Kelembagaan DAS

Dedy AS, dkk.

EKONOMI POLITIK KELEMBAGAAN: Tiga Lapisan Kelembagaan

Oleh:  Dedy AS (P080 320 7504), Nasruddin (P080 320 7509) dan Mutijo (P080 320 7517)

Tugas Mata Kuliah : Ekonomi Politik dan Kebijakan Pembangunan. Dosen: Dr. Ir. Adri Said, MSc.

PROGRAM PASCASARJANA, UNIVERSITAS HASANUDDIN, MAKASSAR, 2007

I. Pendahuluan

Kelemahan Pendekatan Ekonomi Murni

Pendekatan ekonomi murni adalah adanya kelangkaan dan pilihan. Model pendekatan ini tidak mempertimbangkan faktor motivasi yang ada dibelakang aktor yang terkait dalam proses atau peristiwa tertentu. Motivasi diasumsikan cateris paribus, dan semua faktor di luar bidang ilmu ekonomi dianggap telah given. Dengan penjelasan yang terlalu menyederhanakan persoalan, sehingga konsep-konsep ilmu ekonomi politik yang dikembangkan oleh kaum Klasik dan Neo Klasik mengabaikan faktor-faktor lain yang sebenarnya ikut menentukan bagaimana kegiatan ekonomi itu dilakukan.

01

Dari kelemahan model pendekatan yang dikembangkan oleh Klasik dan Neoklasik tersebut mendorong pakar-pakar sosial politik untuk mengembangkan paradigma lain yang disebut pendekatan ekonomi politik kelembagaan.

Ekonomi politik kelembagaan dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk pemecahan masalah politik dan masalah ekonomi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa sebagian besar persoalan ekonomi maupun persoalan politik justru berada di luar domain ekonomi dan politik itu sendiri, yaitu dalam kelembagaan yang mengatur proses kerja suatu perekonomian maupun proses-proses politik.

2. Tokoh-tokoh Ekonomi Kelembagaan

2.1. Veblen (Peran Nilai dan Norma-norma)

Bapak Ekonomi Politik Kelembagaan adalah Thostein Veblen (1857-1929), yang menjelaskan bahwa kelembagaan sebagai norma-norma yang membentuk perilaku masyarakat dalam bertindak, baik dalam perilaku konsumsi maupun produksi. Kritik yang diberikan oleh Veblen terhadap teori ekonomi Klasik dan Neoklasik adalah bahwa ketika orang yang seharusnya bertindak rasional dalam mengkonsumsi, dengan memilih alternatif terbaik untuk mamaksimisasi utilitas, maka Veblen dalam The Theory Of Leisure Class (1899), menggambarkan bahwa masyarakat Amerika yang materialistis, cenderung melakukan perilaku konsumsi yang tidak wajar (conspicius consumption). Menurut Veblen bahwa keseimbangan ekonomi adalah suatu hal yang tidak mungkin terjadi.

Veblen dalam bukunya Absentee Ownership and Business Enterprise (1923), yang membahas perilaku pengusaha dalam mencari laba. Dijelaskan oleh Veblen bahwa dulu laba diperoleh dengan kerja keras, akan tetapi saat ini banyak diperoleh lewat trik-trik licik. Dulu investasi masuk ke “production for use”, ke sektor riil sekarang investasi masuk ke pasar modal dengan pola“production for profit”.

Production for profit inilah yang disebut oleh Veblen sebagai Absentee Ownership, dengan perilaku yang licik dalam upaya memperoleh laba yang sebesar-besarnya dengan menjadi predator yang mematikan lawan. Sifat licik tersebut ditunjukan dengan “engan mengikuti aturan permainan” melainkan lebih pada usaha untuk “mempermainkan peraturan”. Beberapa contoh kasus yang diberikan oleh Veblen adalah, pengusaha jalur kereta api di Amerika Serikat tahun 30-an, George Soros dengan Quantum Fund-nya yang melululantahkan pasar modal negara-negara Asia Timur.

Yang menarik dari Thostein Veblen (1857-1929), adalah bahwa ajaran yang diusungnya adalah ajaran Karl Marx, yang percaya pada dorongan kreatif dam insting “workmanship”, tetapi menghindari analisis perjuangan klas Marx, sebab menurut Veblen kapitalis bukanlah musuh dan buruh bukanlah pahlawan. Veblen mengklasifikasi peran pebisnis/manajer sebagai orang jahat, dan para insinyur adalah orang baik. Sebagai pengkritik dari para ekonom Klasik, namun demikian Veblen mempunyai pendapat yang sama dengan pendapat Adam Smith, bahwa orang-orang pemerintah lebih banyak bertindak sebagai pengganggu ketimbang penyelesai masalah.

2.2. Weber. Schumter, dan Myrdal (Peran Wirausahawan)

Analisis kelembagaan tidak hanya tidak hanya berakar dari disiplin ilmu ekonomi dan politik, tetapi juga dari Ilmu sosial, pakar-pakar kelembagaan yang memiliki disiplin ilmu sosial adalah Max Weber, Joseph Schumpeter, dan Gunnar Myrdal. Kajian para pakar ini adalah membahas peran wirausahawan dalam proses industrialisasi dan modernisasi. Menurut mereka bahwa tindakan manusia (termasuk tindakan ekonomi) bukan semata-mata hasil proses kalkulasi dari individu-individu otonom dan terjadi ruang hampa, melainkan berlansung dalam jaringan relasi sosial dan institusional.

Peran wirausahawan dalam menggelindingkan modernisasi, dari berbagai aktivitas ekonomi yang berubah, dihubungkan dengan lembagalembaga ekonomi, sistem ekonomi, nilai-nilai dan norma-norma berbagai peristiwa ekonomi yang tidak terlepas dari sistem politik dan struktur sosial/kultur budaya masyarakat. Kajian ekonomi politik kelembagaan, variabel/parameter ekonomi hanya merupakan hasil dari tindakan-tindakan sejumlah aktor yang berada dibelakang suatu peristiwa ekonomi.

Ilustrasi yang dicontohkan oleh Max Weber adalah proses industrialisai yang terjadi di Eropa Barat lebih merupakan kulminasi munculnya golongan kapitalis dengan Protestan ethics-nya, sehingga menurut Weber bukan variabel penanam modalnya yang penting melainkan aktor yang menggerakan kegiatan investasi tersebut yang didukung oleh situasi umum sosial politik yang memungkinkan munculnya peluang bagi aktor tersebut.

2.3. Commons, Coase dan North (Peran Hukum)

Sistem ekonomi politik tidak hanya ditentukan oleh nilai-nilai dan norma-norma serta wirausaha, tetapi juga oleh hukum yang membingkai sistem ekonomi politik itu sendiri. Peran hukum dalam pembangunan dibahas oleh para pakar seperti John R. Commons, Ronald Coase dan Douglas North.

Menurut pakar kelembagaan, ekonomi pasar tidak tercipta dengan sendirinya, tetapi harus ada institusi yang mengatur pola interaksi beberapa aktor dalam suatu arena transaksi yang disepakati bersama. Mengatur/menentukan dan atau mewarnai suatu transaksi, sekaligus mengatur kelompok atau agen ekonomi untuk mewujudkan kontrol kolektif dari suatu transaksi diperlukan aturan main.

Adalah John R. Commons yang memperkenalkan istilah Working Rules yang mengaitkan kelembagan dengan aspek legalistik, sedangkan Ronald Coase mengembangkan metodologi biaya transaksi dan hak kepemilikan dalam struktur kelembagaan dan proses kerja sebuah perusahaan.

Kelembagaan menurut Douglas North adalah aturan-aturan dan norma-norma yang tercipta dalam masyarakat yang menentukan boleh dan tidak boleh dilakukan serta tugas dan kewajiban yang harus dilakukan atau tidak dilakukan. Penekanan dari North adalah memberlakukan institusi sebagai peluang sekaligus sebagai kendala eksternal bagi agen-agen ekonomi. Artinya adalah institusi membatasi (enforcement/aturan dengan sifat memaksa) agen-agen ekonomi dalam memaksimumkan usahanya di samping faktor pembatas lain yaitu sumber daya, teknologi dan preferensipreferensi. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kelembagaan mengurangi unsur ketidakpastian dalam dalam ekonomi dan bisnis?. North menjelaskan bahwa institusi yang baik dapat menyelesaikan masalah koordinasi dan produksi yang terkait dengan motivasi para aktor, lingkungan, dan kemampuan pemain dalam menjinakkan lingkungan. Institusi tersebut juga harus dibangun, direkayasa, direkonstruksi, dikembangkan, dijaga kebekerjaannya, serta ditegakkan aturan mainnya oleh berbagai pihak terkait.

3. Tiga Lapisan Kelembagaan

Merujuk pada American Heritage Dictionary, yang dimaksud dengan kelembagaan atau institusi adalah: “…a custom, practice, relationship, or behavioral pattern of importance in the life of community or society”. Salah satu pembatasan tentang kelembagaan, minimal ada tiga lapisan kelembagaan yang terkait dengan ekonomi politik, yaitu (1) kelembagaan sebagai norma-norma dan konvensi, (2) kelembagaan sebagai aturan main, dan (3) kelembagaan sebagai hubungan kepemilikan.

3.1. Kelembagaan sebagai Norma-norma dan Konvensi

Menurut Bogason (2000), definisi yang paling umum tentang institusi sebagai norma-norma dan konvensi adalah yang dilihat dari sudut pandang sosiolog seperti yang diberikan oleh Gohler dan Bruns (1988): “Institutions are patterns of recurrent acts structured in a manner conditioning the behavior within the institutions, shaping a particular value or set of values and projecting value(s) in the social system in terms of attitudes or acts’.

orma dan konvensi umumnya bersifat informal, ditegakkan oleh keluarga, masyarakat, adat, dan sebagainya. Hampir semua aktivitas manusia memerlukan konvensi-konvensi pengaturan yang memfasilitasi proses-proses sosial, dan begitu juga dalam setiap pembentukan masyarakat diperlukan seperangkat norma-norma tingkah laku untuk membatasi tindakan-tindakan yang diperbolehkan. Jika aturan diikuti, proses-proses sosial bisa berjalan baik, dan sebaliknya.

Terdapat hubungan yang sangat erat antara norma-norma dengan nilainilai, yaitu norma-norma diturunkan dari nilai-nilai dan dapat dijustifikasi atas basis nilai-nilai. Sebagaimana dijelaskan Bogason (2000): “Norms are derived from values and can be justified on the basis of values… “. Contoh normanorma banyak sekali, antara lain: menghargai orang yang lebih tua, budaya antre, tidak merokok di ruang ber-AC, dan sebagainya.

Norma-norma terkait dengan nilai-nilai yang dianut suatu kelompok, sedangkan konvensi hanya berlaku di suatu lingkungan masyarakat tertentu. Ini berarti bahwa konvensi yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat bisa saja berbeda dengan konvensi yang dianut kelompok atau masyarakat lain. Yang paling diutamakan dari konvensi adalah aspek keteraturan dan keterprediksiannya, seperti yang disampaikan Bromley (1989), “A convention  is a regularity in human behavior that brings order and predictability to human relationships”.

Dalam bukunya Convention, Lewis (1986) menjelaskan sebagai berikut: “suatu keteraturan R dalam perilaku suatu populasi P ketika mereka adalah agen dalam suatu situasi kumat S adalah suatu konvensi jika dan hanya jika benar, dan diketahui secara umum di P bahwa, dalam beberapa kejadian dari S yang merupakan anggota dari P: ( 1) setiap orang menyesuaikan diri ke R; ( 2) setiap orang mengharapkan setiap orang yang lain menyesuaikan ke R; ( 3) setiap orang menyukai untuk menyesuaikan ke R dengan syarat yang lainnya juga melakukan, karena S adalah suatu masalah koordinasi dan seragam menyesuaikan ke R merupakan suatu keseimbangan koordinasi di S”.

Sebagai contoh, di Amerika Serikat orang mengendarai mobil di sisi sebelah kanan jalan, sedangkan di Inggris dan di Indonesia kebiasaan yang dianut adalah mengendarai mobil di sisi sebelah kiri. Perbedaan soal kiri atau kanan ini tidak menjadi masalah asal orang konsisten dan konvensi tersebut dipatuhi dengan konsisten.

Schotter (1981), mendefinisikan institusi sosial sebagai: “a regularity in social behavior that is agreed to by all members of society, specifies behavior in specific recurrent situations, and is either self-policed or policed by some external authority”. Untuk memaksakan aturan yang ditetapkan, institusi sosial memerlukan otoritas eksternal (misal negara).

Norma-norma dan konvensi mudah disebutkan, tetapi praktiknya sulit dioperasionalkan. Contoh-nya, bagaimana mengoperasionalkan resiprositas dan solidaritas.; Menurut Hegner (1986), “Reciprocity means that the giver expects to receive something in return sooner or later’. Secara sederhana, resiprositas diartikan “ada ubi ada talas”.

3.2. Kelembagaan sebagai AturanMain

Dalam hal ini, kelembagaan dilihat sebagai aturan main yang memberi naungan dan sanksi terhadap individu-individu dan kelompok kelompok dalam menentukan pilihannya. Pemaknaan seperti ini sesuai dengan pendapat John R Commons (1934) yang mendefinisikan kelembagaan sebagai: “…collective action in restraint, libera tion, and expansion of individual action”.

Selanjutnya, Bogason (2000) menyatakan bahwa ada tiga level aturan, yaitu (1) level aksi, (2) level aksi kolektif, dan (3) level konstitusi. Pada level aksi, aturan secara langsung mempengaruhi aksi nyata. Pada level aksi kolektif, kita mendefinisikan aturan untuk aksi pada masa-masa yang akan datang, atau disebut kebijakan. Terakhir, pada level konstitusi kita mendiskusikan prinsip-prinsip bagi pengambilan keputusan kolektif masa yang akan datang, seperti prinsip-prinsip demokrasi.

Bogason juga mengemukakan beberapa ciri-ciri umum institusi, antara lain: (1) adanya sebuah struktur yang didasarkan pada interaksi di antara para aktor, (2) adanya pemahaman bersama tentang nilai-nilai, dan (3) adanya tekanan untuk berperilaku sesuai dengan yang telah disepakati/ditetapkan.

Manusia di mana saja memiliki sifat baik dan buruk. Kalau ia berbuat baik, tidak ada masalah. Akan tetapi, kalau ia berbuat buruk, tentu akan berdampak (negatif) terhadap orang lain. Karena manusia tidak selalu berbuat baik, diperlukan aturan untuk membatasi perilaku orang dalam bertindak. Sebagaimana dikemukakan Bogason (2000): “Individual is perceived as fallible, prone to shirking, wanting to defect from promises by cheating, and hence the actors need constant reminders of what proper conduct is supposed to be like within the institutional setting. If they do not adjust their behavior accordingly, sanctions will apply’.

Dalam pemahaman seperti dikemukakan di atas, institusi didefinisikan oleh Kiser & Ostrom (1982) sebagai: “set of rules valid for (well-) defined aspects of human life, structuring information and deliniating scope and time for action. Institusi sebagai seperangkat aturan yang membatasi pilihan aktor individu. Aturan-aturan menentukan apakah suatu tindakan diperbolehkan (permitted), diperlukan (required), atau dilarang (prohibited).

Menurut Burns & Flam (1987), aturan-aturan menentukan “siapa” yang boleh melakukan suatu tindakan, “mengapa” (untuk tujuan “apa”) bertindak, “bagaimana” keputusan diambil, “apa alat” yang tersedia, “kapan” suatu aktivitas terjadi, dan “di mana”?

Sebagai aturan main, institusi biasanya lebih formal (ditegakkan oleh aparat pemerintah) dan bersifat tertulis msekipun ada juga kelembagaan yang tidak ditulis secara formal. Yang paling dibutuhkan hanya seperangkat istilah yang membatasi sebuah struktur bagi interaksi manusia, dan pemahaman bersama tentang alat-alat untuk menyelesaikan konflik di dalam struktur tersebut (Bromley, 1989).

Pada masa Orde Baru, institusi yang digunakan campur aduk. Negara seharusnya berperan sebagai wasit, dan swasta sebagai pemain. Kesalahan rezim Orde baru adalah peran wasit dan pemain tidak jelas, di mana wasit sering bertindak sebagai pemain. Institusi kepresidenan bertindak sebagai “Penguasa” yang mengatur segala-galanya, dan fungsi “check and balance” tidak bekerja dan parlemen hanya sekedar menjadi stempel karet. Pada era Abdurrahman Wahid dan Megawati, perbaikan institusi tidak terjadi (Rachbini, 2001).

3.3. Kelembagaan sebagai Pengatur Hubungan Kepemilikan

Lapis ketiga kelembagaan adalah sebagai pengatur hubungan kepemilikan. Sebagai pengatur hubungan kepemilikan, kelembagaan dianggap sebagai aransemen sosial yang mengatur: (1) individu atau kelompok pemilik, (2) objek nilai bagi pemilik dan orang lain, serta (3) orang dan pihak lain yang terlibat dalam suatu kepemilikan.

Dalam konsep sebagai pengatur hubungan kepemilikan, terdapat tiga orang yang mendefinisikan, yaitu:

  • Schmid (1972): “Institutions are set of ordered relationships among people which define their rights, exposure to the rights of others, priveleges, and responsibilities”.
  • Mathews (1986) mendefinisikan institusi sebagai perangkatperangkat kepemilikan dan kewajiban-kewajiban yang mempengaruhi kehidupan ekonomi masyarakat.
  • Alchian (1993), ada tiga elemen utama hak kepemilikan, yaitu: (1) hak eksklusif untuk memilih penggunaan dari suatu sumber daya, (2) hak untuk menerima jasa-jasa atau manfaat dari sumber daya yang dimiliki, dan (3) hak untuk menukarkan sumber daya yang dimiliki sesuai persyaratan yang disepakati.

Daftar Pustaka

Deliarnov. 2006. “Ekonomi Politik: Mencakup Berbagai Teori dan Konsep yang Komprehensip”. Erlangga. Jakarta.

Rachbini, D.J. 2006. “Ekonomi Politik dan Teori Pilihan Publik”. Ghalia Indonesia. Bogor.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.