Kelembagaan DAS

Sri Wahyuni

Integrasi Kelembagaan di Tingkat Petani: Optimalisasi Kinerja Pembangunan Pertanian

Oleh : Sri Wahyuni

Peneliti Utama pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Dimuat dalam tabloid Sinar Tani, 10 Juni 2009

Petani adalah warga Indonesia beserta keluarganya yang mengelola usaha di bidang pertanian, wanatani, minatani, agropasture, penangkaran satwa dan tumbuhan di dalam dan di sekitar hutan yang meliputi usaha hulu, usaha tani, agroindustri, pemasaran dan jasa penunjang (Peraturan Menteri Pertanian No: 273/Kpts/OT.160/4/2007). Agar petani memiliki wadah untuk belajar, mengajar, bekerjasama antar petani maupun kelompok lain serta mencapai usaha skala ekonomi diwajibkan membentuk kelompok tani. Kelompok tani adalah kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kondisi lingkungan (sosial-ekonomi–sumberdaya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota.

Usahatani tidak terlepas dari ketersediaan air, terlebih pada usahatani di wilayah irigasi karena mereka harus berurusan dengan petani lain untuk memperoleh air. Setiap petani pemakai air, menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 20 Tahun 2006 tentang irigasi pasal 10 ayat 1 wajib membentuk “Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A)”. Diperjelas dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 32/PRT/M/2007 tentang Pedoman Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi, P3A adalah kelembagaan pengelolaan irigasi yang menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu daerah layanan/petak tersier atau desa yang dibentuk secara demokratis oleh petani pemakai air termasuk lembaga lokal pengelola irigasi. Peraturan ini secara implisit memberikan kesan bahwa batas kesamaan sumberdaya alam dalam definisi kelompok tani dibatasi oleh daerah layanan irigasi dan bahwa ketersediaan air bukan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan usahatani. Di samping itu menjadikan seorang individu petani menjadi dua anggota kelembagaan untuk satu kegiatan usahatani. Kewajiban ini semakin merepotkan petani yang berada dalam wilayah administrasi yang berbeda dengan daerah layanan air.

Di samping sebagai anggota kelompok tani dan P3A petani adalah anggota masyarakat dalam wadah RT/RW berikut kelompok sosial lainnya, minimal sebagai anggota suatu kegiatan keagamaan. Fakta lain petani di Indonesia yang umumnya memiliki modal rendah membuat mereka berhubungan dengan lembaga ”keuangan” di tingkat desa mulai dari yang nonformal seperti rentenir maupun yang formal seperti koperasi untuk memperoleh modal. Maka seorang individu petani di suatu lokasi minimal tergabung dalam 5 kelembagaan (RT/RW/Dusun, kelompok keagamaan, kelompok tani, P3A dan koperasi). Kelembagaan tersebut berada dibawah tanggungjawab instansi pemerintah yang berbeda-beda, minimal sebanyak lima bidang dari 31 bidang urusan pemerintah. Kondisi ini cukup memprihatinkan dan ternyata tidak terlepas dari perhatian seorang pakar dari Badan Litbang Deptan sehingga dalam orasi ilmiahnya (Profesor Efendi Pasandaran, 2005) menekankan bahwa salah satu agenda kebijakan pemerintah yang penting adalah “perubahan mendasar dalam tatanan pemerintah terkait pengaturan air dalam lingkup politik, sosial ekonomi dan administrasi”. Ditegaskan pula bahwa dalam penataan perlu memperhatikan keterpaduan peran antara berbagai pelaku dan pemangku kepentingan dan memperhatikan keserasian berbagai keputusan yang dibuat pada berbagai jenjang mulai tingkat lokal sampai nasional.

Integrasi Optimalkan Kinerja Pembangunan Pertanian

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 38 Tahun 2007 Tanggal 9 Juli tentang pembagian urusan pemerintahan menyatakan jika selama ini sektor pertanian hanya menangani kelembagaan kelompok tani, menjadi juga bertanggung jawab dalam membina kelembagaan petani pemakai air. Sebelum ada peraturan tersebut pembinaan sumberdaya petani dan kelembagaan petani dilakukan oleh tiga sektor. Departemen Pertanian pada Kelembagaan kelompoktani/Gapoktan, Departemen PU pada GP3A/IP3A dan Departemen Dalam Negeri pada P3A. Tanggal 25 April 2008 peraturan baru tersebut ditindaklanjuti oleh BAPPENAS bersama instansi terkait dan menghasilkan Pembagian Peran (“Role Sharing”) antara NPIU, PPIU, dan KPIU (Irigasi/SDA, Bangda/BAPPEDA, dan Pertanian) yang mulai berlaku pada AWP 2009.

Kelembagaan di tingkat pusat telah “membenahi” diri dan menentukan pembagian peran tanpa membuat suatu kelembagaan baru maka di tingkat petani juga perlu dilakukan “pembenahan” kelembagaan. Membenahi jelas bukan menciptakan sesuatu yang baru melainkan menata kelembagaan yang sudah ada agar menjadi lebih baik, dengan meletakkan pada tempat dan fungsi yang tepat dapat memberikan manfaat optimal. Pembenahan yang perlu dilakukan di tingkat petani adalah dengan mengintegrasikan kelompok tani dan P3A. Integrasi, to make part in to a whole, dengan kata kunci : combine, merge, amalgamate, unite, bring a member in to a community on terms equal to other member. Equity dalam integrasi kelompok tani dan P3A lebih mudah dilaksanakan dan dicapai karena anggota kedua kelembagaan adalah individu yang sama.

Dari sudut jangkauan wilayah, Gapoktan dan IP3A jelas lebih luas dibanding kelompok tani dan P3A sedangkan Gapoktan lebih sempit dibanding IP3A karena Gapoktan berada pada level kecamatan sedangkan IP3A bahkan bisa satu wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) sehingga untuk batas wilayah yurisdiksi suatu kelembagaan Gapoktan lebih tepat dibanding IP3A. Dari aspek peran, P3A utamanya mengelola air sedangkan Gapoktan memiliki multi peran yaitu: I)sebagai lembaga sentral yang .terbangun dan strategis yang diharapkan mampu menangani seluruh basis aktifitas kelembagaan petani. 2) Meningkatkan ketahanan pangan melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat yang partisipatif dan 3) Sebagai Lembaga Usaha Ekonomi Desa (LUEP). Maka mengintegrasikan P3A ke dalam kelembagaan Gapoktan dianggap efektif. Peran-peran yang diharapkan dari pemerintah hendaknya diaktualisasikan dalam sub-bagian/seksi/devisi dalam struktur keorganisasian Gapoktan di mana P3A/GP3A merupakan salah satu sub-bagian/seksi/devisi yang ada. Selanjutnya kelembagaan integrasi baru ini disosialisasikan secara intensif sinergi dengan usaha memperkuat Gapoktan yang terus dilakukan pemerintah yang dalam tahun 2009 ditargetkan menjadi 66.000 unit dari 22.000 unit pada tahun 2007. Strategi ini akan mengoptimalkan kinerja pembagunan pertanian karena kegiatan lebih terfokus sehingga energi dan fasilitas pembangunan lebih terarah pemanfaatannya, hasilnyapun lebih cepat dicapai.

Strategi tersebut terkesan “top down”, namun pendekatan “top down” masih diperlukan masyarakat Indonesia dan perlu diingat tidak semua pendekatan “top down” memberikan hasil kurang bagus. Sebagai contoh, dari 13 program peningkatan produksi padi sejak padi Sentra Tahun 1958 sampai P3T tahun 2003, program INSUS yang bersifat “top down” ditunjang dengan kekuatan aktual mewujudkan kerjasama kelompok tani sehamparan dan efisiensi skala usaha 600-1.000 ha mampu mewujudkan swasembada beras.

Demikian juga Metode Sekolah Lapangan Pemberantasan Hama Terpadu (SLPHT) dan Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Kunci keberhasilan (success story) kelembagaan yang disebutkan intinya adalah adanya trust, interdependency dan musyawarah yang dipimpin oleh seorang yang memiliki leadership dan orientasi bisnis yang kuat.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.