batas dan lingkup pengelolaannya. Keberhasilan dalam mengelola suatu kawasan metropolitan akan tergantung kepada: Pertama, kebijakan yang ditetapkan ke arah mana metropolitan akan dibawa. Hal ini mestinya merupakan konvergensi dari berbagai kepentingan dalam masyarakat yang diperoleh melalui mekanisme konsensus yang berlaku. Konsensus ini mesti didukung oleh kemauan politik yang kuat dari pemerintah yang diberi kepercayaan oleh masyarakat untuk mengelola metropolitan; Kedua, aturan hukum yang lengkap dengan penegakan hukum sebagai pelaksanaan aturan yang disusun dan disepakati bersama. Kelengkapan aturan beserta penegakannya dimaksudkan agar kebijakan yang telah ditentukan dapat dilaksanakan dengan rambu-rambu peraturan yang jelas dan applicable. Penegakan hukum mesti dilakukan secara konsisten dengan prinsip zero tolerance, yaitu penerapan hukum tanpa pandang bulu dengan semua orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama di depan hukum; Ketiga, sistem administrasi yang solid sebagai instrumen pelaksanaan kebijakan dan penerapan hukum. Ini berarti diperlukan aparat dan aparatur atau birokrasi yang bermartabat yang mampu menjalankan kewenangan dan tugasnya secara jujur dan bersih.

KELEMBAGAAN

Pendahuluan

Kawasan metropolitan atau metropolis sebagai kawasan fungsional yang bersifat metropolitan memerlukan perhatian khusus dari sisi pengelolaannya. Oleh karena sifat fungsional perkotaannya yang lintas batas wewenang administratif, maka pengelolaan tidak dapat dilakukan secara legal formal oleh tiap-tiap daerah otonom pemegang kekuasaan otoritas administratif, khususnya dalam penataan ruang, tanpa menimbulkan eksternalitas ke daerah lainnya. Jika yang terdorong adalah eksternalitas positif, tentunya tidak akan banyak timbul persoalan di antara tiap-tiap daerah, dan juga di antara masyarakat dalam lingkup kawasan metropolitan tersebut. Sayangnya, justru berbagai eksternalitas yang negatif yang seringkali muncul ke permukaan, sebagai implikasi dari tuntutan layanan fasilitas, utilitas, serta infrastruktur yang bersifat makro – lintas daerah, lintas fungsi, dan lintas dampak. Oleh karena itulah muncul usaha untuk

menginternalisasi berbagai eksternalitas penataan ruang yang timbul dari kebutuhan  penyediaan pelayanan jasa dan produk yang bersifat “inter-local public goods/ services”  kedalam pembentukan suatu institusi kawasan secara lebih luas. Tingkat kebutuhan akan institusi ini akan hampir sama besarnya dengan tingkat kebutuhan kita atas ada/ tersedia dan berfungsinya infrastuktur, fasilitas, dan utilitas dasar makro untuk mempertahankan kehidupan dan penghidupan penduduk kawasan metropolitan itu sendiri.

Meskipun masyarakat yang tinggal di berbagai kawasan metropolitan di seluruh dunia sepakat membutuhkan suatu bentuk kelembagaan dan lembaga formal untuk menjamin terselenggaranya dan/ atau terpenuhinya standar tingkat layanan makro yang dibutuhkannya, tetapi dapat dipastikan tidak ada bentuk kelembagaan dan/ atau lembaga metropolitan yang persis sama di dunia ini. Hal yang paling dekat diketemukan adalah kemiripan saja antara satu dengan lainnya dalam beberapa aspek sehingga kemudian dijadikan alat pengklasifikasian untuk mengelompokkan bentuk atau format lembagalembaga metropolitan tersebut.

Oleh karena itu, berbagai pengklasifikasian bentuk lembaga metropolitan seperti “interkomunalitas”4, “suprakomunalitas”5, atau “wadah koordinasi” adalah lebih kepada kemiripan proses dan prosedur pengaturan ketatalaksanaan kerja yang digunakan oleh daerah-daerah di metropolitan tersebut untuk menyelesaikan persoalan bersama mereka.

———–

4 Interkomunalitas adalah bentuk kerja sama yang diwujudkan melalui pembentukan suatu lembaga yang bertugas mengelola kepentingan bersama daerah-daerah yang bekerja sama, dibentuk dan diserahi tugas oleh daerah-daerah yang bekerja sama untuk mengurus beberapa kegiatan yang menjadi kepentingan bersama.
5 Suprakomunalitas adalah bentuk kerja sama antardaerah yang diwujudkan melalui pembentukan suatu wilayah administrasi baru dengan menggabungkan daerah lama kedalam sebuah struktur yang besar atau daerah lama menjadi subordinasi lembaga yang baru.

————-

Kelembagaan

Untuk menjelaskan mengapa tidak ada kelembagaan yang sama antara satu daerah dengan daerah lainnya, atau dalam kasus ini antara satu kawasan metropolitan dengan kawasan metropolitan lainnya, berikut ini akan dikemukakan hal-hal yang konsepsional tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan kelembagaan, termasuk nantinya adalah apa bedanya dengan lembaga/organisasi. Berikut ini adalah beberapa pendapat ahli kelembagaan yang mengemukakan bahwa ‘kelembagaan’ adalah:

  • “The humanly devised constraints that shape human interaction … They stucture incentives in human exchange, whether political, social or economic … Institutions reduce uncertainty by providing a structure to everyday life … Institutions include any form of constraint that human beings devise to shape interaction” (Bainbridge, et.al, 2000:6)
  • “Institutions are the constraints that human beings impose on human interaction. They consist of formal rules (constitutions, statute law, common law, and regulations) and informal constraints (conventions, norms, and self-enforced codes of conduct) and their enforcement characteristic” (North, 1998:11)
  • “Wherever we encounter substantial, continued, organized activity with meansstructures to pursue shared goals, we deal with behavior that at some stage of consequence can be called institutional.” (Hurst, 1977:48)

Sementara itu, menurut Israel (1990:11) kelembagaan mempunyai konsep yang luas yaitu:

  • “…encompasses entities at the local or community level, project management units, parastatals, line agencies in the central government, and so on. An institution can belong to the public or the private sector and may also refer to governmentwide administrative functions.”

Memperhatikan berbagai kutipan tersebut, pada prinsipnya dapat disimpulkan bahwa pengertian kelembagaan adalah lebih luas dari sekadar lembaga. Kelembagaan/ kepranataan/ institusi adalah suatu bentuk kesatuan unsur ‘formal’ (kesepakatan) beserta jaringan dukungan yang dikembangkan di dalamnya secara terorganisasi, yang secara berkesinambungan mempengaruhi sistem pengelolaan sumber daya suatu entitas tertentu, untuk menghasilkan dan/ atau melindungi perubahan ke arah pencapaian tujuan pembangunan tertentu.

0g1

GAMBAR 7 - 1 Lingkup Kelembagaan

Konsepsi mengenai kelembagaan tersebut beserta faktor-faktor penentunya dapat dilihat dalam GAMBAR 7 – 1. Gambar tersebut secara tidak langsung menjelaskan bahwa kelembagaan adalah bersifat dinamis, bergantung pada berbagai aspek di lingkungannya yang spesifik, yang juga ternyata bersifat dinamis. Kompleksitas dan kerumitan sistem kelembagaan yang dibentuk (misalnya untuk metropolitan tertentu) akan ditentukan oleh kondisi dan situasi lingkungan manusianya (sosial-budaya, sosialekonomi, sosial-politik, ketatanegaraan, dan lain-lainnya), situasi lingkungan alam dan kondisi ketersediaan sumber daya (alam, teknologi, energi, dan sumber daya lainnya), di samping dari tujuan khusus pengembangan dan/ atau pembangunan yang ditetapkan. Jadi, meskipun dengan satu tujuan yang sama pun, misalnya penataan ruang untuk pembangunan berkelanjutan, di setiap metropolitan kelihatannya akan memerlukan bentuk kelembagaan yang berbeda-beda. Unsur pertimbangan lingkungan pembentuknya berbeda. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa sistem kelembagaan metropolitan dari satu tempat ke tempat lain akan mempunyai perbedaan.

Lembaga Kawasan Metropolitan dan Permasalahannya

Kawasan Metropolitan di Indonesia terus berkembang sesuai dengan percepatan jumlah penduduk dan kegiatan perekonomian seiring dengan proses aglomerasi dalam segala aspek di kota-kota besar yang sudah ada, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Makassar, dan lain-lain yang segera menyusul. Sayangnya, kecenderungan berkembangnya wilayah fungsional perkotaan yang membentuk kawasan metropolitan ini tidak diantisipasi dan dipersiapkan sedini mungkin dengan pembentukan lembaga metropolitan yang jelas sehingga dapat secara efektif mengawal pertumbuhan perkembangan tiap-tiap wilayah metropolitan tersebut secara optimal di berbagai belahan wilayah Indonesia.

Persoalan dan konflik antardaerah kota/ kabupaten yang secara administratif otoritasnya terpisah, tetapi secara fungsional kawasan perkotaannya menyatu menjadi hal yang biasa dan malah cenderung melebar ke berbagai aspek pembangunan kota, tidak hanya sekadar masalah fisik ruang dan lingkungan saja. Berbagai persoalan dan konflik pelayanan publik, seperti kependudukan, kesehatan, pendidikan, industri dan perdagangan, dan lain-lainnya menunjukkan eskalasi yang meningkat tajam, karena memang sangat bervariasinya standar pelayanan yang diberikan tiap-tiap unit daerah otonom di kawasan metropolitan tersebut. Contoh saja adalah standar pelayanan publik yang diberikan DKI Jakarta sangat berbeda dengan daerah tetangganya, seperti Kota Bogor, Kota Depok, Kota Bekasi, Kota Tangerang, dan beberapa kabupaten seperti Bogor, Tangerang, Bekasi yang kesemuanya membentuk satu kawasan Metropolitan Jakarta. Hal yang sama dialami pula dengan Kota Surabaya dengan kota dan kabupaten di sekitarnya di Jawa Timur seperti Gresik, Bangkalan, Sidoarjo, dan Lamongan; serta Kota Bandung dengan daerah di sekitarnya seperti Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Sumedang; dan juga berbagai daerah di sekitar Kota Medan, Kota Makassar, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, dan segera menyusul kota-kota besar lainnya.

Kawasan-kawasan metropolitan di Indonesia, dan juga di berbagai negara sedang berkembang lainnya, memiliki persoalan-persoalan yang hampir sama, yaitu:

  • Mundurnya aspek kehidupan perkotaan, seperti: segregasi sosial dan spasial; peningkatan kemiskinan kota; peningkatan kriminalitas, kekerasan; kekurangan perumahan layak; kemacetan lalu lintas; kerusakan lingkungan hidup, dan lain sebagainya.
  • Kekacauan pengelolaan kawasan perkotaan, seperti: tidak adanya kewenangan yang memadai dalam mengelola kawasan perkotaan secara keseluruhan, rencana tata ruang yang susah dilaksanakan – bahkan saling berbenturan, kelangkaan dana publik, lemahnya pengelolaan lahan (pertanahan), dan lain-lainnya.

Untuk itu, suatu bentuk lembaga yang khusus diperlukan untuk mengelola kawasan metropolitan. Meskipun tetap terjadi perdebatan panjang secara teoritis antara penganut pilihan publik/ ‘public choice’ seperti Ostrom, Tiebout, dan Warren dengan penganut ‘reformator’ seperti Wood, lembaga di tingkat ini sudah menjadi kebijakan nasional di berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara yang maju baik di Amerika, Eropa, Australia, maupun Asia, dengan memberikan suatu bentuk khusus pola lembaga pengelola metropolitan yang tidak mengikuti pola-pola umum lembaga pengelolaan publik seperti yang diberlakukan di negara masing-masing.

Beberapa tipologi lembaga kawasan metropolitan yang ada pada saat ini di antaranya:

  1. Adanya otoritas khusus pada skala metropolitan, misalnya Greater Vancouver Regional District (GVRD), Greater London Authority (GLA), Bangkok Metropolitan Authority (BMA), Kolkata (Calcutta) Metropolitan Development Authority (KMDA), Metro Naga Development Council (MNDC), dan lain-lain.
  2. Adanya administrasi lokal setingkat propinsi, misalnya Metropolitan Paris, Prefektur Metropolitan Tokyo, dan Metropolitan Manila.
  3. Tidak ada otoritas lembaga khusus maupun administrasi lokal pada skala metropolitan, misalnya Bandar Raya Kuala Lumpur, dan yang ada di Indonesia (Jabodetabekjur di sekitar Jakarta, Cekungan Bandung, Gerbangkertosusila di sekitar Surabaya, dll).

Tipologi ke 3 di atas, seperti yang dipraktekkan Indonesia, berimplikasi pada diterapkannya keharusan untuk kerja sama antardaerah otonom di kawasan metropolitan. Khusus di Indonesia, kerja sama antardaerah ternyata masih belum efektif dengan adanya berbagai kendala seperti (Oetomo, 2004):

  • ketidakjelasan otoritas/ kewenangan,
  • rendahnya komitmen,
  • rendahnya kapasitas lembaga pembangunan – khususnya penataan ruang, dan
  • kurang tersedianya pendukung kelembagaan yang memadai.

Kendala-kendala tersebut telah memunculkan berbagai persoalan serius dalam beberapa hal, yaitu:

  • pengelolaan pertumbuhan (growth management) kawasan metropolitan;
  • pengelolaan partisipatif (participatory management) sebagai pengejawantahan penatakelolaan yang baik (good governance);
  • pembangunan berkelanjutan (sustainable development) baik secara ekonomi, sosial, maupun ekologi; serta
  • pembentukan dan pengefektifan kelembagaan formal antardaerah.

Bentuk dan Struktur Lembaga Metropolitan di Berbagai Negara

Sebagai contoh dari lembaga metropolitan tersebut di atas, di sini akan diberikan contoh Greater Vancouver Regional District (GVRD) yang menggunakan adanya otoritas khusus pada skala metropolitan, dan Metropolitan Tokyo yang menggunakan administrasi lokal setingkat propinsi, serta Metropolitan Manila Development Authority (MMDA) yang berada di antara dua jenis kelembagaan metropolitan tersebut di atas, yaitu membentuk lembaga dengan otoritas khusus pada skala metropolitan tetapi kemudian dilegalkan oleh Presiden dengan menunjuk Gubernur Metropolitan untuk memimpin lembaga ini. Selain itu, juga ditambahkan dengan Kolkata Metropolitan Development Authority (KMDA) yang menggabungkan peran Pemerintah Negara Bagian dengan Pemerintah Daerah secara bersamaan dalam satu bentuk lembaga metropolitan.

Greater Vancouver Regional District (GVRD)

Greater Vancouver Regional District atau disingkat GVRD adalah entitas pemerintahan (partnership) yang berkedudukan di bawah propinsi tapi di atas kabupaten/ kota di Kawasan Metropolitan Vancouver, British Columbia – Kanada. GVRD telah berdiri sejak tahun 1967. Berikut ini adalah selintas hal-hal yang berkaitan dengan GVRD tersebut.

GVRD beranggotakan 21 kabupaten/ kota ditambah satu wilayah elektoral yang tidak tergabung di sekitar kota Vancouver. Fungsi utama GVRD adalah mengadministrasikan sumber daya dan pelayanan yang bersifat lintas kawasan metropolitan termasuk perencanaan komunitas (community planning), sumber daya air, buangan (sewage), drainase, perumahan, transportasi, kualitas udara (air quality), dan pertamanan (parks).

Tiap-tiap pemerintah kabupaten/ kota mengirim wakilnya (walikota/ anggota dewan yang dipilih) untuk menjadi Board of Directors di GVRD, dengan jumlah total 35 orang. Jumlah wakil proporsional dengan jumlah penduduk (tahun 2004: sampai dengan 100.000 penduduk satu wakil). Satu Director mempunyai hak suara 1 untuk setiap 20.000 penduduk di kabupaten/ kota yang diwakilinya, sampai maksimum 5 suara (vote). Board of Directors dipimpin oleh 1 ketua dan 1 wakil ketua yang dipilih. Board of Directors mempunyai 8 komisi dan 1 biro, yang masing-masing dipimpin oleh 1 ketua komisi & 1 wakil ketua komisi. Komisi & Biro dari GVRD terdiri dari Communities Committee, Corporate and Intergovernmental Committee, Finance Committee, Housing Committee, Planning and Environment Committee, Parks Committee, Waste Management Committee, Water Committee, dan Labour Relations Bureau.

Board of Directors didukung oleh eksekutif administrasi yang merupakan pegawai pemerintah metropolitan yang terbagi kedalam departemen-departemen/ dinas sebagai berikut:

  • Chief Administrator’s Office;
  • Corporate Secretary’s Department;
  • Engineering and Construction Department;
  • Finance and Administration Department;
  • Housing Department;
  • Human Resources;
  • Information Technology Department;
  • Labour Relations Department;
  • Operations and Maintenance Department;
  • Policy and Planning Department;
  • Regional Parks Department.

Tiap-tiap departemen dipimpin oleh seorang manager. Secara keseluruhan, eksekutif administrasi ini dipimpin oleh seorang Chief Administrative Officer dan seorang Deputy Chief Administrative Officer.

Rencana skala wilayah (Regional Plan) yang ditetapkan oleh GVRD adalah:

  • Air Quality Management Plan;
  • Liquid Waste Management Plan;
  • Livable Region Strategic Plan – Growth Management Strategy;
  • Solid Waste Management Plan;
  • Watershed Management Plan;
  • LSCR Management Plan (Lower Seymour Conservation Reserve).

Beberapa proyek pembangunan wilayah (Regional Development Projects) yang dilakukan antara lain:

  • Economic Strategy for Agriculture in the Lower Mainland
  • Livable Centres
  • Sustainable Region Initiative
  • Regional Plan on Homelessness
  • GVRD Involvement in Treaty Negotiations
  • Howe Sound Community Forum

Rencana pada skala metropolitan yang dihasilkan oleh GVRD di antaranya adalah Livable Region Strategic Plan – GVRD. Sasaran-sasaran utama dari Rencana ini antara lain:

  1. Melindungi zona hijau; Zona hijau melindungi sumber daya alam Greater Vancouver, termasuk taman-taman/ hutan kota utama, daerah aliran sungai, kawasan-kawasan yang secara ekologis penting, dan lahan-lahan sumber daya seperti lahan pertanian. Dalam hal ini, rencana ini juga menetapkan batas pertumbuhan wilayah jangka panjang.
  2. Membangunan komunitas yang lengkap; Rencana tersebut mendukung keinginan publik atas komunitas yang diharapkan dengan rentang kesempatan yang lebih luas bagi kehidupan sehari-hari. Pembangunan difokuskan pada pusat-pusat wilayah dan kota. Komunitas yang lengkap diharapkan akan menghasilkan lebih banyak pekerjaan yang lebih dekat dengan tempat di mana penduduk tinggal dan aksesibel  terhadap transit, pertokoan dan pelayanan dekat rumah, serta pilihan yang luas atas tipe-tipe rumah.
  3. Menuju wilayah metropolitan yang kompak; Rencana tersebut menghindari penyebaran pembangunan yang meluas dan mengakomodasi proporsi pertumbuhan penduduk yang signifikan di dalam “kawasan konsentrasi pertumbuhan” di bagian pusat wilayah.
  4. Meningkatkan pilihan transportasi; Rencana tersebut mendukung peningkatan penggunaan transit, jalan kaki, dan bersepeda dengan meminimasi keinginan dan kebutuhan untuk perjalanan (melalui pengaturan penggunaan lahan yang nyaman) dan dengan melakukan manajemen penyediaan dan kebutuhan transportasi.

McGee (1998, hal. 125) mengatakan bahwa model pembentukan sistem pemerintahan di Kawasan Metropolitan Vancouver yang berbasis pada pemerintah lokal tersebut mencirikan proses “good governance”. Hal ini terutama jika dikaitkan dengan tujuan dan fungsi pembentukan GVRD yang lebih diarahkan untuk manajemen pertumbuhan, penciptaan suatu “livable region”, dan peningkatan pilihan untuk penduduk wilayah dalam hal transportasi, pekerjaan, dan rekreasi di dalam kerangka yang bekerja dengan tekanan pasar, bukan berlawanan dengan pasar. Disimpulkannya pula bahwa bagaimanapun baiknya model seperti ini, tidak selalu dapat dicontoh dan dipindahkan ke negara-negara Asia yang mempunyai karakteristik yang berbeda.

Metropolitan Tokyo

Kawasan Metropolitan Tokyo berbentuk Prefektur (setingkat propinsi di Indonesia) di antara 47 Prefektur di seluruh Jepang. Dalam bahasa Jepang, Kawasan Metropolitan Tokyo disebut Tokyo-to, berbeda dengan prefekture lain di Jepang yang biasanya disebut ken seperti Akita-ken atau Aomori-ken.

Dalam Kawasan Metropolitan Tokyo terdapat 26 shi (kota besar), 5 cho (kota kecil) and 8 son (desa). Selain itu, dalam Kawasan Metropolitan Tokyo juga terdapat daerah khusus (special ward) yang hanya terdapat di Tokyo, dan dalam bahasa Jepang disebut ku, yang berjumlah 23 special ward. Ke-23 special-ward area di Tokyo ini membentuk suatu kawasan administratif untuk “the center of the capital”. Special ward ini wewenangnya sama dengan shi tetapi disesuaikan dengan kebutuhan suatu metropolitan besar. Tokyo Metropolitan Government (TMG) melaksanakan beberapa pekerjaan administratif yang juga biasanya dilakukan oleh Shi, misalnya menarik dan mengumpulkan sejumlah jenis pajak kota.

Suatu sistem adminitrasi yang khusus kemudian dibentuk antara TMG dengan ke-23 special ward, yang tidak dijumpai di tempat lain. TMG mengelola pelayanan publik seperti waterworks, sewerage dan pemadam kebakaran untuk keseluruhan 23 specialward area sebagai suatu lembaga tunggal, demikian juga untuk keseluruhan shi. Hal ini dilakukan untuk menjaga keseragaman pelayanan, dan efisiensi pelayanan untuk keseluruhan daerah metropolitan. TMG juga melakukan penarikan pajak seperti yang dilakukan oleh Shi di tempat lain. Pajak-pajak ini di antaranya adalah ‘the corporate portion of residents’ taxes’, dan ‘the fixed assets tax’.

TMG dan 23 special ward bertanggung jawab untuk urusan administratif yang biasanya dilakukan oleh Shi, dan mereka membagi hasil sumber-sumber pendapatan pajak untuk membiayai hal tersebut. Sistem penyesuaian keuangan ini dirancang untuk menjamin keseimbangan distribusi sumber-sumber keuangan. Saat ini, proporsi tertentu dari tiga jenis pajak metropolitan (corporate portion of the residents’ tax, fixed assets tax dan special land ownership tax) dialokasikan kepada pemerintahan Special Ward dengan sistem semacam Dana Alokasi Umum (mengisi fiscal gap) di Indonesia.

Sejak 1974, ke 23 special ward dipersilakan untuk memilih walikota mereka dengan pemilu (popular vote) dan melaksanakan urusan yang sama dengan kota-kota lain. Kemudian persoalan muncul terkait dengan kejelasan peran dan kewajiban administratif antara special ward dengan TMG tersebut. Untuk itu, TMG dan special ward melakukan studi dan meminta kepada pemerintah pusat untuk mengubah peraturan perundangundangan terkait. Sebagai hasilnya pada tahun 2000 sistem ward yang baru muncul sebagai suatu ‘basic local public entities’, yang berwenang mengurusi pelayanan umum yang memang harus dekat kepada kehidupan masyarakat, sehingga seperti pengelolaan buangan harus diserahkan kepada wards.

0g2

GAMBAR 7 - 2 Organisasi Metropolitan Tokyo

Dalam hal kewenangan, TMG melaksanakan kewenangan yang lebih makro, sedangkan shi/ cho/ son untuk urusan-urusan yang langsung berhubungan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Akan tetapi, meskipun berdasarkan peraturan perundang-undangan otonomi daerah di Jepang kewenangan untuk pemadaman kebakaran seharusnya menjadi kewenangan kota, tetapi untuk kepentingan efisiensi dan keefektivan bagi metropolitan seperti Tokyo, hal tersebut kemudian ditetapkan menjadi urusan TMG. Secara umum, TMG terbagi ke dalam organisasi legislatif (Tokyo Metropolitan Assembly, disingkat TMA) dan eksekutif (Gubernur dan Sub-Agencies yang membantunya). Struktur organisasinya dapat dilihat pada GAMBAR 7 – 2.

Tokyo Metropolitan Assembly (TMA) terdiri atas 127 anggota yang secara langsung dipilih rakyat Tokyo untuk bekerja selama empat tahun. Ketuanya (the President of the Assembly) dipilih di antara anggota dan dibantu oleh suatu sekretariat yang pekerjanya ditentukan oleh ‘Ketua’ ini. TMA mempunyai komisi-komisi, baik yang tetap maupun yang ad hoc, sesuai dengan persoalan yang dibahas. Pada prinsipnya, TMA inilah yang mempunyai kewenangan dalam memutuskan semua kebijakan TMG mulai dari membuat, mengubah, atau mencabut peraturan metropolitan, mengesahkan anggaran, di samping fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan administrasi publik oleh eksekutif.

Gubernur dipilih langsung oleh rakyat dan mewakili Kawasan Metropolitan Tokyo selama empat tahun. Gubernur mempunyai kewenangan penuh dalam mengendalikan urusan metropolitan dan bertanggung jawab menjaga integritas kolektif administrasi metropolitan. Gubernur dibantu oleh wakil gubernur, seorang comptroller general dan staf lain. Pada tahun 2003, total sejumlah 174,950 orang dipekerjakan sebagai staf dari berbagai sub-agencies/ biro/dinas yang membantu gubernur, yaitu terdiri dari governor’s bureaus, 31.643; executive commissions and the Assembly, 1.159; public enterprises, 16.897; police/fire fighting, 62.875; dan school staff, 62.376).

Metropolitan di Indonesia, khususnya Daerah Khusus Ibukota Jakarta, lebih dekat dengan model yang dikembangkan oleh Tokyo Metropolitan Government ini, tetapi dalam beberapa prinsip dasarnya berbeda. Di DKI Jakarta, hanya di tingkat propinsi terdapat otonomi, sedangkan 5 kotamadya, dan 1 kabupaten yang merupakan subordinasinya berstatus administratif. Sementara itu, dengan kabupaten/ kota lain di sekitarnya yang mempunyai fungsi perkotaan yang terkait, DKI Jakarta tidak mempunyai hubungan formal kelembagaan dalam kaitannya dengan sistem otonomi daerah yang berlaku di Indonesia.

Metropolitan Manila Development Authority (MMDA)

MMDA didirikan sebagai propinsi khusus untuk mengelola pembangunan Metro Manila yang pada tahun 2006 berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa. Pada saat ini, Metro Manila dibentuk oleh 14 ‘city’ (Manila, Quezon City, Caloocan, Pasay, Mandaluyong, Makati, Pasig, Muntinlupa, Las Pinas, Marikina, Paranaque, Valenzuela, Malabon, dan Taguig)dan 3 ‘municipality’(Navotas, Pateros, dan San Juan). Metropolitan Manila adalah ibukota negara yang mempunyai kekhususan sebagai daerah administrasi dan pembangunan khusus, dan untuk itu langsung dalam pengawasan Presiden Filipina. Pada awal pembentukannya di tahun 1975 oleh Presiden Marcos, lembaganya diberi nama Metropolitan Manila Commission (MMC), kemudian oleh Presiden Aquino pada tahun 1990 diubah menjadi Metro Manila Authority (MMA), dan akhirnya sejak 1995 ditetapkan oleh Kongres Filipina menjadi Metropolitan Manila Development Authority (MMDA).

MMDA melakukan fungsi-fungsi perencanaan, pemantauan, dan koordinasi dalam rangka melaksanakan kewenangan pengaturan perundangan dan pengawasan terhadap penyediaan pelayanan skala metropolitan di Metro Manila, tanpa mengurangi otonomi pemerintah daerah terkait dengan urusan-urusan yang sepenuhnya menjadi kewenangan lokal. MMDA dikepalai seorang pimpinan yang ditunjuk oleh presiden, dan selanjutnya bekerja berdasarkan kewenangan yang diberikan. Pimpinan (chairman) ini dibantu oleh seorang general manager, seorang assistant general manager for finance and administration, seorang assistant general manager for planning dan assistant general manager for operation, yang kesemuanya ditunjuk oleh presiden dengan persetujuan dari mayoritas anggora Dewan (the Council), dan tunduk pada hukum, aturan, dan perundang-undangan pelayanan publik. Assistant general manager for planning harus mempunyai pengalaman lebih dari 5 tahun dalam pembangunan dan perencanaan, atau harus mempunyai gelar master (S2) dalam perencanaan kota atau disiplin yang sejenis. Pelayanan skala metro di bawah kewenangan MMDA adalah pelayanan yang mempunyai dampak skala metropolitan dan lintas batas politik lokal atau memerlukan biaya yang sangat besar sedemikian sehingga pelayanan tersebut tidak dapat ditanggung oleh salah satu pemerintah kota di Metropolitan Manila. Pelayanan skala makro tersebut adalah:

a) Perencanaan pembangunan, termasuk penyiapan rencana pembangunan jangka menengah dan jangka panjang; pembangunan; evaluasi dan pengemasan proyek; pemrograman investasi dan koordinasi serta pemantauan rencana, implementasi program, dan proyek;

b) Transportasi dan manajemen lalu lintas, termasuk formulasi, koordinasi, dan pemantauan kebijakan, standar, program dan proyek untuk merasionalisasi operasi transportasi yang ada, kebutuhan infrastruktur, promosi pergerakan orang dan barang yang aman dan nyaman; penyediaan sistem transportasi masal dan pelembagaan sistem untuk pengaturan pengguna jalan; administrasi dan pelaksanaan operasi lalu lintas, pelayanan rekayasa lalu lintas dan program pendidikan lalu lintas, termasuk pelembagaan sistem tiket tunggal di Metropolitan Manila;

c) Pembuangan dan pengelolaan buangan padat yang termasuk formulasi dan pelaksanaan kebijakan, standar, program dan proyek bagi pembuangan sampah yang tepat dan sehat;

d) Pengendalian banjir dan pengelolaan limbah cair yang termasuk formulasi dan pelaksanaan kebijakan, standar, program dan proyek untuk pengendalian banjir terpadu, drainase, dan sistem pembuangan limbah cair;

e) Peremajaan kota, zoning/ peruntukan, dan perencanaan tata guna lahan, dan pelayanan perumahan termasuk formulasi, pengambilan dan pelaksanaan kebijakan, standar, aturan dan regulasi, program dan proyek untuk rasionalisasi dan mengoptimalkan penggunaan lahan kota dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan kota, rehabilitasi dan pembangunan kawasan-kawasan kumuh, dan pembangunan fasilitas perumahan dan pelayanan sosial yang diperlukan;

f) Kesehatan dan sanitasi, perlindungan perkotaan dan pengendalian polusi yang termasuk formulasi kebijakan, aturan dan regulasi, standar, program dan proyek bagi promosi dan penjagaan kesehatan dan sanitasi wilayah serta untuk memantapkan keseimbangan ekologis, serta pencegahan dan pengendalian polusi lingkungan; dan

g) Keselamatan publik yang termasuk formulasi dan pelaksanaan program dan kebijakan serta prosedur untuk mencapai keselamatan masyarakat, terutama kesiapsiagaan bagi pencegahan bencana atau operasi pertolongan pada saat terjadi bencana, koordinasi serta mobilisasi sumber daya dan pelaksanaan rencana darurat untuk rehabilitasi dan rekonstruksi dengan berkoordinasi dengan instansi nasional
untuk itu.

Berikut ini dijelaskan struktur lembaga dan fungsi-fungsi khusus dari posisi struktural tersebut di MMDA. MMDA terdiri dari perangkat eksekutif dan perangkat dewan. Perangkat eksekutif strukturnya telah disinggung di atas, yaitu pimpinan (chairman) yang dibantu oleh seorang general manager, seorang assistant general manager for finance and administration, seorang assistant general manager for planning dan assistant general manager for operation. Perangkat dewan/ legislatif adalah the Metro Manila Council, yang terdiri dari walikota-walikota dari seluruh city dan municipality yang ada di Metro Manila. Badan ini adalah pembuat kebijakan di MMDA. Dalam Metro Manila Council ini ada beberapa anggota tambahan yang hadir dalam rapat sesuai dengan tugasnya tetapi tidak memiliki hak suara, yaitu pimpinan dari the Department of Transportation and Communications (DOTC), Department of Public Works and Highways (DPWH), Department of Tourism (DOT), Department of Budget and Management (DBM), Housing and Urban Development Coordinating Committee (HUDCC), dan Philippine National Police (PNP).

Fungsi dari “Chairman” MMDA adalah mengangkat pegawai berdasarkan ketentuan yang berlaku termasuk menunjuk konsultan dan ahli yang dibutuhkan untuk membantunya; melaksanakan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan Metro Manila Council dan bertanggung jawab untuk pengelolaan pelaksanaan sehari-hari yang efektif  dan efisien di MMDA; menyiapkan anggaran tahunan untuk operasi MMDA untuk diserahkan kepada Metro Manila Council; mengirimkan berbagai kebutuhan kebijakan yang diperlukan untuk pelaksanaan pelayanan MMDA untuk menjadi pertimbangan Metro Manila Council; menyiapkan laporan tahunan pencapaian MMDA di akhir tahun kalender untuk diserahkan kepada Metro Manila Council dan ke presiden; dan melaksanakan berbagai kewajiban dan tugas yang mungkin diberikan oleh Metro Manila Council atau oleh Presiden Filipina.

MMDA berkonsultasi, berkoordinasi, dan bekerja secara erat dengan pemerintah kota, the National Economic and Development Authority (NEDA) dan instansi pemerintah nasional lainnya, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan sektor swasta yang beroperasi di Metro Manila. Anggaran MMDA diperoleh dari Anggaran Nasional (berdasarkan the General Appropriations Act). Selain itu, juga menerima Internal Revenue Allotment (IRA) dari presiden.

Secara ringkas, dalam kaitannya dengan penataan ruang, MMDA sangat berperan, terutama dalam tataran makro. Hal ini juga terkait dengan diharuskannya “Assistant general manager for planning” mempunyai pengalaman lebih dari 5 tahun dalam pembangunan dan perencanaan, atau harus mempunyai gelar master (S2) dalam perencanaan kota (urban planning) atau disiplin yang sejenis.

Kolkata Metropolitan Development Authority (KMDA)

KMDA adalah otoritas pembangunan dan perencanaan untuk Kolkata Metropolitan Area (KMA) yang dibentuk berdasarkan the West Bengal Town and Country (Planning & Development) Act tahun 1979. Saat ini lembaga ini bertugas dan berfungsi sebagai institusi untuk perencanaan, promosi, dan pembangunan KMA. KMA terdiri dari 3 municipal corporations, 38 municipalities, 72 cities, 527 towns dan villages. Kolkata (Calcutta) adalah metropolitan tertua di India dan kawasan metropolitan terbesar kedua di India yang berpenduduk lebih dari 15 juta jiwa.

Peran KMDA sangat beragam dan multidisiplin, yaitu sebagai institusi perencanaan kota, institusi pembentuk kota-kota baru, pengembang infrastruktur fisik, serta penyedia pelayanan kebutuhan dasar seperti air bersih, drainase, dan pengelolaan buangan. Selain itu, KMDA juga merupakan sekretariat teknis untuk Kolkata Metropolitan Planning Committee (KMPC), yang juga merupakan institusi pertama untuk hal ini di India, yang dibentuk berdasarkan the West Bengal Metropolitan Planning Committee Act tahun 1994.

KMDA mempunyai tim multidisiplin yang kompeten dengan pengalaman dan keahlian yang luas. Tim ini terdiri dari para ahli kerekayasaan, perencana, ilmuwan sosial, dan lain-lain yang menjadi kelompok inti untuk memikirkan pengembangan kota, regenerasi perkotaan, dan menyediakan suatu pengkayaan kualitas lingkungan kehidupan. Saat ini, KMDA sedang melaksanakan suatu rencana pertumbuhan yang ambisus untuk Kolkata.

Sudah lebih dari tiga dekade KMDA telah melakukan penyiapan masterplan atau rencana tata ruang, formulasi dan pelaksanaan proposal-proposal proyek, di samping melaksanakan fungsi pengendalian penggunaan lahan dan pembangunan. Intervensi KMDA tidak hanya terbatas untuk infrastruktur fisik seperti penyediaan air bersih, sanitasi dan jalan raya, tapi juga termasuk layanan kesehatan dan penciptaan lapangan pekerjaan di antara masyarakat miskin perkotaan.

KMDA memiliki dewan/ board yang terdiri dari gabungan antara wakil (walikota dan/ atau anggota dewan/ councillor) dari municipal corporation dan municipality di KMA, serta pejabat dari beberapa departemen terkait di tingkat Negara Bagian West Bengal (dalam hal ini misalnya adalah: Urban Development. & Municipal Affairs Department, Government of West Bengal; UD Department, Govt. of WB; Finance Department, Govt. of WB; Municipal Affairs Department, Govt. of WB), serta satu orang CEO (Chief Executive Officer) yang kedudukannya dalam board bersifat ex-officio yang tidak mempunyai hak suara. Chairman dari Board ini adalah pejabat dari Urban Development and Municipal Affairs Department, Pemerintah West Bengal. CEO menjalankan semua kebijakan yang diambil oleh Board KMDA dibantu oleh satu struktur lembaga eksekutif KMDA yang terdiri dari sekretariat dan beberapa divisi teknis, yang salah satu di antaranya adalah Directorate of Planning yang mempunyai tiga unit, yaitu Statutory Planning Unit, Advance Planning Unit, dan Project Planning Unit.

Jadi, keunikan dari KMDA adalah adanya campuran antara perangkat pemerintah pusat (negara bagian) dan wakil-wakil dari pemerintah daerah setempat yang tergabung dalam kawasan metropolitan Kolkata. Selain itu, untuk penataan ruang juga dikenal suatu komite tersendiri yang juga bersekretariat di KMDA, yaitu Kolkata Metropolitan Planning Committee (KMPC) yang bersama-sama KMDA melaksanakan fungsi-fungsi penataan ruang, khususnya dalam pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perbandingan antar Beberapa Lembaga Metropolitan di Dunia Terkait Penataan Ruang Dari pembahasan berbagai bentuk lembaga metropolitan di bagian sebelumnya, khususnya yang terkait dengan tugas dan fungsinya dalam penataan ruang di skala makro, maka antara lembaga satu dengan yang lainnya dapat diperbandingkan secara langsung berdasarkan aspek tertentu. Perbandingan langsung antara berbagai bentuk lembaga metropolitan tersebut di atas dapat dilihat pada TABEL 7 – 1.

0t1

Dari berbagai bentuk lembaga metropolitan tersebut di atas, tidak satu pun mirip dengan kelembagaan metropolitan yang diterapkan di Indonesia. Hal ini terutama karena di Indonesia lebih menekankan pada bentuk-bentuk koordinasi saja, seperti yang akan dibahas lebih rinci di bagian selanjutnya.

”Kelembagaan Metropolitan” yang ada di Indonesia

Pengembangan fungsi kelembagaan kawasan metropolitan yang telah dicoba dilakukan di Indonesia lebih didasari pada kerja sama antardaerah secara horizontal dengan melandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu sejak UU No. 5 tahun 1974, UU No. 22 tahun 1999, dan terakhir adalah UU No. 32 tahun 2004 dengan berbagai aturan pelaksanaan dan aturan pelengkapnya. Hanya saja perlu pula diingat bahwa contoh-contoh yang akan dibahas tidak/ belum semuanya dapat diklasifikasikan sebagai kawasan metropolitan seperti apa yang telah didefinisikan di Indonesia, yang pada prinsipnya mengindikasikan kawasan fungsional perkotaan yang masif. Meskipun demikian, praktik-praktik yang dijalankan dapat dipelajari polanya untuk kemungkinan diterapkan pula di kawasan metropolitan seperti yang telah didefinisikan.

Dengan menggunakan dasar hukum UU Pemerintahan Daerah tersebut di atas, muncul berbagai pola kerja sama antardaerah yang tipikal Indonesia, misalnya:

  • Kartamantul (Yogyakarta, Sleman, Bantul), yang membentuk Sekretariat Bersama pada tahun 2001 untuk memfasilitasi koordinasi antara Kota Yogyakarta dengan Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul. Fokus utama kerja sama antarkota adalah efisiensi dalam mengelola secara bersama pelayanan bagi masyarakat perkotaan untuk kepentingan bersama. Saat ini, Sekretariat Bersama secara kolaborasi mengelola tempat pembuangan sampah, pengelolaan air limbah, drainase, transportasi dan jalan, mengkoordinasikan persiapan anggaran tahunan bagi pelaksanaan dan perawatan fasilitas bersama untuk pembuangan sampah dan pengolahan air dan mengevaluasi kinerja fasilitas dalam rapat bulanan. Untuk mensinkronkan pelayanan, dibentuk kebijakan dan peraturan bersama berkaitan dengan pelayanan umum, sebagai contoh: struktur tarif air dan organisasi transportasi umum yang efektif. Selain itu, Sekretariat Bersama memfasilitasi koordinasi proyek infrastruktur yang dilakukan di wilayah perbatasan pemerintahpemerintah daerah tersebut. Konsultasi dengan pemangku kepentingan setempat dilakukan untuk menentukan skala prioritas. Standar pelayanan disusun secara bersama untuk menjamin kelancaran hubungan fungsi infrastruktur di wilayah tersebut.
  • Subosukawonosraten (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, Klaten) membentuk Badan Kerja sama Antardaerah pada tahun 2001, yang sekretariatnya ada di Kota Surakarta yang bertujuan untuk memelihara persatuan dan kesatuan serta mengembangkan berbagai potensi daerah dalam rangka meningkatkan pelayanan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat. Fokus dan lingkup kerja sama yang dilakukan oleh tujuh daerah ini adalah:

a) Ketenagakerjaan dan kepegawaian.
b) Tata ruang, sumber daya alam dan lingkungan hidup.
c) Pembangunan sarana dan prasarana.
d) Perhubungan dan pariwisata.
e) Kependudukan, pemukiman, dan masalah sosial.
f) Air bersih.
g) Perindustrian dan perdagangan.
h) Penelitian dan pengembangan iptek.
i) Sumber daya manusia.
j) Kesehatan.
k) Pertanian dan pengairan.
l) Lain-lain yang dianggap perlu.

Hanya saja pembiayaan yang timbul akibat adanya kerja sama ini dibebankan pada APBD masing-masing.

  • Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen) yang merupakan Lembaga Kerja sama Regional Management yang diorientasikan pada regional marketing di wilayah barat daya Jawa Tengah, dibentuk pada tahun 2003. Regional Marketing dalam hal ini merupakan konsep kerja sama antardaerah dalam memasarkan potensi-potensi yang dimiliki tiap-tiap daerah guna meningkatkan kapasitas dan daya saing daerah untuk dapat mengakses pasar regional, nasional, dan internasional. Operasionalisasinya dilakukan oleh Regional Manager yang direkrut melalui proses yang panjang dan berdasarkan hasil seleksi secara terbuka (umum).

Khusus untuk kawasan metropolitan seperti yang didefinisikan di Indonesia, di Jakarta misalnya, sejak tahun 1973 telah dibentuk Badan Kerja Sama  Pembangunan (BKSP) Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek), yang kemudian berkembang menjadi Jabodetabek setelah Kota Depok terbentuk, meskipun kiprahnya jauh dari apa yang diharapkan karena adanya persoalan otoritas/ kewenangan kelembagaan BKSP tersebut. Ketiadaan kewenangan super-ordinasi tersebut telah memunculkan berbagai persoalan ego daerah dan ego sektoral yang parah sehingga BKSP Jabodetabek tidak dapat berfungsi untuk melaksanakan ‘growth management’ kawasan metropolitan Jakarta. Demikian pula hal ini menjadi kelemahan utama dalam menginstitusionalkan penataan ruang makro yang harus dilakukan untuk digunakan sebagai panduan memadukan penataan ruang di tiap-tiap daerah.

Dari berbagai pengalaman pengembangan kelembagaan metropolitan di Indonesia, pada prinsipnya akan terfokus pada bagaimana menginternalisasi berbagai isu strategis yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan kelembagaan metropolitan yang efektif dan efisien. Isu-isu strategis tersebut adalah sebagai berikut:

a. Usaha pengelolaan pertumbuhan (growth management)
b. Usaha pengelolaan partisipatif (participatory management) sebagai pengejawantahan tata kelola yang baik (good governance)
c. Usaha pembangunan berkelanjutan (sustainable development) secara ekonomi, sosial, maupun ekologi, dan
d. Formalisasi berbagi/ sharing kewenangan antardaerah otonom.

Membangun Kelembagaan Pembangunan Metropolitan di Indonesia ke Depan Otonomi Daerah (UU No. 32/ 2004 dan UU No. 33/ 2004) pada prinsipnya telah memberi kesempatan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya secara penuh, termasuk penataan ruang. Keotonomian ini berimplikasi menjadikan daerah-daerah saling independen. Demikian juga halnya terjadi pada daerah-daerah yang secara geografis berdekatan dan secara fungsional membentuk kawasan metropolitan. Padahal, pada dasarnya daerah-daerah tersebut secara fungsional dan geografis terkait (dependensi) dan saling bergantung (interdependensi). Pembiaran independensi daerah akan berimplikasi lanjut pada pemanfaatan sumber daya secara tidak optimal, pelayanan kepada masyarakat yang tidak efisien, dan timbul perselisihan antar daerah. Implikasi ini pada masa datang akan semakin kompleks dan terus mencuat seiring dengan berkembangnya daerah masing-masing. Mengantisipasi situasi yang tidak diinginkan tersebut diperlukan kerja sama antardaerah yang dilembagakan sehingga mempunyai posisi dan status legal formal yang jelas. Kedudukan, peran, kewajiban, dan hak satu daerah dengan daerah lainnya dapat ditentukan bersama-sama dilengkapi dengan dukungan organisasi yang efektif dan efisien untuk mencapai tujuan bersama pembangunan metropolitan.

UU No. 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah sendiri telah mengatur kerja sama antardaerah itu pada BAB IX Pasal 195 sampai dengan 198 mencakup sasaran, perlunya Badan Kerja Sama, legalisasi berupa Keputusan Bersama, dan perlunya diatur lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Hanya memang PP yang dimaksud belum pernah ditetapkan hingga tahun 2006 ini, meskipun penyusunan dan/ atau perancangannya telah dimulai sejak UU No. 22 tahun 1999 ditetapkan. Dalam pengkajian yang telah dilakukan selama ini, beberapa persoalan penting dalam penyelenggaraan kerja sama antar daerah selama ini utamanya adalah menyangkut soal kelembagaan yang mencakup pemantapan sasaran, organisasi, pendanaan, dan legalisasi. Berkenaan dengan hal ini, maka seringkali harus ada usaha untuk menyamakan pemahaman dan sumbang pikir terlebih dahulu di antara daerah-daerah yang secara fungsional telah, sedang, dan akan membentuk kawasan metropolitan tersebut, khususnya tentang bagaimana mewujudkan dan melembagakan kerja sama secara utuh, khususnya untuk urusan-urusan pelayanan publik makro lintas daerah di kawasan metropolitan untuk masa mendatang.

Kerja sama antardaerah dalam kerangka pembangunan metropolitan pada masa mendatang memerlukan pemantapan kelembagaan sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Oleh karena itu, dalam pengembangan kelembagaan metropolitan di Indonesia hal yang penting adalah mewujudkan kerja sama antardaerah dengan fokus pada aspek perencanaan dan layanan publik berskala makro atau lintas daerah otonom. Pembatasan fokus ini lebih disebabkan kedua aspek merupakan pokok tugas pemerintahan yang utama dan berkait.

Dengan melihat berbagai konsepsi dasar pola kerja sama serta berbagai dimensi kunci dalam kerja sama antardaerah dalam subbab sebelumnya, maka pola kelembagaan metropolitan di Indonesia sudah selayaknya diarahkan kedalam bentuk ‘suprakomunalitas’ atau setidaknya ‘interkomunalitas’ (semi-administratif). Sebaiknya dihindari yang hanya bersifat koordinatif, karena dari pengalaman selama ini misalnya seperti BKSP Jabodetabek dapat dikatakan tidak efektif. Wacana untuk ini juga sebenarnya telah beberapa kali dikemukakan, baik yang berskala nasional dengan kelembagaan setingkat menteri/ departemen atau menggabungkannya dalam suatu daerah metropolitan di bawah satu gubernur. Hanya saja penyusunan rencana pelaksanaan (action plan)-nya memang harus sangat hati-hati terkait dengan proses otonomi daerah yang sangat kuat dewasa ini di Indonesia.

Dalam gambaran singkatnya, dengan:

  1. memperhatikan isu-isu strategis metropolitan di Indonesia;
  2. memperhatikan keberhasilan dan kegagalan pembentukan kelembagaan antardaerah di Indonesia, khususnya menyangkut kawasan metropolitannya;
  3. memperhatikan berbagai pengalaman negara lain dalam pengembangan kelembagaan metropolitannya; serta
  4. memperhatikan UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004 serta berbagai aturan pelaksanaannya;

maka pengusulan bentuk ”Badan Metropolitan yang Otonom” (meskipun hanya diawali dalam beberapa aspek infrastruktur makro/ lintas-Daerah saja fungsinya) menjadi pilihan yang akan lebih tepat. Pembentukan Badan Metropolitan yang Otonom ini tidak harus dibentuk secara top-down dari pemerintah pusat, meskipun dengan proses top-down relatif akan lebih cepat, mengingat hal ini terkait dengan perlunya amandemen terhadap UU Pemerintahan Daerah. Sementara hal itu mungkin pula menimbulkan kontroversi lanjutan antardaerah yang terkait, suatu proses bottom-up untuk pembentukan Badan Metropolitan yang Otonom ini dapat pula dijalankan sebagai alternatif.

Dalam proses bottom-up ini, terdapat beberapa rencana tindak untuk kelembagaan metropolitan yang dapat dilaksanakan sebagai berikut:

  • Kerja sama antardaerah kota/ kabupaten di sekitar Kota Inti Perkotaan yang membentuk entitas Badan Metropolitan, dapat dibentuk dengan Peraturan Daerah (Perda) Bersama, sehingga dapat mempunyai kewenangan yang mengikat (Memorandum of Understanding/ MOU saja antar kepala daerah tidak akan efektif);
  • Tiap-tiap kota/ kabupaten mengirimkan wakilnya (bisa bupati, walikota, dan/ atau anggota DPRD-nya sebagai anggota Dewan Direksi Metropolitan melalui pemilihandi daerah masing-masing);
  • Jumlah wakil daerah kota/ kabupaten di Badan Metropolitan proporsional dengan jumlah penduduk yang diwakili dan masuk dalam wilayah metropolitan;
  • Badan Metropolitan memiliki struktur organisasi pelaksana sendiri untuk fungsifungsi antarwilayah yang menjadi tugas pokok dan fungsinya. Divisi-divisi ini dikoordinasikan oleh Kepala Pelaksana Eksekutif Badan, dan bertugas melaksanakan seluruh ketetapan dan/ atau keputusan Dewan Direksi Metropolitan.
  • Bidang kewenangan yang diserahkan kepada Badan Metropolitan Otonom adalah bidang lintas daerah kota/ kabupaten, seperti perencanaan pembangunan metropolitan, prasarana transportasi, drainase/ pengendalian banjir, air bersih, pembuangan limbah dan persampahan, kualitas udara, perumahan, dan rute angkutan umum atau angkutan umum masal;
  • Kawasan lindung yang diperlukan untuk menjamin kualitas pelayanan kota metropolitan (misalnya up-stream untuk pengelolaan air dan banjir) dibentuk sebagai regional park, yang dikelola oleh Badan Metropolitan dengan membentuk Sub-Badan khusus.
  • Penyerahan wewenang kepada Badan Metropolitan dapat dilakukan bertahap sesuai dengan tingkat kompleksitas dan/ atau kekritisan persoalan serta kesiapan support system seperti sumber pendanaan.
  • Pemerintah daerah propinsi/ kabupaten/ kota terkait membantu secara teknis dan administratif tugas dan fungsi Badan Metropolitan yang dibentuk.

Catatan Editor

Bagian kedua telah membahas secara mendalam perkembangan kawasan metropolitan di Indonesia dan mendiskusikan persoalan-persolan yang dihadapi. Bab 4 pada bagian dua ini menguraikan bagaimana faktor kependudukan sangat berpengaruh pada terbentuknya kawasan metropolitan dan bahwa sebenarnya penduduk di kawasan metropolitan secara proposional mendapatkan pelayanan lebih baik daripada penduduk perdesaan. Pada bab berikutnya dibahas potensi ekonomi yang disumbangkan oleh kawasan metropolitan bagi negara, dan bagaimana kawasan metropolitan mempengaruhi kota-kecil/desa di sekelilingnya. Dibahas pula pengaruh global terhadap kawasan metropolitan yang kemudian juga mempengaruhi budaya kota menjadi budaya yang kosmopolitan. Kesemuanya bermuara pada implikasi keruangan kawasan metropolitan.

Bab 6 pada bagian dua ini menjelaskan mengenai kesiapan infrastruktur bagi pelayanan penduduk kawasan perkotaan yang terus bertambah, terutama di bahas mengenai kesiapan trasportasi, infrastruktur dasar, dan perumahan. Di bab ini dibahas pula ketersediaan ruang terbuka, khususnya ruang terbuka hijau yang akan sangat berpengaruh pada kualitas lingkungan kawasan metropolitan. Di bagian akhir bab ini dibahas keadaan lingkungan hidup dan bagaimana sebaiknya persoalan lingkungan hidup kawasan perkotaan di selesaikan. Sebagaiman pada bab sebelumnya, implikasi keruangan dari keadaan infrastruktur, transportasi, perumahan, dan lingkungan menjadi perhatian yang utama.

Di akhir bagian dua, pada Bab 7 dan 8 dibahas secara mendalam persoalan hukum dan kelembagaan untuk kawasan metropolitan. Hukum dan kelembagaan adalah faktor penentu dalam pengelolaan kawasan metropolitan; termasuk di dalamnya adalah hukum dan kelembagaan untuk penataan ruang kawasan metropolitan di Indonesia.

Pembahasan pada bagian 1 dan bagian 2 buku ini menjadi dasar bagi pembahasan di bagian tiga (Bab 8 dan 9) mengenai pengelolaan kawasan metropolitan, terutama upaya-upaya yang harus dilakukan untuk penataan ruang.

1 Comment »

  1. Sebaknya hasil hasil study tentang wilayah terbangun, dapat ditindak lanjuti pihak Kemendagri untuk merivisi UU yang mengatur perubahan batas suatu wilayah kota kota yang berkembang, yng biasanya akan meluas ke wilayah kabupaten di seitarnya dan suda jadi rahasia umum , bahwa perluasan kota pasti ditolak pihak kabupaten, tentunya harus dicari solusi agar kepentingan masyarakat didahulukan bukan malah kepentngan pihak pihak yang berlindung pada UU Otonomi.
    Pemerintah Pusat sebaiknya mencari pemecahan win win solution, misalnya dengan cara memberi DAK pada Pihak Kabupaten yang wilayahnya diambil pihak Kota otonom sebagai wilayah perluasan kotanya, sedangkan pemerintah kabupaten juga merasa senang/tidak dirugikan, karena mereka mendapatkan DAK khusus yang bisa dimanfaatkan untu membangun wilayah perkotan yang mereka miliki terutama perluadan ibukota kabupatennya.

    Comment by sugiarto — October 23, 2013 @ 2:21 am


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.