Kelembagaan DAS

Roosgandha Elizabeth

DIAGNOSA KEMARJINALAN KELEMBAGAAN LOKAL UNTUK MENUNJANG PEREKONOMIAN RAKYAT DI PEDESAAN

Oleh: ROOSGANDHA ELIZABETH

Peneliti di Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Litbang Departemen Pertanian Bogor; Jl. A. Yani No. 70. Bogor 16161 ; Email: caser@indosat.net.id

ABSTRACT

Failure of development in rural mirror marginalitically of local institute and brittle, which can depict influence affect crisis to national economy. Rural development program which less lift sovereignty (politics) socialism economic activity, uncared and also its rural resource interest factor represent its uncared evidence traditional institute and structure, and the rural economics too; so that progressively of brittle. All planner and organizer of development assessed less comprehend its important role of rural local institute to development of rural economics and agricultural sector in sustaining national economy. If this condition anticipated, efficacy transformation of local institute to economics of rural society includes; cover culture social typically can be existed, what supported powered of human resource and leadership factor as actor of progress activator.

Keywords: Marginalitically of Local Institute Concept, National Economy, Rural Resources.

ABSTRAK

Kekeliruan utama dalam pembangunan pertanian mencerminkan kemarjinalan konsep kelembagaan lokal, yang mampu menggambarkan pengaruh dari dampak krisis terhadap perekonomian nasional. Kemarjinalan kelembagaan lokal di pedesaan dapat ditunjukkan oleh kelemahan dalam pengembangan dan penerapan aspek kepemimpinan. Kombinasi agricultural development dan rural development menjadi rural-agricultural development merupakan satu program pembangunan pedesaan yang lebih baik dan komprehensif. Upaya pembangunan perekonomian dan kelembagaan pedesaan seharusnya berbasis sumberdaya setempat, dengan mengembangkan budaya non-material untuk meningkatkan daya saing modal sosial (social capital) dan ekonomi pertanian di pedesaan, yang mencerminkan adanya penghargaan azas keadilan dan keberlanjutan. Tranformasi kelembagaan terlihat pada berfungsinya asas keterwakilan, transparansi, akuntabilitas oleh elit politik dan aparat pemerintah di daerah yang menempatkan masyarakat pedesaan sebagai mitra dan pelaku strategis pemberdayaan ekonomi pedesaan.

Kata kunci: Kemarjinalan Konsep Kelembagaan Lokal, Perekonomian Rakyat, Sumberdaya Pedesaan.

PENDAHULUAN

Sektor pertanian di pedesaan jika ditangani secara serius, sesungguhnya dapat menjadi strategi untuk recovery sekaligus tulang punggung (back bone) bagi perkembangan sektor riil dari krisis ekonomi yang dialami Indonesia semenjak pertengahan tahun 1997. Hal ini terbukti oleh daya hidupnya yang tinggi, ketika sektor lain ambruk. Ciri khas usaha sektor pertanian salah satunya adalah terlibatnya begitu banyak orang dengan pemilikan sumberdaya dan ketrampilan yang rendah, serta social network yang kurang mendukung. Salah satu upaya pengembangan social network dapat dilakukan  melalui pemberdayaan (empowerment) kelembagaan tradisional masyarakat di pedesaan yang makin tersisih dan tampaknya belum memadai.

Pembangunan pedesaan utamanya bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakatnya. Beberapa strategi pembangunan pedesaan, antara lain seperti:

  1. Peningkatan kesempatan kerja: dapat dilihat pada tingginya peningkatan tenagakerja, memperluas kesempatan kerja di pedesaan dan daerah urban;
  2. Peningkatan efisiensi: berkaitan dengan produktivitas sumberdaya melalui perbaikan teknologi, dengan memperhatikan keselarasan (keharmonisan) ekologi dan konservasi sumberdaya alam, sehingga bermanfaat dan berkelanjutan bagi generasi berikutnya;
  3. Berkesinambungan: dengan harus memperhatikan lingkungan sosial, politik dan ekonomi (ada relevansi/adaptasi pelaksanaan pembangunan terhadap kondisi daerah);
  4. Equity: memerlukan akses luas terhadap sumberdaya, kesempatan kerja, infrastruktur;
  5. Pemberdayaan: harus disokong melalui peningkatan kapasitas, kapabilitas masyarakat pedesaan (memanfaatkan dan mengembangkan segala potensi yang ada).

Strategi tersebut menggagas bahwasanya pelaksanaan pembangunan pedesaan yang ideal terbentuk karena partisipasi dari masyarakat desa (subjek) sebagai sasaran utamanya. Namun strategi pembangunan model top-down (sentralistik) yang selama tiga dekade terakhir telah memarjinalkan arti masyarakat lokal dan memandulkan inisiatif mereka serta menjauhkan dari sumberdaya sosial-ekonomi yang seharusnya menjadi hak mereka. Otonomi mereka terampas, mengakibatkan tidak dapat berkembang sebagai basis ‘selfpropelled development’ (gerakan perkembangan mandiri). Pembangunan justru menimbulkan kecenderungan differensiasi sosial yang semakin akut dalam kehidupan petani. Jikapun ada yang disebut sebagai kebijaksanaan pembangunan lokal, tak lebih dari penjabaran deduktif dari pembangunan nasional (konteks dan kepentingan masyarakat lokal terabaikan/disubordinasikan terhadap kepentingan nasional). Potensi utama sumberdaya ekonomi lokal telah dieksploitasi secara korporatis (dalam bentuk perusahaan dan lembaga ekonomi yang menginduk ke pusat), sehingga kadar keterlibatan masyarakat lokal sangat kecil baik sebagai pelaku dan pemanfaat hasil pembangunan.

Kekeliruan pandangan harus dihilangkan bahwasanya pembangunan pedesaan baru mencapai keberhasilan bila segala bentuk ketradisionalan (sosial, adat-budaya) desa dan masyarakat diberdayakan. Hal tersebut disebabkan tidak adanya perencanaan pembangunan pedesaan yang didasarkan pada evaluasi empiris, baik mengenai perencanaan itu sendiri maupun mengenai ketradisionalan yang dimaksud, dimana rencana tersebut akan diterapkan. Para perencana dan pengambil kebijaksanaan pelaksanaan pembangunan pedesaan hendaknya meninjau ulang pemikiran Dove (1986) bahwa kebudayaan tradisional terkait erat dengan proses sosial, ekonomis dan ekologis masyarakat secara mendasar; bersifat dinamis (selalu selaras dan mengalami perubahan), karenanya tidak bertentangan dengan proses pembangunan itu sendiri.

Makalah ini bertujuan untuk menguraikan, bagaimana konsep kemarjinalan kelembagaan perekonomian pedesaan berperan besar dalam mengganjal perkembangan perekonomian (pertanian) pedesaan. Benarkah jika sistem kelembagaan (ekonomi) suatu masyarakat dibiarkan rapuh, maka program pengembangan teknologi, inovasi dan investasi apapun tidak akan mampu menjadi “mesin penggerak” kemajuan ekonomi yang tangguh? Bagaimana memformulasikan strategi penguatan perekonomian yang mengandung unsur penguatan jaringan kelembagaan perekonomian rakyat yang berbasis sumberdaya pertanian yang memberdayakan masyarakat lokal serta memperhatikan keberadaan pelestarian lingkungan, terhadap kalangan perumus kebijakan pembangunan?

Perumusan Masalah

Strategi pembangunan nasional yang sentralistik (juga di pedesaan, yang dengan selalu menginduk ke pusat), menyebabkan bias mengejar pertumbuhan, bias kawasan atau wilayah, kurang memperhatikan aspek sosial (keadilan) dan budaya (keberlanjutan); merupakan pola pembangunan yang konvensional (Salim, 1991), ternyata menuai kinerja kelembagaan tradisional dan masyarakat lokal yang marginal. Berbagai dampak negatif lanjutannya antara lain seperti: terjadinya kontraksi perekonomian (daerah maupun nasional), degradasi sumberdaya alam (lahan dan air), terbatasnya kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, semakin akutnya kesenjangan antar golongan masyarakat serta memudarnya kelembagaan tradisional (dan ikatan/jaringan sosial masyarakat tradisional), yang pada akhirnya berimplikasi pada lemahnya struktur sosial ekonomi masarakat yang mayoritas pertanian di pedesaan.

Beberapa permasalahan yang hendak dikaji penulis dalam kesempatan ini, antara lain: 1) Diagnosa bagaimana yang menjadi dasar pembangunan pedesaan; 2) Bagaimana konsep kemarjinalan kelembagaan perekonomian pedesaan berperan besar dalam mengganjal perkembangan perekonomian (pertanian) pedesaan; 3) Benarkah jika sistem kelembagaan (ekonomi) suatu masyarakat dibiarkan marginal, maka program pengembangan teknologi, inovasi dan investasi apapun tidak akan mampu menjadi “mesin penggerak” kemajuan ekonomi yang tangguh; 4) Bagaimana formulasi strategi penguatan perekonomian yang seharusnya dirumuskan kalangan perumus kebijakan pembangunan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di pedesaan

Tujuan Penulisan.

Makalah ini memformulasikan beberapa tujuan seperti: 1) Diagnosa kritis yang dapat menggambarkan marginalan kelembagaan perekonomian pedesaan. Hal ini dinilai penting, sebab kemandirian dari kelembagaan perekonomian tersebut belum pernah terwujud. Sistem kelembagaan (ekonomi) suatu masyarakat dibiarkan rapuh, maka program pengembangan teknologi, inovasi dan investasi apapun tidak akan mampu menjadi “mesin penggerak” kemajuan ekonomi yang tangguh; 2) Bagaimana kalangan perumus kebijakan pembangunan memformulasikan strategi penguatan perekonomian yang mengandung unsur penguatan jaringan kelembagaan perekonomian rakyat yang berbasis sumberdaya pertanian yang memberdayakan masyarakat lokal serta memperhatikan pelestarian lingkungan.

Justifikasi Penulisan

Strategi yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat dan kelembagaan tradisional dalam pembangunan pertanian pedesaan merupakan hal yang penting. Dari perspektif sosiologi pembangunan, kelembagaan diibaratkan sebagai organ-organ dalam tubuh manusia yang mengaktifkan masyarakat tersebut. Setiap fungsi dalam masyarakat pasti dijalankan oleh sebuah (atau lebih) kelembagaan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup (misalnya), dalam hal berproduksi dan distribusi, dijalankan oleh kelembagaan ekonomi. Setiap orang yang terlibat di dalamnya diikat oleh suatu pola nilai dan norma sebagai pedoman bersikap dan berperilaku dalam berinterkasi sosial, yang dimantapkan kemudian dengan adanya struktur yang baku, yang merupakan visualisasi dari siapa orang yang terlibat, bagaimana posisi dan proporsionalnya.

Perubahan lingkungan eksternal menuntut perubahan operasional kelembagaan, termasuk di tingkat lokal, perlu mereformasikan diri dan bersinergis agar sesuai dengan kebutuhan yang selalu mengalami perkembangan. Inilah yang dimaksud dengan transformasi kelembagaan, yang dilakukan tidak hanya secara internal, namun juga tatahubungan dari keseluruhan kelembagaan tersebut.

Revitalisasi strategi pembangunan pertanian dan pedesaan diperlukan menghadapi globalisasi ekonomi, memperkuat kelembagan dan jaringan sosial masyarakat baik dari aspek struktur atau konfigurasi jaringan yang efisien, tingkat partisipasi masyarakat, dan peranan atau fungsi pembagian kerja secara organik. Makalah ini memvisualisasikan kerangka teoritis seperti disajikan pada Gambar 1.

0g1

Gambar 1. Revitalisasi Lembaga Pertanian Tradisional (Sumber: Diformulasi dari berbagai literatur)

Upaya mentransformasikan pertanian tradisional ke arah pertanian modern tersebut tidak hanya melalui perubahan struktur ekonomi pertanian semata, namun juga menyangkut perubahan struktur dan pola perilaku sosial masyarakat pedesaan. Salah satunya melalui pemberdayaan kelembagaan oleh masyarakat lokal, sehingga pembangunan pertanian dan pedesaan tidak menimbulkan kesenjangan yang akut (makin melebar) antar golongan masyarakat. Dalam konteks inilah, maka kajian dan strategi pemberdayaan masyarakat dan kelembagaan lokal dipandang sebagai hal yang urgen dalam program pembangunan pedesaan untuk memperkuat jaringan perekonomian masyarakat pedesaan.

Menurut Etzoni (1961) mengemukakan bahwa pola keterkaitan atau keterlibatan (compliance pattern) merupakan basis kelembagaan karena hubungannya merupakan bagian sentral dari struktur kelembagaan. Tiga tipe tujuan utama (Etzioni) dalam kelembagaan dalam menunjang perekonomian rakyat di pedesaan, yaitu: 1)tujuan perintah (order); 2)economic dan culture (budaya); dan 3)adanya tujuan politik (political goals). Sementara, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1992) mengklasifikasikan kelembagaan lokal dalam beberapa kategori, yaitu: administrasi lokal; pemerintah lokal; organisasi (baca: kelembagaan) yang beranggotakan masyarakat lokal, kerjasama usaha, pelayanan dan bisnis swasta yang dapat diintegrasikan ke dalam pasar baik lokal, regional dan global.

KONSEP PEMBANGUNAN PEDESAAN DAN KAITANNYA DENGAN PROGRAM OTONOMI DAERAH

Beberapa konsep pembangunan pedesaan merupakan proses penyadaran sosial guna meningkatkan kemampuan dan kemandirian untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang berharkat dan bermartabat, yang dikatakan mencapai tujuannya jika akhirnya masyarakat memiliki kemampuan secara mandiri untuk menentukan pilihan bagi kehidupannya. Dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pedesaan, perhatian hendaknya ditekankan pada perbaikan ragam kelembagaan yang berdayaguna dan berhasilguna serta ke arah pencapaian pemerataan pendapatan dan kesempatan kerja yang lebih baik. Sudah seharusnya “agricultural development” dikombinasikan dengan “rural development” sehingga menjadi satu program pembangunan pedesaan komprehensif, yaitu: “rural-agricultural development”, yang langsung menuju ke sasaran, yaitu: petani gurem dan buruh tani tunakisma.

Dampak dari pembangunan yang serba sentralistik adalah suatu kesenjangan antara realitas makro dan mikro, yaitu relatif makmur secara nasional (makro) namun miskin secara lokal (mikro). Di tingkat lokal, kondisi ini melahirkan beragam bentuk protes ketidakpuasan masyarakat lokal/tradisional yang menuntut keadilan, mulai dari bentuk apatisme, penarikan diri, unjuk rasa, pemberontakan lokal, gerakan separatisme (menggagas kemerdekaan ‘negara baru’). Semua gerakan ini diabaikan dengan dalih stabilitas nasional demi kelangsungan pembangunan (pertumbuhan ekonomi) nasional, dimana selama 30 tahun lebih, pemerintah pusat telah merampas otonomi masyarakat lokal sehingga tidak dapat berkembang sebagai basis self-propelled development (gerakan perkembangan mandiri).

Upaya pembangunan perekonomian dan kelembagaan pedesaan seharusnya berbasis sumberdaya pertanian dan pedesaan setempat. Artinya, mengembangkan budaya non-material untuk meningkatkan daya saing modal sosial (social capital) di pedesaan, yang mencerminkan adanya penghargaan azas keadilan dan keberlanjutan. Dari sisi ekonomi, penguatannya harus bermakna peningkatan daya saing ekonomi pertanian di pedesaan.

SIMPUL KRITIS PERMASALAHAN TRANSFORMASI KELEMBAGAAN LOKAL

Simpul kritis2 program pembangunan pedesaan untuk tranformasi kelembagaan lokal di pedesaan, seperti:

  1. Kelembagaan dibentuk pemerintah, terfokus pada upaya peningkatan produksi pertanian jangka pendek dengan tekanan kegiatan di lapang pada penerapan teknologi produksi.
  2. Kelembagaan lebih ke tujuan distribusi bantuan dan memudahkan aparat pemerintah mengontrol pelaksanaan program pembangunan di lapangan, dan bukan ditekankan pada peningkatan peran aktif masyarakat pedesaan.
  3. Seragamnya bentuk kelembagaan yang dikembangkan sangat terasa dalam pemerintahan desa. Pembentukan kelembagaan seharusnya ditekankan untuk memperkuat ikatan horizontal daripada memperkuat ikatan vertikal.
  4. Pembinaan kelembagaan cenderung individual, misalnya dengan memfoluskan pembinaan kepada kontak-kontak tani, yang sesuai prinsip ‘trickle down effect’ dalam penyebaran informasi yang dianut dalam kegiatan penyuluhan pertanian.
  5. Pengembangan kelembagaan cenderung menggunakan pendekatan struktural dibanding kultural, dengan harapan perilaku dan tindakan masyarakat akan mengikutinya.
  6. Introduksi inovasi lebih menekankan pada pendekatan budaya material dibanding nonmaterial atau kelembagaan (misalnya dalam pengembangan kelembagaan irigasi).
  7. Introduksi kelembagaan baru umumnya telah merusak kelembagaan lokal dengan makin lemahnya ikatan horizontal antar pelaku sosial dan ekonomi di pedesaan, dikarenakan kegiatan proyek umumnya bersifat sektoral dan antar tahun bersifat kontiniu.
  8. Pengembangan kelembagaan melalui jalur program pemerintah umumnya sarat slogan dan jargon politik daripada upaya nyata pemberdayaan ekonomi masyarakat pedesaan.
  9. Aspek teknologi masih dijadikan jurus klasik perancang kebijakan pemerintah untuk memecahkan masalah marjinalisasi ekonomi masyarakat pedesaan. Masalah kelembagaan yang semakin lemah justru dipandang dengan hanya sebelah mata.
  10. Kelembagaan pendukung belum dikembangkan dengan baik, karena pelaksanaan pembangunan, terutama di pedesaan, terjebak dalam pendekatan sektoral.
  11. Sikap dan tindakan (aparat) pemerintah di atas ditopang lemahnya pola pikir dan pemahaman kelembagaan, mencakup aspek fungsi dan kekuatannya menggerakkan pembangunan pedesaan.

TAHAP TRANSFORMASI KELEMBAGAAN DI PEDESAAN

Dengan memperhatikan simpul kritis transformasi kelembagaan dan uraian di atas, terdapat tiga tahap transformasi kelembagaan tradisional di pedesaan3, yaitu:

1. Tahap Masyarakat Komunal

Tipe masyarakat komunal merupakan ciri yang universal; ketergantungan penduduk masih tinggi dan campur tangan pihak luar masih rendah (masa sebelum ‘era pembangunan’, campur tangan pemerintah belum secara intensif); cirinya kepemilikan dan distribusi manfaat secara bersama, pengambilan keputusan penting masih dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip kebersamaan (solidaritas), serta penetapan keputusan yang demokratis. Pembentukan lembaga yang dibutuhkan, mencakup struktur, pemilihan anggota, pola kepemimpinannya, penetapan keputusan yang demokratis, rule of game (aturan main) serta sanksi-sanksinya. (contoh: KAN –Karapatan Adat Nagari – di Sumatera Barat; Subak dan Banjar di Bali). Pada proses penyeragaman pemerintahan desa di Indonesia melalui UU No.5/1974 tentang pemerintahan desa, kelembagaan contoh tersebut tetap eksis, artinya dengan sedikit kelembagaan namun kaya dalam fungsi dan
cakupannya.

2. Tahap Penghancuran Masyarakat Komunal

Invasi kekuatan terhadap masyarakat desa mulai terasa sejak ‘era pembangunan’ oleh pemerintah Orde Baru. Tanpa pengenalan dan pemahaman memadai pada masyarakat lokal, berbagai kelembagaan baru diintroduksikan dengan struktur dan norma yang telah ditentukan. (contoh: koperasi/ BUUD/ KUD, LKMD, LMD). Kondisi ini bukannya memperkuat jaringan kelembagaan lokal, tapi justru merusak/menghancurkan kelembagaan lokal (terjadi gejala banyak kelembagaan, namun miskin fungsi) dan lebih sebagai alat untuk mobilisasi sosial dan memudahkan kontrol dari atas, sehingga terjadi deformasi kelembagaan lokal, bukan transformasi yang bersifat alamiah.

3. Tahap Komunalitas Baru (Model Transformasi Kelembagan)

Pemerintah mulai merasakan timbulnya kesalahan dalam penetrasi kelembagaan yang tidak dibarengi pendekatan kultural (aspek kelembagaan), maka pemerintah mulai beralih dengan pendekatan baru yang lebih menghargai komunalitas lokal. Peran kepemimpinan lokal kembali direvitalisasi agar menjamin keberhasilan pembentukan kelembagaan introduksi.

Kelembagaan LPD sebagai salah satu model kelembagaan transformasi/introduksi (mulai digerakkan tahun 1990-an) menunjukkan perkembangan yang baik (walau belum spektakuler), karena perannya mendukung perkembangan agribisnis (padi, palawija, hortikultura, perkebunan rakyat dan peternakan) di pedesaan. Kelembagaan koperasi dan lainnya mulai berusaha menjadi ‘mandiri secara sesungguhnya’, dengan tidak mengisolasi diri untuk berbagai kepentingan lain, yang secara sosiologis saling berkaitan dengan aspek sosial-ekonomi masyarakat pedesaan (agama, budaya, adat-istiadat dan sosial). Bahkan sejak era otonomi daerah, kebijakan pengelolaan kelembagaan oleh pemerintah berangsurangsur beralih kepada masyarakat lokal yang secara rutin diberi bantuan, salah satunya berupa program BLM (walau belum mencukupi) untuk pembangunan sarana sosial umum yang mendukung program pembangunan pedesaan.

Sudah saatnya konsep diversivikasi pertanian, industrialisasi pedesaan, dan pengembangan agribisnis dikembangkan menjadi program yang nyata dan aplikabel; yang keseluruhannya harus lebih memperhatikan faktor manusianya atau faktor sosiokulturalnya (sehingga manusianya tidak bodoh, kurang pendidikan, tidak berjiwa entrepreneur dan hanya bermentalitas subsisten belaka). Pemerintah perlu meningkatkan terus kualitas penduduk pedesaan sebagai sumberdaya ekonomi yang mampu berproduktivitas tinggi; serta menghidupkan kembali dan meningkatkan sisa-sisa bentuk kehidupan sosial pedesaan yang berdasar atas prinsip guyub (merupakan salah satu kelembagaan tradisional masyarakat lokal) yang masih ada.

KAJIAN SOSIOLOGIS PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PEDESAAN

Pengkajian terhadap pembangunan pedesaan akan berlangsung sepanjang suatu desa akan mengalami proses pembangunan tersebut dan mencakup berbagai aspek dan faktor yang saling berkaitan dan sangat luas jangkauannya. Untuk itu sangat diperlukan keefektifan analisa atas kendala dan kesempatan yang memadai bagi negara berpendapatan rendah. Tiga cakupan kegagalan sejarah yang patut lebih diperhatikan, yaitu: 1) kegagalan merancang dan menerapkan strategi yang tepat guna untuk pengembangan pertanian dengan dasar yang luas; 2) kegagalan mengurangi tingkat kematian dan penyakit, yang saling berkaitan dalam memperlambat pertumbuhan penduduk dan kenaikan angkatan kerja; 3) kegagalan menciptakan organisasi dan kelembagaan yang tepat guna untuk memecahkan masalah pada tingkat lokal dan memperbaiki penampilan dari birokrasi pembangunan.

Dasar diagnosa pembangunan pedesaan, adalah: 1)berhubungan dengan pola pengembangan pertanian atas dasar yang luas dan yang intensif dari tenaga kerja, perluasan kesempatan penyerapan tenagakerja yang produktif, dan penggunaan lebih tepat guna dan penuh dari sumber tenaga kerja yang berlimpah secara relatif, dapat memudahkan perluasan penghasilan; 2) melibatkan penyempurnaan keterbatasan pelayanan sosial (pendidikan, gizi dan kesehatan, dan sebagainya); 3) program memperkuat prasarana kelembagaan dan ketrampilan mengelola kebutuhan pedesaan.

Pembangunan pedesaan menyebabkan terjadinya transformasi ke pertanian modern tidak hanya melalui perubahan struktur, juga menyangkut perubahan berbagai aspek yang membentuk perilaku, yaitu berupa perubahan sistem nilai, norma, orientasi. Lemahnya kinerja ekonomi pedesaan terutama disebabkan rendahnya kapasitas kelembagaannya, nilai-nilai tradisional yang masih rendah interaksinya antar kelembagaan, kecilnya akses terhadap kelembagaan modern, dan melemahnya kelembagaan lokal karena tekanan dari luar. Untuk itu diperlukan pemberdayaan kelembagaan tradisional yang dimulai dari masyarakatnya agar menjadi esensial untuk mencapai kesinergisan yang optimum dalam aktivitasnya di tingkat lokal.

Marjinalisasi Pertanian dan Pedesaan

Selama hampir seabad, pertanian Indonesia tidak menunjukkan perbaikan berarti, jika tidak dapat dikatakan mengalami kemunduran. Konsistensi dan keberlanjutan pembangunan pertanian tidak mengalami keberpihakan pada kemajuan perekonomian pedesaan. Pengelolaan usahatani masih non-formal dan tradisional turun temurun, pasar pertanian domestik kita diserbu produk pertanian impor. Sentuhan pengetahuan dan teknologi modern umumnya hanya mampu diserap dan sesuai untuk kalangan petani sawah yang ‘mampu’ dan hortikultura yang bernilai ekonomi tinggi. Masalah marjinalisasi pertanian tentu bukan hanya disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya alam, lebih tepatnya terletak pada kualitas SDM yang lemah dan rapuhnya dukungan tatanan kelembagaan pertanian pedesaan. Munculnya gejala marjinalisasi petani dan pemiskinan struktural sangat nyata sebagai hasil ikutan dari modernisasi pertanian padi sawah (di Jawa).

Dengan diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah (UU No.22 tahun 1999), sistem dan peran kelembagaan penyuluhan pertanian (BPP) sudah sangat kurang memadai. Bahkan, seperti kasus di Bali, BLPP (Balai Latihan Penyuluhan Pertanian) sebagai lembaga untuk memperkaya pengetahuan sudah memudar. Kelembagaan penyuluhan sejak dulu lebih banyak diarahkan untuk mendukung pengembangan produksi padi nasional (dalam rangka swasembada pangan) dan sangat kurang berperan sebagai penggerak ekonomi pedesaan. Kegiatan penyuluhan pertanian di pedesaan sering tidak sejalan dengan alternatif petani untuk pengembangan ekonomi rumahtangganya.

Struktur dan Kelembagaan Ekonomi

Pemaknaan kelembagaan bersifat formal, lebih banyak berfungsi untuk kelancaran pekerjaan dan kepentingan para birokrat di kecamatan dan pedesaan, seperti: KUD atau BRI, adalah dianggap sebagai lembaga ekonomi yang bukan milik masyarakat pedesaan. Hal ini mencerminkan pendekatan kebijakan perancang pembangunan yang sentralistik (top down), centrally planned economies dan monolitik, sehingga terkesan sulit berkembang dan tidak mengakar pada adat, kebudayaan dan local knowledge masyarakat setempat (sejalan penerapan UU No.5/1979 tentang pemerintahan desa). Dengan demikian, bisa dimengerti mengapa dan apa penyebab kemandegan KUD saat ini yang bahkan meninggalkan sejumlah tunggakan yang tidak sedikit.

Terdapat tiga pola kelembagaan lokal pedesaan dalam mengelola usaha pertanian, yaitu: pola pemerintah (inti-plasma), tradisional (patron-klien) dan pasar (rasional). Ketiganya memiliki kesamaan pada konsentrasi “kekuasaan” dalam penguasaan modal dan peluang dalam mengeksploitasi petani, yang tidak memperoleh bagian nilai tambah yang wajar.

0t1

Hubungan interdependensi atau kemitraan yang terbentuk mencirikan interaksi yang sangat asimetris, sehingga dinilai tidak menguntungkan bagi perbaikan perekonomian petani dan pedesaan. Perlu dikemukakan adanya keterkaitan erat antara lemahnya kekuatan politik dan terbelakangnya ekonomi petani (lemahnya hak politik petani maka sulit mengembangkan kekuatannya dalam berorganisasi di bidang ekonomi). Kondisi tersebut turut dipicu semakin sempit dan terbatasnya penguasaan dan pengusahaan lahan, dimana yang berlahan luas menjadi semakin luas, menggambarkan gejala marjinalisasi petani dan kemunduran perekonomian pedesaan menjadi sulit dielakkan.

Kepemimpinan dan Kemajuan Ekonomi

Peran kepemimpinan sangat besar bagi kemajuan maupun kemunduran perekonomian suatu masyarakat, terlebih pada masyarakat yang kandungan semangat patronasenya kuat. Keberadaan seorang pemimpin yang kuat dalam masyarakat pedesaan sangat menentukan peluang dan tingkat kemajuan ekonomi masyarakat pedesaan. Di kawasan irigasi Riam kanan, kepercayaan masyarakat petani terhadap pejabat pemerintahan sudah sangat rendah, karena sudah banyak terjadi kasus pencatutan yang mengatas namakan kepentingan petani untuk mengeruk keuntungan bagi pribadi (‘korupsi’)sehingga banyak bantuan pemerintah yang tidak sampai ke petani; misalnya bantuan kredit traktor tangan yang tidak didasarkan survei lapang yang akurat.

Aspek kepercayaan (trust) dalam kepemimpinan untik menggerakkan masyarakat ke arah kemajuan merupakan sesuatu yang sangat penting, dan akan dihargai serta dihormati jika pemimpin tersebut memiliki keunggulan karena mampu memecahkan dan mengatasi masalah masyarakat termasuk masalah produksi dan ekonomi pertanian mereka. Hal ini penting untuk menghindarkan munculnya sifat ‘manja’ dan ‘ketergantungan’ petani terhadap bantuan pemerintah, yang akan menyebabkan kemerosotan daya kreatif petani dalam mengelola sumberdaya pertanian di daerahnya.

Seorang pemimpin juga harus mampu merepresentasikan kepentingan masyarakat dan menghilangkan sifat mementingkan diri dan golongannya semata. Petani juga mengharapkan semangat “altruistik” (mau berkorban lebih dulu) dari seorang pemimpin, agar memperoleh simpati dan kepercayaan masyarakat yang otomatis tentu akan menjadi pendukungnya (misalnya, merintis jalur pemasaran lintas desa/daerah, memperhatikan sarana dan prasarana pertanian, irigasi dan mengembangkan diversifikasi usahatani). Seorang pemimpin diharapkan memiliki visi dan misi yang jelas dan ditranparansikan ke petani, memiliki pemahaman local knowledge yang baik, mampu menggerakkan inspirasi kekolektifitasan antar petani dan terorganisir dengan baik (dengan menunjukkan contoh keberhasilannya dibanding secara individualistik), serta mentransmisi dan mendinamisasi persaingan sehingga menjadi energi kolektif kemajuan masyarakat setempat.

Para ahli dan pakar kebijakan ekonomi umumnya berpendapat bahwa kemajuan ekonomi suatu masyarakat akan menggusur semangat gotong royongnya. Dengan pluralisme etnis di masyarakat pedesaan, individualisme/mementingkan kemajuan etnis tertentu dapat diredam dengan menumbuhkan kecerdasan kolektif masyarakatnya dan diarahkan untuk energi kemajuan bersama (conflict resolution), sehingga semangat keorganisasian petani dapat berkembang sehat. Solidaritas masyarakat petani, secara ekonomi sangat berguna, karena dengannya interdependensi antar petani dapat dijadikan modal sosial untuk mewujudkan semangat win-win solution dalam kehidupan ekonomi petani. Ciri kolektivitas dalam beberapa etnis di Indonesia telah membentuk pola hubungan masyarakat paternalistik (panutan). Masyarakat membutuhkan seseorang sebagai patron (panutan) yang mampu mewakili dan mewujudkan ‘impian’ masyarakat secara kolektif.

Pengembangan dan pemberdayaan kelembagaan tradisional merupakan salah satu usaha dalam program pembangunan pedesaan (yang salah satunya dengan partisipasi masyarakat lokal) untuk memperkuat jaringan perekonomian masyarakat petani (agar tidak hanya sekedar subsisten dan agar mampu berkelanjutan), agar dapat mendorong usaha pertanian petani untuk berproduktivitas tinggi, berdiversifikasi, meninggalkan konsep pertanian primitif subsistensi dan menuju pertanian yang modern serta mampu memenuhi pasar komersial.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

  1. Fokus utama dalam kajian aspek kelembagaan adalah perilaku atau perilaku sosial, dimana inti kajiannya adalah mengenai nilai kepercayaan, moral, ide, gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi dan lain-lain. Bentuk perubahan sosial dalam aspek kelembagaan bersifat kultural dan prosesnya membutuhkan waktu lama.
  2. Kemarjinalan kelembagaan lokal di pedesaan ditunjukkan kelemahan pengembangan dan penerapan aspek kepemimpinan. Pemimpin harusnya sebagai penggerak dinamika masyarakat pedesaan dalam pemacuan perkembangan ekonomi setempat.
  3. Berperannya tata nilai (menegakkan rasa malu, harga diri dan etos kerja keras, rajin, daya produktif tinggi) sebagai komponen kelembagaan untuk menggerakkan kemajuan perekonomian baik secara individual maupun kolektif, sehingga terwujud domestic saving yang tinggi serta empati/tepo seliro yang tinggi dalam bermasyarakat sosial.
  4. Kemarjinalan kelembagaan lokal masyarakat pedesaan, dicerminkan oleh lemahnya posisi tawar (bargaining position) petani, yang disebabkan: kelemahan pengorganisasian kelompok tani, penguasaan permodalan usaha, ketimpangan interdependensi petani dengan pelaku ekonomi luar desa. Pola kelembagaan petani pedesaan, yaitu pola pemerintah (inti-plasma), tradisional (patron-klien) dan pasar (rasional) masih mengeksploitasi petani secara tidak adil.
  5. Terdapat tiga tahap perubahan kelembagaan, yang berbeda bentuk, karakteristik, pengambilan dan penetapan keputusan, sifat keterlibatan masyarakat, serta pendekatan sosial-ekonomi dan politik atas desa, yaitu kelembagaan pada: 1) tahap masyarakat komunal; 2) tahap penghancuran masyarakat komunal; 3) tahap komunalitas baru.
  6. Dalam program pembangunan pedesaan, strategi pengembangan kelembagaan, cenderung sebagai: a) Tujuan pembentukan kelembagaan yang masih berkisar peningkatan produksi, lebih memperkuat jaringan horizontal, tapi lemah dalam ikatan vertikal, yang hanya untuk memudahkan distrubusi dan kontrol dari pelaksana program; b) Keseragaman pengembangan bentuk kelembagaan bias pada pola kelembagaan usahatani padi sawah; c) Pembinaan cenderung individual; d) Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural, entry pointnya
    adalah teknologi, bukan kelembagaan; e) Introduksi melalui budaya material dibanding non-material, atau merupakan perubahan yang materialistik.
  7. Kelembagaan komunitas tradisional yang berlandaskan pemberdayaan dan partisipasi masyarakat lokal lebih mampu menjamin pengembangan, keberhasilan dan keberhasilan kelembagaan tersebut.

Implikasi Kebijakan

  1. Pembangunan pedesaan harusnya disertai oleh program yang langsung menuju ke sasaran, dimana agricultural development dikombinasikan dengan rural development  sehingga menjadi rural-agricultural development yaitu satu program pembangunan pedesaan komprehensif.
  2. Perlunya penyesuaian yang kuat dari pihak perancang dan penyelanggara kebijakan dengan keberpihakan terhadap kepentingan peningkatan perekonomian pedesaan. Perlunya difungsikan asas keterwakilan, transparansi, akuntabilitas mereka dan menempatkan masyarakat pedesaan sebagai mitra dan pelaku strategis pemberdayaan ekonomi pedesaan.DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2000. Pengembangan Pertanian sebagai Andalan perekonomian Nasional. PSE. Bogor.

Dove, M.R. (ed). 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Etzoni, A. 1985. Organisasi-Organisasi Modern. UI. Press & Pustaka Bradjaguna. Jakarta.

Geertz, C. 1874. Involusi Pertanian. Bharata. Jakarta.

Husken, F. 1998. Masyarakat Desa Dalam Perubahan. Grasindo. Jakarta

Israel, A. Pengembangan Kelembagaan: Pengalaman Proyek-Proyek Bank Dunia. LP3ES.

Jamal, E., dkk. 2000. Dinamika Inovasi Sosial Ekonomi dan kelembagaan Pertanian. PSE. Bogor.

Kasryno, F. dan J.F. Stepanek. 1984. Dinamika Pembangunan Pedesaan. Obor. Jakarta.

Koentjoroningrat. 1997. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Grasindo. Jakarta.

_______. 1997. Kebudayaan , Mentalitas dan Pembangunan. Gramedia. Jakarta.

Kuntowijoyo. 1999. Budaya dan Masyarakat. Tiara Wacana. Yogyakarta.

Mubyarto. 1987. Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Sinar Harapan. Jakarta.

Pranadji, T. 2001. Penguatan Lembaga Pedesaan sebagai Penggerak Ekonomi Pedesaan.

Makalah PENAS X: Pertemuan KTNA. Tasikmalaya.

Sajogyo. 1980. Ekologi Pedesaan. Sebuah Bunga Rampai. Obor. Jakarta.

Saptana, Roosganda, dkk. 2003. Transformasi Kelembagaan Tradisional. Laporan Hasil Penelitian. PSE. Bogor.

______. 2004. Transformasi Kelembagaan Guna Memperkuat Ekonomi Rakyat di Pedesaan. Journal on Socio-Economics of Agricultural and Agribussines. Bali.

Schoorl, J. W. 1980. Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang. Gramedia. Jakarta.

Sumodiningrat, G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan JPS. Gramedia. Jakarta.

Todaro, M.P. 1983. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Alih bahasa Aminudin  dan Mursid. Penerbit Ghalia. Jakarta.

Uphoff, N. 1992. Local Institution and Participation for Sustainable Development. IIED. London.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.