Kelembagaan DAS

Kedi Suradisastra

PEMANFAATAN KELEMBAGAAN UNTUK PEMBANGUNAN SEKTOR PERTANIAN MENDUKUNG OTONOMI DAERAH

RANGKUMAN ORASI PENGUKUHAN AHLI PENELITI UTAMA
BIDANG KELEMBAGAAN PERTANIAN

Kedi Suradisastra
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan  Pertanian,  Bogor, 2006

I. PENDAHULUAN

  1. Salah satu makna lembaga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: “pola perilaku manusiavana mapan. terdiri atas interaksi sosial berstruktur di suatu kerangka nilai yang relevant. Sedangkan kelembagaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan lembaga.
  2. Uphoff (1992b) dan Fowler (1992): “an institution is a complex of norms and behaviours that persists over time by serving some socially valued purpose, while an organization is a structure or recognized and accepted roles”.
  3. Tiga kata kunci: sosial, nilai {norms), dan perilaku {behaviours).
  4. Suatu institusi atau kelembagaan dapat berbentuk organisasi atau sebaliknya.
  5. Bidang kelembagaan kurang memiliki popularitas seperti bidang keilmuan yang mampu menggugah perhatian seluruh lapisan masyarakat (kasus biologis seperti anthrax dengan mudah dikaitkan dengan bioterorisme sehingga menjadi lebih menantang karena ditempatkan dalam konteks pertahanan dan bersifat global).
  6. Keunikan keilmuan kelembagaan karena dalam metode pendekatannya sering diterapkan teknik pendekatan terhadap ekspresi indeksikal yang termasuk dalam pendekatan etnometodologi yang menekankan pengamatan perilaku kehidupan sehari-hari dengan tekanan pada hal-hal atau benda-benda yang “diketahui setiap orang”.
  7. Kegiatan pembangunan pertanian di Indonesia dilaksanakan dengan pendekatan kelembagaan koersif berupa state-imposed institutions (Padi Sentra sampai BUUD dan KUD, sampai ke Supra Insus).
  8. Era otonomi daerah saat ini membuka celah pendekatan dan analisis kelembagaan pertanian secara horisontal karena dampak konvergen teknologi komunikasi, komputer dan media penerangan yang membentuk infrastruktur informasi sebagai pengganti infrastruktur telekomunikasi yang selama ini dianut.
  9. Penetrasi gagasan penelitian sektor kedalam sistem wilayah pembangunan otonom yang memiliki karakteristik eksklusif diharapkan membuka peluang untuk mengembangkan strategi penelitian penangkal (pre-emptive research) guna menghindari pergesekan kelembagaan di masa datang.

II. PENDEKATAN KOERSIF PEMBANGUNAN PERTANIAN

2.1. Koersi kelembagaan pembangunan sektor

  1. Koersi kelembagaan sektor {institutional coercion) dan sentralisasi kebijakan lembaga teknis sektor mampu meningkatkan produksi dan produktivitas sektor sampai pada kondisi tertentu.
  2. Strategi dan benchmark dalam dekade 1970-an dan 1980-an berorientasi pada peningkatan produksi dan produktivitas sektor. Tahun 1985, Indonesia mencapai swa-sembada beras. Awal dekade 1990-an ditandai dengan strategi peningkatan kualitas produk sektoral, sejalan dengan dinamika pasar dan permintaan konsumen. Awal dekade 2000-an menunjukkan semakin meningkatnya perkembangan sektor industri, industri jasa, dan pelayanan. Perkembangan kebijakan berorientasi pasar merupakan penentu arah perkembangan sektor di tingkat daerah di masa datang karena jenis, kualitas serta kuantitas komoditas lokal akan dihadapkan pada suasana persaingan pasar yang lebih sengit. Hal ini menggambarkan trend kebijakan berorientasi pasar, deregulasi dan pengurangan campur tangan pemerintah dalam kegiatan produktif wilayah.
  3. Evolusi kelembagaan koersif ber]a\ar) sesuai dengan kebijakan sentral dan komitmen politis pemerintah. Dinamika kelembagaan koersif tidak hanya memberikan dampak berupa duplikasi program pada sub-sektor lain (petemakan, perikanan, perkebunan, dan Iain-Iain), namun juga berupa tekanan politis pada kelembagaan pendukung produksi sektor yang pada awalnya bersifat lokal dan tradisional.

2.2. Kerusakan struktur sosial

  1. Secara demografis terjadi rural exodus syndrome. Kelembagaan lokal tradisional terkooptasi oleh program pemerintah atau lenyap karena tidak mampu menahan arus perubahan nilai dan makna sosial baru.
  2. Pelembagaan penggunaan teknologi secara koersif antara lain menyebabkan berkurahgnya kesempatan kerja, pergeseran peluang ekonomi lintas gender, peningkatan spesialisasi kegiatan, konsentrasi lahan di kalangan petani kaya dan investor kota, melebarnya kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin, dan meningkatnya kooptasi lembaga perdesaan bagi kepentingan program pemerintah.
  3. Kerusakan struktur kelembagaan lokal antara lain terjadi pada kelembagaan subakd\ Bali, pada Etnis Dani (kelembagaan otini-tabenak), Marind Anim (lembaga sambanim dan pakasanim), etnis Sunda (ulu-ulu, sawen, pucuk tanjeuf) dan berbagai komunitas di Indonesia.

III. PARADIGMA PENDEKATAN KELEMBAGAAN

  1. Dari aspek sosial banyak didengungkan pentingnya memanfaatkan social capitaldan memberdayakan social energy yang pada hakekatnya tiada lain dari upaya pemberdayaan elemen-elemen sosial kemasyarakatan yang terdiri atas kelembagaan sosial, norma, etika dan tata peraturan yang berkaitan dengan kegiatan produktif sektor setempat. Akan tetapi sejauh ini yang dijumpai lebih banyak bertumpu pada pengistilahan baru seperti kearifan lokal, indigenous knowledge, ekologi kultural, dan berbagai terminologi lain yang sebenarnya mencakup deskripsi hal yang sama. Namun pengetahuan tentang kelembagaan non-organisasi sulit diungkap dan dikembangkan karena tersisihkan oleh penggalian masalah tembaga organisasi pembangunan pertanian, terutama yang berkaitan dengan lembaga formal dan bersifat introduksi {imposed organization).
  2. Upaya penggalian social capital antara lain dilakukan dengan metode etnometodologi untuk menggali ekspresi indeksikal masyarakat, baik berupa idiom, sikap atau gerak (gesture) tubuh yang dapat diinterpretasikan sebagai sikap tertentu terhadap pembangunan sosial kemasyarakatan, termasuk pembangunan sektor. Mantra dan sesonteng pada masyarakat Hindu-Bali mencerminkan eskpresi indeksikal dalam kegiatan pertanian dan keagamaan sejalan dengan kegiatan sosial seharihari.
  3. Pendekatan etnometodologi juga dilakukan dalam interaksi lembaga organisasi melalui pendekatan sosial dan analisis respon individu anggota organisasi yang diamati. Etnometodologi terutama menekankan pemahaman atas “hal-hal yang masuk akal” dalam kehidupan sosial sehari-hari dengan tekanan pada hal-hal “yang diketahui setiap orang”.
  4. Dengan mempertimbangkan trend pembangunan daerah yang sangat beragam arah dan tujuannya serta bersifat spesifik lokasi, diperlukan strategi integrasi paradigma kebijakan penelitian kelembagaan kedalam konteks otonomi daerah dengan memanfaatkan kondisi lingkungan sosial {social atmosphere) dan hubungan sosial {social setting) kemasyarakatan, kondisi kelembagaan norma dan etika hubungan kerja, serta eksistensi kelembagaan tata peraturan dan hukum formal.
  5. Tantangan terbesar adalah memahami kaitan kelembagaan hukum formal serta lembaga tata peraturan dan norma sosial lokal dengan strategi terapan penelitian dan kepentingan daerah, sekaligus memanfaatkan celah penetrasi (entry point) lembaga penelitian kedalam konteks kelembagaan daerah yang bersifat lintas sektor.
  6. Pendekatan aspiratif bilateral antara pelaksana kebijakan dan stakeholder pembangunan sektor selayaknya dikembangkan menjadi pendekatan aspiratif multi-lateral. Penyesuaian strategi pendekatan ini sangat penting karena dalam konteks pembangunan daerah, lembaga dan organisasipenelitian sektor pertanian tidak lagi menghadapi petani sebagai end-user teknologi, namun juga secara sejajar berinteraksi dengan kelembagan sektor lain yang berada dalam sistem dan tatalaksana pemerintahan yang sama.

IV. UNDANG-UNDANG OTONOMI DAN IMPLIKASINYA

  1. Era otonomi daerah membawa konsekuensi dan tantangan tersendiri terhadap kemampuan beradaptasi kelembagaan pertanian, terutama yang berupa tantangan penelitian integratif sektor kedalam konteks pembangunan daerah otonom.
  2. Akumulasi informasi empirik yang dimiliki lembaga penelitian pertanian di hierarki pusat dan daerah merupakan sumber daya besar dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia. Seiain itu dukungan kerja sama antar pemerintah daerah memberikan peluang lebih jauh lagi kepada lembaga penelitian dan pengembangan guna berkiprah dalam penyusunan kebijakan pembangunan sektor.
  3. Perubahan paradigma manajemen pemerintahan otonom layak direspon secara positif oleh lembaga pembangunan pertanian dengan upaya penyesuaian strategi dan integrasi kelembagaan pertanian serta teknik penetrasi program pembangunan pertanian kedalam program pembangunan daerah.
  4. Lembaga penelitian dan pengkajian teknologi pertanian yang memiliki sumber daya manusia berkualitas harus mampu memposisikan diri secara strategis sehingga eksistensinya bukan lagi sebagai lembaga suplementer yang kehadirannya kurang dirasakan signifikansinya bagi daerah, namun sebagai lembaga pembangunan yang bersifat komplementeryang kehadiran dan perannya dibutuhkan daerah (compulsory institution).
  5. Aspek sosio-politis dan kutural serta berbagai landasan hukum dan peraturan dapat dimanfaatkan sebagai entry-point pendekatan penelitian dan pembangunan pertanian berwawasan kewilayahan. Kondisi sosio-teknis dan budaya masyarakat dan wilayah merupakan tantangan bagi pengembangan strategi pendekatan terapan yang bersifat multi-aspek dan multi-sektor.
  6. Metode, teknik dan strategi komunikasi dan pendekatan stakeholder pembangunan pertanian hendaknya disesuaikan dengan kondisi ekologi kultural masyarakat sekaligus memanfaatkan elemen social interplay di lingkungan tersebut. Memahami kondisi demikian akan menentukan posisi entry-point kegiatan sekaligus menentukan karakteristik strategi pembangunan yang sejalan dengan kondisi tekno-sosio-ekonomi setempat. Lebih jauh lagi metode dan strategi pendekatan pembangunan harus mampu menembus daya lenting sosial {social resilience) masyarakat setempat dan mampu menggugah minat mereka untuk berpartisipasi dan program pembangunan sektor.

V. STRATEGI PENDEKATAN KELEMBAGAAN LOKAL

5.1. Makna dan masalah pendekatan kelembagaan.

  1. Harus dipahami perbedaan efektifitas penetrasi gagasan kedalam kelembagaan yang bersifat individual (seperti lembaga kepemimpinan, lembaga tokoh masyarakat, dan Iain-Iain), lembaga organisasi, lembaga tata peraturan dan hukum formal, serta lembaga norma dan budaya masyarakat.
  2. Partisipasi stakeholder merupakan elemen penting dalam upaya penetrasi gagasan pembangunan sektor. Contoh klasik keberhasilan penetrasi kelembagaan lokal adalah manorial agriculture system di Inggris pada abad pertengahan. Keberhasilan manorial system tersebut berpangkal pada sikap partisipatif dan tindak kolektif {collective action) masyarakat petani. Tindak kolektif seperti ini dijumpai pula pada lembaga subak yang memberi sangsi kepada individu yang bersifat over-consume dan underinvest
  3. Secara teoritis, lembaga sektor menghadapi tantangan dan peluang besar untuk menyelenggarakan penelitian, pengembangan dan pemanfaatan potensi kelembagaan lokal yang sangat besar. Namun pola pendekatan parsial yang disertai gejala persaingan kelembagaan {institutional competition) dan ketidak-seimbangan kelembagaan {institutional imbalance) merupakan penghambat besar dalam upaya mengintegrasikan penelitian kelembagaan kedalam strategi pendekatan teknis dan ekonomi. Minat menyelenggarakan penelitian kelembagaan relatif rendah.
  4. Kelembagaan tata peraturan, kebijakan dan rencana penelitian serta pengembangan iptek pada umumnya dikembangkan oleh lembaga organisasi sektor. Pelaksanaan dan evaluasi kebijakannya jugadilaksanakan oleh lembaga yang bersangkutan atau oleh lembaga lain yang berada dalam posisi pengawas dan berstatus struktural yang terkait secara formal dan dengan tugas dan fungsi yang jelas. Sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah terjadi penelitian terhadap efisiensi dan efektivitas lembaga organisasi formal yang dilaksanakan oleh lembaga penelitian yang berorientasi akademik atau oleh lembaga independen. Kondisi di atas ditengarai sebagai dampak sistem pengelolaan {managementsystem) yang kurang efisien {undermanaged).
  5. Kebijakan penelitian dan pengembangan pertanian di Indonesia pada umumnya bersifat teknis dan ekonomis, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Kebijakan ini didukung oleh pendekatan-pendekatan yang melibatkan teknologi dan perhitungan ekonomi secara rinci. Peta sosiokultural dan kondisi sosial kelembagaan lokal sangat jarang dijamah dan bahkan belum dikembangkan untuk mempercepat proses alih teknologi yang didahului oleh pendekatan akademik. Padahal pengalaman menunjukkan bahwa kelambatan atau kegagalan adopsi dan inovasi teknologi pertanian lebih banyak disebabkan oleh faktor manusia pengguna teknologi tersebut. Memahami pengetahuan dan keterampilan serta pengalaman mitra pembangunan {stakeholder) usahatani saja tidak cukup. Sangat dibutuhkan penguasaan pola dan kekuatan interaksi faktor teknis dan teknologi dengan faktor sosial {interaksi tekno-kultural) secara komprehensif.
  6. Pemahaman terhadap pranata dan tatanan sosial sangat membantu dalam mencari celah masuk kelembagaan {entry point) bagi peneliti, penyuluh atau change agent dalam diseminasi inovasi tanpa terlalu mengganggu pranata dan tatanan sosial masyarakat setempat.

    0t1

5.2. Strategi pendekatan kelembagaan dalam pembangunan sektor.

  1. Strategi pendekatan kelembagaan hendaknya bersifat organik, artinya, setiap langkah pendekatan dan penggalian informasi hendaknya diselaraskan dengan kondisi sosio-budaya, norma dan kebiasaan masyarakat secara bertahap sehingga tidak menimbulkan pergesekan nilai yang berdampak buruk pada berbagai aspek yang terlibat.
  2. Dalam mengembangkan strategi pendekatan dan penelitian kelembagaan layak dikaji faktor-faktor berikut: (a) struktur kelembagaan, (b) potensi pemanfaatan, (c) legitimasi atau pengesahan terhadap kepemimpinan dan produk kesepakatan, dan (d) pola manajemen.

VI. PENUTUP

  1. Hubungan kelembagaan teknis penelitian dengan lembaga administrasi pembangunan wilayah otonom secara kasat mata tidak menunjukkan kaitan yang jelas. Akan tetapi pada hakekatnya terjalin suatu kaitankebijakan yang sejajar dengan tujuan akhir yang sama: peningkatan pembangunan sektor dalam konteks kewilayahan. Di sisi lain pendekatan teknis penelitian sektor selama ini menganut paradigma bahwa komunitas peneliti dan ilmuwan merupakan penggerak utama proses transformasi sektor tanpa mengganggu eksistensi sistem dan pranata sosial. Teknologi diasumsikan terpisah sama sekali dari konteks sosial.
  2. Dikaitkan dengan pembangunan daerah otonom, upaya pendekatan kelembagaan memerlukan strategi yang luwes dan mampu memahami elemen-elemen kelembagaan formal dan non-formal. Kejelian diperlukan dalam memahami fungsi kelembagaan yang beroperasi di wilayah otonom, mempelajari peta kultural setempat, serta mengkaji konsekuensi implementasi strategi pendekatan sehingga bisa menentukan entry-point dalam suatu proses perencanaan penelitian mendukung pembangunan daerah otonom.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.