Kelembagaan DAS

Sulistya Ekawati

KEWENANGAN PUSAT DAN DAERAH DALAM PENGURUSAN HUTAN DI ERA DESENTRALISASI

Oleh: Sulistya Ekawati; Peneliti Pada Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Bogor

Ringkasan

Tarik ulur dalam pelimpahan wewenang pengurusan hutan antara pemerintah pusat dan daerah terjadi sejak jaman Hindia Belanda sampai sekarang. Merefleksikan pengalaman tersebut sebaiknya pelimpahan wewenang disertai dengan seperangkat aturan yang jelas yang mengatur materi dan tugas yang dilimpahkan, hak dan tanggungjawab serta mekanismenya, sehingga proses pelimpahan wewenang dapat berjalan baik. Kriteria yang dipakai dalam pembagian urusan pemerintahan yang bersifat konkuren meliputi kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Kriteria ini sebaiknya juga dijadikan pedoman bagi pemerintah pusat dalam membagi kewenangan pengurusan hutan di daerah.Urusan kehutanan yang harus dipertahankan sebagai kewenangan pemerintah pusat adalah urusan yang mempunyai dampak dalam skala luas dan memiliki efek stabilisasi, yaitu penetapan kawasan hutan, penyusunan rencana jangka panjang serta penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengurusan hutan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar pelimpahan wewenang berjalan dengan baik yaitu adanya kemauan dari pihak yang melimpahkan, kejelasan tugas yang dilimpahkan dan kemampuan pihak yang dilimpahkan, salah satu kendala pelimpahan yang ada saat ini adalah kemampuan daerah. Menghadapi kenyataan ini diperlukan pembinaan dan mekanisme pelimpahan wewenang secara bertahap, sampai daerah betul-betul mampu menjalankan kewenangan yang dilimpahkan secara mandiri.

Kata kunci : kewenangan, pengurusan hutan, desentralisasi

LATAR BELAKANG

Pemberlakuan UU tentang Pemerintahan Daerah 1, menjadi titik tolak bergesernya orientasi, arah dan kebijakan pembangunan kehutanan. Selain itu kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, memberikan kewenangan yang semakin luas kepada pemerintah daerah dalam berbagai perubahan sistem pengelolaan pemerintahan. Salah satu perubahan tersebut adalah dalam pengurusan hutan 2.

Desentralisasi telah menjadi keputusan nasional yang harus dilaksanakan oleh semua pihak. Dari sisi kehutanan, sebenarnya banyak harapan yang tertumpu pada desentralisasi karena desentralisasi diharapkan akan menjadi jalan bagi upaya menyelesaikan masalah kerusakan hutan yang sampai saat ini masih terus berlangsung. Melalui desentralisasi diharapkan rasa sayang dan rasa kepedulian terhadap hutan menjadi semakin meningkat, prinsip-prinsip demokrasi akan semakin berkembang, peran-serta masyarakat semakin meningkat, tercipta pemerataan dan keadilan, serta pengembangan daerah akan lebih memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.

Tetapi nampaknya perlu waktu untuk mewujudkan impian tersebut, dalam perkembangannya tidak semua semangat desentralisasi pengelolaan hutan menghasilkan realitas sebagaimana diharapkan. Setelah beberapa tahun pasca penerapan kebijakan desentralisasi kehutanan, ternyata tidak sedikit permasalahan yang timbul yang justru bersifat kontraproduktif. Laju kerusakan makin meningkat, kesejahteraan masyarakat tidak kunjung membaik. Salah satu penyebabnya adalah konsep rancang penetapan kebijakan desentralisasi kehutanan belum diikuti dengan penetapan rancang bangun pembagian atau pendelegasian wewenang yang jelas antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (Nugraha dan Murjito, 2005).

Ketidakjelasan pembagian tugas antara pusat dan daerah sehingga menjadi celah terjadinya tarik ulur kewenangan. Selama ini menurut Awang (2003), belum ada kesepakatan antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten akan subtansi material yang akan diserahkan kewenangannya. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi kewenangan pusat dan daerah dalam kepengurusan hutan dan saran-saran ke depan agar pelimpahan kewenangan pengurusan hutan dapat berjalan sesuai harapan.

—————-

1 UU No 22 Tahun 1999 yang diganti dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-Undang tersebut dilengkapi dengan Undang-Undang No 25 Tahun 1999 yang diganti dengan Undang-Undang No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Selanjutnya tanggal 9 Juli 2007 Pemerintah mengeluarkan PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

2 Pengurusan hutan menurut UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan meliputi kegiatan penyelenggaraan: perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembanagn, pendidikan dan latihan, penyuluhan kehutanan dan pengawasan.

————–

II. KRONOLOGI TARIK ULUR KEMENAGAN PUSAT DAN DAERAH DALAM PENGURUSAN HUTAN

0t1

Banyak kalangan menilai pelimpahan wewenang pengurusan hutan di Indonesia dimulai tahun 1999, yaitu sejak otonomi daerah diberlakukan. Menurut Resosudarmo (2003) dan Sumardjani (2007), sebenarnya pelimpahan wewenang dalam pengurusan hutan dimulai sejak jaman pemerintahan Hindia Belanda, dalam perjalanan waktu terjadi proses tarik ulur dalam pelimpahan kewenangan antara pusat dan daerah. Kronologi tarik ulur kewenagan pusat dan daerah dalam pengurusan hutan dapat dilihat pada Tabel 1.

III. DISTRIBUSI WEWENANG

Wewenang adalah kekuasaan resmi yang dimiliki seseorang karena kedudukannya dalam organisasi (Gibson et al, 2002). Menurut Robin (2006), wewenangan mengacu ke hak-hak yang inheren dalam posisi manajerial untuk memberi perintah dan mengharapkan perintah itu dipatuhi. Untuk mempermudah koordinasi, posisi manajerial diberi tempat dalam rantai komando dan derajat wewenang agar mampu memenuhi tangungjawabnya. Sutarto (1998), mendefinisikan wewenang sebagai hak seorang pejabat untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas dan tanggung-jawabnya dapat dilaksanakan dengan baik. Pelimpahan wewenang adalah penyerahan sebagian hak untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas dan tanggung-jawabnya dapat dilaksanakan dengan baik dari pejabat yang satu kepada pejabat yang lain.

Conyers (1986), ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam distribusi wewenang yaitu :

a. Aktivitas fungsional apa yang perlu didesentralisasi. Komponen ini menyangkut keseluruhan fungsi, kecuali fungsi yang penting bagi kesatuan nasional

b. Kekuasaan apa saja yang perlu dilekatkan dalam aktivitas atau fungsi yang didesentralisasi. Dalam hal ini ada tiga kategori kekuasaan, yaitu:

i. Kekuasaan dalam pembuatan kebijakan (dibagi lagi dalam kekuasaan mengatur/policy making/regeling dan mengurus/policy executing/bestuur)

ii. Kekuasaan keuangan (berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaran)

iii. Kekuasaan di bidang kepegawaian

c. Desentralisasi kekuasaan pada tingkatan tertentu yang mencakup tiga tingkatan, yaitu: wilayah/propinsi/negara bagian, kabupaten/kota dan desa.

Menurut penjelasan PP No.38 tahun 2007, penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren. Setiap bidang urusan pemerintahan yang konkuren senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Kriteria pembagian urusan pemerintahan yang bersifat konkuren meliputi kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.

Kriteria eksternalitas didasarkan atas pemikiran bahwa tingkat pemerintahan yang berwenang atas suatu urusan pemerintahan ditentukan oleh jangkauan dampak yang diakibatkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Untuk mencegah terjadinya tumpang tindih pengakuan atau klaim atas dampak tersebut, maka ditentukan kriteria akuntabilitas yaitu tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan dampak yang timbul adalah yang paling berwenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan tersebut. Kriteria efisiensi didasarkan pada pemikiran bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan sedapat mungkin mencapai skala ekonomis.

Ada sejumlah kewenangan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Kewenangan ini lazimnya disebut sebagai kewenangan klasik, yaitu politik luar negeri, pertahanan keamanan, justisi, moneter dan fiscal. Alasan untuk melakukan sentralisasi terhadap kewenangan klasik tersebut adalah bahwa tingkat dampak yang ditimbulkan oleh kewenangan tersebut berskala dan memiliki efek stabilisasi (Prasojo, 2006). Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dengan kehutanan?. Sejauhmana dampak dari suatu hutan terhadap stabilitas iklim secara nasional /global?. Hal ini menarik untuk memilahkan mana kewenangan kehutanan yang tetap dipegang oleh pemerintah pusat dan mana kewenangan yang harusnya didesentralisasi ke daerah.

IV. KLASIFIKASI DESENTRALISASI URUSAN KEHUTANAN DI INDONESIA

Bagaimana klasifikasi desentralisasi dalam urusan kehutanan?, Cohen (1999) membedakan tiga jenis desentralisasi yaitu dekonsentrasi, devolusi dan delegasi. Ketiganya disebut sebagai administrative decentralization (desentralisasi administrasi). Sedangkan tugas pembantuan (medebewind) merupakan salah satu bentuk khusus desentralisasi yang diterapkan di beberapa Negara seperti di Jerman dan Indonesia. Klasifikasi Desentralisasi Urusan Kehutanan di Indonesia adalah sebagai berikut:

A. Dekonsentrasi

Dekonsentrasi didefinisikan oleh Rondinelli, Nellis dan Cheema (1983) sebagai penyerahan sejumlah kewenangan dan tanggung jawab administrasi kepada cabang departemen atau badan pemerintah yang lebih rendah.

0t2

Dalam dekonsentrasi pemain inti pemerintahan adalah pemerintah pusat dan aparat pemerintah pusat yang ada di daerah. Pemerintah pusat adalah departemen dan lembaga sektoral, sedangkan aparat pemerintah pusat yang ada di daerah adalah kantor departemen yang ada di daerah. Jadi pelimpahan kewenangan dalam dekonsentrasi hanya bersifat mengurus (melaksanakan kebijakan) dan bukan mengatur (membuat kebijakan). Beberapa dekonsentrasi urusan kehutanan di Indonesia dapat dilihat pada beberapa Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat yang ada di daerah, seperti terlihat pada Table 2.

Dari tabel di atas nampak bahwa sebagian besar UPT pusat yang ada di daerah mempunyai wilayah kerja lintas propinsi. Dan perundangan yang ada memang menyatakan bahwa urusan pemerintahan yang bersifat lintas propinsi menjadi kewenangan pemerintah pusat. Namun ada beberapa UPT yang mempunyai wilayah kerja satu kabupaten atau satu propinsi, yaitu BTN. Walaupun urusan yang berada dalam satu kabupaten merupakan kewenangan Pemerintah Kabupaten dan urusan yang berada dalam satu propinsi merupakan kewenangan Pemerintahan Propinsi, namun menurut perundangan yang berlaku kewenangan konservasi merupakan kewenanangan pusat.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah koordinasi UPT Pusat tersebut dengan pemerintah Propinsi (Dinas terkait). Bagaiman mensinkronkan program-program yang ada di pemrintah propinsi dengan program-program Departemen.

B. Devolusi/Dekonsentrasi dalam Arti Sempit

Dalam devolusi terjadi penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada tingkat pemerintahan lokal yang otonom. Menurut PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, urusan yang menjadi kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat seperti pendidikan dasar, kesehatan, lingkungan hidup, perhubungan, kependudukan dan sebagainya. Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan adalah urusan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan (core competence). Penentuan potensi unggulan mengacu pada Product Domestic Regional Bruto (PDRB), mata pencaharian penduduk dan pemanfaatan lahan yang ada di daearah. Menurut PP ini rusan kehutanan menjadi urusan pilihan.

Beberapa kewenangan kabupaten dalam bidang kehutanan menurut PP No. 38 tahun 2007 adalah :

  1. Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung
  2. Pemberian perijinan pemungutan hasil hutan kayu dan non kayu dan pemanfaatan kawasan dan jasa lingkungan pada hutan produksi skala kabupaten, kecuali wilayah kerja Perum Perhutani
  3. Pemberian perijinan pemanfaatan kawasan hutan lindung, pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Lampiran (Appendix) CITES serta pemanfaatan jasa lingkungan skala kabupaten
  4. Penetapan, penyusunan rencana dan pelaksana rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani ijin pemanfaatan/pengelolaan hutan dan lahan di luar kawasan hutan skala kabupaten/kota dan Taman Hutan Raya (Tahura)
  5. Pelaksanaan perlindungan hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani hak dan hutan adat serta tahura skala kabupaten/kota
  6. Pengelolaan taman hutan raya, penyusunan rencana pengelolaan, penataan blok serta pemberian ijin usaha pariwisata alam dan jasa lingkungan serta rehabilitasi di Tahura skala kabupaten
  7. Pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, pemanfaatan, perlindungan dan pengamanan hutan kota
  8. Penyusunan rencana, pembinaan pengelolaan hutan hak dan aneka usaha kehutanan
  9. Penyusunan rencana dan sistem informasi kehutanan tingkat kabupaten
  10. Pengawasan dan pengendalian penatausahaan hasil hutan skala kabupaten/kota
  11. Pelaksanaan pemungutan penerimaan Negara bukan pajak skala kabupaten/kota
  12. Bimbingan masyarakat, pengembangan kelembagaan dan usaha serta kemitraan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar kawasan hutan
  13. Inventarisasi dan identifikasi serta pengusulan calon areal sumberdaya genetic, pembinaan penggunaan benih/bibit, pelaksanaan sertifikasi sumber benih dan mutu benih/bibit tanaman hutan
  14. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kehutanan di tingkat kabupaten/kota
  15. Penguatan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan kehutanan skala kabupaten/kota

Dari beberapa kewenangan pengurusan hutan yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten seperti rehabilitasi hutan, perlindungan hutan, penyuluhan kehutanan dan pelatihan masyarakat dirasakan pemerintah kabupaten sebagai beban, karena kendala financial dan SDM. Beberapa kewenangan lain seperti pengelolaan Tahura, hutan kota, hutan milik, dianggap daerah sebagai hutan yang kurang mempunyai potensi untuk meningkatkan pendapatan daerah. Sedangkan kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan produksi belum jelas, masih menunggu pengaturan lebih lanjut dari pemerintah pusat. Kalaupun ada sudah ada pedoman dari pemerintah pusat, pemerintah daerah menemui beberapa kendala dalam pelaksanaannya.

C. Tugas Pembantuan (medebewind)

Ada tugas pembantuan yang diberikan Departemen Kehutanan kepada Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Kabupaten, yaitu dalam hal pengelolaan Taman Hutan Raya (Tahura). (Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No 107/Kpts-II/2003 tentang Penyerahan Tugas Pembantuan Pengelolaan Taman Hutan Raya oleh Gubernur atau Bupati/Walikota). Tugas pembatuan itu meliputi pembangunan, pemeliharaan, pemanfaatan dan pengembangan Tahura. Tugas pembatuan yang berkaitan dengan aspek teknis dikoordinasikan dengan Balai Konservasi Sumberdaya Alam setempat. Tugas pembatuan diberikan kepada Gubernur jika wilayah Tahura yang bersangkutan berada pada lintas kabupaten/kota, dan diberikan kepada Bupati sepanjang wilayah Tahura yang bersangkutan berada di dalam satu kabupaten.

V. BAGAIMANA SUPAYA PELIMPAHAN WEWENANG DAPAT BERJALAN BAIK?

Secara umum, kewenangan pemerintah pusat dalam pengurusan hutan adalah dalam menetapkan norma, standart, prosedur dan kriteria untuk berbagai aspek pengaturan hutan,yang dapat digunakan oleh pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten untuk melaksanakan tugas sehari-hari dalam pengelolaan hutan. Urusan kehutanan yang harus dipertahankan sebagai kewenangan pemerintah pusat adalah urusan yang mempunyai dampak dalam skala luas dan memiliki efek stabilisasi, yaitu penetapan kawasan hutan, penyusunan rencana jangka panjang dan penetapan norma, standart, prosedur dan kriteria pengurusan hutan.

Lalu apa yang harus dilakukan Departemen Kehutanan agar pelimpahan kewenangan pengurusan hutan di era otonomi daerah dapat berjalan baik?. Menurut Sutarto (1987), ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pelimpahan wewenang, yaitu:

  1. Batas kewenangan
  2. Tanggungjawab
  3. Antara tugas, tanggungjawab dan wewenang harus seimbang
  4. Kemauan memperhatikan pendapat dari pejabat yang penerima limpahan wewenang
  5. Mempercayai pejabat yang diserahi wewenang
  6. Membimbing pejabat yang diserahi wewenang
  7. Melakukan pengontrolan

Untuk memberikan batas yang jelas mana yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten, lampiran PP No.38 Tahun 2007 telah menyusunnya dalam bentuk matrik. Walaupun dalam penerapannya masih banyak membutuhkan perbaikan, namun upaya ini selangkah lebih maju untuk mendiskripsikan batas-batas kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Ada banyak hal yang harus dilengkapi dari lampiran PP No 38 Tahun 2007 yaitu bagaimana tanggungjawab masing-masing. Dalam memberikan tanggungjawab juga harus diperhatikan agar tugas dan tanggung jawab tersebut seimbang dengan kewenangan yang diberikan. Antara pemberi wewenang dan penerima wewenang perlu menjadi komunikasi dua arah, sehingga ditemukan kesepakatan yang baik. Hal lain yang juga belum jelas dalam pendelegasian wewenang di bidang kehutanan adalah belum tertatanya mekanisme bimbingan dan pengontrolan dari pemerintah pusat. Bimbingan yang selama ini ada kurang sesuai dengan kebutuhan daerah.

Lebih lanjut Sutarto (1998) mengemukakan ada 3 syarat agar pelimpahan wewenang dapat berhasil baik, yaitu :

  1. Ada kesediaaan pihak yang melimpahkan wewenang untuk melimpahkan sebagian wewenangnya
  2. Ada kejelasan tugas-tugas yang dilimpahkan
  3. Ada kemampuan dari pihak yang dilimpahi wewenang

Pemerintah Pusat (Departemen Kehutanan) harus legowo menyerahkan sebagian urusan kehutanan kepada pemerintah kabupaten. Selama ini ada kesan bahwa Departemen Kehutanan menyerahkan kepalanya tetapi kemudian menarik ekornya kembali. Penyerahaan wewenang juga harus disertai dengan kejelasan tugas-tugas yang dilimpahkan agar pihak yang dilimpahi wewenang jelas kemana dia harus melangkah. Tetapi ada hal krusial yang menjadi kendala dalam memberikan tugastugas ini kepada daerah, yaitu kendala kemampuan daerah, khususnya yang menyangkut sumberdaya manusia dan keuangan daerah. Beberapa studi menyatakan bahwa salah satu kendala yang dihadapi dalam desentralisasi kehutanan adalah ketersediaan SDM di daerah. Menghadapi kenyataan ini diperlukan pembinaan dan mekanisme pelimpahan wewenang secara bertahap, sampai daerah betul-betul mampu menjalankan kewenangan yang dilimpahkan secara mandiri.

VI. Penutup

Tarik ulur dalam pelimpahan wewenang pengurusan hutan antara pemerintah pusat dan daerah terjadi sejak jaman Hindia Belanda sampai sekarang, pengalaman sejarah menunjukkan bahwa ada masalah yang dihadapi dalam pelimpahan wewenang tersebut, sehingga pemerintah pusat menarik kewenangannya kembali. Merefleksikan pengalaman tersebut sebaiknya pelimpahan wewenang disertai dengan seperangkat aturan yang jelas yang mengatur materi dan tugas yang dilimpahkan, hak dan tanggungjawab serta mekanismenya, sehingga proses pelimpahan wewenang dapat berjalan baik.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam distribusi wewenang adalah fungsi, kekuasaan yang melekat pada fungsi dan tingkatan desentralisasi. Kriteria yang dipakai dalam pembagian urusan pemerintahan yang bersifat konkuren meliputi kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Kriteria ini sebaiknya juga dijadikan pedoman bagi pemerintah pusat dalam membagi kewenangan pengurusan hutan di daerah.

Klasifikasi desentralisasi administratif pengurusan hutan meliputi dekonsentrasi, devolusi (desentralisasi dalam arti sempit) dan tugas pembantuan (midebewind). Urusan kehutanan yang harus dipertahankan sebagai kewenangan pemerintah pusat adalah urusan yang mempunyai dampak dalam skala luas dan memiliki efek stabilisasi, yaitu penetapan kawasan hutan, penyusunan rencana jangka panjang serta penetapan norma, standart, prosedur dan kriteria pengurusan hutan.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar pelimpahan wewenang berjalan dengan baik yaitu adanya kemauan dari pihak yang melimpahkan, kejelasan tugas yang dilimpahkan dan kemampuan pihak yang dilimpahkan, salah satu kendala pelimpahan yang ada saat ini adalah kemampuan daerah. Menghadapi kenyataan ini diperlukan pembinaan dan mekanisme pelimpahan wewenang secara bertahap, sampai daerah betul-betul mampu menjalankan kewenangan yang dilimpahkan secara mandiri.

DAFTAR PUSTAKA

Awang, S. 2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Kreasi Wacana. Yogyakarta.

Cohen et al. 1999. Administrative Decentralization. Strategies for Developing Countries. Kumarian Press. Connecticut.

Conyers,D. 1986. Decentralization and Development: A Framework for Analysis”Community Development Journal (Volume 21, Number 2, April 1986.

Nugraha, A dan Murtijo. 2005. Antropologi Kehutanan. Wana Aksara. Tangerang.

Gibson.J, J.Ivancevich, J. Donnelly.2002. Organisasi, Perilaku, Struktur.Terjemahan Nunuk Andiarni. Bina Rupa Aksara. Jakarta.

Prasojo, E, dkk. 2006. Desentralisasi dan Pemerintah Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural. Departemen Ilmu Administrasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Jakarta.

Rondinelli, Denis, A. J. Nellis dan S. Cheema. 1983. Decentralization in Developing Caountries. A Riview of Recent Experience. World Bank Staff Working Paper. Number 581. Washington.

Resosudarmo, P. 2003. Tinjauan Atas Sektor perkayuan dan Kebijakan Terkait Lainnya. Dalam Ida Aju PR dan Carol J.P.C(penyunting). Kemana Harus Melangkah ? Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Robbins,S. 2006. Perilaku Organisasi. Alih Bahasa Benyamin M. PT Indeks Kelompok Gramedia. Jakarta. Sutarto, 1998. Dasar-Dasar Organisasi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Sumardjani,L. 2007. Konflik Sosial Kehutanan : mencari Pemahaman Untuk Penyelesaian Terbaik. Flora Mundial Communication. Bogor.

The World Bank. 1990. Indonesia: Sustainable Development of Forest, Land and Water. Washington,D.C.The World Bank.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.