Kelembagaan DAS

Yani Sagaroa

KEBIJAKAN DAN KELEMBAGAAN CBFM DITINGKAT NASIONAL DAN KOLABORASI MULTIPIHAK1

Oleh: Yani Sagaroa, Direktur Pelaksana Lembaga Olah Hidup (LOH) / Koordinator program Tim Kehutanan Multipihak Kab Sumbawa

Disampaikan pada acara “ Workshop Kelembagaan CBFM “ di Selenggarakan oleh UGM dan JAVLEC, di Gedung Grha Sabha Pramana UGM, Yogyakarta

I. Pendahuluan.

Salah satu hajat besar penyelenggaran pemerintahan dalam negara adalah meningklatkan kesejahteraan hidup warganya, namaun kemiskinan telah menjadi permasalahan pokok yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, hingga maret 2006 penduduk miskin Indonesia mencapai 39,05 juta orang atau 17,75% dari total penduduk sebesar 220 juta orang, dan yang tinggal didesa mencapai 63,4(BPS). Sedangkan di NTB ada sekitar 485.086 rumah tangga miskin penerima BLT, dan di Sumbawa ada 36.526 RT miskin penerima BLT. Kemiskinan adalah indikator terjadinya defisit kedaulatan dan keadilan. Kemiskinan terjadi akibat merosotnya ketahanan dan keberlanjutan kehidupan rakyat, akibat hilangnya potensi ketahanan dan daya dukung lingkungan hidup (Kertas posisi Walhi).

Menurut sistem hukum yang ada SDA dan hutan dikuasai oleh negara cq pemerintah. Ruang partisiapasi masyarakat dalam pengelolaan hutan, baik secara individu maupun komunal, cendrung diabaikan, kalah dengan kepentingan kapital (modal) yang mendapat dukungan tegas dari pemerintah. Dari pola ini bermuara pada terjadinya degradasi dan deforestasi yang masif bagi sumberdaya hutan, tidak kurang dari 2 juta ha tiap tahunya, dan juga terjadi konflik yang berkepanjangan antara masyarakat, kapital dan pemerintah.

Konflik penguasaan SDA terjadi manakala struktur dan tatanan hukum lokal (adat) dihancurkan, lewat pengintigrasian dan penyeragaman ketentuan yang mengatur pola penguasaan dan pengelolaan didominasi oleh pemerintah sebagai refresentasi negara, untuk kepentingan mengejar pertumbuhan ekonomi negara, tanpa memperhatikan kehidupan masyarakat yang tergantung hidupnya dari daya dukung lingkungan dan hutan. Pelemahan dan penghancuran terhadap hak-hak masyarakat lokal dilakukan dengan pemberlakuan sejumlah Perundang-Undangan Nasional seperti, UU No. 5 Tahun 1960 tentang pokok-pokok agraria, UU No. 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah, UU No. 5 tahun 1967 tentang pokok-pokok kehutanan (dan pengantinya UU 41/ Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang perubahan Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999) dan UU No. 11 Tahun 1967 tentang pokok-pokok pertambangan, didukung oleh UU No. 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing Kemudian pada tanggal 3 Juli 1968 dikeluarkan UUNo. 6 tahun1968 tentang penanaman modal dalam negeri , termasuk penetapan UU tentang Pemerintahan Desa No. 5 / 1979.

Setidaknya ada 4 hal pokok yang melatarbelakangi konflik-konflik penguasaan SDA dan hutan, yakni:

Pertama, Kuatnya intervensi modal dalam dialektika sistem ekonomi nasional, yang berujung pada pemihakan yang berlebihan pada kapital dari penyelenggaran negara. Hal ini jelas terlihat dalam paradigma pembangunan nasional yang menekankan pertumbuhan ekonomi pada dekade sebelumnya, tanpa memperhatikan pemerataan dan keadilan bagi warga negara.

Kedua, Dominannya pemerintah dengan memposisikan diri sebagai yang paling menentukan arah pembangunan, sehingga sentralisasi keputusan dan kebijakan pemerintah menjadi hal yang lumrah saja, tidak peduli terhadap keberadaan masyarakat lokal yang tergantung hidupnya dari sumberdaya hutan. Tindakan tersebut mehirkan berbagai mekanisme penaklukan sosial terhadap masyarakat lokal yang dianggap sah-sah saja.

Ketiga, Lemahnya jaminan dan perlindungan formal negara terhadap hak-hak masyarakat lokal atau adat dalam perundang-undangan nasional. Kondisi tersebut diperburuk oleh kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat lokal tentang hak-hak mereka dalam bingkai kebijakan dan peraturan yang dikembangkan oleh pemerintah.

Keempat, lemah dan hancurnya sistem sosial dalam masyarakat lokal karena penerapan berbagai kebijakan pemerintah yang sentralistik. Walaupun retorika politik kebijakan hukum nasiaonal selalu mengembargemborkan pemihakannya semu.

Dibanyak daerah telah melakukan proses pengelolaan dan produksi dengan berbagai macam tata lakunya, namun sangat harmonis dibingkai dalam berbagai bentuk kearifan tradisional, Namun ironisnya kerarifan lokal ini tidak mendapat tempat dalam perundang-undangan di Indonesia. Klaim masyarakat lokal atau masyarakat adat atas kawasan yang dikelolanya tidak pernah terselesai secara bijak oleh pemerintah. Padahal penguasaan telah dilakukan jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia ada.

Saat ini memang terjadi perubahan setelah adanya kebijakan desentralisasi dengan otonomi daerah yang didasarkan UU No 32 tahun 2004 sebagai penyempurnaan dari UU 22 tahun 1999, tentang pemerintahan daerah, serta adanya UU 25/1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, yang mendorong daerah untuk mampu mengelola dan membiayai pembangunan daerah secara mandiri.

II. Dinamika Kebijakan Tanpa Arah.

Undang-Undang No. 5 tentang pokok-pokok kehutanan yang ditetapkan tahun 1967, dijadikan alat untuk mengejar pertumbuhan ekonomi nasional, setelah dilanda krisis dengan inflasi yang sangat luar biasa dalam sejarah Indonesia. Selama 32 tahun ketentuan ini diberlakukan dengan semangat sentralistik, represif dan eksploitatif, nuansa kapitalisasi dan komoditisasi terhadap sumberdaya hutan, telah menyingkirkan peran masyarakat lokal secara sistimatis, dan dianggap
Prestasi monumental dalam konglomerasi sumber daya hutan yang identik dengan praktek kapitalisme, dan memarginalkan masyarakat yang survival dari sumberdaya hutan.

Undang-Undang 41 tentantang kehutanan, lahir dalam situasi politik dan ekonomi yang hampir sama dengan pendahulunya, namun tingkat deforestasi yang sangat luas diseantero negeri sebagai buah dari UU sebelumnya. Kita dapat lihat bagaimana kuat dan perkasanya modal dalam mendorong lahir Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang perubahan Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999, yang memberikan ruang bagi investasi (Modal) untuk menghancurkan benteng terarakhir ikhtiar perlindungan sumberdaya hutan. UU Kehutanan (UU No. 41 tahun 1999) juga tidak memiliki semangat perlindungan daya dukung ekosistem hutan. Walaupun dalam pertimbangannya menyebutkan perlunya pengelolaan hutan sebagai penentu ekosistem secara arif dan bijaksana, namun dalam batang tubuhnya tidak mengatur langkah-langkah untuk menjamin perlindungan daya dukung ekosistem hutan, dan Persyaratan lingkungan yang harus terdapat dalam perangkat perizinan, pengawasan, penataan, peluang masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan dan pengawasan terhadap sumberdaya hutan.

Sedikit ruang semu memang dibuka untuk peran masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Kebijakan pemerintah dalam hal pengelolaan hutan yang memberikan acces masyarakat, ditandai dengan lahirnya kebijakan tentang Hutan Kemasyarakatan (HKm), dapat kita lihat Kepmenhut No. 622/Kpts-II/1995, Kepmenhutbun No. 677/Kpts-II/1998, Kepmenhut No. 685/Kpts-II/1999, Kepmenhut No. 31/Kpts-II/2001, Permenhut No. P.01/II-Kpts/2004). Kelihatan klese saat ini saat ini Depertemen Kehutanan akan melakukan revisi PP 34/2002 (Ijin Tebang), PP 68/1998 dan PP18/1994 yang dihajatkan merubah wajah keberpihakan pemerintah kepada masyarakat miskin yang hidup disekitar hutan. Menurut pemerintah, revisi tersebut merupakan peluang untuk memperkuat landasan hukum bagi praktik pengelolaan hutan oleh masyarakat (Media Indonesia).

Kebijakan otonomi daerah yang didasarkan UU No 32 tahun 2004 sebagai penyempurnaan dari UU 22 tahun 1999, tentang pemerintahan daerah, serta adanya UU 25/1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, yang dimaknai sebagai desentralisasi kekuasaan, telah mendorong daerah-daerah untuk kreatif menginisiasi beragam program pembangunan, termasuk pada sektor kehutanan, banyak daerah telah menagkap perubahan paradigma pengelolaan hutan, sehingga maraklah beragam PERDA termasuk PSDHBM atau yang serupa dengannya ditetapkan, Landasan hukum didaerah inipun seakan menjadi kebijakan ’keropos’ tanpa makna.

Kebijakan setingkat Departement bukanlah suatu landasan hukum yang kuat untuk mendorong demokratisasi dalam pengelolaan hutan oleh masyarakat, hal ini karena masih ada UU diatasnya, dan hal lain adalah pengalaman sejarah perubahan kebijakannya, setiap pergantian menteri maka landasan hukum ini selalu berubah. Kebijakan tentang HKm atau yang serupa dengannya, terhitung sudah 4 kali terjadi modifikasi sesuai dengan selera pemegang kendali kebijakan tersebut, dan ini terjadi dalam 4 priode pemerintahan, dan berujung pada ketidakpastian dan keraguan dari masyarakat yang selama ini diarahkan untuk melaksanakan program tersebut, dan kedepan seperti apa perubahannya, masih perlu kita dorong keberpihakannya.

III. Reform Pengelolaan Hutan.

Beragam persoalan yang muncul dalam dinamika politik yang terjadi di Indonesia, tidak terlepas dari biasnya orientasi pembangunan untuk mencapai peningkatan kwalitas kesejah teraan masyarakat. Sehingga perubahan paradigma pembangunan dan sistem politik yang sedang bergulir, serta ada pola desentralisasi kewenangan pemerintah diberbagai tingkatannya, harus dijadikan terminologi untuk pembaruan sistem pengelolaan program pembangunan, khususnya disektor kehutanan dan kebijakan mengenai CBFM (Community Based Forest Management).

Dalam melakukan upaya mengembangkan demokratisasi pengelolaan hutan berbasis masyarakat, ada beberapa aspek yang mesti diperhatikan, berkaitan erat dengan 3 hak dasar masyarakat seperti akses informasi, akses partisipasi dan akses masyarakat terhadap keadilan. Disamping itu ada tiga prasyarat pokok yang harus dilakukan, yakni:

 Reorientasi dan Pembaharuan Perundangan/Kebijakan

Hampir rata-rata semangat perundang-undangan kita dibuat dalam bingkai sistem yang sentralistik, sehingga substansinya mengandung nilai eksploitatif adanya. Pendekatan sektoral menjadi pilihan yang rentan dengan tumpang tindihnya kewenangan, tidak sinkronnya berbagai kebijakan. Dalam semangat desentralisasi, daerah membuat peraturan daerah (PERDA) yang terkadang bertentangan dengan perundang-undangan sektoral di atas. Contoh tragis perda PSDHBM Wonosobo dianggap bertentangan UU No. 41 tahun 1999, perda di Sumbawa nunggu giliran nasib yang sama dengan Wonosobo.
Untuk itu, kira Amanding UU Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, menjadi suatu keharusan, bila menghendaki tegas, jelas dan kuatnya payung hukum bagi penggelolaan hutan berbasis masyarakat. Perusahaan Tambang telah mampu mendorong lahirnya Perpu Nomor 1 tahun 2004, yang melegalkan kegiatan destruktif menghancurkan kawasan lindung dan konservasi, kini gilirannya masyarakat dengan kearifannya mendapat legalitas yang sepadan dengan komponen lainnya

 Penataan Kelembagaan

Reformasi kelembagaan dan birokrasi dalam penyelenggaran program pemerintah disektor kehutanan mutlak dibutuhkan, mengingat kelembagaan sosial dimasyarakat yang mengadosi nilai peradaban lokal yang penuh dengan kearifan tradisional. Sehingga kedepan kelembagaan pemerintahpun harus mampu berfungsi secara efektif sesuai dengan kebutuhan pengembangan kelembagaan lokal. Kelembagaan lokal dimasyarakatpun yang dipersiapkan saat ini untuk pengelolaan Hutan, terlalu banyak memakai standar organisasi modern, yang sebenarnya mereduksi nilai-nilai lokalistic.

Saat ini pengurusan HKm dan sejenisnya di Departement Kehutanan dicantelkan pada dirjen RLPS dan direktur bina perencanaan sosial untuk HKm, Penataan kelembagaan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (CBFM) bila dibutuhkan mesti melakukan:

  1. Pelembagaan koordinasi yang memiliki sisitem perencanaan yang baik dan menyeluruh terkait dengan kebijakan makro CBFM ditingkat nasional.
  2. Menetapkan kelembagaan yang memiliki fungsi perlindungan dan kewenangan dalan perencanaan, implementasi, kontrol dan evalusi bagi pengembangan CBFM.
  3. Mengintegrasikan kelembagaan yang memiliki fungsi menjamin akses terhadap pemanfaatan dan pengelolaan hutan berbasisi masyarakat secara berkelanjutan.

Untuk tingkat daerah, kelembagaan mesti menganut prinsip desentralisasi berdasarkan semangat CBFM, yang diharapkan dapat mendekatkan proses pengambilan keputusan kepada kelompok pengelola. Bentuk kelembagaan informal, multistakeholder, pendekatan berdasarkan kepentingan masyarakat. Sedangkan kelembagaan formal pemerintah dalam pengelolaan program menjadi mitra yang saling mendukung, untuk keberlanjutan pengelolaannya.

 Penyelesai Konflik

Adanya realitas sosial dan konflik (masyarakat, pemerintah dan Investor) yang berkepanjangan terhadap penguasaan Sumberdaya alam atau hutan, hal ini mesti diselesaikan secara arif, karena sudah sekian lama hak masyarakat dilanggar, banyak masyarakat lokal/adat yang telah menguasai sumberdaya hutan jauh sebelum adanya UU pokok Kehutanan, namun ketika ditetapkan UU ini mencaplok wilayah kelola masyarakat, Seharusnya klaim masyarakat lokal ini selesaikan dulu, sebelum reprefitas dijalan oleh negara. Momentum saat ini mesti ada semangat untuk pemulihan hak-hak masyarakat lokal, sebagai basis legitimasi dan dukungan untuk melakukan perubahan sistem pengelolaan hutan seperti CBFM.

 Fomulasi Pola Hubungan.

Pola hubungan diantara pemerintah, modal dan masyarakat, perlu dirombak total, dengan semangat menempatkan masyarakat sebagai kepentingan yang utama, yang dapat memberikan legitimasi bagi proses pembangunan yang berkeadilan. Kepentingan masyarakat mesti dahulukan sedangkan peran kapital bersifat sekunder, dan modal sedapat mungkin mendorong terpenuhinya hak-hak masyarakat lokal. Untuk menghilangkan gap yang lebar antar kepentingan negara dengan kepentingan rakyat maka pilihan strategi desentralisasi ke tingkat geopolitik terkecil, kabupaten atau kotamadya bahkan hingga tingkat desa mesti dilakukan.

IV. Kolaborasi Multipihak Di Sumbawa

Latar Belakang.

Kabupaten Sumbawa yang secara administrasi berada didalam propinsi NTB, dengan luas wilayah sekitar 8.493 km², merupakan bekas wilayah kerejaan Sumbawa. Sesuai dengan struktur administrasi, dengan adanya pemekaran wilayah pada bulan Juni 1999 Kabupaten Sumbawa yang semula berjumlah 14 kecamatan, setelah pisah dengan Sumbawa barat menjadi 20 Kecamatan. Pada tahun 1990 jumlah penduduk sekitar 392.931 jiwa dan pada tahun 1994 jumlah penduduk bertambah menjadi 394.900 jiwa, jadi pertambahan dari tahun 1990 – 1994 mencapai 1969 jiwa, dan pada tahun 1999 bertambah menjadi 424.988 jiwa. Kabupaten ini memiliki wilayah paling luas dibandingkan dengan kabupaten lain yang ada di propinsi NTB.

Kemiskinan yang dialami oleh penduduk Sumbawa mengalami peningkatan yang pantastic, dari 17.748 keluarga atau mencapai 19 persen pada tahun 2004, meningkat 17. 959 (51,08 %) menjadi 35.707 rumah tangga setelah pendataan Penerima konpensasi BBM, setara dengan 37,83 persen dari 93.961 rumah tangga, Sedangkan jumlah penduduk miskin di Kabupaten Sumbawa mencapai 142.828 jiwa atau sebanyak 38 persen dari jumlah penduduk Sumbawa 378.350 jiwa (Study dan Analisa Loh 2005).

Seperti di ketahui bersama, pulau Sumbawa adalah merupakan rangkaian akhir mediteranian dan kawasan wallacea atau daerah awal percampuran antara kultur flora dan fauna Australi dan Asia, kaya akan ragam hayati. Keanekaragaman hayati yang dimilikinya sangat berguna bagi dunia sebab pulau Sumbawa merupakan hutan yang relatif terbesar dikawasan transisi Wallacea.

Kondisi terkini dari hutan sumbawa saat ini mendapat ancaman kerusakan yang cukup besar. Dengan diberlakukannya beberapa kebijakan seperti HPH, HPHH, HPHTI, IPK, KK pertambangan, yang membuka peluang investor dalam mengeksploitasi hutan sehingga semakin memicu tingkat kerusakannya. Setiap tahunnya kawasan hutan Sumbawa diperkirakan mengalami penyempitan sekitar 1.100 hektar. Padahal luas hutan Sumbawa berdasarkan SK Mentri Pertanian No. 756 / kpts / Um / 10 / 1987 tanggal 17 Oktober 1987 adalah 519.529.524 Ha atau 61,17 % dari luas daratan. Saat ini saja diperkirakan luas hutan tropis masi asli hanya tinggal 38,06% dari luas hutan Sumbawa, itu berarti kawasan hutan yang kritis seluas 61,04 % (analisa Loh 2005)..

Formulasi Masalah

Saat ini ancaman teknologi dan hutan yang terbesar datangnya dari investasi di bidang pertambangan (Newmont: Batu Hijau 58.830.69 Ha, Lemonte 14. 946. 36 Ha, Elang/Dodo 97. 204,60 Ha ), selain Newmont ada tiga KK pertambangan lagi yang masuk keSumbawa, yakni, PT. Newcres Sumbawa Jaya 32.410 Ha, PT. Sumbawa Timor Mining 114.300 Ha, PT. Mitra Sumbawa Mineral 387 200 Ha, dan yang terbaru Pt. Southern Arc Mineral Inc. Dengan konsesi seluas 9,670 ha

Dengan memperhatikan keberadaab KK pertambangan, yang demikian besar mencapai luas 714.564.65 Ha, berarti luas keseluruhan KK pertambangan ini akan melahap habis hutan Sumbawa. Dari investasi tambang direncanakan akan memakan hutan lindung sekitar 44.949,58 Ha, sedangkan untuk kawasan suaka alam akan hilang sekitar 9.090.17 Ha.

Selain pada sektor tambang, pada sektor kehutanan sendiri yang potensial akan terjadi degradasi hutan adalah seperti HPH dan HPHH, HPHTI, IPK, dan kita ketahui saat ini HPH Angka Wijaya memakan luas hutan untuk eksploitasi seluas 38.500 Ha, HPHHTI, mencapai luas sekitar 18. 159. 64 Ha (sebagian besar Hancur), IPK mencapai luas lebih dari 1.166 Ha (3 SK Bupati ) dan HPHH???. Disamping itu pada sektor transmigrasi dan pertanian juga mengincar kawasan hutan, untuk pemukiman trans dari tahun 2001. Yang yang sudah dibuka maupun yang direncanakan akan melahap kawasan hutan mencapai 11.099 Ha.

Proses Membangun Kemitraan

Berangkat dari persoalan dan keprihatinan terhadap kondisi hutan disumbawa serta pengalaman aksi yang dilakukan selama ini, telah mendorong upaya untuk mengambil inisiatif merekatkan comitment dari berbagai komponen untuk menyatukan visi dan persepsi serta tindakan kongkrit secara bersama dalam melihat dan meminimalisasi permasalahan kerusakan hutan Sumbawa. Ada beberapa tahapan yang telah dilalui, namun secra umum ada dua tahap, diantaranya adalah (para pihak)

# Tahap Pertama (inisiasi)

pada tahap inisiasi ini sebenarnya sudah ada komitmen bersama diantara sebagian kecil NGO yang berawal dari pola penanganan program penglolaan SDA secara bersama dan keadilan yang berbasis masyarakat untuk untuk konservasi masyarakat Pulau Moyo. dari pengalaman penanganan program inilah muncul gagasan tentang pola kemitraan penanganan SDA Sumbawa.

Pada tahapan ini kami lebih mengintensifkan diskusi dan pertemuan dikalangan ornop dengan membawa informasi seputar tentang kondisi riil hutan di Sumbawa. Pola yang hampir sama ini kami mencoba melakukan pendekatan pada kalangan Birokrat (PEMDA, DPRD) baik secara pormal maupun informal, dari pendekatan dari dua jalur ini mulai timbul keinginan bersama untuk bertemu dalam rangka mendiskusikan persoalan-persoalan di Sumbawa, sehingga akan disepakati akan mengadakan diskusi terbatas yang dihadiri oleh kalangan NGO, Mahasiswa, Pers, Pemda, Kehutana, KSDA, Pertanahan, BMPDL dan dihadiri oleh fasilitator regional DFID.

Dari diskusi pada tanggal 3 Oktober 2001 tersebut dihasilkan kesepakatan – kesepakatan mengenai pentingnya upaya bersama untuk menanggulangi persoalan hutan, pentingnya melanjutkan pertemuan – pertemuan bersama untuk lebih mengkristalkan semangat kebersamaan, tetap melanjutkan pendekatan-pendekatan intensif pada kalangan birokrat baik formal maupun informal begitu juga pada kalangan ornop maupun pihak pasilitator regional DFID.

Selepas diskusi terbatas sehari dengan hasil yang disepakati diadakannya beberapa rangkaian pertemuan, hal ini dimaksudkan untuk lebih mempererat silahturrahmi dan kebersamaan diantara pihak serta mematangkan rencana dan persiapan. Selain pertemuan bersama juga kami tetap melakukan pendekatan-pendekatan informal kepada pihak baik dari kalangan ornop maupun pemerintah. Intensitas pertemuan informal ini semakin ditingkatkan seiring dengan kemauan yang timbul dari para pihak pendekatan informal ini ternyata membawa dampak yang cukup baik terbangunnya kebersamaan pertemuan informal ini tidak ditentukan tempatnya, kadang kala dikantor NGO, dikantor pemerintah dan rumah makan. Untuk kalangan birokrat yang selama ini jarang bisa ketemu dengan kalangan ornop, setelah intensitas pendekatan dan interaksi ini berjalan ternya dari pihak mereka mulai banyak mengambilinisiatif dan meminta untuk bertemu dari hal tersebut proseskomunikasi mulai berjalan secara efektif dan dinamis. Dari kebutuhan untuk saling bertemu ternyata kawan kawan dari birokrat mempunyai hambata pada persoalan waktu dan legalitas. Dari persoalan ini kawan-kawan yang di NGO bersama dengan dinas kehutanan melakukan loby ke Pemda Sumbawa dapat kiranya ada SK khusu kawan-kawan Pegawai negari Sipil (PNS) yang mau terlibat dalam persiapan program ini.

Untuk lebih memperkuat semangat dan kesolitan / kekompakan maka dirasa sangat perlu diadakannya workshop terbatas, yang diadakan pada tanggal 9 Februari 2002 hal ini dimaksidkan untuk menyatukan visi dan versevsi diantara para pihak yang telah berinteraksi selama ini worksho ini menghasilkan beberapa kesepakatan tentang:

  1. Penetapan issue bersama
  2. Perlunya dibentuk tim persiapan program
  3. Perlunya merumuskan konsep dasar program
  4. Perlu adanya kerangka acuan dan rencana kerja

Untuk menindaklanjuti hasil dari workshop terbatas diadakan pertemuan-pertemuan serta pendekatan / loby kepihak pemerintah daerah dilanjutkan dengan mengadakan evaluasi dan pemantapan program ini, selain kita menemukan beberapa hambatan dan kendala dari proses yang terjadi selama ini. telah ditetapkannya tim atau panitia adhok (tim persiapan program). Adapun tahapan kerja global tersebut adalah:

  • Menyusun program kerja dan jadwal
  • Menyusun struktur/ pembagian peran
  • Menentukan mekanisme workshop
  • Legalitas (legitimasi publik )
  • Negosiasi dan loby kepihak-pihak kunci
  • Sosialisasi hasil diskusi

Disamping itu juga telah disusun desain program kejelasan dana dari Pemda. Dan kerangka acuan yang telah dikirimkan DFID. Acara ini menjadi momen dan landasan awal dalam melaksanakan program selanjutnya. Rumusan perencanaan program yang disepakati antara lain akan mengadakan kegiatan TOT (pemantapan tim kerja), PRA /Identifikasi para pihak di DAS, workshop kecil di DAS (lima DAS) dan workshop, strategic plaining (ditingkat kabupaten).

# Tahap kedua (implementasi program)

implementasi program ini agak cepat dari rencana yang diperkirakan sebelumnya, hal ini disebabkan karena adanya respon positif dan kongkrit dari pihak Pemda dan DPRD II terutama dalam hal penyediaan anggaran. Dana program yang disediakan oleh Pemda melalui lading sektor DISHUTBUN meng haruskan program dijalankan sesuai dengan agenda pencairan anggaran di Pemda. Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan:

  1. adapun kegiatan awal yang dilakukan adalah PRA dan identifikasi para pihak ditingkat DAS PRA (kunjungan lapangan), kegiatan ini dilakukan oleh anggota Ti m yang dibagi dalam lima kelompok sesuai dengan jumlah daerah aliran sungai (DAS), yang bekerja selama tujuh hari per DAS guna mendapatkan peta permasalahan, potensi sekaligus mencari partisipan yang akan ikut dalam workshop tingkat DAS sebanyak 30 orang yang terdiri dari sebelas unsur (Toma, Toga, Pemuda, LSM, Aparat Desa/ Kec. , BPD, Keamanan, Perempuan, Pendidik, Pengusaha, Masyarakat. terkait dengan hutan (sandro dan lain-lain) dengan kriteria memiliki kometmen, organisasi yang dibentuk oleh dinas memiliki kegiatan kongkrit (positif ) dan terkena dampak (penerima manfaat dan perusak). Pelaksanaan PRA telah rampung yang dimulai dengan DAS Moyo pada bulan Juli 2002 dan yang terakhir DAS Beh pada bulan September 2002
  2. TOT ini seharusnya lebih dahulu dilakukan daripada PRA, namun karena anggaran harus dipergunakan sesuai dengan LK, maka kegiatan PRA berjalan perarer dengan TOT. training ini dimaksud untuk mempersiap anggota Tim dalam melakukan tugas-tugas lapangan maupun tugas lainnya. TOT (Taining Of Trainer), kegiatan ini dilakukan selama dua hari di Sumbawa Besar yang diikuti oleh seluruh anggota Tim (SK Bupati ) yang di fasilitasi oleh dua fasilitator dari mMataram dengan materi berupa penyamaan persepsi, pemetaan recorce dan pembagian peran dan evaluasi Tim Kehutana Multi Pihak.
  3. Workho kecil (tingkat DAS), telah dilakukan untuk semua DAS (lima DAS) wilayah dibagi berdasarkan administrasi dan ekologi, namun karena dirasa ada wilayah yang tumpang tintih akhirnya disepakati pembagian wilayah berdasarkan pendekatan DAS.o DAS Moyo: Kota Sumbawa, Lab. Badas, Moyo Hilir, Pulau Moyo
    o DAS Beh: Kec Lunyuk
    o DAS Ampang: Dam Kulit, Plampang, Empang, Lape dan Labangka
    o DAS Rea: Utan, Alas, Alas Barat, Sateluk, Taliwang, Jereweh, Sekongkang dan Brang Rea
    o DAS Nanga Sumpe: Moyo Hulu dan Ropang

    Pelaksanaan workshop kecil berjalan sesuai dengan rencana program walaupun adanya perubahan-perubahan yang dilakukan atas dasar pengalaman dari worshop sebelumnya yang dari hasil monitoring dan evaluasi tim yang dilakukan dalam beberapa proses kegiatan. Dari lima kali worshop DAS dari hasil evaluasi, ada sekitar tiga DAS ( Moyo, Beh dan Ampang ) yang telah diadakan pengulangan workshop, hal ini dimaksudkan untuk penyempurnaan hasil workshop.

  4. worshop besar ( Tingkat kabupaten) dan strategic planning. Kegiatan akhir yang di lakukan oleh tim persiapan kehutanan multipihak adalah bagaimana adanya visi/ misi , peta permasalahan, komitment bersama, desain program dan rencana program secara kongrit. Pelaksanaannya telah dilakukan pada tanggal 19 – 23 desember 2002. Dihadiri oleh sekitar 55 orang wakil stake holder, 5 orang peninjau dari lembaga dana.
  5. Monitoring dan Evaluasi, dalam melakukan monitoringevaluasi yang menganut prinsip partisipatif dapat di pertanggung jawabkan, obyektif, kesetaraan, keterbukaan, kesinambungan, refleksi dan mengadopsi nilai-nilai lokal. Metode yang digunakan adalah dengan melakukan klasifikasi yaitu tingkat lembaga/aliansi (tim kerja, suppor program, jaringan ), tingkat program (konsep program, ME, data pendukung, alur program, informasi dan media, implementasi program, dokumentasi dan pelaporan ), tingkat masyarakat (profil partisipan, pengetahuan/keterampilan, peningkatan pemahaman/kesadaran, akses informasi, parsitipasi stakeholder), tingkat donatur (proses kerja sama, waktu, karakter, kemampuan dana, keberlanjutan donatur). Pelaksanaan ME Adilakukan dengan dua cara yaitu Pertama bersifat terencana (reguler) yaitu diawal waktu, diakhir disetiap kegiatan dipertengahan kegiatan dan akhir kegiatan. Kedua bersifat insidental yaitu sewaktu-waktu dapat dilakukan ME sesuai dengan kebutuhan yang ada dan ini yang paling efektif dilakukan dan tempatnya bisa dimana saja tergantung dari kegiatan yang akan di ME dan jumlah tim yang ikut jugasesuai dengan kesediaan waktu sehingga waktunya sangat pleksibel.

Hasil Yang di Capai

Adapun beberapa hasil yang dicapai selama peosesi pelaksanaan dua tahapan kegiatan, dantaranya adalah:

  1. adanya issue bersama “ kondisi hutan rentan terhadap perubahan, telah mengalami degradasi dan penyempitan yang sangat cepat mencapai titik rawan dan memprihatinkan. Dari kondisi ini masalah hutan adalah masalah besar dan untuk melakukan penanganannya perlu keterlibaan semua element”
  2. adanya gambaran tentang persoalan hutan di Sumbawa “ luas hutan tropis yang masih asli hanya tinggal 39,6 % dari luas hutan Sumbawa, itu berarti kawasan hutan yang kritis seluas 60,4 %.
  3. Terbangunnya komitmen dan kemitraan antara para pihak
  4. Adanya respon positif dari Pemda “ dengan memberikan legalitas lewat SK Bupati dan adanya dukungan dana dari pemerintah daerah yang disetujui ole DPRD II Sumbawa
  5. Adanya hasil dari dokumentasi – dokumentasi program
  6. Adanya visi bersama kabupaten Sumbawa: “ pelestarian hutan dengan polapartisifasi masyarakat sebagai penyangga kehidupan dan perekonomian secara berkelanjutan dan sehat demi keadilan yang merata untuk kesejahteraan rakyat dan menjunjung tinggi hukum dan nilai-nilai kearifan lokal.

Pelajaran dan Tindak Lanjut

Dari beberapa proses yang telah dilalui seperti dipaparkan diatas, ada beberapa kesimpulan yang dapat dipetik untuk dijadikan pengalaman bersama dalam membangun komitmen para piak, diantaranya adalah:

a. Pelajaran

  • Perlunya kesabaran dan kesungguhan dari pihak yang mengambil inisiatif, hal ini dibutuhkan karena merajut kepentingan dan cara pandang terhadap persoalan yang ada sangat berbeda diantara pihak, tingkat perbedaan inilah yang perlu dicarikan persamaannya, tentunya mewujudkan hal yang demikian sangat berat dan membutuhkan strategi yang setiap saat dapat berubah secara dinamis untuk mengakomodirnya kepentingan-kepentingan yan ada, perubahan ini membutuhkan kemampuan untuk mengelolanya sehingga menjadi satu kesamaan visi dan persepsi diantara para pihak.
  • Pola pendekatan lewat jalur formal dan informal, ternyata pendekatan silahturrahmi secara personal para pihak pejabat di lingkungan Pemda Sumbawa, membawa dampak positif bagi menumbuhkan keyakinan mereka dan para pihak yang lain. Pertemuan personal dan diskusi lepas sering kali dilakukan dan hal ini menimbulkan kerinduan untuk tetap bertemu sehingga terbangun rasa saling membutuhkan dalam banyak hal, rasa saling percaya semacam ini dapat dimuluskan langkah bersama dalam mencapai target awali tujuan membangun komitment bersama. Disamping itu pendekatan formal seperti loby intensif dilakukan secara rutin, dan juga menggalakkan pertemuan bergiliran.
  • evaluasi program dengan sistem reguler dan insidental, banyak menjadi alat untuk memandu perjalanan tim menuju tujuan yang ingin dicapai, hal ini dijadikan sebagai alat control sehingga dapat cepat kita menemukan kelemahan dan kekurangan dari langkah yang telah dilalui, sehingga apa yang menjadi kelemahan dapat dengan segera diselesaikan / pecahan.
  • Adanya kegiatan yang tidak terencana dari awal seperti kampanye dan publikasi lewat pers. Hal ini ternyata dapat membawa pengaruh bagi tumbuhnya apresiasi publik.

# Tahap Ketiga (Implementasi kegiatan tahap II).

Untuk melaksanakan program dibentuk Tim Pelaksana Program Kehutanan MultiPihak yang di SK kan oleh Bupati Kabupaten Sumbawa dengan nomor 469 tahun 2004. kegiatan yang dilakukan adalah peningkatan kapasitas para pihak, sinkronisasi kebijakan PSDHBM, pengembangan pola pengelolaan PSDHBM.

Dalam Pelaksanaan pengembangan inisiatif bersama tersebut, TKMP Sumbawa bekerjasama dengan SC dan Lp3es melakukan penyiapan sosial bagi masyarakat di 3 lokasi Ex perum perhutani, program ini berdasarkan amanat perda nomor 25 tahun 2002 tentang ”Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat” yang ditetapkan pada tanggal 14 Agustus 2002. Sedangkan TKMP juga melakukan pengorganisasian di 3 lokasi masyarakat yang telah mengembangkan inisiatif dengan kekuatan sumberdaya lokal.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.