Kelembagaan DAS

Saptana, dkk.

ANALISIS KELEMBAGAAN KEMITRAAN USAHA DI SENTRA SENTRA PRODUKSI SAYURAN

(Suatu Kajian Atas Kasus Kelembagaan Kemitraan Usaha di Bali, Sumatera Utara, dan Jawa Barat)

SAPTANA, KURNIA SUCI INDRANINGSIH DAN dan ENDANG L. HASTUTI

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jl. A. Yani 70 Bogor; Email: kurniasuci@yahoo.com; caser@indosat.net.id

ABSTRACT

Economy globalization and commerce liberalization the competition of rivalization and integration of commodity market, that requires the change of operational method of stakeholder system of vegetable business. This research was aimed to analyze the comparation of system process among stakeholder business, in order to formulize the model of stakeholder system of vegetable business which compitable. The system of stakeholder business which exist and on going in the overall locations are: General Trade Pattern, Marketing Contract Pattern, Nucleus Estate Smallholder Pattern, Agribusiness Operational Cooperation Pattern, Seedling Credit and Supervision Pattern, Cooperation on Development of Agribusiness Sub Terminal, Cooperation on capital preparation of Multi Business, Village Credit System, Credit Union, and Banking Systems. The affectivity of business stakeholder system on vegetable commodity in production central area have not shown the optimum working effort yet, due to the weakness of commitment among those who involve in the cooperation, lack of open management, there was no market and price guarantee of all vegetable commodities, as well as lack of supply guarantee for supplier or stakeholder company important. Policy implication of the condition above were the necessary to build the stakeholder system of vegetable business which needed, strengthening, and profitable among each other.

Key Words: Institution, Business Stakeholder, Central Production, Vegetable

ABSTRAK

Globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan mendorong terjadinya persaingan yang semakin kompetitif serta pasar komoditas yang terintegrasi, sehingga menuntut adanya perubahan cara beroperasinya kelembagaan-kemitraan usaha sayuran. Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis pola, aturan main dan pola interaksi antar kelembagaan, serta analisis perbandingan kinerja kelembagaan antar kemitraan usaha, sehingga dapat dirumuskan model kelembagaan kemitraan usaha komoditas sayuran yang berdayasaing. Kelembagaan kemitraan usaha yang eksis dan sedang berjalan di seluruh lokasi antara lain adalah : Pola Dagang Umum, Pola Kontrak Pemasaran, Pola Inti-Plasma, Pola Kerjasama Operasional Agribisnis, Pola Pembinaan dan Kredit Bibit, Kerjasama dalam rangka pengembangan Sub Terminal Agribisnis (STA), Kerjasama dalam penyediaan modal Koperasi Serba Usaha (KSU), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Credit Union dan lembaga perbankan. Efektivitas kelembagaan kemitraan usaha pada komoditas sayuran di daerah sentra produksi belum menunjukkan kinerja yang optimal karena lemahnya komitmen antara pihak-pihak yang bermitra, manajemen yang kurang transparan, belum adanya jaminan pasar dan harga pada semua komoditas sayuran serta kurang adanya jaminan pasokan bagi supplier atau perusahaan mitra. Implikasi kebijakan penting dari kondisi di atas adalah pentingnya membangun kelembagaan kemitraan usaha komoditas sayuran yang dapat saling membutuhkan, memperkuat dan saling menguntungkan.

Kata Kunci: Kelembagaan, Kemitraan Usaha, Sentra Produksi, Sayuran

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perubahan lingkungan strategis berupa globalisasi ekonomi-liberalisasi perdagangan, otonomi daerah, perubahan preferensi konsumen, serta kelestarian lingkungan menuntut adanya perubahan cara beroperasinya kelembagaan-kemitraan usaha, tercakup di dalamnya kemitraan usaha pada komoditas sayuran. Pengembangan agribisnis yang tangguh di perlukan empat pilar penunjang (Suwandi, 1995): (1) Eksistensi semua komponen agribisnis secara lengkap di kawasan sentra produksi; (2) Pentingnya kemitraan usaha antar pelaku agribisnis; (3) Iklim usaha yang kondusif; dan (4) Adanya gerakan bersama dalam memasyarakatkan agribisnis.

Baik dari aspek potensi permintaan pasar maupun aspek potensi produksi mestinya sektor usaha komoditas sayuran dapat dijadikan sumber akselerasi pertumbuhan sektor pertanian dan sekaligus memecahkan dua masalah mendasar yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini yaitu masalah pengangguran dan kemiskinan. Dari sisi permintaan, jumlah penduduk yang besar, kenaikan pendapatan, dan berkembangnya pusat kota-industri-wisata, serta liberalisasi perdagangan merupakan faktor utama yang mempengaruhi permintaan.

Permintaan komoditas sayuran pada 1996 sebesar 44.1 kg/kapita/tahun, kemudian pada tahun 1999 menjadi 48.2 kg/kapita/tahun, terakhir pada tahun 2002 menjadi 38,92 kg/kapita/tahun  (Susenas,1996, 1999, dan 2002). Hasil kajian (Saptana, et. al., 2004) memberikan informasi bahwa peran permintaan konsumen institusi untuk komoditas sayuran berkisar antara 0,5-9 % dan sangat bervariasi antar kabupaten. Pada kabupaten-kabupaten yang berkembang industrikota-wisata mencapai 5-9 persen. Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan produktivitas, serta memenuhi permintaan pasar dan preferensi konsumen maka dipandang penting membangun kelembagaan kemitraan usaha agribisnis sayuran yang berdayasaing.

Permasalahan pokok pengembangan agribisnis sayuran adalah belum terwujudnya ragam, kualitas, kesinambungan pasokan, dan kuantitas yang sesuai dengan dinamika permintaan pasar dan preferensi konsumen, permasalahan tersebut nampak nyata pada produk hortikultura untuk tujuan pasar konsumen institusi dan ekspor. Permasalahan lain adalah ketimpangan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, aset utama lahan, modal, dan akses pasar antar pelaku agribisnis menyebabkan struktur kelembagaan kemitraan usaha pada komoditas sayuran yang rapuh.

Dalam rangka meningkatkan daya saing produk sayuran di daerah sentra produksi, diperlukan kebijakan-kebijakan untuk memperkuat kelembagaan kemitraan usaha komoditas sayuran dengan visi “Mencapai Indonesia Sebagai Eksportir Produk Hortikultura Tropis”, khususnya produk sayuran dataran tinggi.

Tujuan Penulisan

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengidentifikasi bentuk-bentuk atau pola-pola kelembagaan kemitraan usaha agribisnis hortikultura; (2) Menganalisis pola, aturan main dan pola interaksi kelembagaan dalam kelembagaan kemitraan usaha komoditas sayuran; (3) Menganalisis perbandingan antar kelembagaan kemitraan usaha pada komoditas sayuran; serta (4) Merumuskan penyempurnaan model kelembagaan kemitraan usaha komoditas sayuran yang berdayasaing.

METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiraan

Dengan diberlakukannya perdagangan bebas di tingkat ASEAN Free Trade Area (AFTA) sejak januari 2003, serta implementasi komitmen di Wolrd Trade Organization (WTO), dan Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) akan mendorong semakin terbuka dan terintegrasinya pasar komoditas. Implikasinya, semakin tinggi tingkat persaingan usaha makadiperlukan peningkatan efisiensi dan dayasaing komoditas sayuran. Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah atau desentralisasi jika dikelola dengan baik akan mendorong peningkatan kinerja kelembagaan atau organisasi. Dalam konteks kemitraan usaha agribisnis yang sehat di era otonomi daerah diperlukan sistem pengaturan dan pengontrolan, sehingga hubungan kemitraan usaha lebih tertib dan adanya jaminan kepastian dan perlindungan hukum (Pranadji et. al., 2000).

Kerangka pikir dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kawasan, agribisnis, serta kelembagaan kemitraan usaha. Pada periode (2001-2003) telah dibentuk 3 (tiga) Kawasan Agribisnis Hortikultura (KAHORTI), yaitu : (1) Kawasan Agribisnis Sayuran Sumatera (KASS) yang kemudian berubah menjadi Kawasan Agribisnis Hortikultura Sumatera (KAHS), dengan anggota atau wilayah hampir seluruh wilayah Sumatera; (2) KAHORTI KRAKATAU, dengan wilayah: Lampung, Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat, serta Kalbar; dan (3) KAHORTI JABALSUKANUSA dengan wilayah DI Yogyakarta, Jatim, Bali, Sultra, Sulsel, Kalsel, dan Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan informasi tersebut penelitian ini dilakukan di tiga kawasan tersebut melalui kajian atas beberapa pola kerjasama usaha agribisnis hortikultura. Secara ringkas kerangka pemikiran dari penilitian ini ditampilkan pada Gambar 1.

0g1

Metode Pengumpulan Data dan Perencanaan Sampling

Ada tiga syarat pokok dalam memilih metode penelitian (Marshall and Rosman, 1989), yaitu : (1) syarat kecukupan informasi; (2) syarat efisiensi; dan (3) syarat pertimbangan etika. Metode pengumpulan data harus disesuaikan dengan tipe data yang diambil. Menurut Zelditch (1979), untuk tipe data distribusi dan frekuensi dapat dilakukan dengan enumerasi dan sampel, untuk tipe data kejadian sejarah dapat dilakukan dengan pengamatan berperan serta, sedangkan untuk tipe data norma dan status yang berlaku dapat dilakukan dengan wawancara secara mendalam.

Lokasi penelitian : (1) Kabupaten Tabanan, Bali, daerah sentra produksi sayuran KAHORTI Jabalsukanusa, terdapat kelembagaan kemitraan usaha untuk spesifik kelembagaan konsumen institusi, dengan komoditas terpilih kentang, cabe merah, dan tomat; (2) Kabupaten Karo, Sumatera Utara, daerah sentra produksi sayuran utama di KAHS, terdapat kelembagaan kemitraan usaha, serta akses ke pasar ekspor Singapura dan Malaysia, dengan komoditas terpilih kentang, kubis, dan lobak; (3) Majalengka dan Garut, Jawa Barat, daerah sentra produksi sayuran utama KAHORTI Krakatau, terdapat kelembagaan kemitraan usaha, serta akses ke pasar utama Jabotabek, dengan komoditas terpilih bawang merah dan cabe merah serta kentang. Sampel dalam penelitian ini terdiri dari 70 responden petani, 10 kelompok tani, 20 pedagang, 2 ekportir, 4 perusahaan mitra, 5 kelembagaan pengelola Sub Terminal Agribisnis (STA) dan Koperasi, 5 kelembagaan pembiayaan serta 15 dinas dan instansi terkait.

Analisis Data dan Jenis Data

Penelitian ini merupakan kajian terhadap kelembagaan kemitraan usaha sehingga analisis yang digunakan adalah analisis kelembagaan yang dilakukan secara deskriptifkualitatif. Analisis kelembagaan difokuskan pada pola, aturan main (rule of the game) yang dijalankan serta pola interaksi antar lembaga yang bermitra. Pendekatan studi dilakukan melalui studi kasus multi lokasi pada kelembagaan kemitraan usaha sayuran.

Sementara itu, untuk menjawab tujuan tentang perumusan beberapa alternatif model kelembagaan kemitraan usaha komoditas sayuran yang berdayasaing dapat difokuskan pada penyempurnaan masing-masing pola kemitraan usaha yang sudah berjalan serta pola kemitraan usaha terpadu. Sumber data dapat dikelompokkan menjadi sumber data primer dan sumber data sekunder.

EKONOMI SAYURAN

Perkembangan Produksi Sayuran Indonesia

Perkembangan produksi beberapa komoditas sayuran ditampilkan pada Tabel 1, yang memberikan beberapa gambaran sebagai berikut : (1) Pada periode sebelum krisis ekonomi (1986-1997), semua komoditas sayuran unggulan, yaitu bawang merah, kentang, kubis, tomat dan cabe merah, mengalami pertumbuhan produksi positif yang cukup tinggi, yaitu masing-masing tumbuh 7,82 persen, 0,82 persen, 7,98 persen, 17,69 persen dan 34,11 persen per tahun; (2) Pada periode setelah krisis ekonomi (1997-1999), semua komoditas sayuran unggulan, yaitu bawang merah, kentang, kubis, tomat dan cabe merah, juga masih tetap tumbuh cukup cepat yaitu masing-masing 22,75 persen, 7,65 persen, 4,34 persen, 10,8 persen dan 12,29 persen per tahun; dan (3) Pada periode 2000-2002, semua komoditas sayuran unggulan, yaitu bawang merah, kentang, kubis, tomat dan cabe merah menunjukkan kinerja yang berbeda antar komoditas. Komoditas yang tetap tumbuh positif cukup tinggi adalah kubis yaitu 6,23 persen per tahun. Komoditas yang mengalami stagnasi adalah bawang merah, tomat dan cabe merah yang tumbuh sekitar 0 – 0,56 persen per tahun, sedangkan komoditas yang mengalami penurunan produksi adalah wortel (-5,56%/tahun).

0t1

Hasil kajian Saptana et. al., (2001) di Kabupaten Karo dan Simalungun mengungkapkan bahwa penurunan produksi pada periode terakhir ini lebih disebabkan oleh faktor eksternal (di luar petani), seperti ketidakstabilan sosial politik dan keamanan dalam negeri, yang menyebabkan tersumbatnya ekspor ke Singapura dan Malaysia sebagai akibat dari kehilangan kepercayaan pembeli di negara-negara tersebut. Hal tersebut terkait erat dengan dayabeli masyarakat dan cakupan tujuan pasarnya. Komoditas kubis tetap tumbuh positip karena harganya yang relatif terjangkau pembeli dan memiliki tujuan pasar yang luas, sedangkan harga cabe merah dan tomat sangat mahal dan jangkauan pasarnya terbatas pada pasar lokal dan regional.

Hal ini diperkuat oleh hasil kajian Saptana et. al. (2001) di Jawa Tengah, yang menunjukkan penurunan produktivitas pada cabe merah dan tomat disebabkan antara lain oleh: (1) Menurunnya penggunaan bibit berkualitas, khususnya kentang; (2) Perluasan areal lahan dengan merambah areal hutan sejak terjadinya krisis ekonomi; (3) Terjadinya penurunan kesuburan tanah karena erosi berat pada lapisan top soil yang disebabkan oleh banjir, sebagai akibat perambahan hutan di Pegunungan Dieng; dan (4) Degradasi tingkat kesuburan lahan, karena tidak diterapkannya sistem usahatani konservasi, dimana baris tanaman tidak mengikuti garis kontur tetapi mengikuti garis lereng.

Perkembangan Sayuran di Beberapa Negara Asia

Masuknya sayuran dari luar negeri, terutama yang berasal dari negara-negara tetangga Indonesia, disebabkan oleh kebutuhan domestik yang tidak mencukupi dan harganya relatif kompetitif terhadap harga domestik. Namun terjadinya perdagangan antara Indonesia dan negara-negara lain ini sangat tergantung pada perkembangan produksi di masing-masing negara. Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa sebagian besar negara tetangga selama 1999-2001 mengalami peningkatan produksi sayuran yang relatif lebih tinggi dibanding Indonesia (0,01%/tahun). Implikasinya, jika tidak diupayakan terjadi peningkatan produksi nasional, maka dikhawatirkan pasar domestik di masa datang akan semakin kebanjiran produk sayuran dari luar negeri.

0t2

Walaupun pertumbuhan produksi sayuran Indonesia sangat lambat, pertumbuhan ekspornya cukup tinggi yaitu 7,9 persen per tahun selama 1999 – 2001. Ekspor sayuran ini masih berpeluang untuk ditingkatkan karena pertumbuhan ekspor negara lain masih relatif rendah, kecuali Filipina dan Cina yang masing-masing bisa mencapai 10,8 persen dan 16,6 persen per tahun. Menurut Adiyoga (2000), perlu ada perhatian lebih serius pada perbaikan kontinuitas pasokan ekspor sebagai salah satu jalan keluar untuk mengurangi ketidakstabilan penerimaan ekspor karena ketidakstabilan atau keragaman volume ekspor. Hasil kajian Direktorat Pengembangan Usaha Hortikultura (2002) juga menemukan adanya beberapa permasalahan serupa dalam KASS yaitu tingkat produktivitas dan kualitas produk yang masih rendah, kehilangan hasil pasca panen relatif lebih tinggi, kerusakan selama distribusi dan pemasaran, dan ekonomi biaya tinggi dalam distribusi yang menyebabkan keuntungan petani tidak sebanding dengan biaya korbanan. Oleh karena itu, informasi mengenai peta produksi, peta permintaan, peta perdagangan komoditas, kebutuhan biaya investasi sarana pemasaran dan perumusan model kelembagaan di tingkat petani dalam kerangka pengembangan kawasan agribisnis sayuran sangat diperlukan.

Dalam upaya memperbaiki mutu produk hortikultura yang berdaya saing, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian di bidang hortikultura memfokuskan kegiatan penelitiannya pada aspek-aspek sebagai berikut (Budiarto, 2003):

  1. Tersedianya varietas baru yang produktif, adaptif dan tahan terhadap hama/penyakit untuk mengurangi ketergantungan pada varietas impor dan membuka peluang ekspor.
  2. Tersedianya teknologi produksi dan pengelolaan benih bermutu, konsep jaminan dan standarisasi mutu sebagai langkah awal untuk membangun industri benih nasional yang tangguh dan mandiri.
  3. Tersedianya teknologi budidaya yang ramah lingkungan dan efisien dengan memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal dan berkelanjutan untuk  menghasilkan produk hortikultura modern dan efisien sekaligus membuka peluang munculnya industri sarana penunjang di berbagai daerah.
  4. Tersedianya teknologi pengendalian hama/penyakit yang berbasis pada penggunaan musuh alami dan pengurangan pestisida sintetis serendah mungkin.
  5. Tersedianya teknologi pasca panen untuk efisiensi pengemasan, konservasi mutu segar, diversifikasi produk yang berkaitan dengan peningkatan nilai tambah industri hortikultura.
  6. Tersedianya database dan informasi mutakhir sistem dan usaha hortikultura sebagai dasar pengambilan kebijakan penelitian, perumusan/ pemecahan masalah, penyediaan teknologi secara akurat sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Perkembangan Ekspor dan Impor Komoditas Sayuran

Volume ekspor komoditas sayuran Indonesia selama tahun 1996-2002 mengalami penurunan (Tabel 3). Volume ekspor sayuran sempat anjlok pada tahun 1996-1997 sebesar –36,89 persen yang menyebabkan penurunan pada nilai ekspornya sebesar –44,27 persen. Pada kurun waktu 2000-2002, walaupun pertumbuhan volume ekspor masih negatif (-13,24%), nilai ekspornya meningkat 25,28 persen (Tabel 3).

0t3

Menurut Adiyoga (2000) perlu ada perhatian yang serius pada perbaikan kontinuitas pasokan sebagai salah satu jalan keluar untuk mengurangi ketidakstabilan penerimaan ekspor karena ketidakstabilan atau keragaman volume ekspor. Permasalahan ini juga dikemukakan oleh Saptana et. al., (2005) bahwa beberapa permasalahan seperti yang ditemukan di beberapa Kawasan Agribisnis Sayuran/Hortikultura Sumatera (KASS/KAHS), Kahorti Krakatau, dan Kahorti Jabalsukanusa adalah masih rendahnya tingkat produktivitas dan kualitas produk, tingginya kehilangan hasil panen, kerusakan selama distribusi dan pemasaran, serta terjadinya biaya ekonomi tinggi.

POLA-POLA KEMITRAAN USAHA SAYURAN DATARAN TINGGI

Pola Kemitraan Usaha Komoditas Sayuran di Bali

Secara umum pola-pola kelembagaan kemitraan usaha komoditas sayuran di daerah sentra produksi baik di Bali, Sumatera Utara dan Jawa Barat didominasi Pola Dagang Umum. Pola-pola kelembagaan kemitraan usaha pada komoditas sayuran yang eksis di Bali antara lain: (1) Pola Dagang Umum (PDU) melibatkan pedagang dan supplier untuk memasok konsumen restoran dan hotel dan pasar tradisional; (2) Pola Inti-Plasma (PIR), antara Perusahaan Daerah (PD-Bali) dengan Petani sayuran yang bestatus sebagai petani penggarap; (3) Kerjasama dalam rangka pengembangan STA komoditas sayuran; (4) Kerjasama dalam penyediaan modal melalui kelembagaan KSU dan LPD, di mana sebagian nasabahnya adalah petani sayuran yang berdomisili pada Banjar Adat atau Desa Adat yang sama.

Salah satu pola kemitraan yang pada awalnya merupakan prakarsa program pemerintah adalah pengembangan STA. Hasil identifikasi di tingkat propinsi diperoleh informasi bahwa paling tidak terdapat 8 Kelompok Tani/STA di Provinsi Bali: (1) Mitra Praja Murti Mukti yang bergerak pada komoditas sayur-sayuran, berlokasi di Desa Pancasari, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng; (2) Iswara Tani, komoditas sayursayuran, berlokasi di Desa Batusesa, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan; (3) Bukit Wahana Mertha, komoditas sayur-sayuran, berlokasi di Desa Mayungan, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan; (4) Suka Maju, komoditas sayur-sayuran, berlokasi di Desa Pangyangan, Pekutatan, Kabupaten Jembrana; (5) Tani Tunas Jaya, komoditas sayursayuran termasuk semangka dan melon, berlokasi di Desa Penyaringan, Mendoyo, Kabupaten Jembrana; (6) Astha Giri Amertha, komoditas sayur-sayuran, berlokasi di Desa Kerta, Payangan, Kabupaten Gianyar; (7) Amertha Jati, komoditas sayur-sayuran, berlokasi di Desa Belok Sidan, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung; serta (8) Manik Mekar Nadi, komoditas sayur-sayuran, berlokasi di Desa Bekasih, Rendang, Kabupaten Karang Asem.

Hasil kajian di Kabupaten Tabanan ditemukan beberapa pola kemitraan usaha komoditas sayuran dalam kerangka pengembangan Sub Terminal Agribisnis (STA), yaitu (1) STA Koperasi Iswara Tani yang bergerak di bidang sayur-mayur; dan (2) STA Bukit Wahana Merta yang juga bergerak di bidang sayur-mayur. Hal ini antara lain disebabkan karena adanya hubungan personal yang diprakasai oleh pengurus STA secara mandiri. Peran pemerintah terbatas dalam hal penyediaan sebagian modal dan pembinaan usaha. Hal tersebut menunjukkan telah adanya pergeseran dari kelembagaan kemitraan usaha yang dominan pemerintah ke dominan peran kelembagaan pasar. Secara umum kinerja kelembagaan STA di Bali telah berjalan, namun belum menunjukkan kinerja yang optimal. Hasil kajian di Kabupaten Tabanan ditemukan dua STA, yaitu (1) STA Koperasi Iswara Tani yang bergerak di bidang sayur-mayur, di mana saat ini mengalami kemacetan; dan (2) STA Bukit Sari Bumi yang juga bergerak di bidang sayur-mayur.

Beberapa bentuk pola kemitraan usaha komoditas sayuran berbasis tarikan pasar yang berorientasi pada profit oriented antara lain, adalah : (1) Pola kemitraan (PIR) antara PD Bali dengan petani penggarap sayuran dengan pola mix-farming dengan pengaturan pola tanam oleh pihak inti yang didasarkan atas permintaan pasar; dan (2) Kemitraan Usaha Pola Dagang Umum dengan pelaku utama adalah supplier dengan tujuan utama konsumen institusi terutama restoran dan hotel.

Pola Kemitraan Usaha Komoditas Sayuran di Sumatera Utara

Pola-pola kelembagaan kemitraan usaha komoditas sayuran yang eksis di Sumatera Utara antara lain, adalah : (1) Pola Dagang Umum (PDU) yang dijumpai pada semua komoditas sayuran yang dikaji; (2) Untuk komoditas gobo, pueleng, lobak, wortel, dan ubijalar antara PT. Putera Agro Sejati dengan Petani di Karo dan sekitarnya; dan (3) Untuk komoditas kentang, kol, cabe dan tomat antara PT. Selectani dengan petani di Karo.

Pada pola dagang umum yang melibatkan pedagang pengumpul atau “perkoper”, pedagang pengepul, pedagang antar pulau/pengusaha eksportir, serta beberapa Perusahaan Mitra masih menempatkan petani pada posisi lemah terutama dalam hal jaminan pasar dan kepastian harga. Pada umumnya petani sudah terikat pinjaman modal pada pedagang pengumpul atau pengepul dengan kewajiban menjual hasil ke pedagang yang bersangkutan. Meskipun di Karo terdapat beberapa kelembagaan pembiayaan alternatif seperti Credit Union dan lembaga perbankan (Bank Mandiri, BNI dan BRI), namun biasanya tidak mudah untuk diakses petani. Secara umum petani sayuran lebih memilih meminjam modal atau kebutuhan sehari-hari kepada pedagang yang menjadi langganan karena lebih fleksibel, mudah, cepat, dan murah. Hanya dengan satu kewajiban menjual sayuran yang dihasilkan kepada pedagang yang bersangkutan.

Bentuk kemitraan usaha antara PT.PAS dengan petani baik secara kelompok maupun individu merefleksikan beberapa hal pokok : (1) Perusahaan bergerak dalam ekspor-impor komoditas hortikultura (lobak, gobo, pueleng, dan ubi jalar) dalam bentuk olahan; (2) Produk diekspor ke Jepang dalam bentuk produk setengah dan atau siap saji, dengan standard mutu yang ditentukan oleh pembeli di Jepang; (3) Untuk memperoleh pasokan PT. PAS bermitra dengan 200 petani, baik secara individu (70 %) atau dengan Kelompok Tani (30 %). Keberhasilan perusahaan ini dalam membangun kemitraan usaha adalah pengambilan keputusan berada dalam satu managemen, kemampuannya membangun saling kepercayaan, perekrutan melalui proses sosial dan seleksi yang ketat, serta memiliki segmen pasar yang khusus. Melalui kemitraan tersebut Perusahaan Mitra mampu menyediakan produk utama hortikultura berupa sayuran yang dapat memenuhi jenis, volume, mutu, dan kontinuitas pasokan dengan standar mutu yang telah ditetapkan oleh pembeli dari Jepang.

PT. Selektani merupakan anak Perusahaan Multinasional (PMA) PT. Bibit Baru, melakukan kemitraan dengan petani baik secara individu maupun kelompok : (1) Kerjasama dengan petani untuk budidaya sayuran seperti kentang, kol, cabe, dan tomat; (2) Kerjasama untuk komoditas kentang dilakukan melalui kontrak harga pada saat menjelang panen; dan (3) Untuk kubis, cabe merah dan tomat tidak dilakukan kontrak harga namun melalui negosiasi harga berdasarkan harga pasar; dan (4) Di samping kerjasama dengan petani, perusahaan juga memiliki kebun yang berfungsi sebagai buffer stock. Kelembagaan kemitraan usaha yang dibangun belum menunjukkan kinerja yang baik, karena beberapa faktor kendala seperti larangan impor bibit kentang jenis frenc frize, kontrak harga tidak dilakukan sebelum tanam, dan tidak ada segmen pasar tertentu (industri pengolahan setempat). Salah satu kelemahan kelembagaan kemitraan yang dibangun adalah tidak adanya jaminan pemasaran dan kepastian harga sebelum tanam, sehingga petani tetap menghadapi resiko fluktuasi harga, meskipun harga kentang yang ditetapkan sekitar Rp 200-300 di atas harga pasar.

Pola Kemitraan Usaha Komoditas Sayuran di Jawa Barat

Pola-pola kelembagaan kemitraan usaha komoditas sayuran yang eksis di Jawa Barat, adalah : (1) Pola Dagang Umum komoditas bawang merah, cabe merah, dan kentang; dan (2) Pola kemitraan Pembinaan dan Kredit Bibit antara Perusahaan Indofood Fritolay Makmur dengan Petani baik secara individu maupun kelompok dalam budidaya kentang jenis Atlantik. Secara aktual pelaku yang terlibat dalam kelembagaan kemitraan

Pola Dagang Umum komoditas sayuran yang dikaji di Jawa Barat melibatkan petani, pelaku tataniaga pada berbagai tingkatan, jasa angkutan, lembaga keuangan formal dan informal, dan instansi pemerintah. Petani merupakan pelaku yang memiliki peranan sentral terutama terkait dengan posisi dan perannya dalam memproduksi produk sayuran namun lemah dalam posisi tawarnya. Hal ini terkait dengan ketergantungan pinjaman kepada pedagang dan pola penjualan masih dijumpai pola penjualan sistem ijon.

Pola kemitraan usaha pembinaan dan kredit bibit kentang antara PT. Indofood Fritolay Makmur (PT. IFM) dengan petani telah dikembangkan di beberapa wilayah di Bandung (Pengalengan dan Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat; di Wonosobo (Pegunungan Dieng), Purwokerto, Brebes, Pemalang, Jawa Tengah; Malang, Jawa Timur; dan di Modoinding, Sulawesi Utara; serta Kerinci, Jambi. Pola kerjasama ini merupakan pola kerjasama tertutup antara petani dengan PT. IFM, artinya hanya petani yang menerima bibit dari perusahaan tersebut yang di tampung hasilnya dengan harga kontrak saat penanaman sebesar Rp 3.750,-/kg. Kemitraan usaha ini melibatkan sekitar 80 petani di Garut dan 70 petani di Lembang dan Ciwiday, Kabupaten Bandung.

POLA KELEMBAGAAN, ATURAN MAIN DAN POLA INTERAKSINYA

Pola Kelembagaan, Aturan Main, dan Pola Interaksi di Bali

Pola kelembagaan kemitraan usaha yang dijumpai pada komoditas sayuran di Bali antara lain adalah Pola Dagang Umum yang melibatkan pedagang pengumpul dan pedagang besar kecamatan dengan tujuan pasar tradisional, Kelembagaan kemitraan yang antara kelompok tani atau petani dengan STA yang melibatkan supplier, supermarket, hotel/restoran atau dengan buyer. Aturan main yang ditetapkan antara petani dengan pedagang pengumpul komoditas sayuran biasanya merupakan hubungan langganan, sedangkan aturan main antara supplier dengan restoran dan hotel biasanya melalui kontrak pemasaran dan harga.

Aturan main yag diterapkan pada kemitraan STA komoditas sayuran Bukit Wahana Mertha, Kabupaten Tabanan adalah : (1) STA Bukit Wahana Mertha berkewajiban membeli berbagai jenis sayuran dari petani baik petani kelompok maupun non kelompok, (2) Harga ditetapkan berdasarkan harga yang terjadi di pasar, dan (3) Setiap penjualan petani dikenakan biaya STA sebagai fee, namun besarnya fee tersebut adalah biaya transpot dari STA ke pasar ditambah Rp 100,-/kg penjualan.

Aturan main antara PD Bali dengan petani penggarap pada pola PIR adalah sebagai berikut, PD Bali berkewajiban : (1) Menyediakan lahan, dengan rata-rata 0,25 Ha/KK; (2) Menyediakan sarana produksi (benih, pupuk, dan pestisida); (3) Memberikan bimbingan teknis budidaya dan pengaturan pola tanam yang didasarkan atas permintaan pasar yang berhasil di akses oleh PD Bali; (4) Menampung dan memasarkan hasil menurut tujuan dan segmen pasar (pasar tradisional, supplier, restoran dan hotel. Sementara itu, petani berkewajiban: (1) Melakukan pengaturan pola tanam dan budidaya sesuai bimbingan teknis; (2) Melaporkan jadwal tanam dan panen kepada PD Bali; dan (3) Menyerahkan hasil produksi ke PD. Bali; (4) Dalam kerjasama ini dilakukan kontrak harga dalam periode satu minggu.

Pola interaksi antara pelaku kemitraan usaha komoditas sayuran pada berbagai pola kemitraan usaha agribisnis dilakukan secara personal, atau menggunakan ponsel dan internet. Sistem pembayaran dilakukan secara tunai, bayar secara kredit, giro bilyet, dan transfer bank tergantung kesepakatan yang dibuat antara berbagai pihak yang bermitra.

Pola, Aturan Main, dan Pola Interaksi di Sumatera Utara

Pada pola kemitraan perdagangan umum pada komoditas sayuran terjalin kemitraan usaha antara petani secara individu dengan dengan pedagang input dan pedagang output yang memberikan pinjaman untuk membeli sarana produksi. Hubungan kemitraan diantara kedua belah pihak relatif dapat lebih melembaga dan fleksibel, karena dapat memahami kebutuhan di antara pihak-pihak yang bermitra. Petani sayuran membutuhkan sarana produksi serta pinjaman untuk kebutuhan rumah tangga. Sementara itu pedagang membutuhkan adanya jaminan pasokan untuk mensuplai pedagang pembeli terutama untuk tujuan pasar Riau Daratan, Riau Kepulauan, Medan, Banda Aceh dan beberapa kota lainnya.

Aturan main yang disepakati antara petani dan pedagang biasanya didasarkan atas kepercayaan dan bersifat informal. Keuntungan bagi pedagang di dalam jaringan kemitraan ini adalah terjaminnya volume, kualitas, dan kontinuitas pasokan seperti yang diminta pasar, meskipun persyaratan mutu tidak seketat pada pola kemitraan yang tertutup. Sementara itu, keuntungan bagi petani sayuran adalah adalah jaminan pemasaran dan kemudahan untuk mendapatkan pinjaman. Sistem pembayaran beragam antara lain begitu barang dikirim uang langsung ditransfer, sistem panjar, bayar kemudian atau kredit, dan bahkan kalau belum terjadi kepercayaan penuh, tiga kali pengiriman dibayar sekali. Sistem transaksi terakhir terjadi untuk tujuan pasar Batam.

Aturan main antara PT. Putera Agro Sejati (PT. PAS) dengan petani awalnya dilakukan berdasarkan kepercayaan yang bersifat informal, kontrak kerjasama dilakukan  secara formal dan tertulis, baru dilaksanakan pada tahun 2000. Kewajiban PT. PAS adalah sebagai berikut: (1) Menyediakan bibit yang berkualitas (gobo, pueleng, dan lobak); (2) Menyediakan pupuk untuk usahatani bagi petani yang membutuhkan; (3) Membina/memberikan bimbingan teknis budidaya kepada petani dengan mengacu pada standar kualitas yang ditentukan pembeli di negara tujuan Jepang; (4) Mengangkut hasil dari lahan petani ke PT. PAS, biaya angkutan dipotong pada saat pembayaran; (5) Menampung hasil dengan harga yang telah disepakati melalui sistem kontrak harga; serta (6) Memasarkan hasil dengan tujuan utama pasar Jepang. Hak yang dimiliki PT. PAS di dalam kemitraan tersebut adalah memeproleh jaminan hasil/pasokan bahan baku dengan produk standar dan harga kontrak yang telah disepakati.

Petani sayuran mempunyai kewajiban : (1) Menyediakan lahan usahatani, dapat merupakan lahan milik ataupun sewa; (2) Mengelola usahatani sesuai anjuran karena produk yang dihasilkan harus memenuhi standar kualitas yang telah ditentukan; (3) Menyerahkan hasil sepenuhnya ke perusahaan mitra; dan (4) Mematuhi kontrak harga yang disepakati sebelum penanaman komoditas sayuran; (5) Melaporkan kepada manager produksi dan supervisor lapangan jika terjadi sesuatu masalah dalam usahataninya; (6) Melaporkan ke perusahaan jika akan panen; (7) Membayar ongkos angkut dan rafaksi yang tidak memenuhi standard kualitas yang ditentukan. Hak petani sebagai mitra adalah memperoleh jaminan pasar dengan harga yang telah disepakati bersama.

Kemitraan antara PT. Selektani dengan petani dilakukan melalui sistem pola dagang umum dan sistem kontrak pemasaran. Pola dagang umum berlaku untuk komoditas-komoditas sayuran yang tidak tahan lama, seperti cabe, tomat, dan kubis, sedangkan sistem kontrak pemasaran hanya berlaku untuk komoditas kentang jenis french frize (kentang goreng). Beberapa kewajiban Perusahaan Mitra adalah : (1) Menyediakan bibit berkualitas (impor) kepada petani; (2) Ketika menjelang panen perusahaan datang ke petani memberitahu standard mutu kentang yang dibutuhkan; dan (3) Menampung hasil kentang sesuai harga yang disepakati, biasanya harga pembelian > Rp 200-300,-/kg dari harga pasaran umum. Hak Perusahaan Mitra dalam kemitraan tersebut adalah memeproleh jaminan hasil/pasokan bahan baku pada berbagai kualitas dengan harga kontrak yang telah disepakati. Dalam menjaga kontinuitas pasokan, untuk komoditas kentang dilakukan buffer stock, dengan fasilitas cold storage yang memadai. Komitmen dan kejujuran sangat menentukan keberlanjutan suatu kemitraan usaha.

Petani kentang mempunyai kewajiban : (1) Menyediakan lahan usahatani, dapat merupakan lahan milik ataupun sewa; (2) Mengelola usahatani sesuai anjuran baik dari perusahaan maupun PPL; (3) Menyerahkan hasil kepada Perusahaan Mitra sejauh terjadi kesepakatan harga saat menjelang panen; (4) Melaporkan ke Perusahaan Mitra jika akan panen; dan (5) Semua hasil produksi ditampung dengan harga menurut kualitas. Hak petani sebagai mitra adalah memperoleh jaminan pasar dengan harga yang telah disepakati sebelum panen.

Pola, Aturan Main, dan Pola Interaksi di Jawa Barat

Pola kelembagaan kemitraan usaha komoditas sayuran yang dominan ditemukan di Jawa Barat adalah Pola Dagang Umum. Aturan main pada pola dagang umum antara petani sayuran dengan pedagang umumnya dilakukan melalui kesepakatan informal yang bersifat fleksibel. Ada tiga sistem pembelian, yaitu tebasan, ijon, cash atau tunai, tempo. Harga ditentukan berdasarkan kesepakatan atau tawar menawar, di mana posisi pedagang lebih dominan dibandingkan petani. Cara pembayaran ke petani dan antar pedagang umumnya dilakukan sistem tempo 2-5 hari setelah penyerahan barang.

Sebagian besar petani telah terikat dengan pedagang melalui bentuk ikatan hutang-piutang baik untuk membeli sarana produksi maupun kepentingan rumah tangga lainnya. Petani berhutang pada pedagang dalam bentuk uang tunai, dan akan dibayar dari hasil panen. Pembayaran oleh pedagang kepada petani dilakukan setelah pedagang yang bersangkutan menerima pembayaran dari pedagang di atasnya. Tujuan pasar utama adalah Pasar Induk Kramatjati Jakarta; Caringin, Bandung; Tanah Tinggi, Tangerang; dan Pasar Induk Cibitung, Bekasi, serta ke Cirebon, Jatibarang, dan Pasar Maja.

Beberapa kewajiban PT. Indofood Fritolay makmur adalah : (1) Menyediakan bibit kentang varietas Atlantik dengan kualitas terjamin (berasal dari Scotlandia, Western Australia), dengan harga Rp 9000,-/kg; (2) Menyediakan sarana produksi lain bagi yang memerlukan yang bersifat tidak mengikat; (3) Melakukan pembinaan teknis budidaya dengan pendampingan seorang Agro-Supervisor; dan (4) Menampung hasil dari petani dengan harga dan spesifikasi produk yang telah disepakati. Sementara itu, petani atau kelompok tani berkewajiban : (1) Membeli bibit kentang varietas Atlantik yang disediakan oleh Perusahaan Mitra; (2) Melakukan budidaya kentang Atlantik sesuai anjuran; dan (3) Menjual hasil kepada Perusahaan Mitra, serta (4) Membayar kredit bibit dengan sistem bayar setelah panen dengan cara dipotong pada saat penyerahan barang.

Hak Perusahaan Mitra adalah mendapatkan jaminan produksi atau bahan baku baik dari segi jumlah, kualitas, dan kontinuitas berdasarkan kesepakatan, di mana harga d itetapkan sebelum menanam yaitu sebesar Rp. 3.800,-/kg franko pabrik. Sementara itu, petani Mitra memiliki hak atas jaminan harga dan pasar sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Terdapat sangsi (punishment) jika terjadi pelanggaran atas kesepakatan, misalnya ditemukan penjualan hasil ke luar, maka petani tersebut akan dikeluarkan dari keanggotaan dalam kemitraan usaha.

Pola interaksi dilakukan secara tatap muka terutama pada saat sosialisasi, perencanaan dan melakukan kesepakatan-kesepakatan. Secara teknis dalam perencanaan dan pelaksanaan di lapang peran mediasi agro-supervisor yang ada disetiap lokasi sangat dominan. Komunikasi antar petani ke kelompok serta ke agro-supervisor terutama menyangkut kapan panen, volume produksi, serta harga dilakukan secara intensif melalui media telepon atau handphone. Sistem transaksi dapat dilakukan melalui transfer bank maupun melalui mediasi agro-supervisor, setelah petani melakukan kewajiban membayar kredit.

ANALISIS PERBANDINGAN ANTAR KELEMBAGAAN KEMITRAAN USAHA

Analisis Perbandingan Kinerja Usahatani

Analisis perbandingan akan difokuskan pada kinerja usahatani antar komoditas dan antar wilayah dan kinerja kelembagaan kemitraan usaha antar komoditas dan antar wilayah. Kinerja usahatani komoditas sayuran di daerah sentra produksi dapat ditinjau beberapa indikator berikut: biaya produksi usahatani, tingkat produktivitas, harga jual output, besarnya penerimaan, tingkat keuntungan usahatani, biaya pokok produksi sayuran, R/C ratio yang menggambarkan efektivitas pengembalian modal. Berdasarkan indikator tersebut dapat dilakukan analisis perbandingan antar komoditas dan antar wilayah. Perbandingan kinerja usahatani antar komoditas dan antar wilayah menunjukkan bahwa komoditas bawang merah adalah komoditas yang memiliki kinerja terbaik, dengan tingkat keuntungan tertinggi yaitu sebesar Rp 20,2 juta/ha/musim, kemudian disusul komoditas cabe merah Rp 10,9-16,1 juta/ha/musim, komoditas kentang Rp 8,0-9,4 juta/ha/musim. Sementara itu, komoditas kubis dan lobak secara berturutturut hanya memberikan tingkat keuntungan Rp 5,3 juta dan Rp 3,6 juta/ha/musim.

Untuk komoditas kentang yang diusahakan baik di Bali maupun Sumatera Utara menunjukkan bahwa secara teknis usahatani kentang di Sumatera Utara memiliki tingkat produktivitas yang lebih tinggi (14,2 ton VS 12,7 ton/ha) namun karena harga jual kentang di Bali lebih tinggi daripada Sumatera Utara menyebabkan usahatani kentang di Bali lebih menguntungkan dibandingkan di Sumatera Utara (Rp 9,4 juta vs Rp 8,0 juta/ha/musim). Hal ini antara lain disebabkan tujuan pasar utama kentang asal Tabanan, Bali adalah untuk konsumen institusi (hotel dan restoran) di mana Bali dikenal sebagai kota wisata. Sementara itu, tujuan pasar kentang asal Karo, Sumatera Utara adalah Riau, Batam, Singapura dan Malaaysia yang memerlukan ongkos angkut yang tinggi.

Analisis perbandingan untuk komoditas cabe merah menunjukkan bahwa secara teknis usahatani cabe merah di Bali memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan Sumatera Utara maupun Jawa Barat. Secara berturut-turut tingkat produktivitas usahatani cabe merah di Bali, Sumatera Utara, dan Jawa Barat 8,25 ton, 6,30 ton, dan 5,85 ton/ha/musim. Namun secara ekonomik ternyata kinerja usahatani cabe merah terbaik dijumpai di Sumatera Utara dengan tingkat keuntungan sebesar Rp 16,06 juta, Bali Rp.

Analisis Perbandingan Kinerja Kelembagaan Kemitraan Usaha

Secara umum dapat dipilah menjadi dua pola kelembagaan kemitraan usaha yaitu pola dagang umum dan kelembagaan kemitraan usaha contrac farming dengan berbagai variasinya. Analisis perbandingan akan difokuskan pada keunggulan dan kelemahan dua pola kelembagaan kemitraan usaha tersebut.

Beberapa keunggulan pola dagang umum antara lain adalah : (1) Kelembagaan kemitraan pola ini umumnya lebih fleksibel yang didasarkan atas ikatan-ikatan informal yang tidak mengikat, ikatan langganan, ikatan modal tanpa bunga, serta ikatan sosial lainnya; (2) Umumnya pedagang memiliki jaringan pasar yang luas namun tidak mengikat (pasar tradisional, supplier, dan supermarket); (3) Memiliki fleksibilitas keluar masuk pasar; dan (4) Dapat menampung hasil produksi sayuran pada hampir semua kelas kualitas dengan perbedaan harga pembelian.

Beberapa kelemahan pola ini adalah : (1) Efisiensi dalam pengumpulan hasil rendah karena produksi tersebar; (2) Efisiensi dalam pengangkutan rendah karena seringkali tidak mencapai skala angkut maksimal; (3) Fluktuasi harga tajam karena mengikuti mekanisme pasar sepenuhnya; dan (4) Kurang mendorong petani pada peningkatan kualitas hasil karena sistem pembelian dari pedagang seringkali dilakukan dengan sistem borongan, tebasan, dan ijon, meskipun terdapat juga petani yang memasarkan dengan sistem timbang atau kiloan.

Sementara itu beberapa keunggulan pada pola contrac farming (dalam pelaksanaannya berupa kontrak pemasaran) antara lain adalah: (1) Efisiensi dalam pengumpulan hasil tinggi karena kontrak dilakukan secara berkelompok dalam hamparan tertentu; (2) Efisiensi dalam pengangkutan tinggi karena dapat mencapai skala angkut maksimal; (3) Harga relatif stabil karena ditetapkan dengan sistem kontrak pemasaran di mana harga ditetapkan sebelum tanam; dan (4) Mampu mendorong petani untuk menghasilkan produk berkualitas, karena hanya produk-produk yang memenuhi standar mutu tertentu yang ditampung, produk yang tidak memenuhi standar mutu akan dikenakan rafaksi oleh perusahaan mitra; serta (5) Efektif diterapkan pada komoditas atau produk yang memiliki struktur pasar yang oligopolistik-oligopsonistik, di mana pada sebagian besar komoditas menghadapi kondisi ini.

Beberapa kelemahan pola contrac farming antara lain adalah : (1) Kelembagaan kemitraan pola ini umumnya bersifat rigid karena didasarkan atas ikatan-ikatan formal yang mengikat, dengan sistem insentif dan sangsi (reward and punishment) yang jelas; (2) Biasanya Perusahaan Mitra memiliki jaringan pasar yang bersifat khusus (supermarket, industri pengolahan, restoran dan hotel, serta ekspor) dengan persyaratan standar mutu yang ketat baik yang bersifat fisik, kandungan nutrisi, serta terdapat ketentuan batas maksimal residu pestisida; (3) Tidak adanya fleksibilitas keluar masuk pasar secara bebas, karena sudah terikat kontrak pemasaran; dan (4) Hanya dapat menampung hasil produksi sayuran yang memenuhi standar kualitas yang telah ditentukan oleh ke dua belah pihak; serta (5) Kurang dapat diterapkan pada komoditas atau produk yang memiliki struktur pasar mendekati persaingan sempurna.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

Kelembagaan kemitraan usaha komoditas sayuran yang eksis dan sedang berjalan di daerah sentra produksi sayuran antara lain adalah : Pola Dagang Umum, Pola Kontrak Pemasaran, Pola Inti-Plasma, Pola Pembinaan dan Kredit Bibit, Kerjasama dalam rangka pengembangan STA, dan Kerjasama dalam penyediaan modal KSU, LPD, Credit Union dan lembaga perbankan.

Efektivitas kinerja kelembagaan kemitraan usaha komoditas sayuran sangat ditentukan oleh beberapa hal pokok : (1) Karakteristik komoditas sayuran terutama kemampuan daya simpan; (2) Komitmen antara pihak-pihak yang bermitra; (3) Keterbukaan (tranparancy) antara pihak-pihak yang bermitra terutama dalam hal harga dan pembagian keuntungan; (4) Kemampuan petani mitra dalam menghasilkan produk sayuran yang dapat memenuhi jenis, jumlah, kualitas, dan kontinuitas sesuai permintaan pasar yang dikoordinasikan oleh perusahaan mitra; (5) Kemampuan menembus dan memperluas jaringan pasar oleh perusahaan mitra; dan (6) Kemampuan pendalaman industri pengolahan melalui diversifikasi produk oleh perusahaan mitra.

Perbandingan kinerja usahatani antar komoditas sayuran dan antar wilayah menunjukkan bahwa komoditas bawang merah adalah komoditas yang memiliki kinerja terbaik, dengan tingkat keuntungan tertinggi yaitu sebesar Rp 20,2 juta/ha/musim, kemudian disusul kokoditas cabe merah Rp 10,9-16,1 juta/ha/musim, komoditas kentang Rp 8,0-9,4 juta/ha/musim. Sementara itu, komoditas kubis dan lobak secara berturutturut hanya memberikan tingkat keuntungan Rp 5,3 juta dan Rp 3,6 juta/ha/musim.

Beberapa keunggulan pada pola contrac farming dengan variannya adalah: (1) Memiliki efisiensi yang lebih tinggi baik dalam pengumpulan maupun distribusi dan pemasaran; (2) Harga relatif stabil karena ditetapkan dengan sistem kontrak dan harga ditetapkan sebelum tanam; dan (3) Mampu mendorong petani sayuran untuk menghasilkan produk berkualitas, karena hanya produk-produk yang memenuhi standar mutu tertentu yang ditampung, produk yang tidak memenuhi standar mutu akan dikenakan rafaksi oleh perusahaan mitra; serta (4) Efektif diterapkan pada komoditas atau produk sayuran yang memiliki struktur pasar yang oligopolistik-oligopsonistik, di mana pada sebagian besar komoditas menghadapi kondisi ini.

Beberapa kelemahan pola contrac farming dengan variannya adalah : (1) Kelembagaan kemitraan pola ini umumnya bersifat rigid karena didasarkan atas ikatanikatan formal yang mengikat, dengan sistem insentif dan sangsi (reward and punishment) yang jelas; (2) Biasanya Perusahaan Mitra memiliki jaringan pasar yang bersifat khusus dan bersifat tertutup dengan persyaratan standar mutu yang ketat; (3) Tidak adanya fleksibilitas keluar masuk pasar secara bebas, karena sudah terikat kontrak pemasaran; dan (4) Hanya dapat menampung hasil produksi sayuran yang memenuhi standar kualitas yang telah ditentukan oleh ke dua belah pihak; serta (5) Kurang dapat diterapkan pada komoditas atau produk yang memiliki struktur pasar mendekati persaingan sempurna.

Secara keseluruhan upaya penyempurnaan model kelembagaan kemitraan usaha agribisnis sayuran dapat dilakukan dengan cara: (1) Pembentukan Asosiasi Petani Sayuran guna meningkatkan posisi tawar petani; (2) Pemberdayaan Pelayanan Informasi Pasar (PIP) yang difungsikan sebagai sistem informasi pasar yang handal; (3) Mengefektifkan peran PPL serta adanya koordinasi yang efektif antar instansi dan dinas lain terkait seperti Dinas Pertanian, Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan serta Pariwisata; (4) Mengefektifkan jaringan komunikasi vertikal antara para pelaku agribisnis sayuran sehingga terbangun koordinasi vertikal baik melalui koordinasi harga maupun pelaku; (5) Pembenahan infrastruktur STA baik dari aspek infrstruktur fisik, fasilitas penunjang, penyiapan SDM pengelola, sistem managemen operasionalisasi STA, serta modal awal bagi beroperasinya STA; (6) Pemberdayaan lembaga pembiayaan, terutama baik perbankan maupun kelembagaan pembiayaan mikro dalam mendukung kemitraan usaha sayuran.

Implikasi Kebijakan

Upaya penyempurnaan model kelembagaan kemitraan usaha agribisnis sayuran di lokasi penelitian di Bali dapat dilakukan dengan cara: (1) Pembentukan Asosiasi Petani Sayuran; (2) Pemberdayaan Pelayanan Informasi Pasar (PIP) yang difungsikan sebagai sistem informasi pasar; (3) Mengefektifkan peran PPL dan dinas lain terkait seperti Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan serta Pariwisata; (4) Mengefektifkan jaringan komunikasi vertikal antara para pelaku agribisnis; (5) Pembenahan infrastruktur STA baik dari aspek penyiapan SDM, manajemen profesional, permodalan, teknologi penanganan pasca panen prima; (6) Pemberdayaan lembaga pembiayaan mikro, baik Lembaga Perkreditan Desa, Koperasi Serba Usaha, dan lembaga perbankan yang sederhana-mudah, cepat dan murah untuk di akses.

Dalam rangka penyempurnaan model kelembagaan kemitraan usaha di sentra produksi sayuran di Sumatera Utara diperlukan perbaikan : (1) Diperlukan suatu bentuk kerjasama antara petani, kelompok tani, pengrajin (kotak, keranjang atau pakaging), lembaga tataniaga dalam menghasilkan produk yang memenuhi standard eksport; (2) Diperlukan dukungan lembaga pembiayaan yang bersifat sederhana-mudah, cepat, dan murah; (3) Revitalisasi kelompok tani ke arah kelembagaan yang lebif formal; (4) Diperlukan dukungan dan peran yang lebih aktif dari lembaga atau dinas terkait dalam membangun kemitraan usaha agribisnis sayuran yang saling membutuhkan, saling memperkuat, serta saling menguntungkan; (5) Diperlukan koordinasi antar pelaku agribisnis (kelompok tani atau asosiasi petani, pedagang pengumpul, dan pedagang besar/eksportir) yang bergabung di dalam wadah STA; (6) Diperlukan adanya lapaklapak atau tempat penjualan komoditas sayuran negara tujuan ekspor terutama Singapura; dan (7) Membangun komitmen dan kepercayaan antar pihak-pihak yang bermitra.

Secara singkat berbagai usulan guna penyempurnaan kelembagaan kemitraan usaha hortikultura di Jawa Barat adalah : (1) Peningkatan posisi dan peran petani sayuran sehingga memiliki rebut tawar yang seimbang; (2) Pelaku tataniaga pada berbagai tingkatan melakukan fungsi pemasaran secara efisien dan dilakukan secara terbuka; (3) Lembaga pembiayaan menyediakan modal secara mudah-sederhana, cepat, dan murah; (4) Perusahaan Mitra harus mampu melakukan perluasan pasar dan pendalaman industri; dan (5) Menciptakan kebijakan yang yang kondusif bagi berkembangnya kemitraan usaha sayuran melalui kebijakan regulasi, mediasi, advokasi, dan fasilitasi terutama dalam mempromosikan produk-produk hortikultura promosi ekspor; serta (6) Pola interaksi antar pelaku, terutama antara petani dengan pelaku lainnya, lebih ditekankan pada interaksi yang bersifat langsung, sejauh hal itu memang memungkinkan.

Salah model kemitraan usaha yang layak dikembangkan adalah kelembagaan kemitraan usaha agribisnis terpadu. Implementasinya adalah sebagai berikut : (1) Petani sayuran melakukan konsolidasi dalam wadah kelompok tani; (2) Kelompok tanikelompok tani mandiri dapat ditransformasikan dalam kelembagaan formal berbadan hukum (gaboktan, assosiasi petani, koperasi agribisnis); (3) Kelembagaan-kelembagaan yang telah tergabung tersebut melakukan konsolidasi manajemen usaha pada hamparan lahan yang memenuhi skala usaha yang efisien; (4) Pilihan komoditas dan pola tanam di sesuaikan dengan potensi wilayah dan permintaan pasar; (5) Penerapan manajemen korporasi dalam menjalankan sistem usaha agribisnis sayuran; (6) Pemilihan perusahaan mitra yang memiliki kemauan baik dalam membangun agribisnis sayuran berdayasaing; dan (7) Adanya kelembagaan Pusat Pelayanan dan Konsultasi Agribisnis (PPA) sebagai mediator dan fasilitator terbangunnya kelembagaan kemitraan usaha terpadu.

DAFTAR PUSTAKA

Adiyoga, W. 2000. Perkembangan Ekspor-Impor dan Ketidakstabilan Penerimaan Ekspor Komoditas Sayuran di Indonesia. Jurnal Hortikultura. Vol 10 (1) : 70-81.

BPS. 1997. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia Tahun 1996. SUSENAS. Biro Pusat Statistik, Buku I. Jakarta.

BPS. 2000. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia tahun 1999. SUSENAS. Biro Pusat Statistik, Buku I. Jakarta.

BPS. 2003. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia Tahun 2002. SUSENAS. Biro Pusat Statistik, Buku I. Jakarta.

Budiarto, Joko. Dukungan Teknologi Bagi Pengembangan Hortikultura Tahun 2003. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.

Ditjen Bina Produksi Hortikultura. 1989. Statistik Komoditas Hortikultura. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. Departemen Pertanian. Jakarta.

Ditjen Bina Produksi Hortikultura. 1999. Statistik Komoditas Hortikultura. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. Departemen Pertanian. Jakarta.

Ditjenhort. 2001. Kebijakan Strategi dan Pengembangan Produksi Hortikultura: Rencana Strategis dan Program Kerja Tahun 2001-2004. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. Departemen Pertanian.

Ditjen Bina Produksi Hortikultura. 2002. Statistik Komoditas Hortikultura. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. Departemen Pertanian. Jakarta.

Ditjen Bina Produksi Hortikultura. 2005. Statistik Komoditas Hortikultura. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. Departemen Pertanian. Jakarta.

Marshal, Catherine and Gretchen B. Rossman. 1989. Designing Qualitative Research. Sage Publications, Inc. London.

Pranadji, T., E.L. Hastuti, F. Sulaeman, H. Tarigan. 2000. Perekayasaan Sosio Budaya Dalam Percepatan Transformasi Masyarakat Pedesaan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Poerwanto, R. 2003. Peran Managemen Budidaya Tanaman Dalam Peningkatan Ketersediaan dan Mutu Buah-Buahan (Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Hortikultura, IPB, 13 September 2003). Institut Pertanian Bogor.

Suwandi. 1995. Strategi Pola Kemitraan Dalam Menunjang Agribisnis Bidang Peternakan dalam Industrialisasi Usaha Ternak Rakyat Dalam Menghadapi Tantangan Globalisasi, Prosiding Simposium Nasional Kemitraan Usaha Ternak. Ikatan Sarjana Ilmu-Ilmu Peternakan Indonesia (ISPI) bekerja dengan Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor.

Saptana, Sumaryanto, M. Siregar, H. Mayrowani, I. Sadikin, dan S. Friyatno. 2001. Analisis Keunggulan Kompetitif Komoditas Unggulan Hortikultura. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.

Saptana, M. Siregar, Sri Wahyuni, Saktyanu K. D., E. Ariningsih dan V. Darwis. 2004. Pemantapan Model Pengembangan Kawasan Agribisnis Sayuran Sumatera (KASS). Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.

Zelditch, Morris. 1979. Some Methodological of Field Studies dalam John Bynner and Keith M. Stribley (Eds.). Social Research : principle and Procedures. Longman in association with the Open University Press. New York.

1 Comment »

  1. ada bahan tentang analisis kelembagaan pangan

    Comment by kampaiputraeka — July 15, 2011 @ 6:54 am


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.