Kelembagaan DAS

Saptana, dkk. (1)

TRANSFORMASI KELEMBAGAAN TRADISIONAL UNTUK MENUNJANG EKONOMI KERAKYATAN DI PEDESAAN: Studi Kasus di Propinsi Bali dan Bengkulu. 2003.

Anggota Tim Penelitian: Saptana,  Tri Pranadji, Syahyuti, Roosgandha E.M.

Penyunting: Syahyuti

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, DEPTAN, Bogor. 2003

Bab I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Sektor pertanian sesungguhnya dapat menjadi salah satu strategi untuk recovery sekaligus memberikan landasaan bagi perkembangan sektor riil dari krisis ekonomi yang dialami Indonesia semenjak tahun 1997. Hal ini dibuktikan oleh daya hidupnya yang tinggi, ketika sektor-sektor lain ambruk. Salah satu ciri khas usaha pada sektor pertanian adalah melibatkan begitu banyak orang dengan pemilikan sumber daya dan keterampilan yang rendah, serta social network yang kurang mendukung, khususnya untuk memasuki ekonomi modern saat ini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk pengembangan network tersebut adalah melalui strategi pendekatan kelembagaan, yang selama ini tampaknya belum mendapat penanganan yang memadai.

Secara umum, kinerja ekonomi pedesaan yang didominasi usaha pertanian cenderung lemah yang, salah satunya, diindikasikan oleh rendahnya kapasitas kelembagaannya. Hal ini disebabkan antara lain oleh pelaksanaan program pembangunan pertanian yang tidak berbasiskan kelembagaan lokal yang telah ada, sehingga kondisinya semkain memudar. Introduksi kelembagaan dari luar yang terasa asing bagi masyarakat berimplikasi kepada lemahnya partisipasi masyarakat dalam kelembagaan tersebut. Akibatnya, partisipasi masyarakat secara keseluruhan lemah dalam aktfitas pembangunan.

Kelembagaan ekonomi di pedesaan yang dibentuk dari nilai-nilai tradisional memiliki akses yang kecil terhadap kelembagaan modern, sehingga interaksi antar kelembagaanrendah. Karena itulah, tranformasi kelembagaan tradisional menjadi suatu yang esensial, demi tercapainya sinergi otpimum dalam aktivitas jaringan ekonomi di tingkat lokal. Usaha tranformasi pertanian tradisional ke arah pertanian modern, yang merupakan perubahan perilaku, tidak hanya melalui perubahan struktur tapi juga menyangkut perubahan berbagai aspek abstrak yang membentuk perilaku tersebut, yaitu berupa perubahan sistem nilai, norma, orientasi, tujuan, dan lain-lain.

Disisi lain, kebijakan otonomisasi daerah yang dimulai tahun 2001 saat ini baru sampai pada bagaimana struktur dan tata hubungan pemerintahan tingkat II dengan struktur di atasnya. Lebih jauh dari itu, yaitu bagaimana tata hubungannya ke bawah — dari sisi sosial, ekonomi, dan politik — tampaknya masih kurang. Tataran ini menjadi penting dirumuskan, khususnya dalam konteks pengembangan ekonomi kerakyatan yang tentunya akan sangat spesifik lokal. Bagaimana masyarakat lokal ikut terlibat dalam memaknai (mengisi) otonomi daerah tersebut, khususnya untuk kepentingan ekonominya sendiri, masih merupakan bidang yang perlu ditemukan model pengembangannya.

Upaya penguatan jaringan ekonomi kerakyatan di pedesaan perlu dipandang sebagai suatu keharusan, dimana penguatannya merupakan salah satu titik perhatian dari studi kelembagaan. Membangun kelembagaan untuk memperkuat jaringan ekonomi kerakyatan di pedesaan yang berbasis sumberdaya pertanian setempat, adalah juga berarti mengembangkan budaya non-material untuk meningkatkan dayasaing modal sosial (social capital) di pedesaan. Dari kacamata ekonomi, penguatan kelembagaan pedesaan harus mempunyai makna peningkatan dayasaing ekonomi pertanian di pedesaan.

1.2. Perumusan Masalah

Strategi pembangunan ekonomi nasional yang sentralistis, bias mengejar pertumbuhan, bias kawasan atau wilayah, kurang memperhatikan aspek keadilan dan keberlanjutan. Hal ini sering disebut sebagai pola pembangunan konvensional, yang ternyata telah menghasilkan kinerja ekonomi yang rapuh (Salim, 1991). Berbagai dampak negatif lanjutannya antara lain adalah terjadinya kontraksi perekonomian nasional, degradasi sumberdaya alam (lahan dan air), terbatasnya kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, mempertajam kesenjangan antar golongan masyarakat, serta memudarnya kelembagaan tradisional. Pada akhirnya ini berimplikasi kepada lemahnya struktur sosial ekonomi masyarakat pertanian di pedesaan. Pengembangan agribisnis sebagai strategi utama pembangunan pertanian di Deptan merupakan usaha untuk mendorong petani meninggalkan konsep pertanian primitif subsistensi dengan produktivitas rendah dan pertanian diversifikasi yang terbatas; menuju pertanian “modern” yang produksinya tinggi, terspesialisasi (komoditas komersial), yang hampir  secara keseluruhan untuk memenuhi pasar komersial 1.

Usaha mentransformasikan pertanian tradisional ke arah pertanian modern tersebut tidak hanya melalui perubahan struktur ekonomi pertanian belaka, namun juga menyangkut perubahan struktur dan perilaku sosial masyarakat pedesaan (= kelemba-gaan). Tanpa itu pengembangan pertanian hanya akan menimbulkan kesenjangan yang makin lebar di antara golongan masyarakat. Dalam konteks inilah, maka kajian transformasi kelembagaan tradisional untuk memperkuat jaringan ekonomi kerakyatan di pedesaan dapat dipandang sebagai hal yang urgen.

1.3. Justifikasi Penelitian

Uraian di atas memperlihatkan bahwa dalam pembicaraan yang berkaitan dengan pembangunan pertanian di pedesaan, analisis yang terkait  dengan aspek kelembagaan merupakan salah satu faktor penting. Hal ini karena secara soiologis, kelembagaan ibarat organ-organ dalam tubuh manusia yang menjalankan masyarakat tersebut. Setiap fungsi dalam masyarakat pasti dijalankan oleh sebuah (atau lebih) kelembagaan. Untuk kebutuhan hidup, dalam hal berproduksi dan distribusi, dijalankan oleh kelembagaan ekonomi. Setiap orang yang terlibat di dalamnya diikat oleh suatu pola nilai dan norma sebagai pedoman bersikap dan berperilaku, yang dimantapkan kemudian dengan adanya struktur yang baku. Struktur merupakan visualisasi dari siapa orang yang terlibat dan posisionalnya.

Perubahan lingkungan eksternal menuntut perubahan cara beroperasi kelembagaan-kelembagaan, termasuk di tingkat lokal. Karena itu, seluruh 1 Hal ini didasarkan konsep Todaro (1983), yang menggambarkan suatu garis evolusi pertanian dari pertanian primitif ke pertanian diversifikasi, dan akhirnya menuju pertanian modern.

kelembagaan yang ada, baik kelembagaan lokal-tradisional yang hidup dan telah diterima oleh komunitas (voluntary sector), kelembagaan pasar (private sector) yang dijiwai ideologi ekonomi terbuka, dan kelembagaan sistem politik atau sistem pengambilan keputusan di tingkat publik (public sector); perlu mentransformasikan diri sehingga kemudian menjadi sesuai dengan kebutuhan yang selalu berkembang. Inilah yang dimaksud dengan trasformasi kelembagaan.

Trasformasi tersebut tidak hanya harus dilakukan secara internal, namun juga tata hubungan dari keseluruhan kelembagaan tersebut. Karena itulah, penelitian ini perlu dilakukan untuk memberikan sumbangan dalam merumuskan strategi pembangunan pertanian di pedesaan dalam kerangka otonomi daerah dan dalam menghadapi globalisasi ekonomi. Selanjutnya, upaya memperkuat jaringan ekonomi rakyat dipedesaan baik dari aspek struktur atau konfigurasinya (jaringan yang efisien), keanggotaan (tingkat partisipasi), dan peranan atau fungsi (pembagian kerja secara organik), akan membawa dampak pada peningkatan produksi, nilai tambah, dan pendapatan petani secara signifikan.

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini mencoba mentransformasikan kelembagaan tradisional (pertanian tradisional) untuk memperkuat jaringan ekonomi kerakyatan di pedesaan sehingga dapat terwujud pertanian modern, yang tidak hanya menyangkut perubahan struktur ekonomi pertanian, tetapi menyangkut perubahan struktur sosial, perilaku sosial, dan tata hubungan baik secara internal maupun antar kelembagaan yang eksis dalam masyarakat pedesaan. Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan pemecahan masalah pertanian di pedesaan secara lebih mendasar.

1.4. Tujuan dan Keluaran Penelitian

Tujuan penelitian:

  1. Mempelajari karakteristik dan kinerja kelembagaan tradisional, khususnya kelembagaan yang terkait dengan aktifitas ekonomi di pedesaan.
  2. Mempelajari berbagai program yang berkaitan dengan pengembangan ekonomi kerakyatan di pedesaan, khsususnya dari sisi pengembangan kelembagaannya.
  3. Mempelajari struktur dan pola interaksi antar tiga pilar masyarakat yang terdiri dari kelembagaan sosial, ekonomi, dan politik; yang mendukung ekonomi kerakyatan di pedesaan.
  4. Mendapatkan simpul-simpul kritis transformasi kelembagaan tradisional guna memperkuat ekonomi kerakyatan di pedesaan dalam konteks globalisasi ekonomi dan otonomi daerah.
  5. Membuat model transformasi untuk kelembagaan ekonomi pedesaaan yang bercorak tradisional untuk menghadapi globalisasi ekonomi dan otonomi daerah.

Keluaran penelitian:

  1. Memberikan informasi tentang bangun struktur sistem sosial masyarakat pertanian di pedesaan, baik di tingkat kelembagaan komunitas (voluntary sector), kelembagaan pasar atau ekonomi (private sector), maupun kelembagaan politik dan administrasi lokal (public sector).
  2. Memberikan rekomendasi untuk memperkuat kelembagaan tradisional melalui penguatan jaringan ekonomi kerakyatan di pedesaan, sehingga perekonomian rakyat di pedesaan dapat diintegrasikan ke dalam ekonomi pasar terbuka.
  3. Dapat dirumuskannya model transformasi kelembagaan tradisional guna memperkuat sistem jaringan ekonomi kerakyatan yang dapat menumbuhkembangkan perekonomian daerah dan pedesaan secara berkelanjutan.

Hasil penelitian ini akan berguna apabila ada political commitment pemerintah dan pihak legislatif baik di pusat maupun di daerah, serta adanya kesadaran masyarakat tentang pentingnya transformasi kelembagaan tradisional untuk memperkuat jaringan ekonomi kerakyatan di pedesaan.

Bab II. TINJAUAN KONSEPTUAL

2.1. “Kelembagaan” dalam Tinjauan Ilmu Sosiologi

Dalam ilmu sosiologi, kata kelembagaan (institution) dan kelembagaan sosial (social institutional) menunjuk pada sesuatu yang telah bersifat mapan (established) atau hidup (contitued) di dalam masyarakat. Dalam berbagai referensi yang terkait, kata kelembagaan atau social institution hampir selalu muncul bersamaan dengan social organization. Pada masa-masa awal perkembangan ilmu sosiologi, kedua kata ini tidak dibedakan secara tegas, atau terjadinya tumpang tindih dalam penggunaannya. Kemudian, mulai pertengahan 1950-an, terlihat pembedaan yang menjadi semakin tegas, dimana perubahan dari pengertian yang semula “luas dan baur” menjadi “sempit dan tegas”. Hal ini menunjukkan semakin pentingnya kedudukan konsep tersebut dalam soiologi.

Sosiolog Sumner dalam buku Folkways yang terbit tahun 1906 masih memasukkan unsur struktur di bawah katab kelembagaan. Sebaliknya, Durkheim (tahun 1897) dan Cooley (1909) memasukkan unsur-unsur nilai, norma, dan kepercayaan ketika membicarakan organisasi sosial. Pembedaan yang mulai tegas misalnya tampak pada Mac Iver dan Page (tahun 1949) serta L. Broom dan P. Selznik (tahun 1950), yang menyatakan dengan tegas perbedaan penggunaan institution dengan organization 1. Dalam pengertian Uphoff (1992) dan Fowler (1992) kelembagaan adalah “ a complex of norm and behavior that persist overtime by serving some socially valued purpose”, sedangkan organisasi adalah struktur peran yang diakui dan diterima.

————-

1 Hal ini dijelaskan secara gamblang dalam tulisan Mitchel (1968: 99-101 , 172-3).

Untuk kepentingan analisis yang lebih baik, maka perlu  memformulasikan batasan kelembagaan secara tegas. Dari penelusuran referensi secara mendalam, maka Syahyuti (2003) berpendapat bahwa “kelembagaan” berisikan dua aspek penting, yaitu “aspek kelembagaan” dan “aspek keorganisasian”. Fokus utama dalam kajian aspek kelembagaan adalah perilaku atau perilaku sosial, dimana inti kajiannya adalah tentang nilai (values), norma (norm), custom, mores, folkways, usage, kepercayaan, moral, ide, gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi dan lain-lain. Bentuk perubahan sosial dalam aspek kelembagaan bersifat kultural dan proses perubahannya membutuhkan waktu yang lebih lama.

Sementara itu dalam aspek keorganisasian fokus kajian utamanya adalah struktur atau struktur sosial. Inti kajiannya adalah pada aspek peran (roles). Dengan demikian aspek kajian secara lebih jauh mencakup : peran, aktivitas, hubungan antar peran, integrasi sosial, struktur umum, perbandingan struktur tekstual dengan struktur riel, struktur kewenangan atau kekuasaan, hubungan antara kegiatan dengan tujuan yang hendak dicapai, aspek solidaritas, klik, profil dan pola kekuasaan (sentralitas atau distributif). Bentuk perubahan sosial dalam aspek keorganisasian bersifat struktural, dan berlangsung relatif lebih cepat.

Kedua aspek tersebut diturunkan dari konsep bahwa ada dua hal utama dalam kajian sosiologis. Dalam buku Taneko (1993) misalnya dikatakan bahwa dua inti pokok dalam sosiologi adalah segi struktur (aspek keorganisasian) dan segi dinamikanya atau proses sosial (aspek kelembagaan). Artinya, kedua kajian itu bersifat saling membutuhkan, melengkapi, dan memperkuat.

Makna kelembagaan secara hakiki lebih mengandung makna tentang aspek “isi”, tidak hanya pada “bentuk luar” atau fisiknya (Lauer, 1982 dalam Pranadji, 2002). Salah satu isi penting dari kelembagaan tadi adalah tata nilai yang menghidupkan kelembagaan tadi.

Bottomore (1975 dalam Taryoto, 1995) mendefinisikan kelembagaan sebagai a complex or cluster of roles, yang menyebutkan bahwa konsep peranan (role) merupakan komponen utama kelembagaan. Horton dan Hunt (1984) mendekati pembahasan kelembagaan dari norma-norma yang hidup dalam masyarakat, sehingga kelembagaan didefinisikan sebagai “suatu sistem norma yang diperlukan untuk mencapai sejumlah tujuan atau kegiatan yang dianggap penting oleh masyarakat yang bersangkutan”, secara jelas bahwa :

“ An institution is an organized system of social relationship which embodies certain common value and procedures and meets certain basic needs of the society. Common value refers to shared ideal and goals; common procedures are the standarized behavieor pattern followed; and system of relationship is the network of rules and statues through wich people carrying out this behavior”.

Terdapat tiga hal yang mendasar dari kelembagaan menurut Horton dan Hunt, yaitu sistem nilai, prosedur hubungan, serta bentuk hubungan sesama anggota masyarakat (=struktur). Sementara itu, Mubyarto (1977) mendefinisikan kelembagaan (intitution) adalah organisasi atau kaidah-kaidah, baik formal maupun informal, yang mengatur perilaku dan tindakan anggota masyarakat tertentu baik dalam kegiatan rutin sehari-hari maupun dalam usahanya untuk mencapai tujuan tertentu.

Koentjaraningrat (1997) mengusulkan istilah pranata sebagai padanan kata “institution”, dan pranata sosial untuk “social institution”. Pranata diartikan sebagai kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaannya. Sedangkan pranata sosial diartikan sebagai suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks kebutuhan dalam kehidupan masyarakat. Definisi ini lebih menekankan kepada aspek tata kelakuan dan norma-norma, yang memiliki fungsi-fungsi khusus dalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pranata terdiri dari tiga wujud kebudayaan, yaitu : (1) sistem norma dan tata kelakuan untuk wujud idiel kebudayaan, (2) kelakuan berpola untuk wujud kelakuan kebudayaan, dan (3) peralatannya untuk wujud fisik kebudayaannya. Ditambahkan dengan personilnya sendiri, maka pranata terdiri dari empat komponen yang saling berinteraksi.

Begitu sentralnya peranan kelembagaan dalam masyarakat, maka setiap perubahan sosial menjadikan kelembagaan sebagai wadahnya. Demikian pula halnya dengan pembangunan yang diartikan sebagai perubahan yang direncanakan. Hal ini sudah terlihat selama ini, dimana setiap program ke pedesaan hampir pasti membentuk suatu kelembagaan baru, misalnya: koperasi untuk aktivitas usaha ekonomi, kelompok tani untuk aktivitas budidaya pertanian, kelompok P3A untuk urusan air irigasi, Kelompok Pencapir untuk kepentingan pemenuhan informasi, kelompok ternak bagi peternak, dan lain-lain.

2.2. Konsep Kelembagaan dalam Tinjauan Ekonomi

Selain dari kalangan ahli sosiologi, kelembagaan juga dipelajari oleh ahli ekonomi berdasarkan sisi pandang mereka. Teori ekonomi seharusnya dilihat dalam kerangka yang lebih luas, karena dalam proses perkembangannya terjadi interaksi yang komplek dengan aspek alam, fisik, dan sosial, serta tatanan sosial. Perkembangan ekonomi kelembagaan diilhami oleh aliran neo Malthusian dan ekonomi teknik yang bersifat radikal. Dalam konsep mereka, cakupan analisis dalam ekonomi kelembagaan meliputi: (1) kemajuan teknologi (technical progress), (2) perusahaan multinasional (multinational enterprise), (3) berkembangnya blok-blok kekuasaan (power blocks); (4) permainan berjumlah nol (zero sum games); (5) perencanaan indikatif (indicative planning); dan (6) pendekatan indikatif untuk ekonomi kebijakan dan ekonomi ekologi (indicative approach to policy economics and ecology).

Perkembangan ekonomi kelembagaan ini sesungguhnya diawali seorang ahli ekonomi berkebangsaan Italia yang bernama Sismodi (1819) yang menolak teori dan metode ekonomi klasik Adam Smith. Bagi Sismodi kekayaan (wealth) berarti kesejahteraan manusia yang tidak hanya arti materiil lahiriah sematamata, tetapi mengandung aspek non materiil. Sismodi tidak yakin akan kebenaran teori klasik dari Adam Smith yang mengatakan bahwa asalkan setiap unit ekonomi melakukan tindakan rasional dan mengusahakan posisi optimalnya, maka mekanisme pasar akan menghasilkan keadaan yang seimbang pada posisi optimal yang sama dengan full employment.

Pada awal abad ke-20, sejumlah ahli ekonomi di Amerika, yang sering disebut kaum intitusionalist antara lain Veblen, Commons, dan Mitchell serta beberapa ahli ekonomi Jerman seperti Muller dan List; mengikuti pendekatan yang sama dengan yang dilakukan oleh Sismondi (Soule, 1994). John R. Commons dalam History of Labor in The United State (1918) menguraikan tentang kelembagaan perburuhan. Commons juga mempelajari lembagalembaga penting lainnya yang berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat, seperti lembaga keuangan dan perbankan dengan efek inflasioner dan deflasionernya (dalam buku Institutional Economics, 1936). Isi buku tersebut adalah pentingnya kerjasama setiap orang sebagai anggota masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Untuk menghindari konflik antara kepentingan individu dan kepentingan bersama dengan apa yang disebut “pengendalian bersama” (colective controls), yang mempunyai tugas dalam mengawasi proses tawar-menawar dan harga serta transaksi yang dijalankan oleh para manajer dan rationing (penjatahan).

Tinjauan kelembagaan dalam sistem ekonomi, menurut Shaffer dan Schmid (1960), merupakan sistem organisasi dan kontrol terhadap sumberdaya. Dipandang dari sudut individu, kelembagaan sebagai gugus kesempatan bagi individu dalam membuat keputusan dan melaksanakan aktivitasnya.

Pakpahan (1989) mengemukakan suatu kelembagaan dicirikan oleh 3 hal utama: (1) batas yurisdiksi (yurisdiction of boundary); (2) hak kepemilikan (property right); dan (3) aturan representasi (rule of represen-tation). Batas yurisdiksi berarti hak hukum atas (batas wilayah kekuasaan) atau (batas otoritas) yang dimiliki oleh suatu lembaga, atau mengandung makna keduaduanya. Penentuan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu organisasi atau masyarakat ditentukan oleh batas yurisdiksi. Perubahan batas yurisdiksi akan menghasilkan performance yang diinginkan, ditentukan oleh empat hal, yaitu: perasaan sebagai satu masyarakat (sense of community), eksternalitas, homogenitas, dan skala ekonomi (economic of scale).

Konsep property atau pemilikan sendiri muncul dari konsep hak (right) dan kewajiban (obligations) yang diatur oleh hukum, adat, dan tradisi, atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya (Pakpahan, 1990). Tidak seorangpun yang dapat menyatakan hak milik tanpa pengesahan dari masyarakat di mana dia berada. Hak kepemilikan juga merupakan sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya2 Hak kepemilikan atas lahan (land right) pada kelembagaan adat setempat yang berkaitan dengan lahan dapat dilihat pada hak masyarakat baik secara kelompok (comunal) maupun secara individu (private) dalam pengaturan, penggunaan, dan pemeliharaan sumberdaya lahan. Disamping hak, juga ada kewajiban-kewajiban berupa pembayaran pajak, iuran untuk desa atau adat, serta gotong royong yang dikaitkan dengan kepemilikan atas sumberdaya lahan tersebut.

———-

2 Diuraikan oleh Schmid (1960 dalam Zakaria dan Waluyo, 1999).

Aturan representasi (rule of representation) mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Aturan representasi menentukan alokasi dan distribusi sumberdaya. Dipandang dari segi ekonomi, aturan representasi mempengaruhi ongkos membuat keputusan. Ongkos transaksi yang tinggi dapat menye-babkan output tidak bernilai untuk diproduksi. Oleh karena itu, perlu dicari suatu mekanisme representasi yang efisien sehingga dapat menurunkan ongkos transaksi. Tubbs (1984) dan Hanel (1989) menyatakan bahwa pengambilan keputusan atas dasar group process akan meningkatkan loyalitas, kerja-sama, motivasi, dukungan anggota pada pimpinan dan mengurangi tekanan internal serta biaya transaksi yang pada akhirnya akan meningkatkan performa organisasi.

2.3. Tiga Jenis Kelembagaan: Pemerintah, Pasar, dan Komunitas.

Dunia sosial dibangun di atas tiga pilar sebagai elemen sosial pokok, yang secara fundamental ketiganya sangat berbeda. Masing-masing memiliki paradigma, ideologi, nilai, norma, rules of the game, dan bentuk keorganisasiannya sendiri. Tiga yang dimaksud adalah: pemerintah, pasar, dan  komunitas. Secara sederhana ketiganya direpresentasikan menjadi kekuatan poltik, eknomi, dan sosial. Masing-masing memiliki peran yang harus dijalankan secara ideal. Konfigurasi kekuatan antara ketiganya merupakan dasar pembentuk suatu sistem sosial.

Terjadi evolusi dominansi peran antar ketiganya dalam historik dunia ini, yaitu dari komunitas ke pemerintah dan terakhir ke pasar. Pada era masyarakat agraris pra-kapitalis peran komunitas sangat besar, ketika negara dan pasar belum hadir. Kemudian, negara mendominasi komunitas dan pasar, pada era pembentukan masyarakat modern. Dan terakhir, ketika globalisasi semakin kuat pada dunia yang nir-batas, maka pasarlah yang menguasai dunia. Korporasi-korporasi transnasional mendominasi pemerintah dan komunitas. Demikian pula pada tingkat lokal.

Selain itu, perubahan pola dominansi di antara ketiganya adalah dari pola “komunitas-pemerintah-pasar”, ke “pemerintah-komunitas-pasar”, menjadi “pasar-pemerintah-komunitas”. Negara (yang seringkali identik dengan pemrintah) dan pasar adalah dua entitas yang semakin menyatu, yang secara bersama-sama semakin melemahkan peran komunitas. Timbulnya wacana civil society merupakan respon dari semakin kuatnya peran negara yang berkolaborasi dengan pasar tersebut. Secara teoritis, pemerintah semestinya menjadi wasit yang mengatur struktur otoritas antar ketiganya.

Berbagai dinamika ini sangat menentukan apa yang terjadi di tingkat mikro. Aktivitas-aktivitas yang semestinya dikelola menurut bentuk “kelembagaan komunitas” menjadi tidak efektif ketika cara bekerjanya tidak lagi murni. Antara komunitas, pemerintah, pasar memiliki perbedaan yang hakiki.

0t1

Komunitas merupakan bentuk kelembagaan yang paling alamiah dan universal. Ia menjadi kelembagaan yang pertama dibentuk pada masyarakat manapun, dan tidak akan kehilangan eksistensinya meskipun muncul kelembagaan negara dan pasar. Orientasi utama terbentuknya kelembagaan komunitas adalah kepada pemenuhan kebutuhan hidup secara komunal. Berjalannya demokrasi yang murni dapat ditemukan di jenis kelembagaan ini, yang didukung oleh struktur sosial ekonomi masyarakatnya yang cenderung setara.

Gambaran pada kelembagaan negara sangat berbeda, karena orientasi utamanya kepada pelayanan terhadap penguasa dan rakyat. Struktur kekuasaannya yang monopolis menjadikan demokrasi merupakan sesuatu yang harus diperjuangkan. Artinya, demokrasi bukanlah jiwa alamiah negara. Sampai disini kita melihat bahwa negara bukanlah gambaran “kelembagaan komunitas yang diperbesar”. Ia tidak alamiah. Bagi negara-negara dunia ketiga misalnya yang pembentukan negaranya banyak terjadi di pertengahan abad ke –20, berbagai sistem norma, hukum, struktur politik dan lain-lain merupakan impor dari bentuk-bentuk yang sudah lebih dahulu berkembang di belahan dunia dengan lingkungan sosial yang sangat berbeda.

Pasar merupakan kelembagaan yang tegas, dan juga sederhana. Kesedehanaannya tampak dari orientasi kerjanya sangat sempit: mencari keuntungan. Sejalan dengan itu, kompetisi adalah semangat kerjanya, dengan kontrol sosialnya berbentuk renumerative compliance (Etzioni, 1961).

Menurut Kuntowijoyo (1999: 6) yang mempelajari berdasarkan kategori sejarah, masyarakat tradisional yang patrimonial menjadikan mitis sebagai simbolnya, sedangkan kontrol sosial didasarkan atas norma komunal dan kepatuhan. Pada katogeri teknokratis, simbolnya bersifat pseudo realis dengan modifikasi perilaku sebagai normanya. Dan pada masyarakat kapitalis, dengan realis sebagai simbol, dan normanya adalah individualis.

Negara (state) sering direpresentasikan – secara tidak tepat – oleh pemerintah (government), atau ada yang menyebut dengan birokrasi atau kelembagaan publik (public institution). Ketidaktepatan tersebut adalah, karena “pemerintah” semestinya bukanlah representasi dari negara, karena ia memiliki kaitan kerja yang sangat kuat tidak hanya dengan negara, tapi juga komunitas dan masyarakat, kepada kepentingan umum.

Bagaimana semestinya wajah pemerintah atau birokrasi? Birokrasi menurut filsafat Hegelian adalah media untuk mempertemukan kepentingan pemerintah dan rakyat. Harmonisasi adalah tujuannya. Karena itu, birokrasi harus apolitik, rasionalitas dan efisien, sebagaimana didukung Max Weber. Ini merupakan pandangan optimis terhadap birokrasi yang bebas nilai. Di sisi yang negatif, kalangan Marxis berpendapat bahwa birokrasi hanyalah mesin bagi kepentingan sekelompok orang yang dominan. Ia tak pernah merepresentasikan kepentingan umum.

Menurut teorinya, pasar adalah institusi yang paling handal, meskipun penuh persayaratan, misalanya jika individu well informed, dan hukum kepemilikan berlaku dengan baik. Jika tidak, organisasi yang dikelola negara   dapat menggantikan karena akan menurunkan transaction cost.

Saling tarik antara negara dan pasar tampaknya akan menjadi penentu utama berjalannya sistem sosial sementara ini. Komunikasi pasar berlangsung melalui transaksi dengan harga sebagai message-nya, sementara negara mengandalkan kepada otoritas dan power. Pasar dan negara berkolaborasi secara saling menguntungkan. Kapitalisme Asia disebut Kumio (1990) dengan kapitalisme konco dan kapitalisme birokrat. Kapitalisme konco adalah bentukbentuk usaha yang hanya memburu rente (rent seeker) dengan mengandalkan lisensi pemerintah, proyek-proyek pemerintah, pinjaman bank pemerintah, dan lain-lain. Posisi birokrasi menjadi sarana untuk mengumpulkan modal. Para pengusaha bercakrawala jangka pendek, keuntungan cepat. Konfigurasi saling pengaruh antara komunitas, negara, dan pasar selalu dapat ditemukan pada segala tingkatan, dari tingkat nasional sampai lokal (lihat Uphoff, 1986).

Pemerintah adalah bentuk organisasi yang paling mewakili kelembagaan negara. Fungsi utama pemerintah sebagai kelembagaan politik adalah menjadi wadah untuk berjalannya ketiga kelembagaan: komunitas, negara dan pasar. Ia dituntut bersikap sedemikian rupa sehingga ketiga kelembagaan tersebut dapat berjalan secara ideal. Selain itu, ia juga bertanggung jawab dalam mengkonstruksi tata hubungan antar ketiganya, pada setiap level; baik pada level pusat, daerah, maupun lokal.

Bagaimana semestinya peran pemerintah dalam pembangunan? Untuk menjawab ini, kita dapat merujuk pada berbagai pandangan yang telah lahir selama ini. Dalam bentuk yang lebih soft, pemerintah diharapkan hanya berperan sebagai katalisator, fasilitator, dan regulator.

Menurut Heilbroner (1982: 319), pasar merupakan kelembagaan yang tujuan dan cara kerjanya jelas. Tujuan pokoknya adalah mencari laba. Karena itu, seluruh unit-unitnya harus melakukan efisiensi secara maksimum, agar aturan kerjanya tercapai, yaitu: memaksimalkan laba. Pasar merupakan kelembagaan yang otonom. Mekanisme pasar mengatasi persoalan-persoalan ekonomi dengan pengawasan politik dan sosial yang minimal. Pasar adalah institusi yang mewujud dalam prinsip-prinsip pertukaran. Sistem pasar berjalan bukan oleh perintah yang terpusat, namun oleh interaksi mutual dalam bentuk transaksi.

Markets are the institutional embodiment of the exchange principle. A market system is a system of society-wide coordination of human activities, not by central command but by mutual interaction in the form of transactions” (Lindbom, 2001 dalam Martineli, 2002: 5).

Agar otonominya terjamin, maka pasar membutuhkan institusi untuk melegitimasi otoritas negara dan komunitas. Membangun kelembagaan sendiri, artinya ia menciptakan norma dan aturannya sendiri, serta struktur keorganisasiannya sendiri. Secara keorganisasian, ia membangun garis batas yang tegas dengan pemerintah dan komunitas. Terbentuknya kelembagaan tersebut terntulah tidak terjadi secara spontan. Kata Martineli (2002: 5): “….markets are major integrative institutions, but they are not spontaneous orders….”.

Bagaimana derajat ke-otonom-an pasar pada suatu masyarakat tidaklah sama, tergantung salah satunya pada iklim politik yang melingkupinya. Pada negara berkembang, menurut Heilbroner (1982: 318), perjalanan masyarakat ekonominya dimulai dari dari tingkat persiapan yang lebih rendah, yaitu dari belum adanya lembaga pasar. Namun kemudian, mekanisme pasar dengan cepat menggantikan sistem “ekonomi komando” yang umum berlaku. Peran pasar saat ini sedemikian besar. Pasar tak lagi bermakna tempat atau lokasi, ia termasuk penentu aspek moral (Evers, 1997: 81). Pasar seolaholah menjadi penentu segala aturan dan gaya hidup. Kekuatan pasar (market forces) diambil oleh masyarakat dan negara sebagai obat mujarab untuk menyembuhkan semua jenis penyakit pembangunan ekonomi. “Planning is out, market forces are in”.

Dalam msyarakat komunitas, struktur sosial, yaitu sistem hak dan kewajiban, digariskan dalam sistem kekerabatan. Anggota keluarga, mulai dari keluarga batih, extended family, sampai kepada sentimen etnik menjadi sandaran socio-economic security (Syahyuti, 2002).

Selain pasar, kekuatan besar yang juga ikut bertarung untuk menjadi yang paling berkuasa dalam kehidupan sosial saat ini, adalah negara (baca pemerintah). Namun demikian mereka memiliki kelebihan dan kelemahan mendasar sedemikian rupa, sehingga kompetisi bukan merupakan pilihan yang baik untuk mereka. Perbedaan dimaksud disajikan dalam tabel berikut.

0t2

Dengan adanya perbedaan antara keduanya, maka solusi yang ilmiah adalah membagi-bagi peran sesuai dengan cirinya masing-masing, dengan kelebihan dan kekurangannya. Perbedaan mendasar yang terjadi pada kelembagaan komunitas, pemerintah, dan pasar; semestinya dipandang sebagai asset dunia sosial. Ketiganya harus diberi ruang hidupnya sendirisendiri.

Namun bagaimana komposisinya yang sesuai, itulah persoalannya yang penting untuk diformulasikan.

Bab III. EKONOMI KERAKYATAN DAN OTONOMI DAERAH

3.1. Tinjauan Konseptual ”Ekonomi Kerakyatan”

Konsep “ekonomi kerakyatan” atau adakalanya disebut “ekonomi rakyat” yang kini dikenal luas telah menapaki jalan panjang yang berliku. Selain Bung Hatta, beberapa pemikir yang belakangan gencar memperkenalkan dan memperjuangkan “ekonomi kerakyatan” antara lain adalah Mubyarto, Kwik Kian Gie, dan kemudian meluas dalam kalangan LSM. Meski demikian, eksistensi konsep ekonomi rakyat sebagai suatu kebijakan resmi pemerintah hingga kini timbul tenggelam karena ketidakpastian komitmen rezim yang berkuasa.

Dari sisi etimologis, menutut Mubyarto, ekonomi rakyat bukan berasal dari dua kata yang terpisah, yakni “ekonomi” dan “rakyat” tetapi muncul sebagai lawan dari “ekonomi konglomerat”. Intinya, ekonomi rakyat adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan rakyat sesuai dengan Pasal 33 ayat 1 UUD 45 dan sila ke empat Pancasila (Bobo, 2003). Artinya, rakyat harus berpartisipasi penuh secara demokratis dalam menentukan kebijaksanaan ekonomi dan tidak menyerahkan begitu saja keputusan ekonomi kepada kekuatan atau mekanisme pasar. Ukuran apakah sistem ekonomi rakyat telah dijalankan atau tidak, terletak pada implementasinya dalam pemberdayaan ekonomi rakyat. Dalam ekonomi rakyat, aturan mainnya adalah keadilan ekonomi, yaitu aturan main tentang ikatan-ikatan ekonomi yang didasarkan pada etika.

Ekonomi rakyat muncul sebagai akibat adanya kesenjangan sosial ekonomi dalam masyarakat (Kartasasimita, 1996). Kegiatan ekonomi masyarakat lapisan bawah inilah yang disebut ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat dapat dikenal dari ciri-ciri pokoknya yang bersifat tradisional, skala usaha yang kecil, dan kegiatan atau usaha ekonomi bersifat sekedar untuk bertahan hidup (survival). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ekonomi rakyat adalah ekonomi partisipatif yang memberikan akses wajar dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat dalam memperoleh input, proses produksi, distribusi, dan konsumsi tanpa ada hambatan masuk ke pasar, serta dalam pengelolaannya menjamin kelestarian sumberdaya alam pendukungnya.

Lebih jauh, pengertian “jaringan ekonomi kerakyatan” adalah sistem susunan dan hubungan antara berbagai kelembagaan ekonomi baik secara horisontal maupun secara vertikal yang ada dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, transformasi kelembagaan tradisional untuk memperkuat jaringan ekonomi kerakyatan di pedesaan menyangkut transformasi dari beberapa jenis kelembagaan yang ada serta menyangkut aspek struktur kelembagaan, tugas pokok dan fungsi yang dijalankan, serta sistem tata hubungan antar kelembagaan baik secara horisontal maupun secara vertikal.

Kesenjangan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat sulit dihilangkan, bahkan ada kecenderungan melebar. Kesenjangan yang ada disebabkan adanya perbedaan dalam: pemilikan sumberdaya produktif (lahan dan modal), penguasaan teknologi, akses ke pasar dan kepada sumber-sumber informasi, keterampilan manajemen, serta adanya dampak globalisasi ekonomi. Meskipun integrasi sistem ekonomi tradisional ke dalam sistem ekonomi modern sudah berlangsung, namun hasilnya menambah jurang kesenjangan yang ada. Kondisi di atas menjadikan sulitnya melakukan transformasi dari struktur masyarakat agraris menjadi struktur yang berdasarkan perkembangan industri dan pertanian secara seimbang (Tjondronegoro, 1999). John Commons dalam Mubyarto (2002), mengakui prinsip ekonomi neoklasik tentang kelangkaan (scarcity) dan asas efisiensi untuk mengatasinya, tetapi berbeda dengan teori ekonomi klasik dalam cara-cara mencapai “harmoni” atau “keseimbangan”. Bukan dengan menyerahkannya pada mekanisme pasar melaui persaingan (competition), tetapi melalui kerjasama (cooperation) dan tindakan bersama (collective action). Diharapkan akan tercapai keseimbangan antara pertumbuhan dalam jangka pendek di satu sisi dan aspek pemerataan dan sustainabilitas dalam jangka panjang di sisi lain.

3.2. Ekonomi Kerakyatan dalam Otonomi Daerah

Kebijakan pembagunan seimbang dapat mengandung makna sebagai pembangunan yang bukan saja menitik beratkan pada pengembangan ekonomi, tetapi juga menumpahkan perhatian yang sama pentingnya pengembangan pada aspek sosial, politik dan budaya (Todaro, 1983). Dalam kerangka inilah, ketika keputusan politik-ekonomi telah diturunkan dari pusat ke pemerintah daerah di tingkat kabupaten-kota dalam legalitas otonomi daerah, maka pengembangan ekonomi kerakyatan memperoleh lingkungan dan harapan baru. Dengan otonomi daerah diharapkan dapat dirumuskan suatu tata ekonomi yang khas untuk daerah tersebut, baik ideologinya, tata perilakunya, serta kelembagaanya.

Dalam tataran operasional pelaksanaan otonomi daerah haruslah mempunyai makna pemberdayaan rakyat baik yang menyangkut aspek ekonomi, politik (sistem pengambilan keputusan), dan sosial (kelembagaan yang mewadainya) hingga pada tingkat desa. Dengan mendekatkan pemerintah daerah kabupaten atau kota pada rakyat di tingkat desa, maka pemerintah daerah akan lebih mampu untuk menilai potensi dan kapasitas baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia yang ada di wilayahnya, sehingga pemberdayaan ekonomi rakyat dapat dioptimalkan. Pemberdayaan rakyat dari aspek politik juga harus mampu meningkatkan akses masyarakat terhadap sistem pengambilan keputusan pada tingkat daerah otonom. Di samping itu, pengembangan kelembagaan di tingkat lokal haruslah didasarkan atas usaha pemberdayaan kelembagaan lokal yang telah eksis dan diterima masyarakat, bukan merupakan kelembagaan yang diintroduksikan dari luar. Sehingga nilai-nilai positif yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan energi dan kohesi sosial dalam pengembangan kelembagaan. Dengan demikian pemberdayaan SDM dan kelembagaan lokal dipedesaan dapat dipandang sebagai pengembangkan budaya non-material untuk meningkatkan daya saing modal sosial (social capital) di pedesaan, yang pada gilirannya dapat meningkatkan daya saing produk yang dihasilkan oleh masyarakat desa. Sesuai dengan prinsip otonomi daerah, tranformasi kelembagaan perekonomian rakyat juga akan dilakukan dalam level tersebut yang cenderung bersifat lokalitas. Dalam kontek ini, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1992) mengklasifikasikan kelembagaan lokal ke dalam enam kategori, yaitu :

  1. Administrasi lokal (local administration/LA), yang terdiri dari agen-agen lokal (local agencies) dan staff pemerintah pusat yang ada di daerah (staff of central goverment minintries), yang bertanggung jawab kepada birokrasi di pusat.
  2. Pemerintah lokal (local government/LG), yang merupakan kelembagaan politik yang mempunyai wewenang dalam pelaksanaan pembangunan dan bertugas mengeluarkan peraturan-peraturan serta bertanggung jawab kepada pemerintah daerah.
  3. Organisasi-organisasi yang beranggotakan komunitas masyarakat (membership organizations/MOs), yang merupakan asosiasi-asosiasi lokal yang bertujuan untuk menolong diri sendiri.
  4. Kerjasama usaha (cooperative), semacam organisasi lokal yang mempunyai anggota dalam rangka pengelolaan sumberdaya ekonomi untuk tujuan memperoleh keuntungan, seperti asosiasi pemasaran, gabungan kredit, masyarakat konsumen, atau kerjasama usaha diantara produsen.
  5. Organisasi-organisasi pelayanan (Service Organizations/SOs), merupakan organisasi-organisasi lokal yang dibentuk dengan tujuan utama untuk membantu anggota-anggota yang dapat memberikan manfaat.
  6. Bisnis swasta (Private Business/PBs), yang merupakan pelaku ekonomi yang mengoperasionalkan usahanya secara independen yang dapat bergerak pada produksi primer, industri pengolahan, pedagang atau usaha jasa pelayanan.

Pengembangan ekonomi kerakyatan hanya dapat dilakukan dengan mempertimbangkan konfigurasi dari keenam bentuk kelembagaan di atas, yang pada hakikatnya terdiri dari tiga bentuk kelembagaan pokok dalam masyarakat, yaitu: komunitas, negara, dan pasar. Salah satu jalan yang dapat digunakan untuk melakukannya adalah dengan melakukan tranformasi kelembagaan, yaitu masing-masing kelembagaan di atas secara internal, serta tranformasi tata hubungan di antara mereka, khususnya aspek struktur dan perilaku, agar pengembangan ekonomi di tingkat lokal dapat berjalan. Selain melalui jalur kelembagaan, perubahan dapat pula dilakukan dengan jalur individual. Hagen (1962) menyatakan bahwa faktor personalitas menjadi penentu kemajuan ekonomi suatu masyarakat, sejauh pada saat yang sama sistem masyarakat tidak menghambat secara serius perwujudan tatanilai maju yang dibawa oleh individu masyarakat tadi.

3.3. Pengembangan Kelembagaan untuk Mendukung Transformasi Perekonomian Rakyat

trategi pengembangan perekonomian rakyat di pedesaan dapat di tempuh antara lain dengan pengembangan kelembagaan lokal pendukung, pengembangan pertanian rakyat berkebudayaan industrial; pengembangan agroindustri berbasis bahan baku setempat, atau pengembangan teknologi tepat guna dan bersifat spesifik lokasi. Ada tiga pilar utama kelembagaan sebagai pendukung kehidupan masyarakat di pedesaan yaitu : kelembagaan yang hidup dan telah diterima oleh komunitas lokal atau tradisional (voluntary sector), kelembagaan pasar (private sector), dan kelembagaan politik dalam pengambilan keputusan di tingkat publik (public sector).

Kelembagaan komunitas lokal-tradisional perlu ditransformasikan ke arah kelembagaan komunitas lokal yang maju dan responsif terhadap perubahan. Perubahan-perubahan tersebut dapat beruba perubahan teknologi (tradisional-modern), sektoral (pertanian-industri), maupun tatanilai yang hidup dalam masyarakat (budaya pertanian tradisional-pertanian-industrial). Kelembagaan pasar atau private, yang dapat menciptakan pelaku-pelaku ekonomi rakyat yang punya jiwa kewirausahaan tinggi, ulet-tidak mengenal lelah, dan dinamis-dalam mengikuti perubahan dinamika pasar. Sementara itu, kelembagaan pemerintah lokal atau kelembagaan politik dalam sistem pengambilan keputusan haruslah dapat di arahkan pada kelembagaan politik di tingkat lokal yang handal. Dengan demikian diharapkan masyarakat lokal dapat akses terhadap sistem pengambilan keputusan di tingkat kabupatenkota sebagai unit otonom yang lebih tinggi. Pada gilirannya masyarakat lokal di pedesaan mempunyai akses dan kontrol terhadap pengelolaan sumberdaya di wilayahnya sehingga pemanfaatan dan pemeliharaannya bisa lebih optimal sesuai jiwa desentralisasi pembangunan.

Pembangunan pertanian yang telah dilakukan selama ini pada hakikatnya adalah pertanian yang sebagian bersifat adaptif terhadap lingkungan yang sudah mapan. Contohnya adalah pengembangan tanaman padi dengan menggunakan input produksi seperti bibit unggul, pupuk, obatobatan, dan penggunaan alsintan dalam kondisi lingkungan sawah yang sudah siap dan menyatu dengan budaya masyarakatnya. Revolusi hijau sukses karena dilandasi penguasaan teknologi budidaya disertai dengan penyiapan kelembagaan pendukungnya, sehingga dapat berjalan cepat dan diadaptasi secara luas oleh masyarakat pedesaan. Dalam upaya pengembangan pertanian rakyat di masa depan, selain penyediaan, diseminasi, pengembangan, serta pemanfaatan teknologi budidaya; juga perlu pendalaman teknologi pada aspek pasca panen, pengolahan, serta distribusi dan pemasarannya.

Sejalan dengan proses transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, atau dari masyarakat tradisional-subsisten ke arah masyarakat modern-komersial; maka perlu transformasi dari pertanian rakyat dengan budaya lokal-tradisional ke arah pertanian rakyat dengan budaya industrial. Beberapa ciri pertanian-industrial seperti yang dikemukakan oleh Sasmita (1996), antara lain adalah: (1) Ilmu dan pengetahuan merupakan landasan utama dalam pengambilan keputusan (bukan intuisi atau kebiasaan); (2) Kemajuan teknologi merupakan instrumen utama dalam pemanfaatan sumberdaya; (3) Mekanisme pasar merupakan media utama dalam transaksi barang dan jasa; (4) Efisiensi dan produktivitas sebagai dasar utama dalam alokasi sumberdaya; (5) Kualitas dan mutu merupakan orientasi dan tujuan para pelaku; (6) Profesionalisme merupakan karakter yang menonjol dalam setiap kegiatan atau aktivitas yang dijalankan; dan (7) Perekayasaan harus menggantikan ketergantungan pada alam, sehingga setiap produk yang dihasilkan bersifat standar baik dalam mutu, jumlah, bentuk, rasa, dan sifatsifat lainnya, dan dengan ketepatan waktu.

Proses transformasi budaya haruslah menjadi penggerak proses modernisasi masyarakat pertanian. Paradigma ini sedikitnya mempunyai tiga aspek: (1) pengembangan agroindustri dimulai dengan mengutamakan pengembangan kompetensi sumberdaya manusia dan penguatan kelembagaan lokal; (2) menggunakan desa sebagai unit otonom terbawah sebagai wadah kegiatan; dan (3) pendekatan wilayah pedesaan itu dapat meningkatkan keterkaitan desa-kota baik keterkaitan barang (input pertanian, output pertanian, barang konsumsi), keterkaitan tenaga kerja, maupun keterkaitan modal.

Pertanian rakyat di pedesaan yang berbudaya industri akhirnya sejalan dengan industrialisasi pedesaan dengan fokus utama pada pengembangan agroindustri. Sumber peningkatan produktivitas pertanian di pedesaan adalah  melalui kegiatan investasi melalui pengembangan pertanian-industrial yang didukung oleh investasi sumberdaya manusia, sarana dan prasarana fisik, serta investasi modal sosial melalui pengembangan kelembagaan. Pengembangan produktivitas pertanian dan agroindustri di pedesaan melalui pembangunan pertanian-industri perlu didorong dengan menumbuhkan lembaga-lembaga pedesaan yang modern, handal, dan mengakar pada budaya masyarakatnya. Pengembangan kawasan sentra-sentra produksi pertanian di pedesaan akan menjadikan pedesaan sebagai kota-kota pertanian. Dalam operasionalnya dapat berupa pengembangan rice estate, manggo estate, tobacco estate, sugarcane estate, dan lain-lain, yang terintegrasi dengan industri hilir dan industri hulunya.

0t3

Bab IV. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran

Aktivitas ekonomi suatu masyarakat tidak cukup jika hanya dijelaskan melalui sisi pandang ilmu ekonomi, khususnya yang secara sempit melihatnya sebagai agregat dari perilakuperilaku yang individualistis. Interaksi antar individu terjadi dalam wadah kelembagaan. Dalam Induced Innovation Model 4 yang dikembangkan Hayami dan Ruttan pada awal 70-an, mereka menyatakan kesulitan dalam menggambarkan hubungan antara resource endowment dengan cultural endowment maupun dengan institutions. Hal inilah yang mendorongnya untuk menyatakan bahwa analisa ekonomi perlu diperkaya dengan analisis antropologis-sosiologis, agar rekomendasi-rekomendasi kebijakan yang dihasilkan menjadi lebih bermakna.

———–

4 Induced Innovation Model terdiri atas empat faktor, yaitu: (1) resource endowment, (2) cultural endowment, (3) technology, dan (4) institutions.

———–

Ada tiga pilar yang menopang kehidupan suatu masyarakat yaitu kelembagaan komunitas (voluntary sector), kelembagaan pasar (private sector), dan kelembagaan sistem politik atau sistem pengambilan keputusan di tingkat publik (public sector). Bersamaan dengan itu, Etzioni (1961) melihat ada tiga jenis kekuasaan (power) yang hidup dalam suatu masyarakat, yaitu: kekuasaan dengan penggunaan paksaan (coercive), karena memberikan keuntungan atau manfaat (remunerative), dan kekuasaan karena keharusan yang didasarkan sistem norma yang berlaku (normative).

Pengembangan ekonomi di tingkat lokal akan bergantung kepada ketiga bentuk utama kelembagaan tersebut. Didasari atas pendapat tersebut, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1992) mengklasifikasikan kelembagaan lokal ke dalam enam kategori, yang sesungguhnya juga dapat dikelompokkan ke dalam kelembagaan pemerintahan, komunitas, dan pasar.

Transformasi kelembagaan ekonomi di pedesaan harus mampu mendorong berkembangnya sistem jaringan ekonomi kerakyatan dipedesaan yang sejalan dengan globalisasi ekonomi. Diharapkan perekonomian rakyat di pedesaan dapat diintegrasikan ke dalam pasar baik lokal, regional, dan global. Kerangka pemikiran penelitian ini divisualisasikan dengan gambar 1.

0g1

Transformasi untuk menuju ekonomi kerakyatan yang produktif, efisien dan berdaya saing tinggi terjadi secara bersamaan melalui dua jalur, yaitu transformasi kelembagaan dan transformasi dunia pertanian dalam arti perubahan aspek fisik. Transformasi kelembagaan terjadi pada ketiga bentuk kelembagaan yaitu kelembagaan politik, komunitas, dan pasar, baik perubahan pada dirinya masing-masing maupun perubahan pada tata hubungan diantara mereka.

3.2. Hipotesa Penelitian dan Batasan Operasional

Hipotesa pengarah:

  1. Masyarakat terdiri dari kelembagaan-kelembagaan yang berjalan sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dengan mengkaji kelembagan, maka sesungguhnya telah mengkaji masyarakat tersebut secara keseluruhan.
  2. Kegiatan ekonomi dijalankan dalam satu kelembagaan. Karena itu, untuk mempelajari ekonomi masyarakat dapat dengan mengkaji kelembagaan yang terlibat di dalamnya.
  3. Penyelenggaraan pembangunan ekonomi di tingkat daerah otonom diperkirakan belum mampu mengakomodasikan dan merepresentasikan kepentingan ekonomi rakyat di pedesaan secara memuaskan. Penyelenggaraan pembangunan yang tidak didasarkan atas potensi dan kepentingan ekonomi rakyat di pedesaan akan tidak efektif dan tidak berkelanjutan.
  4. Setiap masyarakat pasti memiliki suatu (atau lebih) kelembagaan untuk kegiatan ekonominya yang berlandaskan kepada nilai dan norma yang bersifat khas. Dipercaya, bahwa kelembagaan yang ada tidak selalu sesuai dengan kebutuhan dunia moden, sehingga itulah perlu dilakukan transformasi kelembagaan.
  5. Terdapat hubungan yang kurang harmonis antara kelembagaan yang berbasiskan komunitas, negara dan pasar; sehingga mejadi kendala dalam pengembangan ekonomi suatu wilayah. Karena itu, perlu dilakukan perubahan tata hubungan di antara mereka agar tercapai sinergi sosial.

Batasan Operasional

  • Kelembagaan = merupakan social form atau kelmpok-kelompok sosial yang berfungsi ibarat organ-organ dalam tubuh manusia yang hidup dalam masyarakat. Setiap kelembagaan memiliki tujuan tertentu, dan orang-orang yang terlibat di dalamnya memiliki pola perilaku tertentu yang berpedoman kepada nilai-nilai dan norma yang sifatnya khas.
  • Kelembagaan tradisional = kelembagaan yang berjalan menurut nilai-nilai tradisional, yang terbentuk secara alamiah, dimana aspek-aspek kelembagaan lebih dulu terbentuk dibandingkan aspek-aspek keorganisasiannya. Lawannya adalah kelembagaan introduksi yang dibentuk melalui rekayasa sosial, dengan mendahulukan pembentukan struktur.
  • Tranformasi kelembagaan = melakukan perubahan kelembagaan, baik aspek kelembagaan maupun aspek keorganisasiannya, ke arah yang yang lebih sesuai dengan kebutuhan, dan tidak harus berbentuk kelembagaan modern dalam pengertian yang tunggal. Tranformasi menyangkut seluruh bentuk kelembagaan, baik kelembagaan yang berbasiskan komunitas, negara, serta pasar. Perubahan tersebut menyangkut tugas pokok, struktur, tata perilaku, serta nilai dan norma yang dimilikinya. Selain itu, perubahan juga dapat terjadi pada tata hubungan antar kelembagaan secara horizontal maupun vertikal.
  • Ekonomi kerakyatan = suatu bentuk ekonomi yang pelakunya adalah masyarakat banyak yang dicirikan dengan pemilikan sumber daya dan keterampilan yang rendah. Tiga indikator utamanya adalah melibatkan masyarakat setempat, menggunakan sumberdaya setempat, dan hasilnya sebagian besar juga dirasakan oleh komunitas setempat.

3.3. Sampling Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Propinsi Bali dan Bengkulu masing-masing memilih secara purposive satu kabupaten sebagai unit analisis yang otonom. Pada tiap kabupaten dipilih 2 kecamatan yang memiliki karakterstik yang berbeda, yaitu daerah dataran tinggi dengan dominasi usahatani sayuran dan dataran rendah di mana karakteristik sosial ekonomi masyarakat berbasiskan usahatani padi sawah. Lokasi-lokasi terpilih adalah Kabupaten Tabanan di Bali, yaitu pada Kecamatan Baturiti (dataran tinggi) dan Kecamatan Kediri (dataran rendah). Sementara di Bengkulu, lokasi terpilih adalah Kabupaten Rejang Lebong. Untuk mewakili dataran tinggi dipilih 3 kecamatan yang sebelumnya adalah 1 kecamatan yang dimekarkan yaitu Kecamatan Curup, Selupu Rejang, dan Sindang Kelingi. Sebagai perbandingan pada dataran rendah dipilih Kecamatan Lebong Utara. Wilayah kecamatan dalam hal ini dianggap sebagai satuan unit penelitian, di mana pilihan desa dan kelembagaankelembagaan di dalamnya dilakukan secara acak.

Unit-unit penelitian terkecil adalah kelembagaankelembagaan yang terdiri dari 3 bentuk, yaitu: kelembagaan pemerintahan (politik), kelembagaan pasar (ekonomi), dan kelembagaan komunitas (sosial). Dengan pendekatan demikian, maka jumlah keseluruhan kelembagaan yang diwawancara adalah sebanyak 60 kelembagaan, yaitu 35 kelembagaan di Bali dan 25 kelembagaan di Bengkulu. Jenis dan level kelembagaankelembagaan  tersebut dijabarkan pada Tabel 3. Dalam setiap kelembagaan yang dijadikan sampel dilakukan wawancara secara mendalam kepada para pengurus dan anggotanya, dengan panduan kuesioner dengan jawaban-jawaban terbuka.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, sehingga jumlah responden bukan menjadi pertimbangan pokok, namun lebih ditekankan pada kedalaman dan kecukupan informasi (representatif). Alasan menggunakan penelitian kualitatif adalah karena studi ini membahas aspek perilaku yang sangat kompleks (nilai, norma, motivasi, persepsi, tujuan, dan alat untuk mencapai tujuan). Dalam konteks ini, diperlukan suasana sehingga nara sumber dapat berinteraksi dengan peneliti dalam konteks untuk mencapai intersubjektivitas antara kedua pihak. Pemahaman terhadap kelembagaan dan transformasinya perlu didekati dari berbagai aspek: sosial, ekonomi, dan politik.

Penelitian ini menggunakan strategi studi kasus multilokasi, dan multi-metode dalam pengumpulan data (Yin, 1997). Metode-metode yang digunakan adalah pengamatan, wawancara, dan studi literatur. Pengamatan dilakukan terhadap objek-objek pembangunan pertanian di pedesaan dalam rangka memperkuat ekonomi kerakyatan di pedesaan yang didekati secara kritis, misalnya keragaan program pembangunan, dukungan sarana dan prasarana, dukungan institusi (sosial, ekonomi, dan politik) dan kelembagaan pendukung lainnya. Sementara studi literatur diutamakan untuk penggalian bukti-bukti historis dan studi kebijakan (lokal dan nasional).

3.4. Analisis Data dan Jenis Data

Penelitian terdiri atas dua tahap. Pada tahap pertama dilakukan pengumpulan data tentang profil ekonomi wilayah, dengan penekanan tentang potensi wilayah, tataguna dan struktur penguasaan lahan, struktur ekonomi wilayah pada berbagai tingkatan, dan lain-lain. Juga ditelusuri berbagai kasus pelaksanaan program pembangunan pertanian di pedesaan yang ditujukan untuk memperkuat ekonomi kerakyatan di pedesaan. Pada tahap kedua dilakukan penggalian data dengan cara wawancara secara mendalam dengan panduan daftar pertanyaan dilengkapi dengan catatan harian.

Analisa data dilakukan secara bertahap, yaitu: (1) pengecekan, penyempurnaan dan pelengkapan data dan informasi; (2) menyusun pertanyaan-pertanyaan lanjutan untuk mempertajam fokus penelitian; (3) membangun kategori-kategori terhadap data dan informasi yang telah terkumpul; (4) mencari pola-pola (teori) yang relevan; (5) mengembangkan teori atau mengembangkan pola dengan teori; (6) pemahaman baru, teori baru, model baru; dan (7) Tahap terakhir adalah penulisan laporan.

0t3

0t8

0t8

Bab V. GAMBARAN UMUM SOSIAL EKONOMI PERTANIAN LOKASI PENELITIAN

5.1. Kabupaten Tabanan, Bali

Dari segi ketersediaan lahan untuk pertanian, dari 36 sistem lahan yang ada di Bali, 19 sistem lahan dengan luas 283.300 ha sesuai untuk pertanian lahan basah dan untuk pertanian lahan kering terdapat 13 sistem lahan yang sesuai dengan luas 228.900 ha. Selain untuk pertanian, berdasarkan Perda No.4 tahun 1996, telah ditetapkan dua lokasi untuk kawasan industri, yaitu Kawasan Industri Grokgak dan Kawasan Industri Pengambengan1.

——–

1 Berdasarkan kajian Tim Amdal Kawasan Industri Grokgak (1998) dan RDTR-nya, luas kawasan efektif industrinya adalah 242,74 ha, sedangkan luas kawasan efektif industri Pengambengan adalah 625 ha (Andal Kawasan Industri Pengambengan, 1999).Jumlah luas efektif kedua kawasan industri itu adalah 867,74 ha

Pada periode 1996 – 2002 perkembangan beberapa komoditas pertanian padi dan palawija di Propinsi Bali memberi beberapa gambaran sebagai berikut: (1) Luas tanam, luas panen, dan produksi padi masing-masing mengalami penurunan sebesar 1,6%, 1,0% dan 0,5%. Sedangkan perkembangan produktivitas relatif stagnan atau hanya tumbuh sebesar 0,44% per tahun. (2) Luas tanam dan luas panen jagung masing-masing mengalami penurunan 4,1% dan 2,9% per tahun, sedangkan produktivitas dan produksi masing-masing tumbuh sebesar 3,7%/tahun dan 0,96%/ tahun. Adopsi teknologi jagung meningkat terutama penggunaan bibit hibrida dan komposit serta teknologi pemupukan. (3) Luas tanam, panen, produktivitas, dan produksi kedele masing-masing menurun sebesar 14,0%, 14,8%, 0,8% dan 15,7% per tahun. Merosotnya kinerja kedelai di Bali ini semenjak dibebaskannya impor kedelai, sehingga petani kedelai tidak memperoleh proteksi lagi. (4) Luas panen kacang tanah turun sebesar 0,14%/tahun, sedangkan produktivitas dan produksi masing-masing tumbuh sebesar 0,99% dan 1,15%/tahun. (5) Luas tanam, luas panen dan produksi ubikayu juga menunjukkan penurunan masing-maisng sebesar 3,05%, 7,70% dan 7,64%/tahun, sedangkan produktivitas sedikit meningkat (0,62%/tahun).

Untuk komoditas sayuran, pada periode (1996-2002), komoditas yang perkembangannya cukup baik adalah tomat, di mana luas tanam tumbuh sebesar 30,1%, luas panen 5,8%, produktivitas 11,9%, dan produksi sebesar 20,2% per tahun. Komoditas yang perkembangannya cukup moderat adalah petsai/sawi, kacang panjang, kangkung, dan bayam. Komoditas sayuran yang mengalami penurunan adalah bawang merah, bawang putih, cabe merah, kentang, dan kubis. Kelompok komoditas ini tergolong kelompok komoditas sayuran bernilai ekonomi tinggi (high value commodities) yang rentan terhadap fluktuasi harga, terutama semenjak peristiwa perang Irak, SAR, dan Bom Bali, di mana permintaan akan komoditas ini menglami kontraksi hingga 40 persen. Lahan yang ada di Bali telah dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan.

0t4

Untuk menghitung besarnya daya tampung lahan terhadap jumlah penduduk di Propinsi Bali, dipergunakan dasar perhitungan atau kriteria sebagai berikut: (1) Penduduk perkotaan: (a) Kota kabupaten: 2.000 jiwa/ km2, dan (b) Kota kecamatan: 1.000 jiwa/km2. Berdasarkan luas lahan perkotaan, maka daya tampung penduduk perkotaan Propinsi Bali adalah 1.425.530 jiwa. Sementara, daya tampung penduduk pedesaan untuk tanah persawahan adalah 892.136 jiwa dan daya tampung tanah tegalan/perkebunan adalah 2.127.665 jiwa. Dengan menggunakan ketentuan seperti tersebut di atas maka daya tampung lahan terhadap penduduk di Propinsi Bali adalah 3.553.195 jiwa. Dengan menggunakan kriteria kepadatan penduduk perkotaan seperti tersebut di atas, maka Kota Denpasar dengan kepadatan penduduk 4.119,29 jiwa/km2 pada tahun 1998, telah menampung beban penduduk dua kali lipat dari yang semestinya.Dari angka-angka tersebut terlihat bahwa Bali akan semakin terdesak oleh perkembangan jumlah penduduknya sendiri dan juga oleh kehadiran penduduk luar daerah.

Perekonomian Propinsi Bali (PDRB) dengan dasar harga konstan tahun 1993, pada tahun 1996 tumbuh sebesar 8,16%, atau tumbuh di atas rata-rata nasional (7,82%). Akibat krisis moneter, PDRB Propinsi Bali mulai melambat, sehingga pada tahun 1997 lajunya hanya sebesar 5,81% (nasional 4,70%). Pada saat puncak krisis tahun 1998 perekonomian Propinsi Bali mengalami kontraksi minus 4,04%, sedangkan laju tingkat nasional minus 13,20%.

0t5

Sektor pertanian Bali dalam tahun 1999 memberi kontribusi sebesar 22,1%, yang berarti sedikit lebih rendah dibandingkan tahun 1998 sebesar 23,3%. Turunnya kontribusi sektor petanian ini sejalan dengan menurunnya permintaan (demand) terhadap produk petanian domestik dibandingkan dengan produk pertanian impor. Ditinjau dari sumbangannya terhadap PDRB, menunjukkan bahwa perekonomian Bali didominasi oleh industri pariwisata, industri kecil-menengah, usaha perdagangan dan jasa, dan sektor pertanian. Namun, jika dilihat dari sumbangannya dalam penyerapan tenaga kerja, ternyata sektor pertanian menyerap tenaga kerja terbesar.

Kabupaten Tabanan memiliki topografi pegunungan yang berbukit-bukit di bagian utara dan melandai ke arah selatan. Luas wilayah Kabupaten Tabanan 839,33 km2 atau sekitar 14,90% dari luas daratan Pulau Bali (5.532,85 km2). Wilayah ini dikenal sebagai daerah lumbung pangan Propinsi Bali. Secara administratif Kabupaten Tabanan terbagi atas 8 (delapan) wilayah kecamatan, 113 desa/kelurahan, jumlah penduduk 380.322 jiwa, dan kepadatan penduduk 453 jiwa/km2 (tahun 1999).

Penggunaan lahan di wilayah Kabupaten Tabanan untuk permukiman 5.230 ha, tanah sawah 23.358 ha, pertanian lahan kering 12.276 ha, perkebunan/tegalan 24.682 ha, hutan 10.159,95 ha, danau 377 ha dan perikanan 71,79 ha, kolam dan penggunaan lain-lain (jalan, lapangan dan lain sebagainya) 3.765 ha. Sumber daya lahan yang ada relatif kecil dan setiap tahunnya selalu ada konversi lahan ke penggunaan sektor lain seperti untuk perumahan, pembangunan jalan, industri dan pariwisata. Karena kecilnya luas lahan yang potensial, maka peningkatan produksi pertanian diarahkan untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan lebih banyak diarahkan melalui peningkatan mutu intensifikasi dan usaha diversifikasi terutama untuk komoditi padi dan palawija, serta hortikultura khususnya sayuran.

Bilamana ketersediaan air sangat terbatas terutama pada musim kemarau maka jalan yang ditempuh adalah melalui pergiliran pemakaian air secara sistem sorog, sehingga pelaksanaan pola tata tanam tetap dapat dilaksanakan dan produksi padi, palawija, sayuran dan hortikultura dapat dipertahankan.

Kabupaten Tabanan terkenal dengan sebutan “lumbung beras Bali”, dimana 26,29% sawah di Bali berada di wilayah ini. Program Pembangunan Pertanian Tanaman Pangan ditujukan untuk memantapkan ketahanan pangan, terutama memperbaiki gizi, melalui peningkatan kualitas konsumsi; sementara pengembangan hortikultura dikembangkan melalui pendekatan agribisnis secara berkelanjutan. Program pengembangan agribisnis terus dipacu dengan didasarkan atas: kesesuaian lahan dan iklim, teknologi spesifik lokasi, serta kelembagaan pendukungnya, baik kelembagaan pemerintah, pasar, maupun kelembagaan komunitas.

Perkembangan produksi padi sawah secara umum mengalami penurunan dari 276.636,00 ton pada tahun 1995 menjadi 232.939,00 ton pada tahun 1999. Namun sempat terjadi peningkatan produksi pada tahun 1998 mencapai 596.108,00 ton. Pada tahun 1999 bawang merah dan cabai, kacang panjang dan kacang merah merupakan jenis komoditi yang memiliki hasil produksi terbesar. Tanaman sayur-sayuran yang paling banyak produksinya pada tahun 1999 adalah tanaman tomat sebanyak 30.481 ton dan disusul oleh tanaman kubis sebanyak 29.945 ton.

Salah satu kelembagaan tradisional yang tetap eksis sampai sekarang adalah Subak, yang semenjak dahulu sudah terbuka menerima pembaharuanpembaharuan dalam bidang pertanian. Peranan subak cukup besar dalam program peningkatan produksi tanaman pangan. Jumlah subak di seluruh Tabanan adalah 305 unit dengan total areal 23.154 ha.

Sampai dengan tahun 2001 prasarana ekonomi yang terdapat di Kabupaten Tabanan antara lain: Bank Umum 4 buah, Bank Pemerintah  4 buah, Bank Swasta 8 buah, dan BPR 29 buah. Untuk, prasarana pasar terdapat Pasar Kabupaten 13 buah dan pasar Desa 29 buah. Jumlah LPD yang sudah ada di Kabupaten Tabanan sampai tahun 2000 sebanyak 171 buah dari 324 buah Desa Adat yang ada.

Jumlah penduduk Kabupaten Tabanan berdasarkan hasil Sensus tahun 2000 adalah sebanyak 374.129 jiwa, dengan laju pertumbuhan pada periode tahun 1980 – 1990 rata-rata 0,19%, namun periode tahun 1999-2000 sebesar 0,71%. Angka ini di bawah pertumbuhan penduduk secara nasional. Tingkat kepadatan penduduk adalah 453 jiwa per km2, dimana kecamatan yang terpadat penduduknya adalah kecamatan Kediri (1.091 jiwa/km2). Struktur penduduk menurut mata pencaharian menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk menggantungkan sumber kehidupannya di sektor pertanian (50,16%). Sektor lain yang menonjol dalam penyerapan tenaga kerja adalah perdagangan, hotel dan rumah makan (15,61%), sektor industri rumah tangga dan pengolahan (11,27%), serta sektor jasa (10,93%). Data ini mempertegas bahwa ekonomi Tabanan bercorak ekonomi agraris.

Struktur ekonomi Kabupaten Tabanan masih bercorak agraris yang direfleksikan dari besarnya kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB. Sektor pertanian pada tahun 1999 memberikan kontribusi 40,87 %, perdagangan dan restoran 23,01 %, industri dan pengolahan 6,75 %. Beberapa sektor ekonomi yang tergolong economic base dan menonjol yakni pertanian 1,86 %, industri 1,65 %, perdagangan, hotel dan restoran 1,55 %, dan jasa-jasa 1,44 %. Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Tabanan selama 5 tahun terakhir (1995 – 1999) rata-rata sebesar 3,17 persen per tahun atas harga konstan tahun 1993. Terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi yang cukup tajam pada tahun 1998 akibat dari adanya krisis ekonomi.

5.2. Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu

Propinsi Bengkulu terletak di sebelah Barat pegunungan Bukit Barisan. Luas wilayahnya 1.978.870 ha, memanjang dari perbatasan Propinsi Sumatera Barat sampai ke perbatasan Propinsi Lampung dengan jarak lebih kurang 567 kilometer. Propinsi Bengkulu berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia pada garis pantai sepanjang lebih kurang 433 km. Bagian Timurnya berbukitbukit dengan dataran tinggi yang subur, sedangkan bagian Barat merupakan dataran rendah yang relatif sempit, memanjang dari Utara ke Selatan serta diseleng-selingi daerah yang bergelombang.

Berdasarkan penggunaan lahannya, pada tahun 2001 terjadi penurunan penggunaan lahan sawah dibandingkan pada tahun 2000 sebesar 1,39%, sedangkan penggunaan lahan kering terjadi peningkatan 0,07% (Tabel 6). Perkembangan komoditas padi selama 4 tahun terakhir memberikan beberapa gambaran bahwa perkembangan luas areal padi sawah relatif stagnan bahkan sedikit mengalami penurunan yaitu menurun sebesar 0,33%/tahun, produksi relatif stagnan karena hanya tumbuh sebesar 0,43%/tahun, dan produktivitas sedikit menurun sebesar 1,37%/tahun. Komoditas padi ladang mengalami penurunan luas panen sebesar 6,35%/tahun, produktivitas naik sebesar 0,35%/tahun, dan penurunan produksi sebesar 6,07%/tahun.

Komoditas palawija menunjukkan kinerja yang lebih buruk lagi di mana: luas areal panen jagung, ubikayu, ubi jalar, kacang tanah dan kedelai masingmasing turun sebesar 15,8%, 16,4%, 13,8%, 1,9%, dan 51,7%. Produktivitas secara umum mengalami peningkatan, untuk jagung meningkat sebesar 10,4%, ubikayu 0,33%, ubi jalar -0,11%, kacang tanah 1,12%; dan kedelai hanya meningkat sebesar 0,86%/tahun.

0t6

Hingga akhir tahun 2001, penduduk propinsi Bengkulu berjumlah 1.592.926 jiwa (Susenas 2001). Jumlah ini relatif kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk propinsi lainnya di pulau Sumatera. Dari segi peningkatan kuantitasnya, penduduk Propinsi Bengkulu pada periode (1930-2001) tergolong cepat dibandingkan dengan propinsi lainnya di pulau Sumatera. Pada kurun waktu 1930-1980 jumlah penduduknya masih kurang dari 1 juta jiwa, tetapi pada kurun 1990-2001 jumlah penduduk propinsi Bengkulu telah mencapai lebih dari 1,5 juta jiwa. Berarti dalam kurun waktu 71 tahun (1930-2001), penduduknya telah meningkat lebih dari 5 (lima) kali lipat.

Pesatnya pertumbuhan penduduk Bengkulu pada periode 1971-1980 dan 1980-1990 terutama didorong oleh tingginya angka kelahiran total (TFR). Selain masih tingginya angka fertilitas, juga dipengaruhi oleh tingginya angka migrasi masuk ke propinsi Bengulu. Pada tahun 1971 migrasi neto di propinsi Bengkulu yang merupakan migrasi seumur hidup mencapai 11.285 jiwa, dan tahun 1980 meningkat menjadi 82.255 jiwa. Migran masuk tersebut terutama para transmigran dari pulau Jawa dan Bali, serta para pendatang yang berasal dari propinsi terdekat (Sumbar, Sumsel dan Sumut) yang bertujuan untuk bekerja atau berusaha sebagai pedagang, nelayan dan petani perkebunan.

Kepadatan penduduk Propinsi Bengkulu terus mengalami peningkatan, yaitu 80 jiwa/km2 pada tahun 2001. Dari proporsinya pada periode 1990-2001, penduduk lebih banyak ada di kabupaten Bengkulu Utara dan kota Bengkulu, sedangkan di kabupaten Bengkulu Selatan dan Rejang Lebong proporsinya semakin menurun.

Perkembangan kinerja perekonomian Propinsi Bengkulu (2001) yang ditunjukkan oleh pertumbuhan PDRB-nya, mencapai 4,03 % atau lebih tinggi dari PDRB tahun 2000 (3,93 %). Tercatat 6 sektor yang memegang andil yang cukup besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada tahun 2001, yaitu: sektor pertanian, sektor pertambangan, sektor industri pengolahan, sektor listrik-gas-air minum, sektor perdagangan, dan sektor pengangkutankomunikasi. Pertumbuhan tertinggi dialami sektor perdagangan yang tumbuh sebesar 6,54 %, kemudian disusul sektor pertambangan 5,26 %, sektor listrik, gas dan air bersih 5,06 %, sektor pengangkutan-komunikasi 4,49 %, dan sektor pertanian 4,01 %.

Peranan sektor pertanian cenderung semakin kuat dan kedudukannya sebagai leading sector sulit digeser oleh sektor-sektor lainnya yang terlihat dari selalu meningkatnya kontribusi sektor pertanian dalam PDRB Propinsi Bengkulu. Hingga tahun 2001, nilai nominal PDRB sektor pertanin atas dasar harga berlaku mencapai 2,03 triliun rupiah, dengan kontribusi sebesar 41,63 %.

Seiring dengan meningkatnya kinerja perekonomian Propinsi Bengkulu pada kurun waktu (2000 – 2001), tingkat kesejahteraan penduduk Propinsi Bengkulu pada kurun waktu yang sama juga relatif mengalami peningkatan. Semakin meningkatnya kesejahteraan penduduk daerah ini terlihat adanya peningkatan nilai ominal PDRB/kapita atau PDRB/kapita atas dasar harga berlaku maupun nilai riil PDRB/ kapita atau PDRB/kapita atas dasar harga konstan. Pada tahun 2000 nilai nominal PDRB/kapita/tahun penduduk propinsi Bengkulu sebesar Rp. 2,91 juta. Nilai riil PDRB per kapita Propinsi Bengkulu meningkat dari Rp. 1,13 juta pada tahun 2000, menjadi Rp. 1,14 juta tahun 2001 (naik 1,02 %). Dibandingkan nasional, tingkat kesejahteraan penduduk Propinsi Bengkulu masih berada di bawah rata-rata tingkat kesejahteraan nasional. Nilai nominal PDB/kapita Indonesia tahun 2001 lebih kurang Rp. 5 juta.

Kabupaten Rejang Lebong menduduki urutan ke-3 terluas dari 4 kabupaten/kota di Propinsi Bengkulu, yaitu seluas 410.980 ha (20,77%). Daerah Kabupaten Rejang Lebong secara geografis terletak di bagian timur wilayah Propilnsi Bengkulu dan berada pada daerah pegunungan Bukit Barisan di Sumatera Bagian Selatan. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 1 Tahun 2001, di kabupaten ini terbagi dalam 15 kecamatan, dimana wilayah yang paling luas adalah Lebong Utara (22,04%). Secara umum Kabupaten Rejang Lebong merupakan daerah pegunungan dengan topografi bergelombang dan berbukit-bukit. Berdasarkan kondisi tahun 2002, di Kabupaten Rejang Lebong terdapat lahan yang berpotensi untuk diusahakan seluas 167.695 Ha, sedangkan lahan yang untuk sementara tidak diusahakan seluas 35.898 Ha (Tabel 7).

Pencapaian produksi padi, baik padi sawah maupun padi ladang di Kabupaten Rejang Lebong pada tahun 2002 secara keseluruhan mengalami penurunan sebesar 17,76% bila dibandingkan tahun 2001, yaitu dari 154.836 ton menjadi 127.329 ton GKG. Penurunan tersebut seiring dengan turunnya luas panen dari 33.384 ha menjadi 27.985 ha. Permasalahan utama menurunnya luas panen adalah karena kurang lebih 30% dari luas pertanaman mengalami keterlambatan waktu tanam akibat pergeseran musim hujan, sehingga berpengaruh terhadap pencapaian luas panen maupun produksi pada tahun 2002; penerapan adopsi teknologi yang jauh lebih rendah  dengan teknologi rekomendasi; serta tingginya serangan hama tikus.

0t7

Dari enam jenis komoditi palawija yang ada, jagung dan ubi jalar mengalami penurnan, sedangkan kacang kedelai, kacang tanah, kacang hijau, dan ubi kayu meningkat. Produktivitas riil yang masih lebih rendah dibandingkan produktivitas potensialnya, antara lain disebabkan oleh karena ebagian besar masih menggunakan bibit lokal atau asalan, cara tanam yang belum dilarik, cara pemupukan yang belum dilarik dan ditutup, jenis dan dosis  pupuk yang belum sesuai dengan teknologi anjuran, serta masih terbatasnya alat dan mesin pertanian.Pada Tahun 2002 sayur-sayuran yang dihasilkan di Kabupaten Rejang Lebong ada 18 jenis komoditas. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kubis dan sawi/petsai merupakan komoditas andalan. Produksi kubis pada tahun 2002 adalah 522.260 ku dan sawi/petsai 534.284 ku.

Sumber mata pencaharian penduduk masih terkonsentarsi di sektor pertanian yang mencapai 71,50 persen. Berdasarkan PDRB tahun 2000, sektor pertanian memberikan sumbangan paling besar yaitu 57,97 persen. Namun, beban sektor pertanian cukup berat dalam menanggung beban tenaga kerja yang harus diserap. Di sisi lain sumbangan PDRB sektor pertanian lebih kecil (tabel 8), yang mengindikasikan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian secara relatif lebih rendah dibandingkan sektor lainnya

0t8

BAB VI. STRATEGI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN YANG DIJALANKAN PEMERINTAH

Dari pengamatan dan wawancara dengan berbagai pihak di lapangan diperoleh suatu bentuk umum strategi pengembangan kelembagaan yang diterapkan pemerintah dalam pembangunan ekonomi di pedesaan. Pengembangan kelembagaan hampir selalu menggunakan pendekatan proyek.

Dengan mencermati berbagai pelaksanaan program pembangunan pertanian dan pengembangan masyarakat pedesaan, terlihat bahwa hampir tiap program mengintroduksikan satu kelembagaan baru ke pedesaan. Kelembagaan telah dijadikan alat yang penting untuk menjalankan program tersebut. Setidaknya telah tumbuh pemahaman pada kalangan pemerintah, bahwa kelembagaan merupakan komponen yang penting dalam masyarakat, dan dapat menjadi agent of change. Namun demikian, diperoleh kecenderungan bahwa penggunaan strategi pengembangan kelembagaan banyak mengalami ketidaktepatan dan kekeliruan. Berbagai permasalahan dalam pengembangan kelembagaan yang ditemukan adalah:

  1. Kelembagaan-kelembagaan yang dibangun terbatas hanya untuk memperkuat ikatan-ikatan horizontal, bukan ikatan vertikal. Anggota suatu kelembagaan terdiri atas orang-orang dengan jenis aktivitas yang sama. Hal ini dilandasi asumsi bahwa daya tawar sekelompok orang akan meningkat bila secara kuantitas jumlahnya cukup banyak. Kelompok tani misalnya adalah kelompok orang-orang yang selevel, yaitu pada kegiatan budidaya satu komoditas tertentu.
  2. Kelembagaan yang dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan memudahkan tugas kontrol dari pelaksana program, bukan untuk peningkatan social capital masyarakat. Pembentukannya adalah atas ide dan kehendak atas, sehingga bentuk, tujuan, dan strukturnya ditetapkan oleh pelaksana program. Fenomena ini misalnya ditemukan pada pengembangan koperasi di Kecamatan Kediri dan Lebong Utara yang dibangun untuk menyalurkan bantuan sarana produksi kepada petani Program Insus dan Supra Insus.
  3. Setiap program atau proyek membuat satu kelembagaan baru, dengan nama yang khas. Jarang sekali, suatu program dari dinas tertentu menggunakan kelompok-kelompok yang sudah ada.
  4. Struktur keorganisasian yang dibangun relatif seragam, yang bias kepada bentuk kelembagaan usahatani padi sawah sawah irigasi teknis di Pantura Jawa.
  5. Meskipun kelembagaan sudah dibentuk, namun pembinaan yang dijalankan cenderung individual. Hal ini dipengaruhi oleh konsep trickle down effect yang umum dipakai dalam dunia penyuluhan. Dari seorang kontak tani yang pintar diharapkan ia mau menyebarkan pengetahuan dan keterampilannya tersebut kepada petani-petani lain dalam kelompoknya. Cara ini jauh lebih murah dan cukup efektif, jika teknologi yang diajarkan tersebut memang memiliki keunggulan.
  6. engembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural, dan lemah dari pengembangan aspek kulturalnya. Struktur organisasi dibangun lebih dahulu, untuk kemudian berharap agar perilaku orangorang didalamnyanya bisa mengikuti. Sesuai dengan waktu proyek yang berdurasi satu tahun, hal ini memang merupakan jalan yang lebih masuk akal karena tuntutan administrasi proyek.Pengembangan kelembagaan yang sesungguhnya adalah apabila perubahan terjadi pada kedua aspek sekaligus: aspek keorganisasian dan aspek kelembagaan. Perubahan dengan pola struktural hanya pada aspek keorganisasian, sementara perubahan dengan pola kultural adalah apabila perubahan terjadi pada aspek kelembagaan.
  7. Introduksi kelembagaan lebih banyak melalui budaya material dibanding nonmaterial, atau merupakan perubahan yang materialistik. Pengenalan suatu teknologi kepada kelompok tani dengan membentuk UPJA (Unit Pegelola Jasa Alsintan) dipahami dengan memberikan bantuan traktor, tresher, pompa air, dan lain-lain; bukan bagaimana mengelolanya dengan manajemen yang baik. Contohnya adalah pada kelompok tani Sumber Makmur di Lebong Utara. Berjalannya usaha ini lebih karena sosok ketuanya yang berperan secara signifikan.
  8. Introduksi kelembagaan baru telah merusak kelembagaan lokal yang ada sebelumnya, termasuk merusakkan hubungan-hubungan horizontal yang telah ada. Salah satunya adalah karena proyek yang bersifat sektoral dan diskontinyu. Penelitian di Rejang Lebong menemukan bahwa penghapusan Pemerintahan Marga, yang digantikan dengan Pemerintahan Desa berpola Jawa, telah menghapus pula peranan Kepala Marga dalam urusan irigasi desa. Kepala desa yang baru tidak lagi mengurusi irigasi, hanya urusan administratif pemerintahan, sehingga urusan irigasi desa menjadi tidak tertata.

Jika dicermati secara mendalam, pada hakikatnya, pengembangan kelembagaan masih lebih merupakan jargon politik daripada kenyataan yang riel di lapangan. Dengan membungkus suatu kebijakan dengan “pengembangan kelembagaan” seolah-olah pelaksana program telah bersifat menghargai kearifan lokal, lebih sosial, dan lebih partisipatif. Padahal kenyataanya, yang diintroduksikan adalah teknologi dengan segala material pendukungnya. Teknologilah entry point-nya, bukan kelembagaan. Akar penyebabnya adalah, karena membangun suatu kelembagaan jelas jauh lebih sulit dan lama.

Upaya pemberdayaan petani dan usaha kecil di pedesaan melalui berbagai program dan proyek sudah banyak dilakukan oleh pemerintah. Semua program tersebut menggunakan pendekatan kelompok. Salah satu kelemahan yang mendasar adalah lemahnya kelembagaan kelompok yang dibentuk, karena tidak dilakukan melalui proses sosial yang matang dan kurang memperhatikan struktur atau konfigurasi jaringan kelembagaan lokal, ekonomi, dan politik yang telah ada. Pendekatan yang top-down planning menyebabkan tidak tumbuhnya partisipasi.

Perilaku pemerintah (dan non pemerintah) di atas datang dari pola pikir yang cenderung keliru tentang apa itu kelembagaan, serta potensinya jika digunakan dalam perubahan sosial di pedesaan. Berbagai ketidaktepatan tersebut di atas berawal dari pilihan terhadap cultural core pihak pelaksana, yang salah satunya terlihat dari ideologi modernisasi yang menjadi jiwa pembangunan.

Perilaku di atas datang dari pola pikir yang menganggap kelembagaan lokal tidak memiliki “jiwa” ekonomi yang memadai. Ciri kelembagaan pada masyarakat tradisional adalah, aktivitas ekonomi melekat (embeded) pada kelembagaan kekerabatan dan komunitas. Pada masyarakat tersebut, pemenuhan ekonomi merupakan tanggung jawab kelompok-kelompok komunal genealogis. Ciri utama kelembagaan tradisional adalah sedikit kelembagaan namun banyak fungsi. Beda halnya dengan pada masyarakat modern yang dicirikan oleh munculnya banyak kelembagaan dengan fungsi-fungsi yang spesifik dan sempit-sempit.

Selain itu, juga ada anggapan bahwa pertanian gurem adalah permasalahan individual, bukan permasalahan kelembagaan. Karena itu, pendekatannya juga individual, dimana terapi yang diberikan adalah penerangan-penarangan untuk memiliki nilai-nilai maju (= modern), bukan membangun kelembagaan dengan jaringan horizontal dan vertikalnya. Tanpa sadar kita juga menganggap bahwa permasalahan kelembagaan ada di tingkat petani belaka, bukan pada superstrukturnya. Karena itu, yang diperbaiki hanyalah kelembagaan pada level bawah,. padahal mungkin permasalahan (dan sumber permasalahan) ada pada pelaksana. Kelemahan pada pelaksana misalnya pemahaman yang lemah tentang strategi kelembagaan, bekerja dengan tidak cukup waktu, dukungan tenaga yang tidak memadai, dan lainlain.

Kesatuan administrasi pemerintahan dipandang sebagai satu unit interaksi sosial ekonomi pula. Desa misalnya dipandang sebagai satu unit yang padu, karena itu kelembagaan yang dibangun sebatas dalam lingkup satu desa saja. Jarang satu kelembagaan yang anggotanya dari desa berbeda. Karena pengembangan kelembagaan lebih sebagai untuk mendistribusikan bantuan dan memudahkan kontrol, maka tugas tersebut menjadi lebih mudah bila kelembagaan dibangun berdasarkan struktur administrasi pemerintahan. Kelembagaan yang dikembangkan lebih berorientasi kepada produksi, sehingga yang dibangun adalah kelembagaan-kelembagaan yang ada pada kegiatan produksi tersebut saja. Hal ini kemudian direvisi dengan mengembangkan konsep agribisnis yang menjadi program utama Deptan semenjak Kabinet Reformasi.

Bab VII. KINERJA EKONOMI KERAKYATAN DAN PROGRAM EKONOMI KERAKYATAN

Berdasarkan potensi sumber daya bio-fisik, sumber daya manusia, serta infrastrukturnya, usaha pertanian merupakan bidang pokok kegiatan ekonomi kerakyatan di kedua wilayah penelitian. Namun,. perkembangan pariwisata beserta bidang-bidang jasa yang terkait dengannya cukup memberi karakteristik yang khas terhadap bentuk-bentuk ekonomi kerakyatan di Bali. Program-program pembangunan yang diimplementasikan pemerintah juga didasarkan atas kenyataan tersebut.

7.1. Kabupaten Tabanan, Bali

Usaha pertanian di Propinsi Bali di masa mendatang diarahkan untuk menjadi usaha dengan wawasan agribisnis, yaitu wujud pertanian yang modern, efisien dan tangguh. Dengan karakter seperti ini sektor pertanian dapat diandalkan sebagai sumber pangan, pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan penghasil devisa, sehingga ekonomi Bali bertumpu pada sektor yang lebih beragam. Pembangunan Bali dititikberatkan pada sektor pertanian, pariwisata dan industri kecil. Penetapan ini membawa konsekuensi bahwa sektor pertanian ditempatkan sebagai motor penggerak perekonomian.

Sektor pertanian yang kontribusinya semakin menurun terhadap PDRB masih harus menyerap bagian terbesar tenaga kerja yang ada. Hal ini menyebabkan kesejahteraan masyarakat pertanian relatif lebih kecil. Kepemilikan lahan yang sempit (kurang dari 0,50 ha) dengan tingkat penguasaan informasi, manajemen dan teknologi yang masih relatif rendah mengakibatkan usaha sektor pertanian menjadi kurang menguntungkan dari segi ekonomi. Hal ini merupakan tantangan ke depan untuk lebih meningkatkan efisiensi dan pengelolaan agar usaha tersebut menguntungkan. Selain itu, menyusutnya lahan pertanian subur untuk berbagai kegiatan sektor  non pertanian merupakan masalah yang harus dipecahkan secara bijaksana dengan tetap mempertimbangkan konsep kelestarian. Kondisi sumber daya alam yang semakin terbatas baik kuantitas maupun kualitas seperti ketersediaan air merupakan tantangan yang cukup berat bagi sektor pertanian.

Secara umum di Bali, sektor eksternal (ekonomi global) sangat mempengaruhi kinerja ekonomi kerakyatan, karena kaitan yang kuat dengan sektor pariwisata, meskipun pariwisata itu sendiri bukanlah merupakan ekonomi kerakyatan. Untuk itu, akan dibenahi dan dibangun infrastruktur beserta fasilitas-fasilitasnya sehingga perolehan ekonomi dari pariwisata semakin dinikmati oleh rakyat banyak. Salah satunya adalah sektor pertanian, sebab hampir keseluruhan tanah di Pulau Bali tergolong tanah yang sangat subur.

Pemerintah daerah pernah berusaha mengembangkan dan mempopulerkan program “wisata desa”, di mana kehidupan desa yang alamiah dapat dijual sebagai objek wisata. Para petani tetap melakukan aktivitas usahataninya sehari-hari serta dapat menjual langsung hasil pertaniannya kepada para wisatawan yang datang berkunjung. Hal ini merupakan salah satu entry point untuk pengembangan ekonomi kerakyatan. Untuk menambah pendapatan pemerintah daerah sekaligus komunitas masyarakat adat, disepakati untuk mengatur pembagian retribusi pariwisata budaya antara pemda dengan desa adat, yang diatur dalam Perda. Sebagai contoh adalah pengelolaan Alas Kedaton dan Tanah Lot di Kecamatan Kediri.

Konsep ekonomi kerakyatan sesungguhnya sudah tercakup dalam rumusan kebijakan pembangunan pertanian, yang secara umum di Propinsi Bali diarahkan untuk :

  1. Meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi pertanian dalam arti luas (tanaman pangan/hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan) melalui pengembangan sistem agribisnis yang efisien untuk menjamin ketahanan pangan bagi penduduk, memenuhi kebutuhan pariwisata, industri dan ekspor.
  2. Meningkatkan kesejahteraan petani dengan mengembangkan upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani, serta meningkatkan akses petani kepada sumber-sumber pembiayaan, teknologi dan informasi pasar serta pemberian insentif.
  3. Mengembangkan komoditas unggulan untuk meningkatkan pendapatan petani dan daerah.
  4. Memberdayakan subak dan mendorong pembentukan institusi lainnya oleh petani produsen yang tumbuh dari bawah.
  5. Mencegah alih fungsi lahan pertanian produktif antara lain dengan mengembangkan agrowisata dan dengan suatu peraturan daerah yang diterapkan secara konsekuen.

Berbagai program dan proyek-proyek yang sudah diimplementasikan pemerintah merupakan bentuk-bentuk ekonomi kerakyatan. Beberapa di antaranya adalah tahun 1990-an dilaksanakan Proyek Rehabilitasi Pengembangan Tanaman Ekspor untuk tanaman kopi, lada, panili, dan kelapa. Proyek-proyek lain yang terselenggara selain PRPTE adalah PPT tahun 1990- an, PRT tahun 1995-an, PPA tahun 2000-an, dan PPWT tahun 1993-2001. Satu program yang cukup berhasil adalah P4K 1. Program lain untuk pengembangan pertanian di Bali yang sudah dilakukan pemerintah adalah pembentukan wilayah STA (Sub Terminal Agribisnis), dengan 5 program, yaitu: sayuran dataran tinggi di Kecamatan Baturiti Tabanan, melon (hortikultura) di Pangiangan, buah-buahan (mangga) di Buleleng, dan sapi (penggemukan) di Bangli dan di Badung. Program lainnya adalah mendirikan kawasan agropolitan yang pada tahun 2002 direncanakan di Bangli.

——–

1 Bahkan mulai tahun 2003 ini, pendanaan P4K mulai ditangani BI sebesar Rp 3,2 milyar untuk bantuan prasarana dan sarana. Masing-masing kelompok (KPK) diberi bantuan sebesar Rp 300 juta.

Satu contoh lemahnya kelembagaan ekonomi kerakyatan ditemukan di di Desa Candi Kuning, yang merupakan sentra sayuran dataran tinggi. Usaha produksi dan perdagangan sayuran mengalami kelesuan yang hebat akibat faktor eksternal, yaitu kasus Bom Bali, Perang Irak, dan penyakit menular SARS; dimana 30-40% hasil produksi dilalurkan lewat supplier untuk memasok hotel dan restauran. Nampak bahwa ekonomi Bali yang mengandalkan industri pariwisata ternyata sangat tidak stabil terhadap ganggunan eksternal.

Evaluasi terhadap kinerja berbagai program pembangunan pertanian atau pemberdayaan ekonomi rakyat, menunjukkan bahwa program-program pembangunan pertanian dan ekonomi pedesaan yang menggunakan jalur kelembagaan adat (Desa Adat, Banjar Adat, Subak) relatif lebih berhasil, sedangkan yang melalui pembentukan kelompok-kelompok baru relatif kurang berhasil. Ada beberapa kelebihan dan kekurangannya apabila kegiatan tersebut disalurkan melalui kelembagaan adat. Keunggulannya adalah: (1) kelembagaan sudah mengakar; (2) pertanggungjawaban baik, karena terdapat sangsi yang ketat apabila ada warga yang melanggar; (3) mengembangkan ekonomi benar-benar di tingkat bawah. Kelemahan-kelemahan yang masih dijumpai antara lain adalah: (1) tidak berbadan hukum sehingga transaksi ekonomi terbatas dalah satu wilayah adat, sehingga mengalami kesulitan jika harus berhubungan dengan lembaga di luar adatnya; (2) seringkali sudah terlalu banyak kegiatan sehingga menunjukkan kesan overload, sehingga kurang efisien; (3) Kurang profesionalisme, sehingga pengembangannya relatif lamban.

7.2. Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu

Rejang Lebong merupakan sentra sayuran dataran tinggi, dengan pasar tujuan utamanya adalah ke Palembang, Jambi, dan sebagian kecil ke Jakarta. Bengkulu juga penghasil beberapa komoditas hortikultura spesifik, misalnya minyak atsiri dan tanaman nilam, selain kopi. Tanaman ini sekarang jarang ditanam, karena rendahnya harga jual. Permasalahan pertanian pangan secara umum terdapat pada aspek teknologi, pemasaran, serta sumber daya manusia yang lemah.

Semenjak tahun 2002, digulirkan Program Agropolitan, yaitu di kecamatan Selupu Rejang (pemekaran dari wilayah Kecamatan Curup). Di lapangan, kegiatan ini diintegrasikan dengan program Sub Terminal Agribisnis (STA), yang dijadikan sebagai sentral kegiatan agropolitan. Pemerintah daerah saat ini telah menyediakan tanah seluas 5,0 ha untuk pembangunan STA yang nantinya akan dibangun seratus unit los penampungan sayur untuk para pedagang.

Komoditas pertanian utama di Kabupaten Rejang Lebong adalah hortikultura sayuran dan perkebunan kopi yang keduanya ditanam di lahan kering dataran tinggi. Lahan sawah setelah padi juga banyak yang ditanami hortikultura dan palawija. Luas pertanaman kopi berfluktuasi tergantung kepada harga kopi di pasaran. Jika harga sedang tinggi, maka kopi ditanam secara luas, namun jika sedang turun, maka tanaman kopi diganti dengan sayuran. Secara umum, penduduk menerapkan prinsip multi komoditas dengan sistem pertanian tumpangsari, dengan perpaduan tanaman tahunan kopi dengan tanaman semusim sayuran dan padi. Komoditas mana yang diandalkan tergantung kepada harga yang sedang terjadi. Jika harga kopi sedang tinggi, maka mereka akan merawat kopi dengan baik. Namun bila harga kopi turun, maka mereka otomatis akan meninggalkan tanaman kopinya begitu saja, dan “turun bersawah”.

Selain harganya yang sering rendah, petani selalu memanen kopi yang belum matang. Panen yang lebih cepat sekitar dua minggu sebelum waktunya, menyebabkan mutu kopi dari sini selalu rendah. Kopi jarang dipupuk, sehingga mutu dan produktivitasnya rendah. Panen buah hijau (belum matang) merupakan salah satu mekanisme untuk menghindari pencurian, atau disebut dengan fenomena “Kita yang tanam, kawan yang panen”.

Dalam kaitan dengan kelembagaan pemerintah atau politik. Bupati yang baru terpilih sedang gencar-gencarnya menarik minat para investor untuk menanamkan usahanya disini. BUMD milik pemda kabupaten sedang berusaha bekerjasama dengan produsen jamu dan pengolahan kacang tanah “Garuda”. Salah satu swasta dari Jepang juga akan mencoba mengembangkan komoditas lobak hitam yang hanya akan tumbuh baik pada ketinggian 1100 m dpl. Sebagian wilayah Rejang Lebong memenuhi persyaratan tersebut. Namun, di sisi lain, kinerja dan kapasitas para anggota DPRD yang lemah dirasa sangat memperlambat kerja pembangunan.

Khusus untuk pengembangan usahatani hortikultura sayuran, semenjak tahun 2001 telah dibentuk organisasi KASS (Kawasan Agribisnis Sayuran Sumatera). Organisasi ini beranggotakan 8 (delapan) sentra sayuran di Sumatera, mulai dari dataran tinggi Gayo di Aceh, Brastagi di Sumut, Alahan Panjang di Sumbar, Kerinci di Jambi, Pagar Alam di Sumsel, Liwa di Lampung, serta Rejang Lebong sendiri. Pusat organisasinya berada di Bukit Tinggi, yang dulu dijadikan sebagai tempat pertemuan untuk deklarasi organisasinya. Organisasi ini beranggotakan para pedagang penampung sayuran dan independen terhadap pemerintah. Agropolitan dengan sentra kegiatannya pada STA, merupakan program yang sangat mendukung kegiatan konsep KASS.

Kepemilikan sumber daya ekonomi merupakan salah satu prasyarat membangun ekonomi kerakyatan. Namun, sebagian besar petani di sentra sayuran merupakan “petani penggarap”, yang pemiliknya menetap di Bengkulu, Palembang, dan kota-kota lainnya. Kebanyakan petani penggarap tersebut dulu adalah pemilik di tanahnya yang saat ini ia garap, namun sudah  terjual ke orang lain. Alasan penjualan yang utama adalah karena adanya kebutuhan ekonomi yang mendesak, misalnya untuk biaya perkawinan dan menyekolahkan anak. Hal ini umum terjadi pada warga suku asli Rejang. Banyak pendatang yang memperoleh tanah garapan dengan cara membeli dari suku asli. Sebagian tanah, ada juga yang dijual ke etnik China yang merupakan kaum pedagang di kota Bengkulu dan Curup. Penjualan lahan petanian terjadi pada lahan kering dan lahan sawah. Menurut seorang sumber: “Mungkin 60 persen dari total lahan pertanian di area ini telah berpindah tangan, dan hanya digarap oleh buruhnya atau petani penggarap”.

Implikasi dari pola ini adalah sulitnya misalnya mengatur pola tanam dan teknologi yang harus diterapkan, karena pemilik lahan merupakan penentunya. Introduksi kredit juga terhalang karena status para petani tersebut yang bukan merupakan petani pemilik. Para pedagang akhirnya menjadi sumber pnjaman untuk permodalan, dengan kewajiban untuk memasarkan kepadanya.Sistem bagi hasil antara pemilik dan penggarap sangat bervariasi, tergantung bagaimana kesepakatan di antara mereka. Adakalanya petani pemilik ikut membantu permodalan, namun banyak juga yang tidak. Dengan status sebagai petani penggarap, maka sudah dapat diperkirakan, bahwa perolehan pendapatan dari usahatani tidaklah akan memadai, meskipun rata-rata luas penggarapan antara 0,5 sampai 1 ha per keluarga.

Program ekonomi kerakyatan di wilayah ini juga dimaknai sebagai pembangunan masyarakat pedesaan dengan pertanian sebagai leading sector nya2. Kebijakan Pembangunan pertanian ditempuh dengan empat usaha pokok, yaitu intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi dan rehabilitasi dengan berlandaskan pada usaha terpadu, wilayah terpadu dan komoditi terpadu.

———

2 Untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan pertanian tanaman pangan, pada TA 2001 Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Propinsi Bengkulu misalnya  didukung oleh dana yang bersumber dari dana sektoral (APBN) maupun APBD sebesar Rp 8.5 milyar. Sementara, Balai Pendidikan dan Pelatihan Pertanian juga didukung dana proyek sebesar Rp 1.8 M. Jumlah dana APBD keseluruhan adalah Rp 927 juta.

Melalui usaha intensifikasi diharapkan akan terjadi proses transfer dan adopsi teknologi melalui penyediaan teknik produksi, penggunaan masukan berupa sarana produksi baik anorganik maupun organik, penggunaan mekanisasi pertanian (alsintan) seperti traktor, power threser, dryer, pompa  air, dan RMU serta melalui penguatan kelembagaan dan managemen usahatani yang modern. Ekstensifikasi merupakan usaha pengembangan pertanian melalui perluasan areal pertanian. Pengembangan usaha ekstensifikasi di wilayah-wilayah luar Jawa masih potensial

Melalui diversifikasi diharapkan dapat dihasilkan produksi pertanian yang lebih beragam dan dapat meningkatan pendapatan petani, baik dari dimensi peningkatan pendapatan, menjaga stabilitas serta kontinyuitas pendapatan petani. Diversifikasi pada aspek produksi juga akan meningkatkan diversifikasi di bidang penanganan pasca panen dan pengolahan hasil, yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan petani melalui penciptaan nilai tambah. Upaya diversifikasi diarahkan kepada: pengembangan pola tanam dan peningkatan Intensitas Pertanaman (IP) baik di lahan sawah maupun di lahan kering, introduksi komoditas pertanian komersial yang menguntungkan dan mempunyai daya saing di pasar, peningkatan pelayanan pemasaran hasil pertanian melalui pengembangan infrastruktur pasar, dan pengembangan penanganan pasca panen dan pengolahan hasil di sentrasentra produksi.

Dalam rangka pelaksanaan program Gema Palagung 2001, pemerintah RI memperoleh bantuan program Food Crops Productions Development for Sustaining Food Security yang dijabarkan dalam bentuk Proyek Peningkatan Produksi Tanaman Pangan melalui Pengembangan Sarana Prasarana dan Kelembagaan Pertanian (SPL-OECF-JBIS-INP-22). Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan produksi tanaman pangan utama (padi, jagung dan kedele) dengan mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang potensial bagi pengembangan komoditas tanaman pangan dalam mendukung program ketahanan dan keamanan pangan serta industri bidang pertanian pangan.

Dalam rangka peningkatan produksi pangan melalui percepatan penyampaian teknologi kepada petani, maka kegiatan penyuluhan di lapangan terus ditingkatkan, antara lain dengan melakukan kursus dan latihan baik untuk petani maupun untuk petugas, melaksanakan demonstrasidemonstrasi, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani, dan mengembangkan dinamika kelompok petani serta menumbuhkan kerja sama antar kelompok. Komitmen akan arti pentingnya penyuluhan pertanian sebagai ujung tombak pembangunan pertanian di Kabupaten Rejang Lebong tampak dari dipertahankannya kehadiran institusi BIPP dan BPP dalam struktur organisasi pemerintah daerah. Para PPL juga dilibatkan dalam berbagai program pembangunan pertanian seperti sebagai Tim Pokja dalam pengembangan UPKD (Unit Pengelola Keuangan Desa) yang merupakan Proyek Bengkulu Regional Development Project (BRDP).

Melihat kondisi alam wilayah Rejang Lebong yang 56 persen merupakan Kawasan Lindung dan tingginya tekanan penduduk, dimana hampir semua lahan sudah merupakan milik pribadi, maka menjadi sulit mengajak investor untuk membuka usaha. Alternatif bagi investor adalah dengan pola kemitraan3 dengan petani-petani sebagai pemilik tanah dan tenaga kerja. Pada zaman Belanda, di Rejang Lebong dulu banyak dikembangkan perkebunan kopi, teh, dan kina. Lahan bekas kebun ini kemudian setelah kembali ke penduduk, diganti menjadi kebun kopi dan tanaman semusim sayuran. Dapat dikatakan, bahwa tanaman sayuran dimulai oleh pendatang dari suku Jawa, yang kemudian banyak diikuti oleh penduduk asli.

——–

3 Ada dua perusahaan yang bergerak pada perkebunan teh, yaitu CV Sarana Mandiri Mukti yang menggunakan lahan milik Pemda dan CV Trisula Ungu.

Secara umum, wilayah Rejang Lebong sangat potensial untuk pengembangan peternakan, karena tersedia beragam sumber pakan hijauan dengan basis agroekosistem lahan kering dataran tinggi. Dengan kondisi itu, dapat ditampung sampai 30.000 ekor ternak besar seperti sapi dan kerbau, sedangkan populasi ternak saat ini baru mencapai lebih kurang 9.000 ekor. Berbagai program bantuan telah dilaksanakan untuk mengembangkan peternakan di wilayah Rejang Lebong. Salah satu program yang agak tergolong besar, adalah program bantuan sapi dari IFAD pada tahun 1982 dan 1983. Dari tiga tahap kegiatan, telah disebarkan 1500 ekor bibit ternak dengan program pengembangan, berupa pemeliharaan induk untuk memperoleh anak. Kegiatan ini tergolong cukup sukses. Sampai sekarang telah sampai pada turunan kelima, dan saat ini tercatat masih ada 900 ekor sapi yang dulu merupakan bantuan tersebut. Kegiatan ini terasa menurun semenjak tidak lagi ada penempatan Satgas IFAD tahun 1998, sehingga perkembangan ternak bantuan menjadi tidak terkontrol.

Menurut historiknya, orang Rejang asli lebih menyukai kerbau sebagai ternak peliharaan, karena mampu membantu pengerjaan di sawah. Sebaliknya, penduduk pendatang suku Jawa lebih menyenangi sapi. Namun sayangnya, populasi kerbau telah menurun drastis. Selain itu, program pemerintah belum pernah memperhatikan pengembangan ternak kerbau. Indikasi lainnya, dari begitu banyak balai benih ternak, hanya BB Siborong-Borong di Sumut yang memiliki tugas dalam pengembangan ternak kerbau.

Perkembangan populasi ternak sapi selalu terancam, karena tingginya laju permintaan (konsumsi), baik untuk kebutuhan setempat maupun dijual ke luar. Pada saat booming harga kopi tahun 1997-1999, laju permintaan pasar lokal terhadap daging sapi sangat tinggi, karena meningkatnya daya beli penduduk, sehingga populasi sapi anjlok kala itu.Peternak lebih menyenangi usaha penggemukan daripada pengembangan, karena lebih cepat. Untuk ternak bantuan pemerintah dalam pola penggemukan, peternak pengelola memperoleh 60 persen dari hasil bersih selama 6 bulan sampai setahun pemeliharaan. Dapat dikatakan, hanya pemerintahlah yang menjadi sumber bibit ternak yang masuk ke wilayah ini4. Belum ditemukan adanya pelaku ekonomi ataupun petani peternak yang secara khusus bergerak dalam bidang peternakan dan ikut menjadi pemasok bibit ternak.
———

4 Pemberian bantuan ternak sapi PPA (TA 2002) untuk penggemukan pada kelompok Gading Indah di Desa Air Meles Bawah senilai Rp. 305 juta dengan pola BLM, telah mampu memperoleh keuntungan bruto Rp. 120 juta selama setahun. Keuntungan terbagi untuk petani 60 %, untuk kas kelompok 20 %, jasa pengurus 10 %, dan lainlain 10 %. Dari modal yang diterima, dibeli 90 ekor bibit sapi dengan nilai Rp. 220 juta untuk 39 orang peternak, yang kemudian terjual senilai Rp. 322 juta.

Bersambung

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.