Kelembagaan DAS

A Prasetyantoko

Privatisasi dalam Agenda Kelembagaan

Oleh A Prasetyantoko

Sumber: Kompas; 11 Juli 2003

BANYAK pihak mengakui, program penjualan saham PT Bank Mandiri cukup memuaskan. Tak sia-sia baliho yang dipasang di hampir semua sudut Kota Jakarta guna menarik minat para investor secara luas.

Dan, belajar dari kisah sukses ini, PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) kini tengah bersiap menjual sahamnya di pasar penawaran perdana (initial public offering/IPO). Privatisasi saham pemerintah sebesar 30 persen di BRI ditargetkan akan memasok penghasilan tak kurang dari Rp 2 triliun-Rp 3 triliun. Dibanding IPO Bank Mandiri, tampaknya kasus BRI akan lebih sederhana karena tidak dihinggapi persoalan keuangan. Apalagi dari sisi keuntungan (profitability) dan tingkat pengembalian investasi (return on investment) bisa dikatakan, BRI tidak mengalami masalah.

Tampaknya, privatisasi akan menjadi momentum penting bagi BUMN-BUMN di Indonesia. Berkaitan dengan kepemilikan saham pemerintah pada bank-bank rekap, kisah sukses sudah dialami PT Bank Central Asia (BCA) yang dinilai amat berhasil dalam privatisasi. Demikian juga dengan kasus PT Telkom dan PT Semen Gresik yang sudah diprivatisasi lebih dahulu. Terhadap sederet kisah sukses itu, tetap saja muncul sebuah pertanyaan besar, apakah privatisasi adalah jawaban dari persoalan ekonomi kita, baik secara makro maupun mikro?

Dalam konteks mikro, pertanyaan yang patut diajukan, apakah privatisasi selalu berbanding lurus dengan penerapan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG)? Jawaban atas pertanyaan ini menjadi penting karena privatisasi akan menjadi tonggak sejarah peradaban BUMN di Indonesia.

Satu perkembangan yang juga menarik dicermati adalah, di tengah gelombang privatisasi itu bermunculan juga kasus-kasus yang meski relatif ringan, tetapi menunjukkan secara agak transparan diabaikannya prinsip-prinsip GCG. Baru-baru ini, Securities Exchange Commission (SEC) menghentikan sementara (suspends) perdagangan saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) di bursa New York Stock Exchange dengan alasan laporan keuangannya tidak memenuhi standar yang sudah ditetapkan.

Ini adalah konsekuensi logis dari perusahaan yang mencatatkan diri di dua atau lebih (dual listed) bursa global (Bursa Efek Jakarta dan New York Stock Exchange). Meski tidak ada kesalahan signifikan dari pihak manajemen, kejadian ini bisa menjadi catatan penting, betapa gagapnya perusahaan-perusahaan publik kita saat harus mengikuti kaidah global.

Hal lain yang menunjukkan terabaikannya prinsip GCG tersirat dari opini disclaimer terhadap laporan keuangan PT Semen Gresik Tbk. Apa pun alasannya, kejadian ini memberi kesan belum mantapnya bangunan kelembagaan dari perusahaan-perusahaan publik di Indonesia. Jadi, apakah privatisasi telah dan akan berhasil membuat perusahaan-perusahaan publik di Indonesia semakin transparan, bisa dipercaya, dan dipertanggungjawabkan?

Esensi privatisasi

Pada dasarnya, privatisasi adalah pengalihan kepemilikan modal dari tangan pemerintah kepada swasta. Di balik pengalihan ini, hal yang lebih esensial adalah bergesernya sistem pengelolaan (governance systems) yang tadinya berorientasi pada kepentingan pemerintah lewat birokrasinya, kini beralih pada investor swasta melalui kaidah pasar.

Secara keorganisasian, pergeseran ini juga dengan sendirinya akan diikuti dengan perubahan fungsi kontrol yang tadinya bertumpu pada kekuasaan (bureaucratic control) menuju pada kontrol yang dilakukan oleh pasar (market control). Dalam kontrol yang bersifat kekuasaan, mekanisme penggunaan modal cenderung tidak berorientasi pada prinsip efisiensi, melainkan melayani para kelompok kepentingan yang tengah berkuasa. Sebaliknya, kontrol yang dilakukan oleh pasar akan mendorong agar mekanisme penggunaan modal dilakukan berdasarkan pilihan-pilihan yang menjamin perolehan keuntungan yang paling maksimal.

Mana yang lebih baik? Dengan melihat perbedaan di atas, serta-merta kita akan tergoda untuk mengatakan bahwa kontrol yang dilakukan oleh pasar pasti lebih baik. Dengan kata lain, menggeser kepemilikan dari pemerintah kepada swasta (privatisasi) adalah satu-satunya pilihan yang paling benar (one best way). Model kepercayaan seperti ini lazim dipahami kalangan neoliberal. Dalil utama faham ini adalah satu-satunya jalan terbaik, yaitu membiarkan pasar bekerja secara alamiah (let market do), tanpa intervensi dari siapa pun.

Tentu saja, di negara-negara yang menganut sistem negara kesejahteraan (welfare-state), dalil neoliberal yang mengetengahkan fungsi pasar ini tidak dipercayai sepenuhnya. Negaralah yang harusnya mengurusi keperluan publik, bukan swasta. Meskipun demikian, harus diakui bahwa model negara kesejahteraan ini berangsur kehilangan legitimasi, manakala banyak negara kolaps dalam usaha membiayai anggaran yang terus membengkak. Tak urung, hukum pasarlah yang menang. Tetapi, benarkah privatisasi adalah satu-satunya obat yang paling mujarab?

Di hampir semua negara dunia ketiga, krisis ekonomi selalu diikuti oleh gelombang privatisasi. Sebut saja, negara-negara di Amerika Latin, Eropa Timur, dan kini negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Privatisasi telah dianggap sebagai mantra utama bagi usaha pemulihan ekonomi. Dan, memang begitulah faktanya.

Di Indonesia, setelah sektor perbankan runtuh serta sektor korporasi lumpuh, pemerintah mengambil alih aset-aset tersebut sebelum akhirnya menjual kembali kepada publik melalui program privatisasi dan divestasi. Paling kurang bisa disebut dua alasan utama proyek kebijakan ini, selain bahwa secara alamiah perusahaan-perusahaan tersebut harus segera digerakkan kembali dengan suntikan modal baru dari para investor sehingga mampu menggerakkan siklus bisnis (business cycle). Pertama, akibat tertekannya anggaran pemerintah proyek privatisasi diharapkan mampu memasok dana segar untuk menambal defisit anggaran (APBN). Kedua, privatisasi bertujuan menginisiasi penerapan prinsip GCG dalam korporasi sehingga kelangsungan hidup perusahaan akan jauh lebih baik.

Secara singkat, program privatisasi bisa diperas demi kepentingan dua hal utama, yaitu kelangsungan hidup anggaran pemerintah (government sustainability) serta kelangsungan hidup perusahaan itu sendiri (corporate sustainability). Dengan demikian, target kebijakan privatisasi mencakup kepentingan yang sangat luas, berkaitan dengan pertimbangan makro-ekonomi dan kepentingan sempit, berkaitan dengan masing-masing individu perusahaan. Lalu, di manakah kaitannya?

Struktur industri

Kaitan yang segera bisa ditangkap adalah bahwa tata kelola perusahaan yang baik (micro governance) tidak mungkin terjadi dalam sistem kelembagaan perekonomian yang carut-marut (macro-governance). Di antara dua kutub ini, tak bisa ditolak adanya hubungan yang erat dan saling mempengaruhi.

Pola relasi yang baik antara pihak pemegang saham (shareholder), manajemen, dan dewan pengawas akan menentukan baik buruknya kinerja masing- masing korporasi. Sementara kumpulan korporasi yang berkinerja baik akan membentuk struktur industri yang kuat. Dan, jika struktur industrinya kuat, maka fundamental ekonomi akan kokoh dalam menghadapi berbagai macam goncangan.

Antara korporasi, struktur industri, dan stabilitas makro-ekonomi terjadi hubungan yang saling mempengaruhi satu sama lain. Michael Porter (1986) mengajukan proposisi tentang fondasi ekonomi mikro (microeconomic fondations) dalam pencapaian stabilitas ekonomi dan tingkat kemakmuran suatu negara. Tanpa ada fondasi mikro-ekonomi yang kuat, stabilitas makro-ekonomi tidak mungkin tercapai. Dan, tampaknya inilah agenda utama kita dalam meneruskan proyek privatisasi serta pemulihan ekonomi pada umumnya, yaitu membangun sebuah sistem kelembagaan yang kuat, baik di tingkat mikro maupun makro.

Kecenderungan yang agak merisaukan adalah bahwa privatisasi cenderung digunakan sebagai sapi perah untuk menutup defisit anggaran pemerintah. Bahkan, yang jauh lebih menyedihkan, penjualan aset negara ini berada dalam bahaya jika digunakan untuk mengisi keuangan partai politik guna menghadapi Pemilu 2004.

Membangun infrastruktur mikro-makro memang sama sekali bukan hal yang mudah. Bahkan, di AS sekalipun, tetap saja banyak pemegang saham dan anggota dewan (pelaksana dan pengawas) yang diam-diam memiliki hubungan bisnis dengan perusahaan publik sehingga sangat rentan terhadap praktik insider trading. Dengan demikian, tampaknya kita perlu waspada atas peringatan yang diberikan oleh John Egan (Pengacara McDermott Will & Emery) di Boston sebagaimana dikutip Fortune (2/6/2003), “A lot of public companies were public in name only.”

A Prasetyantoko Analis Kebijakan dari Center for Financial Policy Studies (CFPS), Jakarta

Kegagalan Institusi

Oleh: A Prasetyantoko

Sumber: Kompas, 05 Mei 04

PEMILU presiden 5 Juli nanti terjadi dalam situasi penuh kontradiksi. Di sektor ekonomi, sementara pemerintah melalui BKPM giat mengundang investor asing, di dalam negeri terjadi “penganiayaan” terhadap Prudential Life Assurance, sebuah anak perusahaan jasa keuangan yang berbasis di Inggris.

Masih di sektor mikro-ekonomi, setelah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dibubarkan, ada juga bank yang dilikuidasi, yaitu Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali.

Dalam konteks lain, kontradiksi juga terjadi pada dunia perbankan sehubungan rencana merger beberapa bank. Bank Pikko, Bank CIC, dan Danpac, meski sudah sejak tahun 2001 berancang-ancang melakukan merger, hingga kini masih belum terlaksana. Sementara rencana merger BNI dan Bank Permata ditolak perusahaan pengelola aset (PPA) dengan alasan tidak memberi hasil maksimal.

Kontradiksi juga terus terjadi di sektor makro-ekonomi. Meski indeks harga saham gabungan (IHSG) menembus angka 810 poin, sekaligus mengukir prestasi tertinggi dalam sejarah pasar modal di Indonesia, sektor riil masih sekarat. Penganggur bertumpuk (10 juta penganggur terbuka dan 30 juta setengah menganggur), investasi asing enggan masuk, sementara pabrik yang sudah ada memilih tutup, pergi ke tempat lain. Gejala deindustrialisasi tidak terelakkan.

Dalam konteks politik, meski proses Pemilu 2004 cukup demokratis, hasilnya memunculkan figur-figur militer yang kesannya antidemokrasi. Dari hasil survei beberapa lembaga, termasuk Lembaga Penelitian Atma Jaya (LPA), diketahui, para pelaku bisnis amat mengharapkan pemerintahan mendatang lebih tegas dalam menegakkan kepastian hukum. Demokrasi dan stabilitas sering dipertentangkan sebagai sebuah kontradiksi, sementara penegakan hukum menjadi sumber kontradiksi yang lain lagi.

Institusi

Perginya investor asing sering dijadikan alasan untuk menekan buruh, sementara persoalannya justru terletak pada kepastian hukum yang tidak ada. Dulu pernah muncul kasus Manulife yang secara ekonomi sehat, tetapi bisa dipailitkan. Kini kejadian serupa menimpa Prudential Life Assurance. Di manakah letak regulasi dengan prinsip keadilannya?

Lemahnya kepastian hukum menjadi salah satu masalah yang membuat daya saing ekonomi terus merosot. Dalam situasi seperti ini, sulit mengharapkan investor asing datang. Apalagi negara lain seperti China, Brasil, dan India jauh lebih kondusif. Pada tahun 2000, China berhasil menarik investasi asing 40 miliar dollar AS, Brasil kurang lebih 33,5 miliar dollar AS, dan India 2,3 miliar dollar AS. Pada periode itu penerimaan investasi asing ke Indonesia masih negatif.

Otonomi daerah yang memberi peran besar kepada pemerintah daerah justru mengakibatkan tidak efisiennya birokrasi. Baru-baru ini Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menarik kembali prosedur perizinan investasi di bawah satu atap karena delegasi pemberian izin ke daerah justru berakibat kontraproduktif. Mengapa dalam semua hal seakan terjadi kemacetan (bottle neck)?

Apabila disederhanakan, kita sedang mengalami kegagalan institusi (institution failure) yang parah. Krisis yang dalam dan lama telah menunjukkan, selama ini kita tidak pernah memiliki bangunan kelembagaan yang kuat dalam semua hal, termasuk ekonomi. Padahal, institusi adalah fondasi mekanisme kerja pasar. Apa yang dimaksud institusi?

Pemenang Nobel Ekonomi, Douglass C North, menjelaskan pentingnya perspektif sejarah dalam ilmu ekonomi. Dari sejarah, kita akan tahu bagaimana kinerja ekonomi dari waktu ke waktu. Dimensi historis adalah pintu masuk untuk memahami dinamika ekonomi dalam “ruang” dan “waktu” yang lebih material. Argumen itu tertuang dalam artikel “Economic Performance Through Time”, dimuat The American Economic Review (1994), sekaligus naskah pidatonya ketika menerima hadiah nobel tahun 1993.

Ekonomi bukanlah perkara menafsirkan mekanisme pasar yang sedang terjadi, tetapi menganalisis bagaimana mekanisme pasar terbentuk dalam ruang dan waktu yang panjang (time-series). Bagaimanapun mekanisme pasar bukan interaksi bebas antara sisi penawaran dan sisi permintaan semata, tetapi sebuah mekanisme yang diatur (governed) oleh aturan main, hukum, dan konstitusi sebagai perangkat keras (hard-side), dan juga norma, perilaku, konvensi, serta ukuran kepantasan sebagai perangkat lunak (soft-side). Demikian gagasan pemikiran institusionalisme ekonomi ini lalu berkembang menjadi salah satu mazhab yang diperhitungkan.

Berangkat dari asumsi ini, kita bisa menganalisis proses restrukturisasi ekonomi, baik pada level makro maupun mikro. Kegagalan institusi mengakibatkan tidak berfungsinya mekanisme pasar dengan baik dan tidak berkembangnya unit produksi serta struktur industri yang kuat. Dengan kata lain, secara makro- ekonomi terlalu banyak distorsi, sementara secara mikro-ekonomi terlalu banyak kelemahan. Akibatnya, ekonomi mencapai titik jenuh dan akhirnya meluncur tajam menuju krisis yang dalam (deep crisis).

Jalan panjang

Sekaratnya negeri secara berlarut-larut menunjukkan tidak adanya bangunan kelembagaan cukup kuat untuk menopang dinamika ekonomi dan sosial kita selama ini. Bandingkan dengan Korea Selatan, Thailand, dan Malaysia yang secara relatif cepat mampu mengatasi krisis.

Dalam situasi seperti ini, sebenarnya kita sedang membutuhkan proses restrukturisasi yang terarah dalam rangka membangun kelembagaan yang baru. Dalam terminologi ekonomi, semestinya restrukturisasi ekonomi menghasilkan titik keseimbangan (general equillibrium) yang baru. Dalam konteks mikro, kita sedang membutuhkan perombakan yang mengarah perbaikan (creative destruction), sebagaimana dikatakan Joseph Schumpeter, seorang ekonom institusionalis asal Austria.

Manifestasi lemahnya institusi pasar di negeri kita amat kasatmata, seperti dalam tingginya peringkat korupsi di kawasan Asia serta penerapan good corporate governance yang amat buruk. Dalam kerangka kelembagaan yang buruk, apa pun kebijakan yang diambil cenderung memberi kesan negatif.

Privatisasi perusahaan negara (BUMN) dan divestasi perusahaan swasta pada dasarnya bukan ide buruk. Tetapi ketika keduanya dijalankan tanpa dukungan institusi yang baik, carut-marutnya begitu terasa. BPPN sebenarnya bukan lembaga yang jelek, tetapi ketika berjalan tanpa institusionalisasi yang baik, dampak negatifnya amat kasatmata.

Pada dasarnya, krisis itu sendiri adalah konsekuensi paling nyata dari kegagalan institusi membangun kerangka institusional bagi dinamika pasar. Restrukturisasi korporasi, likuidasi, merger, dan akuisisi serta privatisasi adalah bagian dari penyesuaian institusional dari unit-unit produksi mikro-ekonomi. Parahnya gejala restrukturisasi mikro menunjukkan betapa korporasi telah tumbuh tanpa institusi.

Contoh amat baik terjadi pada sektor perbankan. Saat deregulasi dilakukan tahun 1988 hanya ada 111 bank, tetapi tahun 1996 sudah ada 240 bank. Setelah terjadi krisis dan dilakukan restrukturisasi perbankan, yang tersisa 133 bank. Betapa liberalisasi tanpa aturan telah mengakibatkan kerusakan amat parah. Dalam sektor perburuhan, kini ada dilema amat besar antara liberalisasi pasar tenaga kerja dan perlindungan pada buruh. Dilema ini terjadi karena selama ini pasar tenaga kerja selalu dijadikan dasar strategi industri yang berbasis buruh murah.

Akhirnya, proses pencapaian keseimbangan baru yang ditandai dengan berbagai restrukturisasi dalam segala bidang ini membutuhkan kelembagaan yang kuat sebagai penopangnya. Dalam konteks inilah presiden baru nanti diharapkan memiliki visi yang jelas dalam rangka membawa negeri ini keluar dari krisis dengan bangunan kelembagaan baru. Sayang, sampai sekarang kita belum menemukan figur ideal itu.

A Prasetyantoko Pengajar di Universitas Atma Jaya, Jakarta

URL Source: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0405/05/opini/1002111.htm

Kemiskinan dan Kualitas Kelembagaan

A Prasetyantoko Mahasiswa Doktoral Departemen Ekonomi Ecole Normale Supérieure (ENS) de Lyon, Perancis

KOMPAS, Selasa, 26 April 2005

POTRET kemiskinan sudah sangat mengerikan bukan saja dilihat dari segi angka. Realitas keseharian kita telah menjadi saksi betapa implikasi dari tingkat kemiskinan yang tinggi sudah sangat mengkhawatirkan kita semua.

Bayangkan saja, hutan kecil di tengah Kampus Universitas Indonesia, Depok, sudah beberapa kali menjadi saksi usaha perampokan yang disertai dengan pembunuhan terhadap mahasiswa. Kalau mahasiswa saja sudah menjadi target perampokan, bisa dibayangkan betapa kejahatan sudah sangat dekat dengan kehidupan keseharian siapa pun yang tinggal di negeri ini.

Tidak perlu model ekonometri dan teori ekonomi yang rumit untuk menghubungkan realitas kemiskinan dengan tingkat kejahatan. Keterimpitan kebutuhan hidup sehari-hari bisa memicu tindak kriminalitas yang meluas. Bagi penganut ekonomi “aliran utama” (mainstream), berbicara tanpa data beserta metode penghitungan kuantitatifnya sering didakwa sebagai sebuah retorika belaka. Padahal, pengamatan kualitatif sama pentingnya dengan pemahaman kuantitatif. Apalagi jika menyangkut kualitas kelembagaan: konteks di mana transaksi ekonomi yang bisa diukur lewat angka- angka itu terjadi.

Kemiskinan yang merajalela sangat terkait dengan kualitas kelembagaan ekonomi kita sehingga untuk mengatasi kemiskinan tidak bisa sekadar memberi subsidi. Kualitas kelembagaan itu sendiri harus diperbaiki.

Korupsi

Dalam sebuah wawancara dengan jaringan televisi BBC-London, Jeffrey D Sachs, ekonom lulusan Universitas Harvard yang kini menjadi Direktur Earth Institute-Universitas Columbia, menunjukkan betapa korupsi di Asia sudah menjadi penghalang penting bagi penanggulangan kemiskinan. Sama dengan kemiskinan, korupsi harus ditanggulangi dengan cara-cara yang tidak biasa.

Gagasannya tentang penanggulangan kemiskinan dunia tertuang dalam buku terbarunya The End of Poverty : Economic Possibilities for Our Time. Sebagai ekonom, gaya berpikirnya tidak konvensional (heterodox). Penasihat khusus Sekjen PBB Kofi Annan ini bertanggung jawab atas program penanggulangan kemiskinan dunia yang tertuang dalam Millennium Development Goals (MDGs).

Presiden Yudhoyono mengusulkan kepada Kofi Annan untuk mengajak serta Jeffrey D Sachs menghadiri Konferensi Asia-Afrika. Dan secara khusus Presiden ingin mendengarkan gagasan-gagasannya dalam rangka mengatasi kemiskinan di Indonesia. Tentu saja, gagasannya mengenai penanggulangan kemiskinan (dan korupsi) sangat relevan dengan kehidupan kita dewasa ini.

Kita sedih dan gembira mendengar penangkapan Mulyana W Kusumah dalam rangka pengungkapan korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sedih karena bahkan orang-orang yang kita kira akan mendorong perubahan ke arah yang lebih baik akhirnya terjebak pula dalam lumpur korupsi. Gembira karena sudah mulai terasa usaha untuk memerangi korupsi dengan cara tidak biasa. Kita terus menunggu langkah-langkah “tidak biasa” lainnya untuk memecahkan masalah korupsi dan kemiskinan yang sudah kian merajalela ini.

Korupsi telah membuat kualitas kelembagaan ekonomi kita menjadi demikian buruknya. Untuk kesekian kalinya, Country Director Bank Dunia Andrew Steer mengingatkan iklim investasi di Indonesia masih terhambat masalah korupsi dan birokrasi yang rumit. Misalnya, guna menembus kebijakan birokrasi di Indonesia dibutuhkan biaya melampaui 20 persen total penjualan. Sementara untuk memulai bisnis di Jakarta dibutuhkan waktu penyiapan administrasi tak kurang dari 150 hari.

Akibatnya, satu per satu industri pergi meninggalkan ladang investasi di negeri ini sehingga angka pengangguran pun semakin sulit diatasi. Beban pemerintah memerangi kemiskinan dan pengangguran teramat berat. Dari target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1 persen di tahun 2005, masih tersisa tak kurang dari 8,9 persen angka pengangguran.

Padahal, sebagaimana ditekankan oleh Prof Mubyarto, pengangguran sama sekali tidak mereprentasikan kemiskinan. Jika pengangguran didefinisikan sebagai orang yang tidak mampu memiliki pekerjaan secara formal, banyak orang yang bahkan tidak bisa masuk dalam kategori penganggur karena hidupnya berada di sektor informal. Di tahun 2005 diperkirakan jumlah penduduk yang taraf hidupnya di bawah garis kemiskinan, menurut ukuran Bank Dunia (2 dollar AS/hari), masih sebesar 49,5 persen.

Dalam rumus ekonomi, satu-satunya cara menanggulangi pengangguran (dan kemiskinan) adalah dengan menaikkan pertumbuhan ekonomi. Padahal, anggaran pemerintah (APBN) sudah tidak mampu lagi mendorong pertumbuhan ekonomi. Sementara sektor swasta masih belum bergerak maksimal. Usaha pemerintah mendorong pembangunan infrastruktur, yang diharapkan mampu mendorong bergeraknya sektor swasta, masih mengalami kendala pendanaan.

Untuk menopang tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, Bank Dunia mengusulkan diversifikasi sektor finansial dengan menekankan peran lembaga keuangan bukan bank, seperti asuransi, dana pensiun, dan reksa dana. Namun, untuk mewujudkannya diperlukan sebuah lembaga pasar modal yang kuat sehingga tidak justru menambah risiko terjadinya kerawanan keuangan (financial fragility) di masa depan.

Tanpa penguatan kelembagaan, segala macam target dan perhitungan kuantitatif ekonomi hanya akan mengantar kita pada siklus naik turunnya dinamika ekonomi (boom-bust cycle) yang sangat mungkin berakhir pada krisis ekonomi.

Institusi dan organisasi

Pendekatan institusional dalam ekonomi, salah satunya dipelopori oleh Douglass C North dalam bukunya Institutions, Institutional Change and Economic Performance (Cambridge University Press). Dia membedakan institusi, organisasi, dan aktor ekonomi dalam membahas perubahan kelembagaan dalam ekonomi. Institusi merupakan konteks (landasan) di mana organisasi bekerja: dia menyangkut aturan yang tampak (hukum) dan yang mengakar (norma).

Dalam organisasi para aktor berinteraksi dengan dibatasi oleh aturan hukum dan norma. Interaksi ketiganya (institusi, organisasi, dan aktor ekonomi) akan menentukan kualitas kinerja ekonomi.

Konkretnya, memenuhi target pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak bisa hanya dengan mengutak-atik indikator makro-ekonomi. Selain harus merancang aturan formal yang memadai, kebijakan pemerintah juga harus memengaruhi tindakan para aktor ekonomi. Korupsi yang masih terus terjadi merupakan bukti, kebijakan pemerintah masih berhenti pada formalitas aturan dan belum sampai memengaruhi tindakan para aktor ekonomi. Hukuman berat bagi para koruptor, termasuk para menteri yang terlibat korupsi, akan membantu mendisiplinkan perilaku para aktor ekonomi.

Tanpa perbaikan kualitas institusi ekonomi, mustahil kemiskinan bisa ditanggulangi. Untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi pemberantasan korupsi harus digalakkan. Sebagaimana dikatakan Jeffrey D Sachs, kemiskinan yang dahsyat bisa kita atasi dalam generasi kita, asal ditangani dengan cara tidak biasa. Soal korupsi, jangan berdalih untuk menghilangkankannya dibutuhkan beberapa generasi. Korupsi bisa diberantas di generasi kita asalkan menggunakan metode nonkonservatif (heterodox).

Tidak ada tawar-menawar lagi: untuk menyelesaikan kemiskinan, korupsi harus ditekan. Dengan demikian, akan tercipta kerangka kelembagaan yang memadai untuk menopang kinerja ekonomi dengan kualitas tinggi.

Kualitas kelembagaan secara nasional akan memengaruhi kualitas kelembagaan unit-unit organisasi secara individual. Tata kelola korporasi (corporate governance) tidak pernah tercapai tanpa ada sistem tata kelola secara nasional (national governance). Baru-baru ini usaha pencairan dana sebesar Rp 1,017 triliun oleh PT Timor Putra Nasional dari Bank Mandiri bisa dibatalkan dengan koordinasi antara Kementerian BUMN, Menteri Keuangan, dan Kejaksaan Agung. Tanpa ada pejabat publik yang bisa dipercaya, mustahil tata kelola korporasi akan tercapai meskipun di setiap unit organisasi sudah ada dewan komisaris yang galak sekalipun.

Keinginan kita sangat sederhana: bisa menjalani kehidupan keseharian kita dengan aman dan sentosa. Masalahnya, cita- cita sederhana ini tidak mungkin tercapai di tengah tingkat kemiskinan yang telah mendongkrak tingkat kriminalitas hingga begitu merajalela. Banyak pula pelaku kejahatan yang terpaksa melakukan kriminalitas hanya karena mempertahankan kebutuhan hidupnya yang paling dasar.

Semoga, hadirnya ekonom Sjahrir sebagai penasihat ekonomi Presiden mampu membawa wacana kelembagaan menjadi lebih nyata dalam kebijakan ekonomi pemerintah kita.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.