Kelembagaan DAS

Sjofjan Bakar

KELEMBAGAAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DI DAERAH

Oleh:Drs. Sjofjan Bakar, M.Sc
Direktur Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup – Depdagri

Sumber:  http://bulletin.penataanruang.net/

I. PENDAHULUAN

Ruang wilayah negara yang meliputi ruang lautan, ruang udara, dan ruang daratan merupakan sumber daya alam dan suatu subsistem. Dalam subsistem terdapat sumber daya manusia dengan berbagai macam kegiatan pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya buatan, dengan tingkat pemanfaatan yang berbeda-beda yang apabila tidak ditata secara baik dapat mendorong ke arah ketidakseimbangan penanganan serta ketidaklestarian lingkungan hidup.

Oleh karena pengelolaan subsistem yang satu akan berpengaruh pada subsistem lainnya yang pada akhirnya akan mempengaruhi sistem ruang secara keseluruhan, maka pengaturan ruang menuntut dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utamanya. Ini berarti perlu adanya suatu kebijakan nasional penataan ruang yang memadukan berbagai kebijakan penataan ruang.

Pelaksanaan pembangunan, khususnya pembangunan fisik tidak selalu berjalan sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Pelanggaran pemanfaatan ruang ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti faktor teknis operasional, administratif/politis, dan perkembangan pasar. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa untuk mewujudkan terciptanya pembangunan yang “tertib ruang”, diperlukan tindakan pengendalian pemanfaatan ruang yang sungguh-sungguh.

Kecenderungan penyimpangan tersebut dapat terjadi karena produk rencana tata ruang kurang memperhatikan aspek-aspek pelaksanaan (pemanfaatan ruang), atau sebaliknya pemanfaatan ruang kurang memperhatikan rencana tata ruang yang telah disusun dan ditetapkan.

Sejalan dengan perubahan dan pembaharuan sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai daerah otonom telah diberikan kewenangan urusan pemerintahan dan sekaligus menjadi kewajiban Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk mengatur dan mengurus perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang di Daerah. Pemberian kewenangan dan kewajiban sesuai dengan strata dan fungsi pemerintahan tersebut, hendaknya dipandang sebagai momentum bagi Daerah untuk lebih menguatkan pengembangan kapasitas Daerah berbasis kinerja, kerjasama antar daerah, dan koordinasi secara terpadu dan sinergis.

II. DILEMA PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DI ERA OTONOMI DAERAH

Dalam era otonomi daerah seperti saat ini, paradigma keberlanjutan kelihatannya akan semakin sulit dicapai. Karena dalam pelaksanaanya setiap daerah ingin memberdayakan sumber daya alamnya seringkali melampaui daya dukungnya. Salah satu prinsip pembangunan berkelanjutan adalah memperbaiki kualitas kehidupan manusia dengan tetap mempertahankan daya dukung ekosistem-ekosistem pendukungnya.

Pertimbangan ekosistem selalu bersifat fungsional – global yang berarti lintas batas administrasi daerah dan lintas batas negara. Dalam prakteknya heterogenitas dan kemajemukan unsur-unsur pembentuk daerah di Indonesia seringkali justru menimbulkan daerahisme dan kompetisi yang tidak perlu. Oleh karena itu pandangan sempit kedaerahan yang didukung wewenang formil yang berlebihan (dengan UU) justru akan kontra produktif bagi usaha menjaga keberlanjutan pembangunan. Ekses negatif otonomi daerah yang terlalu kuat di bawah, akibat tekanan pembangunan, seringkali lebih menonjol daripada tujuan luhurnya untuk menyesuaikan dengan kearifan tradisional yang biasanya lebih ramah lingkungan.

Perselisihan antar daerah merupakan issue yang seringkali muncul terutama yang berkenaan dengan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Sebagai contoh di Kabupaten “A” wilayah yang berbatasan dengan Kabupaten “B” ditetapkan sebagai kawasan lindung, tetapi di Kabupaten “B” ditetapkan sebagai kawasan budidaya. Padahal wilayah yang berbatasan tersebut berada dalam ekosistem yang sama.

Boleh jadi pemikiran berkelanjutan sebatas pada masa jabatan tiap Bupati/Walikota dan anggota DPRD, sehingga jika diperlukan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang menghambat program peningkatan PAD dan APBD harus ditinjau ulang/diubah, atau cukup dilanggar begitu saja. Artinya pada kasus seperti ini pengendalian pemanfaatan ruang masih sangat lemah. Blue print berupa RTRW seharusnya sepenuhnya menjadi rujukan penyelenggaraan pemanfaatan ruang di daerah.

Proses perijinan yang ditujukan sebagai alat pengendalian pemanfaatan ruang lebih dilihat dari sudut pandang sumber PAD. Jumlah perijinan yang dikeluarkan mulai ditargetkan berdasarkan ’kuota’ untuk pemenuhan PAD. Sehingga ketidaksesuaian dengan RTRW bukan merupakan persoalan. Oleh karena itu keberlanjutan sebagai prinsip dan good governance sebagai praktik merupakan dua aspek kembar dari penataan ruang yang baik, boleh jadi cuma ada dalam konsep. Alih-alih menjadi acuan pembangunan berkelanjutan, sebaliknya justru menjadi alat legitimasi malpraktik sektor publik dalam pemanfaatan dan eksploitasi sumber daya.

2.1 Aplikasi Desain Kelembagaan

Upaya melembagakan strategi pengembangan wilayah pada akhirnya ditujukan untuk memperbaiki kultur wilayah. Kultur yang dapat meningkatkan produktivitas dan kultur yang mampu memahami arti keunggulan bersaing dalam bentuk berubahnya etos kerja dan pola interaksi sumberdaya di dalam wilayah dengan luar wilayah. Gambar 1 di bawah ini menggambarkan hubungan antara komponen-komponen kelembagaan organisasi yang pada akhirnya bermuara pada pembentukan dan pengaruh kultur didalam organisasi.

HUB

2.2 Pola Pengembangan Manajemen Penataan Ruang

2.2.1 Visi dan Misi Organisasi Kelembagaan

Tidak ada suatu pihak manapun yang memaksa sebuah wilayah untuk menetapkan visi dan misinya. Dari sifatnya, misi hanyalah merupakan pernyataan sikap, pandangan, dan orientasi yang bersifat umum, bukan target yang dapat diukur. Berkaitan dengan sasaran misi yang hendak dicapai, maka sasaran misi adalah:

  • Memastikan kesamaan tujuan dalam organisasi kelembagaan
  • Menjadi landasan untuk memotivasi pemanfaatan sumber daya organisasi
  • Mengembangkan landasan atau standar untuk pengalokasian sumberdaya organisasi
  • Menetapkan warna iklim organisasi.
  • Berfungsi sebagai titik fokus bagi mereka yang sepakat dengan tujuan umum dan arah organisasi, serta menghalangi mereka yang tidak sepakat dengan itu agar tidak lagi melibatkan diri dengan kegiatan organisasi.
  • Memudahkan penerjemahan sasaran dan tujuan organisasi ke dalam struktur kerja yang mencakup penetapan tugas kepada elemen-elemen yang bertanggung jawab dalam organisasi.
  • Menegaskan tujuan organisasi dan perwujudan tujuan-tujuan umum menjadi tujuan yang lebih spesifik sedemikian rupa sehingga parameter, biaya, waktu dan kinerja dapat ditetapkan dan dikendalikan.

Proses menetapkan visi dan misi organisasi akan lebih mudah dipahami dengan memahami organisasi itu pada saat kelahirannya.

2.2.2 Formulasi Strategi

Proses formulasi strategi diawali dengan penetapan visi dan misi organisasi. Dalam visi dan misi organisasi terkandung tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi, yang merupakan keinginan dari berbagai pihak yang berkepentingan di dalamnya.

Langkah awal dalam melakukan formulasi strategi adalan melakukan analisis faktor-faktor utama dalam lingkungan eksternal organisasi yang harus dinilai oleh para eksekuitif wilayah agar mereka dapat mengantisipasi dan memanfaatkan kondisi awal wilayah di masa yang akan datang. Tahap berikutnya adalah melihat diri sendiri atau proses “ sadar diri”. Proses ini merupakan proses analisis internal, yang melihat kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh suatu wilayah/kawasan dibandingkan dengan lingkungan eksternal wilayah/kawasannya sendiri. Dalam proses ini, para eksekutif wilayah/kawasan dapat menentukan posisinya dalam berinteraksi dengan wilayah-wilayah sekitarnya.

Setelah misi ditetapkan, maka langkah berikutnya yang harus ditempuh sebuah wilayah/kawasan adalah memulai strategi yang tepat untuk mencapai cita-cita/visinya. Pada formulasi strategi, manajemen strategis dapat dilakukan oleh sebuah wilayah/kawasan untuk mencapai cita-cita/visi yang diinginkannya. Diagram di bawah ini menggambarkan suatu model organisasi manajemen organisasi strategis yang dapat diterapkan dalam sistem pengembangan kelembagaan kawasan.

MODEL

III. PERANGKAT PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG

Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses penataan ruang. Pemanfaatan ruang dalam pelaksanaannya tidak selalu sejalan dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Ketidaksesuaian atau pelanggaran tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya tekanan perkembangan pasar terhadap ruang, belum jelasnya mekanisme pengendalian, dan lemahnya penegakan hukum. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa untuk mewujudkan terciptanya pembangunan yang tertib ruang diperlukan tindakan pengendalian pemanfaatan ruang. Kecenderungan penyimpangan tersebut dapat terjadi karena produk rencana tata ruang kurang memperhatikan aspek pelaksanaan atau sebaliknya bahwa pemanfaatan ruang kurang memperhatikan rencana tata ruang. Pengendalian pemanfaatan tata ruang dilakukan agar pemanfaatan tata ruang dapat berjalan sesuai dengan rencana tata ruang.

Salah satu perangkat pengendalian pemanfaatan ruang adalah perijinan. Ijin yang berlaku pada sebagian besar daerah di Indonesia hanya sampai pada Izin Mendirikan Bangunan (IMB), tidak sampai pada izin memanfaatkan bangunan, dimana pelanggaran pemanfaatan ruang berawal. Di samping itu, izin yang dikeluarkan oleh masing-masing instansi/SKPD tidak mengacu kepada rujukan yang sama, yaitu rencana rinci tata ruang, sehingga sering terjadi kurang koordinasi. Untuk itu, masing-masing daerah harus memiliki rencana rinci dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang.

Secara kelembagaan, mekanisme perijinan satu atap cukup efektif untuk menekan pelanggaran pemanfaatan ruang, karena memungkinkan terjadi koordinasi yang lebih intensif antara instansi-instansi yang terkait dalam memberikan izin.

Dalam kaitannya dengan rencana tata ruang, ada tiga jenis pelanggaran/perubahan terhadap dokumen rencana tata ruang, yaitu:

  1. Perubahan fungsi, yaitu perubahan yang tidak sesuai dengan fungsi lahan yang telah ditetapkan dalam rencana, yaitu fungsi yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah.
  2. Perubahan blok peruntukan, yaitu pemanfaatan yang tidak sesuai dengan arahan peruntukan yang telah ditetapkan, yaitu perubahan Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Lantai Bangunan (KLB) dan Garis Sempadan Bangunan (GSB) tiap blok yang ditetapkan dalam Rencana Detail Tata Ruang.
  3. Perubahan persyaratan teknis, yaitu pemanfaatan sesuai fungsi dan peruntukan, tetapi persyaratan teknis bangunan tidak sesuai dengan ketentuan dalam rencana dan peraturan bangunan setempat, yaitu persyaratan teknis yang ditetapkan dalam rencana tapak kawasan dan perpetakan yang menyangkut tata letak dan tata bangunan beserta sarana lingkungan dan utilitas umum.

Dalam penyusunan peraturan zonasi, definisi dan klasifikasi penggunaan lahan yang jelas secara hukum sangat diperlukan untuk menjadi landasan utama dan sebagai acuan untuk menentukan apakah suatu permohonan pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang atau tidak. Klasifikasi penggunaan lahan yang jelas akan mempermudah menentukan apakah ijin dapat diberikan atau ditolak.

Sesuai dengan Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mekanisme insentif dan disinsentif merupakan bagian dari pengendalian pemanfaatan ruang. Mekanisme insentif dan disinsentif dianggap mampu untuk mendorong perkembangan kota dan dapat menimbulkan dampak positif yang menunjang pembangunan kota atau upaya pengarahan pada perkembangan yang berdampak negatif untuk mengefektifkan pembangunan/rencana tata ruang yang telah ditetapkan.

Mekanisme insentif dan disinsentif mengandung suatu pengaturan dan pengendalian pembangunan yang akomodatif terhadap setiap perubahan yang menunjang pembangunan/perkembangan kota. Insentif dan disinsentif diharapkan disusun oleh masing-masing daerah sebagai perangkat pengendaliannya. Contoh mekanisme insentif dan disinsetif dapat dilihat pada tabel 1.

t1

DIAGRAM SANKSI

Pengenaan sanksi dapat berbentuk vonis yang akan dikenakan kepada pelanggar dapat berupa sanksi administrasi, dan sanksi pidana yang akan disesuaikan dengan bentuk pelanggaran, motif pelanggaran dan waktu terjadinya pelanggaran (lihat Gambar 3).

IV. INSTANSI PELAKSANA PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG

Pengendalian pemanfaatan ruang di daerah harus dilakukan secara terpadu. Oleh sebab itu, dalam proses pengendalian pemanfaatan ruang harus dilakukan oleh berbagai lembaga/instansi yang berwenang sesuai dengan otorisasinya. Kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang sebaiknya dilakukan berdasarkan pada skala perencanaan yang menjadi pedoman proses perijinan pemanfaatan ruang. Adapun skala perencanaan yang menjadi pedoman perijinan pemanfaatan ruang adalah:

a. Rencana Struktur dan Pola Ruang
b. Rencana Blok Peruntukan
c. Rencana Tapak Kawasan
d. Rencana Perpetakan

Masing-masing skala perencanaan memberi pedoman perijinan pemanfaatan ruang yang dikeluarkan oleh masing-masing instansi yang berwenang. Untuk skala perencanaan yang bersifat global dan memuat kebijakan, maka instansi yang berwenang adalah Bappeda, sedangkan skala perencanaan yang bersifat mikro dan memuat hal yang bersifat teknis, maka instansi yang berwenang adalah Dinas Teknis yang mengurusi tata ruang.

t2

V. INSTANSI PELAKSANA PENGAWASAN DAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG

5. I Instansi Pelaksana Pengawasan Pemanfaatan Ruang

Kegiatan pengawasan pemanfaatan ruang adalah usaha untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan dengan rencana tata ruang. Kegiatan pengawasan dimaksud untuk mengikuti dan mendata perkembangan pelaksanaan pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh semua pihak sehingga apabila terjadi penyimpangan pelaksanaan pemanfaatan ruang dari rencana yang telah ditetapkan dapat diketahui dan dilakukan upaya penyelesaiannya.

KEGIATAN PENG

Catatan:
Apabila pemerintah kabupaten/kota telah membentuk Dinas Tata Bangunan, maka urusan perpetakan dan IMB diserahkan penanganannya kepada Dinas Tata Bangunan.

5.2 Instansi Pelaksana Penertiban Pemanfaatan Ruang

Kegiatan penertiban pemanfaatan ruang adalah usaha untuk mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat terwujud. Tindakan penertiban ini dilakukan melalui pemeriksaan dan penyidikan atas semua pelanggaran yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah, kegiatan penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Selain PPNS, ada beberapa Instansi/lembaga yang dapat melaksanakan penertiban terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang yaitu:

  • Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD);
  • Instansi penerbit izin;
  • Instansi/lembaga lain yang bertugas dalam penertiban.

Adapun instansi atau lembaga yang bertugas dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran adalah lembaga peradilan yang membentuk berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya, guna mengefektifkan daya penertiban, Bupati/Walikota membentuk Tim Khusus yang bertugas menangani pembongkaran bangunan-bangunan yang melanggar tata ruang. Tim ini terdiri dari unsur Bappeda, Bawasda, Penyidik PNS, kejaksaan, dinas teknis terkait, camat, dan sebagainya.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.