Kelembagaan DAS

Pupu Saeful Rahmat

Memupuk Institusi Lokal dan Modal Sosial dalam Kehidupan Bermasyarakat

Oleh: Pupu Saeful Rahmat, Drs., M.Pd. ;
Prodi Pendidikan Ekonomi-AP FKIP Universitas Kuningan

Sumber: http://akhmadsudrajat.wordpress.com/

Abstrak

Ketika bangsa kita mengalami berbagai perubahan sosial sebagai akibat dari aneka krisis yang menimpa (krisis moneter, krisis politik, krisis kepercayaan, dan lain-lain) tampaknya semua karakter sosial yang melekat dalam diri kita dan pernah diagung-agungkan itu, mulai berangsur-angsur hilang dan bahkan kita mulai menampakkan karakter sosial yang bengis dan menakutkan. Hal itu nampak paling transparan dalam bentuk tindakan-tindakan yang destruktif yang dilakukan kita manusia terhadap sesama yang ada di sekitar kita seperti, benturan, konflik, kekerasan, pembunuhan, pembakaran, penjarahan, pemerkosaan, penculikan, terorisme, dan lain-lain.

Tindakan-tindakan destruktif seperti itu tentu akan mengacak-ngacak modal sosial (social capital) yang telah kita miliki. Modal sosial yang di dalamnya terdiri atas norma-norma sosial yang seharusnya terpelihara dan terjaga kelanggengannya sekarang telah teracak-acak oleh aktivitas-aktivitas manusia yang lebih tidak beradab. Otonomi Daerah yang kehadirannya dimungkinkan untuk dapat memupuk modal sosial, belum berperan banyak untuk menumbuhkan rasa solidaritas, kejujuran, keadilan, kerjasama, dan sebagainya. Karena itu, sekarang harus ada upaya untuk menumbuhkembangkan lagi modal sosial yang semakin menipis ini dalam institusi lokal yang merupakan cikal bakal terbentuknya insitusi global.

Kata kunci: Institusi lokal, perubahan sosial, dan modal sosial.

1. Latar Belakang

Diberlakukannya Undang-Undang NO. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah telah memberikan peluang bagi daerah (kabupaten dan kota) untuk menciptakan kemandirian dalam rangka membangun daerahnya dengan berpijak pada prinsip-prinsip demokrasi, partisipasi dan peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal.

Namun kenyataan yang terjadi akhir-akhir ini masih banyaknya terjadi benturan-benturan sosial, baik dalam bentuk konflik, kekerasan, bahkan terorisme yang mengacak-acak modal sosial (social capital) sehingga kita sudah banyak kehilangan nilai-nilai kejujuran, solidaritas, keadilan, persatuan, dan nilai-nilai lainnya yang dapat meningkatkan kemantapan persatuan dan kesatuan.

Upaya yang harus dilakukan adalah bagaimana kita sebagai bangsa menata kembali modal sosial yang telah kita miliki sesuai dengan peran kita masing-masing dalam institusi lokal yang lambat laun diharapkan dapat menyebar ke institusi yang lebih luas dan lebar yaitu institusi global.

2. Institusi Lokal

Di dalam perkembangan pembangunan lembaga istilah lokal sulit didifinisikan. Pada tataran makro lokal adalah lawannya dari global. Sehingga istilah lokal dapat digunakan untuk menyebut peradaban suatu negara sedang global untuk menyebut peradaban pada tataran antarnegara (regional dan internasional). Lokal menurut pemahaman UU No. 22 Tahun 1999 adalah pada tataran mikro artinya istilah lokal untuk menyebut kawasan daerah tingkat satu/propinsi, daerah tingkat dua/ kabupaten atau kota, dan dimungkinkan lokal untuk menyebut yang lebih spesifik yaitu kecamatan dan desa. Jadi institusi lokal merupakan asosiasi komunitas setempat yang bertanggung jawab atas proses kegiatan pembangunan setempat (Esman dan Uphoff, 1982:9), seperti rukun tetangga, arisan trah, kelompok pengajian, kelompok ronda dan sejenisnya. Yang jelas institusi ini memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah setempat.

Institusi lokal dalam komunitas harus dilihat sebagai suatu sistem yang saling silang menyilang (cross-cutting affiliation) dan institusi lokal telah menyediakan jaring pengaman sosial (sosial safety net) ketika komunitas lokal berada dalam situasi krisis. Kehadiran institusi lokal bukan atas kepentingan pribadi/individu tetapi atas kepentingan bersama, sehingga institusi lokal lama kelamaan menduduki pada posisi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal. Rasa saling percaya warga komunitas lokal yang digalang dan diasah melalui institusi ini semakin hari semakin didambakan sebagai modal sosial (sosial capital).

Institusi lokal ternyata mampu menjadi bingkai etika komunitas lokal (Purwo Santoso, 2002: 6). Institusi lokal pada dasarnya adalah regulasi perilaku kolektif, di mana sandarannya adalah etika sosial, sehingga institusi lokal mampu menghasilkan kemampuan mengatur diri sendiri dari kacamata normatif.

3. Modal Sosial (Social Capital)

Modal sosial merupakan kekuatan yang mampu membangun civil community yang dapat meningkatkan pembangunan partisipatif, dengan demikian basis modal sosial adalah trust, idiologi dan religi. Modal sosial dapat dicirikan dalam bentuk kerelaan individu untuk mengutamakan keputusan komunitas, Dampak dari kerelaan ini akan menumbuhkan interaksi kumulatif yang menghasilkan kinerja yang mengandung nilai sosial.

Francis Fukuyama (1995) mengilustrasikan modal sosial dalam trust, believe and vertrauen artinya bahwa pentingnya kepercayaan yang mengakar dalam faktor kultural seperti etika dan moral. Trust muncul maka komunitas membagikan sekumpulan nilai-nilai moral, sebagai jalan untuk menciptakan pengharapan umum dan kejujuran. Ia juga menyatakan bahwa asosiasi dan jaringan lokal sungguh mempunyai dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan ekonomi dan pembangunan lokal serta memainkan peran penting dalam manajemen lingkungan. James S, Colement (1998) menegaskan bahwa, modal sosial sebagai alat untuk memahami aksi sosial secara teoritis yang mengkombinasikan perspektif sosiologi dan ekonomi. Pengertian ini dipertegas oleh Ismail Serageldin (1998) bahwa modal sosial selalu melibatkan masyarakat dan menjadikan masyarakat muncul bukan semata dari interaksi pasar dan memiliki nilai ekonomis.

Ismail Serageldin memberikan klasifikasi modal sosial antara lain:

  • Modal sosial dalam bentuk interaksi sosial yang tahan lama tetapi hubungan searah, seperti pengajaran dan perdagangan sedang interaksi sosial yang hubungannya resiprokal (timbal balik) seperti jaringan sosial dan asosiasi.
  • Modal sosial dalam bentuk efek interaksi sosial lebih tahan lama dalam hubungan searah seperti kepercayaan, rasa hormat dan imitasi sedang dalam bentuk hubungan timbal balik seperti gosip, reputasi, pooling, peranan sosial dan koordinasi, semua ini mengandung nilai ekonomi yang tinggi.

Berkaitan dengan menumbuhkan sikap demokratis, pada bagian lain Douglass North (1990) menyebutkan relasi modal sosial diformulasikan dalam berbagai struktur, misalnya pemerintah, rejim politik, aturan hukum dan sistem peradilan. Berangkat dari jalannya pemerintahan, rejim politik, aturan hukum, dan sistem peradilan akan berdampak pada munculnya sikap-sikap demokratis dari bawah/masyarakat lokal.

4. Modal Sosial Sebagai Perekat Kehidupan Bermasyarakat

Dalam pandangan ilmu ekonomi, modal adalah segala sesuatu yang dapat menguntungkan atau menghasilkan, modal itu sendiri dapat dibedakan atas (1) modal yang berbetuk material seperti uang, gedung atau barang; (2) modal budaya dalam bentuk kualitas pendidikan; kearifan budaya lokal; dan (3) modal sosial dalam bentuk kebersamaan, kewajiban sosial yang diinstitusionalisasikan dalam bentuk kehidupan bersama, peran, wewenang, tanggungjawab, sistem penghargaan dan keterikatan lainnya yang menghasilkan tindakan kolektif.

Menurut James Colement (1990) modal sosial merupakan inheren dalam struktur relasi antarindividu. Struktur relasi membentuk jaringan sosial yang menciptakan berbagai ragam kualitas sosial berupa saling percaya, terbuka, kesatuan norma, dan menetapkan berbagai jenis sangsi bagi anggotanya.

Putnam (1995) mengartikan modal sosial sebagai “features of social organization such as networks, norms, and social trust that facilitate coordination and cooperation for mutual benefit”. Modal sosial menjadi perekat bagi setiap individu, dalam bentuk norma, kepercayaan dan jaringkerja, sehingga terjadi kerjasama yang saling menguntungkan, untuk mencapai tujuan bersama. Modal sosial juga dipahami sebagai pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki bersama oleh komunitas, serta pola hubungan yang memungkinkan sekelompok individu melakukan satu kegiatan yang produktif. Hal ini sajalah pula dengan apa yang dikemukakan Bank Dunia (1999) modal sosial lebih diartikan kepada dimensi institusional, hubungan yang tercipta, norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat. Modal sosial pun tidak diartikan hanya sejumlah institusi dan kelompok sosial yang mendukungnya, tapi juga perekat (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok sebagai suatu kesatuan.

Menurut Lesser (2000), modal sosial ini sangat penting bagi komunitas karena (1) memberikan kemudahan dalam mengakses informasi bagi angota komunitas; (2) menjadi media power sharing atau pembagian kekuasaan dalam komunitas; (3) mengembangkan solidaritas; (4) memungkinkan mobilisasi sumber daya komunitas; (5) memungkinkan pencapaian bersama; dan (6) membentuk perilaku kebersamaam dan berorganisasi komunitas. Modal sosial merupakan suatu komitmen dari setiap individu untuk saling terbuka, saling percaya, memberikan kewenangan bagi setiap orang yang dipilihnya untuk berperan sesuai dengan tanggungjawabnya. Sarana ini menghasilkan rasa kebersamaan, kesetiakawanan, dan sekaligus tanggungjawab akan kemajuan bersama.

Manusia belum disebut manusia yang sebenarnya, bila ia tidak ada dalam suatu masyarakat, karena itu pula maka manusia disebut sebagai makhluk sosial. Manusia pada dasarnya tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhannya dengan baik tanpa hidup bermasyarakat. Sejak lahir, manusia membutuhkan pertolongan manusia lain, sampai dewasa dan meninggal (dan dikubur), ia pun tetap membutuhkan manusia lain. Kemandirian manusia tidak diartikan sebagai hidup sendiri secara tunggal, tapi hidup harmonis dan adaptif dalam tatanan kehidupan bersama. Seperti yang dikemukakan oleh Fairchild (1980) masyarakat merujuk pada kelompok manusia yang memadukan diri, berlandaskan pada kepentingan bersama, ketahanan dan kekekalan/kesinambungan.

Kebersamaan, solidaritas, toleransi, semangat bekerjasama, kemampuan berempati, merupakan modal sosial yang melekat dalam kehidupan bermasyarakat. Hilangnya modal sosial tersebut dapat dipastikan kesatuan masyarakat, bangsa dan negara akan terancam, atau paling tidak masalah-masalah kolektif akan sulit untuk diselesaikan. Kebersamaan dapat meringankan beban, berbagi pemikiran, sehingga dapat dipastikan semakin kuat modal sosial, semakin tinggi daya tahan, daya juang, dan kualitas kehidupan suatu masyarakat. Tanpa adanya modal sosial, masyarakat sangat mudah diintervensi bahkan dihancurkan oleh pihak luar.

5.Titik Temu Institusi Lokal dan Modal Sosial

Di atas telah dibahas pengertian institusi lokal dan modal sosial maka berikut akan kita telusuri dimana titik temu antara institusi lokal dengan modal sosial. Kita pahami bahwa institusi lokal merupakan salah satu modal sosial sehingga institusi lokal di mana saja keberadaannya tetap mempunyai nilai positif bagi komunitas yang bersangkutan. Ternyata institusi lokal dijadikan dasar berpijak masyarakat lokal oleh karenanya modal sosial dapat berkembang dan mengalami erosi dan melemah serta menguatnya modal sosial pada masyarakat dapat dipotret melalui institusi lokal.

  • Potret Positif modal sosial dapat digambarkan dalam formulasi kepercayaan (trust) yang meliputi kohesi sosial, empati, transparansi, militan (inklosif) yang kesemuanya itu akan berdampak pada memunculkan kontrol sosial baru, revitalisasi modal sosial baru, perlu membangun kerjasama dengan pihak luar, demokrasi dan desentralisasi. Norma harus diwujudkan dalam bentuk kesetaraan dan kemitraan sehingga tidak muncul perbedaan perlakuan antarwarga, dalam alokasi ini akan muncul kendala kebudayaan luar, anomalis primordialisme dan vested interest sehingga perlu dipersiapkan jawaban kedepan guna membenteng tantangan yang akan muncul.
  • Potret Negatif modal sosial dapat digambarkan dalam formulasi melemahnya modal sosial sehingga modal sosial mengalami erosi dalam bentuk: interaksi sosial, ditandai dengan pelanggaran norma, krisis kepemimpinan, kerenggangan hubungan sosial dan dehumanisasi. Kondisi ini disebabkan oleh lemahnya kontrol sosial, sentimen kelompok, meningkatnya semangat individualisme dan merebahnya nilai budaya material. Bila kondisi ini dibiarkan maka akan berakibat pada anomalis, pembangkangan, konflik dan perilaku menyimpang. Komunitas, muncul sikap baru dari komunitas dalam bentuk apatis, pragmatis, pengingkaran dan budaya potong kompas (menerobos). Sikap ini muncul karena disebabkan oleh tidak ada kepercayaan, rendahnya rasa handarbeni, egoisme, menghalalkan segala cara dan pelayanan birokrasi yang rendah. Jika kondisi ini tidak segera diantisipasi, maka yang muncul adalah stagnan (kemandegan), menurunkan partisipasi, pelanggaran nilai sosial dan dimungkinkan terjadi KKN.
  • Apabila erosi modal sosial dalam interaksi sosial dan komunitas benar-benar terjadi, maka institusi lokal akan kehilangan social trust yang ditandai dengan rasa kecurigaan, rasa tidak aman, menurunnya rasa kebersamaan, pembangkangan, dan akan menyebabkan rendahnya keterbukaan sehingga intensitas komunikasi rendah, tingginya manipulasi publik dan dampak yang paling parah adalah disintegrasi sosial.

Institusi lokal dan modal sosial ternyata mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap komunitas lokal oleh karena itu perlu ada penguatan terhadap institusi lokal.

6. Kesimpulan

Pemupukan institusi lokal dan modal sosial dapat dilakukan melalui beberapa alternatif berikut:

  • Pengorganisasian institusi diarahkan dalam rangka memfasilitasi komunitas lokal.
  • Mengembangkan kerangka fikir re-lingking (menyambung kembali) tindakan ini diarahkan untuk menyambung kembali titik temu dimensi formal dengan dimensi nonformal yang ada di dalam masyarakat.
  • Perbaikan infrastruktur dalam suasana religius dan cultural.

7. Referensi

Eaton, Joseph W. 1986. Institution Building and Development: From Concept to Application. Jakarta: IKIP.

Harton, Paul B. & Chester Hunt. 1991. Sociology. Western Michigan University

Lesser, E., 2000, Knowledge and Social Capital: Foundation and Application, Boston : Butterworth-Heinemann,

Prijono, Onny S. 1966. Pemberdayaan Konsep, Kebjakan dan Implementasi. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.

Soekamto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali.

Sugiyanto. 2002. Lembaga Sosial. Jogyakarta: Global Pustaka Utama.

Tri Poetranto, 2002/2003, Pengembangan Strategi Pertahanan Untuk Penanggulangan Kemungkinan Disintegrasi Bangsa dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan Nasional, http://buletinlitbang.dephan.go.id, didownload Tanggal 28 Mei 2006.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.