Kelembagaan DAS

Subarudi

PMDH: KONSEPSI DAN AKTUALISASI

A Forest-Rural Community Development Program: Conception and Actualization

Oleh/By: Subarudi;  Staf Peneliti P2 SE Hutbun, Bogor

I n f o SOSIAL EKONOMI Volume 1 Nomor 1, November 2000 :

Abstrak

PMDH adalah program yang dikenalkan oleh Departemen Kehutanan dan Perkebunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan. Tetapi dalam pelaksanaan program PMDH di lapangan banyak mengalami hambatan-hambatan yang disebabkan adanya perbedaan persepsi diantara stakeholders. Aspek-aspek fisik, ekonomi dan sosial telah dikaji dan diperbandingkan antara sebelum dan sesudah diperkenalkan PMDH. Hasil kajian menunjukan bahwa ada celah yang besar dari ketiga aspek yang diamati. Hal ini menandakan bahwa program PMDH telah gagal untuk memenuhi tujuan yang telah ditetapkan dan oleh karena itu program tersebut sebaiknya dirubah atau disesuaikan. Dephutbun sendiri telah menyadari akan kegagalan PMDH dan mencoba memperkenalkan partispasi masyarakat dalam pengelolaan hutan melalui SK Menhutbun Nomor: 318/Kpts-II/1999. Sejak dikeluarkannya kebijakan tersebut, program partispasi masyarakat dalam pengelolaan hutan belum dapat dilaksanakan karena beberapa alasan, yaitu: (i) program tersebut terlalu ideal dan berbau politis; (ii) tidak adanya juknis yang jelas; (iii) klaim masyarakat atas HPH belum terselesaikan; (iv) saat ini HPH sedang menghadapi masa ketidakpastian; (v) tidak ada klarifikasi bahwa program ini merupakan program pengganti untuk PMDH

Kata kunci: PMDH, mandiri, sejahtera, sadar lingkungan, studi diagnostik.

Abstract

A Forest-Rural Community Development Program (PMDH) is a program introduced by the Ministry of Forestry and Estate Crops (MOFEC)- has been changed into Ministry of Agriculture and Forestry (MOAF) since August 2000, which aims to make local forestry communities live better (self sufficient, prosper, and aware of environment). However, this program has several handicaps in its implementation in the field due to the different perception among its stakeholders. The physical, economical, and social aspects have been examined and compared before and after introducing of PMDH program. The result shown that there was a big gap among those aspects examined. This indicated that the PMDH program failed to meet its main objectives and should be changed accordingly. The MOAF realized the unsuccessful of PMDH and try to introduced a community participation through forest management activity, which is introduced by the MOFEC Decree No: 318/Kpts-II/1999. Since the issue of the decree, the community participation program has not yet implemented due to several reasons i.e.: (i) the program is too idealistic and “political” perfumed; (ii) there is no a technical guidance; (iii) the claims of local people toward HPH have not yet clarified; (iv) HPHs faced uncertainty condition at the moment; (v) there is no clarification to prove that the program is a substitute program for PMDH.

Key words: community development, self-sufficient, prosperity, environmental awareness, diagnostic study

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tingkat kesejahteraan masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan masih terus menjadi pembicaraan hangat karena selama beroperasinya HPH sebagai pengusaha dan pengelola hutan sejak tahun 1970-an tingkat kesejahteraan mereka tidak berubah atau masih tetap seperti semula. Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan telah disadari dan diyakini keberadaannya sehingga Departemen Kehutanan (Dephut) telah mengeluarkan program HPH Bina Desa yang dimulai sejak tahun 1991 melalui kebijakan yang berupa keluarnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 61/Kpts-II/1991.

Sejalan dengan perkembangan pelaksanaan program HPH Bina Desa selama 5 (lima) tahun dan tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar hutan belum beranjak dari status kemiskinannya sehingga Dephut merasa perlu merubah HPH Bina Desanya dengan Program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) yang menjadi suatu kewajiban bagi pemegang HPH/HPHTI untuk melakukan pembinaan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar areal kerja mereka sesuai dengan SK Menhut Nomor: 69/Kpts-II/95.

Adapun tujuan dari program PMDH adalah membantu mewujudkan masyarakat desa hutan yang mandiri, sejahtera dan sadar lingkungan sehingga untuk mencapai tujuan tersebut pemegang HPH/HPHTI diwajibkan menyusun sebuah rencana pembinaan jangka pendek, menengah dan panjang yang didahului dan didasari dengan studi diagnostik yang tepat dan benar.

B. Tujuan

Dalam pelaksanaan PMDH di lapangan masih banyak dijumpai hambatan dan penyimpangan yang cenderung menjurus kepada tidak tercapainya tujuan program PMDH. Oleh karena itu tujuan penulisan artikel ini adalah mengevaluasi program PMDH antara konsepsi yang ditetapkan dengan pelaksanaan (aktualisasi) di lapangan dengan mengambil kasus pelaksanaan PMDH di Wilayah Kalimantan Timur.

II. KONSEPSI DAN MODEL PMDH

Sebagaimana telah diyakini oleh Dephut bahwa kehadiran HPH tidak saja dimaksudkan untuk menghasilkan dan mengumpulkan devisa (melalui eksploitasi kayu, ekspor kayu bulat sejak tahun 1970 hingga tahun 1985 dan memprosesnya menjadi kayu olahan melalui IPKH milik mereka), tetapi diharapkan dapat sekaligus (trickle down effects) meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan.

Untuk lebih memantapkan program peningkatan kesejahteraan masyarakat yang hidup sekitar hutan Pemerintah melalui Dephut telah mengeluarkan berbagai peraturan dan kebijakan yang jumlahnya hampir mencapai 19 buah peraturan dalam kurun waktu 2 (dua) tahun yaitu dari tanggal 23 Januari 1992 s/d 2 Desember 1993. SK Menhut Nomor: 69/Kpts-II/1995 tentang PMDH menjadi acuan yang berharga oleh para pemegang HPH/HPHTI dalam membuat perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pembinaan masyarakat pada desa binaan yang dipilih sebagai sasaran dan obyek PMDH.

Di dalam menguraikan konsepsi-konsepsi yang berkaitan dengan sarana dan prasarana, ekonomi dan sosial dalam SK Menhut No: 69/Kpts-II/1995 tidak diuraikan lebih lanjut bagaimana tolok ukur yang harus dilakukan oleh pemegang HPH/HPHTI untuk menilai keberhasilan fisik, ekonomi dan sosial dari program PMDH. Untuk memudahkan kegiatan evaluasi PMDH penulis mencoba membuat tolok ukur dari ketiga aspek tersebut dengan pendekatan input dan output agar tolok ukur yang dievaluasi menjadi sangat jelas dan mudah dimengerti.

A. Konsepsi Dan Model Sarana dan Prasarana Desa PMDH

Desa yang menjadi obyek PMDH diharapkan mampu mewujudkan tersedianya sarana dan prasarana (sarpras) sosial ekonomi. Sarpras (baik yang dibangun oleh HPH/HPHTI maupun oleh masyarakat sendiri) dapat berupa pembangunan jalan transportasi dengan tingkat aksesibilitas yang tinggi untuk mengangkut hasil pertanian dan kebun masyarakat, penyediaan pasar lokal yang dapat menampung produk hasil usaha mereka dan yang dapat membantu mereka memenuhi kebutuhan pokok mereka dengan harga yang terjangkau.

Sarpras desa yang direncanakan dimasukkan dalam RKPH/RKPHTI sebagai suplemen dan menjadi bagian dari RKT (Rencana Karya Tahunan) dalam bentuk RO (rencana operasional) yang penyusunannya berdasarkan hasil studi diagnostik.

Dalam pelaksanaan penyediaan sarpras pemegang HPH/HPHTI wajib menyediakan dana dan membuat unit organisasi pelaksana penangan PMDH tersendiri dan tercantum dalam struktur organisasi yang ada atau menjadi sub unit atau dibawah unit organisasi yang sudah ada dan relevan dengan bidang yang ditanganinya.

B. Konsepsi Dan Model Ekonomi Desa (PMDH)

Konsepsi ekonomi desa yang diharapkan terwujud melalui program PMDH adalah meningkatnya pendapatan masyarakat, terbukanya kesempatan kerja/ berusaha, dan tumbuhnya ekonomi pedesaan dimana ketiga aspek tersebut mempunyai tolok ukur masing-masing.

Meningkatnya pendapatan masyarakat pedesaan dapat dilihat dari pendapatan perkapita per tahun dari masyarakat sebelum dan sesudah diperkenalkan program PMDH sehingga lebih mudah untuk memantau perkembangan peningkatan pendapatan yang menjadi tolok ukur utama keberhasilan suatu program PMDH. Peningkatan pendapatan masyarakat dapat dilakukan melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan serta cara memasarkan hasil usaha mereka.

Terbukanya kesempatan kerja/ berusaha masyarakat pedesaan dapat dilihat dari perkembangan tingkat pengangguran di desa pada saat sebelum dan sesudah diperkenalkan program PMDH dimana tidak merupakan suatu keharusan bagi perusahaan HPH/HPHTI untuk mempekerjakan penduduk lokal sebagai karyawannya dalam upaya meningkatkan daya serap tenaga kerja lokal.

Tumbuhnya ekonomi desa dapat dilihat dari berbagai aspek salah satu diantaranya adalah sumber dan keragaman pendapatan asli desa pada saat sebelum dan sesudah diperkenalkan program PMDH dimana semakin banyaknya sumber pendapatan dan tingginya tingkat keragaman yang ada menjadi indikator penting tingkat keberhasilan tumbuhnya ekonomi desa.

C. Konsepsi Dan Model Sosial Desa (PMDH)

Konsepsi sosial yang ingin dicapai melalui program PMDH adalah terciptanya kesadaran dan perilaku positif masyarakat dalam pelesatarian sumber daya hutan (keamanan hutan dan pengendalian perladangan berpindah).

Lingkup kegiatan pembinaan masyarakat yang dapat mendukung terciptanya konsepsi sosial diatas dapat dilakukan melalui penyuluhan dan melibatkan masyarakat dalam kegiatan koneservasi yang tentunya dikaitkan dengan kondisi sosial budaya yang berlaku di desa binaan tersebut.

D. Program Pelaksanaan PMDH

Dari ketiga konsepsi (fisik, ekonomi dan sosial) yang diuraikan diatas telah diatur pelaksanaannya melalui SK Dirjen PH Nomor: 210/KPTS/IV-BPH/1995 yang dikeluarkan tanggal 15 Desember 1995 tentang pelaksanaan PMDH oleh pemegang HPH/HPHTI. Adapun tujuan dan sasaran dari petunjuk pelaksanaan PMDH dimaksudkan agar pelaksanaan kegiatan PMDH terarah, terprogram, dan tertib dilakukan dengan mempaduserasikan program PMDH dengan program sektoral dan IDT (Inpres Desa Tertinggal).

Rencana operasional kegiatan PMDH hendaknya disusun oleh petugas lapangan berdasarkan RKT dan konsultasi dengan kelompok masyarakat, LMD/LKMD dan/atau Kepala desa/Camat, serta disetujui Manager Camp dan disampaikan kepada Kades/Camat, Kepala Dinas Kehutanan Tingkat I dan Kepala Kanwil Kehutanan setempat.

Dalam pelaksanaan kegiatan PMDH sangat bergantung kepada prioritas dan kesiapan masyarakat serta anggaran yang dimiliki HPH/HPHTI. Dana yang dikeluarkan oleh HPH/HPHTI diatur jumlahnya minimal sesuai dengan hasil studi diagnostik.

Setelah melaksanakan kegiatan PMDH, HPH/HPHTI diwajibkan membuat laporan kemajuan fisik dan keuangan (3 jenis kegiatan) bulanan, triwulan dan tahunan kepada Kakanwil dan Kadinashut Tk. I (tembusan Dirjen PH, Dirjen RRL, Kadinashut Tk. II).

Kegiatan pengendalian PMDH dilakukan oleh Kanwil Kehutanan dan pengawasannya dilakukan oleh Dinas Kehutanan Tk. I. Untuk menilai keberhasilan program PMDH dilakukan evaluasi tahunan yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Tk. II dan  penilaian keberhasilannya ditentukan oleh Kanwil Kehutanan dengan menggunakan kriteria dan tolok ukur yang akan ditentukan lebih lanjut (belum dibuat pada saat SK Dirjen PH Nomor 210/1995 dikeluarkan).

III. EVALUASI DAN PEMBAHASAN

Dalam melakukan evaluasi terhadap program PMDH dapat dilihat dari beberapa kajian yang berkaitan dengan penilaian terhadap berbagai kegiatan PMDH dan dikutip oleh Amblani, dkk (1996) bahwa kekurangan program PMDH adalah kurangnya melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan sehingga aspirasi masyarakat seringkali tidak terwakili.

Perencanaan kegiatan PMDH yang tidak partispatif dapat dimaklumi karena kebijakan (hampir di semua bidang kehutanan) yang selama ini dikeluarkan Dephutbun masih berdimensi “top-down” dan berbau “sentralistik” serta belum melibatkan pihak-pihak yang berkaitan langsung (stakeholders) dengan pelaksanaan dari kebijakan tersebut.

Indikator yang jelas dan nyata tentang tidak adanya partisipasi stakeholders dalam perencanaan dan kebijakan PMDH adalah perbedaan persepsi antara Dephutbun, para pemegang HPH/HPHTI dan masyarakat yang berada di dalam dan sekitar hutan yang juga sekaligus sebagai subyek dan obyek dari pelaksanaan program PMDH.

Dephutbun memandang program PMDH merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang HPH/HPHTI dengan menyumbang dan menyisihkan sebagian keuntungannya (sebagai biaya sosial) untuk membantu kesejahteraan masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan yang berdekatan dengan areal kerja HPH mereka. Dengan demikian yang menjadi aspek penilaian dari Dephutbun terhadap keberhasilan atau kegagalan program PMDH adalah berapa besar realisasi biaya yang dikeluarkan oleh HPH/HPHTI dibandingkan dengan rencana anggaran yang telah ditetapkan sebagaimana tercantum dalam suatu rencana operasional yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari RKT HPH/HPHTI.

Para pemegang HPH/HPHTI melihat program PMDH merupakan program yang berbau “politis”, sedikit ambisius, dan memberatkan bagi mereka karena sebenarnya pembinaan desa dan pedesaan adalah tugas pokok dan fungsi Pemda setempat (dibawah naungan Departemen dalam Negeri). Jika dianologikan dengan pembinaan Sekolah Dasar (SD) yang tidak kunjung membaik karena dibawah naungan dua atap instansi Pemerintah (Depdiknas dan Depdagri). Pandangan “negatip dan sinis” ini terbawa didalam pelaksanaan PMDH oleh HPH/HPHTI dimana pola pengelolaan dananya tidak transparan dan sangat sulit untuk dikeluarkan kecuali ada “paksaaan” dari tokoh masyarakat atau “tekanan” dari masyarakat melalui unjuk rasa.

Masyarakat sekitar hutan memandang PMDH adalah suatu “proyek” dan kesempatan baik untuk meminta segala sesuatu kepada pihak perusahaan dalam rangka memenuhi sebagian kecil atau sebagian besar kebutuhan masyarakat desa tersebut. Pada beberapa lokasi PMDH, perusahaan HPH/HPHTI laksana seorang “sinterklas” memberikan segala permintaan masyarakat dari mulai membangun rumah ibadah, menyediakan air bersih, WC umum, dan sarpras pendidikan yang belum tentu merupakan prioritas dan kebutuhan yang mendesak bagi masyarakat desa tersebut.

Sebagai contoh kasus pembangunan rumah sederhana (dinding kayu, atap seng dan pompa air) yang terjadi di Kalteng bagi masyarakat sekitar hutan telah dihentikan oleh Pemda setempat karena kurangnya sambutan masyarakat yang diindikasikan dengan tingkat hunian yang rendah (6 unit rumah) dari 22 unit rumah yang dibangun dan selebihnya dibiarkan terbengkalai. Disamping itu beberapa program dijabarkan tidak tepat sasaran yang diindikasikan adanya sarana air bersih dan MCK yang tidak digunakan dan dipeliharan sebagaimana mestinya karena masyarakat setempat lebih suka dan senang pergi ke sungai (Nasendi, dkk., 1996), sehingga program PMDH sepintas dilihat hanya membuat hidup masyarakat manja dan tidak mandiri karena sangat banyak bergantung kepada belas kasihan dari perusahaan HPH/HPHTI yang ada.

A. Profil Fisik Desa PMDH Saat Ini

Berdasarkan hasil evaluasi pembiayaan program PMDH yang dilaksanakan di Kalimantan Timur terbukti bahwa jumlah biaya yang dikeluarkan rata-rata per tahun sebesar Rp. 3, 06 milyar dengan rata-rata jumlah desa binaan sebanyak 126 desa sehingga setiap desa binaan mendapatkan biaya sebesar Rp. 27, 2 juta per tahun (masih lebih kecil dari bantuan desa IDT yang dananya sebesar Rp. 30 juta per desa per tahun). Jumlah desa yang dibina oleh HPH sebanyak 2 desa per HPH dengan biaya yang harus ditanggung untuk setiap HPH sebesar Rp. 38,1 juta per tahun. Untuk lebih jelasnya perkembangan pembiayaan program PMDH di kaltim dapat dilihat pada tabel 1.

0t1

Amblani, dkk. (1996) menyatakan bahwa sebanyak 115 desa (65 %) yang ditunjuk menjadi desa binaan berstatus desa tidak miskin dan sisanya (62 desa) berstatus desa miskin dari jumlah total desa binaan di Kaltim sebanyak 177 desa. Hal ini menunjukan bahwa proses pemilihan desa binaan telah terjadi disorientasi (sebagian besar desa berstatus tidak miskin yang dipilih) yang kemungkinan besar memang telah diskenariokan oleh pemegang HPH/HPHTI agar biaya yang dikeluarkan relatif sedikit  terutama untuk membangun sarana dan prasarana desa yang memang sangat memerlukan banyak biaya.

Disamping itu bila dilihat lebih jauh bahwa biaya yang dialokasikan khusus untuk aspek sarana dan prasarana memang relatif kecil sebesar Rp. 769 juta (25 %) dari total biaya rata-rata keseluruhan (Rp. 3.058 juta) PMDH di Kaltim dengan demikian biaya rata-rata yang diterima hanya sebesar Rp. 6,1 juta per desa per tahun sebagimana tercantum dalam tabel 2.

0t2

Pertanyaan yang muncul adalah jenis sarana dan prasarana desa apakah yang dapat dibangun dengan biaya yang relatif kecil dan tidak memadai (Rp. 6 juta rupiah per desa per tahun) dan hal ini diperburuk lagi bahwa sarana dan prasarana fisik yang banyak dibangun melalui program PMDH adalah pembangunan rumah ibadah, pengadaan air bersih, WC umum dan perbaikan fasilitas pendidikan yang mana kesemuanya tidak berkaitan langsung dengan sarana dan prasarana ekonomi.

B. Profil Ekonomi Desa PMDH Saat ini

Ada 2(dua) aspek kegiatan PMDH yang berkaitan langsung dengan peningkatan ekonomi desa binaan yaitu kegiatan pertanian menetap dan peningkatan ekonomi yang kedua aspek itu membutuhkan biaya rata-rata per tahun sebesar Rp. 1,648 milyar untuk sekitar 126 unit desa binaan sehingga biaya yang diterima per desa binaan per tahun sebanyak Rp. 13, 1 juta.

Pelaksanaan PMDH di Kalimantan Timur dinilai masih terlalu jauh dari pencapaian tingkat kesejahteraan karena hanya menyentuh 1000 keluarga yang menjadi binaan (Manuntung, 14/5/1998). Jadi dapat dibayangkan bagaimana kondisi ekonomi desa binaan di Kaltim dapat dipacu dengan bantuan dana yang tidak langsung diberikan kepada Kepala Keluarga hanya sekitar Rp.1,65 juta per KK per tahun.

Hal yang perlu disadari bersama bahwa upaya untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat merupakan tugas utama Pemerintah dan Negara sehingga dalam pelaksanaannya Deptanhut atau perusahaan HPH/HPHTI dapat saja bekerjasama secara baik, terpadu dan terkoordinir dengan pihak-pihak lain yang terkait langsung dengan wewenang dan tanggung jawabnya dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Jika dipandang perlu dapat saja Deptanhut melakukan sosialisasi program PMDH menjadi program pemerintah sehingga pelaksanaannya nanti akan mendapat dukungan penuh dari instansi pemerintah lainnya dan bukan sebagai proyek “cari nama” atau “penyelematan muka” dari suatu sistem pengelolaan hutan yang jauh dari kesan lestari dan profesional.

Apabila program PMDH merupakan program milik pemerintah dan bukan hanya menjadi tanggung jawab Deptanhut maka program ini akan dapat dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan program pengelolaan hutan di Indonesia sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal 33 bahwa hutan, tanah dan aiar adalah kekayaan alam yang dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

C. Profil Sosial desa PMDH Saat Ini

Salah satu tujuan dari program PMDH adalah membuat masyarakat secara sosial dapat hidup mandiri dalam artian masyarakat akan dapat berdiri diatas kakinya sendiri tanpa banyak ditopang atau bergantung kepada belas kasih perusahaan HPH/HPHTI.

Dalam Buku Pedoman Survey Sosial Ekonomi Kehutanan Indonesia (2000) dinyatakan bahwa perhatian yang diberikan terhadap masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan tidak hanya bantuan yang bersifat belas kasihan, akan tetapi harus mampu menciptakan situasi yang kondusif agar mereka dapat mengembangkan diri sendiri menuju kemandirian secara berkelanjutan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Dalam kenyataannya program PMDH tidak mampu membuat masyarakat hidup mandiri karena pada saat pelaksanaan program tidak dilakukan kegiatan sosialisasi, diskusi yang intensif dan dibuatkan konsensus-konsensus dengan pendekatan kepada tokoh-tokoh atau tetua adat masyarakat setempat sehingga prinsip yang harus dipegang perusahaan adalah “lebih baik memberi kail daripada ikan” tidak dapat berjalan dan sebagai gantinya perusahaan menggunakan prinsip “sinterklas” (memberikan apa saja yang diminta oleh masyarakat setempat) karena dikejar oleh deadline (batas waktu) laporan pelaksanaan fisik yang wajib dibuat setiap bulan dan triwulan dari pelaksanaan kegiatan PMDHnya.

Dampak sosial yang nyata terhadap pelaksanaan PMDH adalah maraknya tuntutan masyarakat terhadap HPH dari jenis tuntutan yang rasional hingga yang irrasional seperti tuntutan ganti rugi sebesar Rp. 1000,- per m3 yang diproduksi perusahaan HPH sejak perusahaan tersebut beroperasi karena mereka melihat segala tuntutan mereka pasti akan dipenuhi perusahaan yang dianggap sumber uang dan mereka hanya meminta hak kompensasi atas pemanfaatan hutan yang menjadi milik mereka.

Disamping itu maraknya tuntutan masyarakat atas HPH didukung oleh perubahan paradigma kehutanan dari pengelolaan hutan yang berbasis konglomerasi ke arah partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan yang terkenal dengan slogan “Forest for People” (hutan untuk masyarakat) yang selalu didengungkan oleh pejabat-pejabat  tinggi kehutanan di pusat dan daerah tetapi maknanya ditangkap lain oleh masyarakat bawah (grass root community) sebagai hutan milik masyarakat sehingga mereka dapat sesuka hatinya untuk memanfaatkan hutan “milik” mereka tanpa ada yang dapat mengusiknya.

Hingga saat ini konflik sosial antara masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan menjadi masalah nasional karena hampir terjadi di setiap propinsi dengan dibumbui ancaman pembakaran base camp apabila tuntutan mereka tidak dipenuhi sehingga kasus konflik ini perlu segera dicarikan jalan keluarnya oleh Deptanhut apabila hutan tidak mau dijadikan “tumbal” sebagai biaya atas keterlambatan dalam usaha penyelesaian konflik.

Disamping itu perlu disadari bahwa penyuluhan terhadap masyarakat tentang pentingnya melestarikan hutan masih belum memadai hasilnya dalam menyakinkan masyarakat akan perlunya keberadaan kawasan konservasi maupun produksi. Rasa ikut memiliki dan bertanggung jawab dalam melindungi sumber daya hutan dari gangguan yang merusak masih perlu dimasyarakatkan dengan melibatkan LSM-LSM setempat. Kondisi ini harus didukung pula oleh tindakan nyata yang diupayakan agar masyarakat yang tinggal dan hidup subsistem dapat ikut merasakan manfaat dan hasil-hasil pembangunan di bidang kehutanan (Manan, S., 1998).

Oleh karena itu reformasi dalam bidang penyuluhan kehutanan merupakan suatu keniscayaan dan dilakukan sesegera mungkin dengan melakukan kajian dan evaluasi terhadap program penyuluhan yang ada saat ini serta membuat program penyuluhan kehutanan yang baru untuk mengantisipasi tantangan kehutanan abad 21.

Reformasi dalam bidang penyuluhan dapat dilakukan secara bertahap dari perubahan dalam sistem kelembagaan, pembinaan dan pengembangan SDM penyuluh, dan penetapan rencana penyuluhan harus dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan stakeholders (masyarakat, pengusaha HPH, Pemda setempat, Dinas PKT) yang hasilnya dapat digunakan sebagai pola operasional kegiatan penyuluhan oleh pihak yang berwenang dan berkepentingan dengan penyuluhan. Apabila dipandang perlu Pemda dapat saja mengangkat tenaga-tenaga penyuluh yang berasal dari masyarakat desa yang menjadi sasaran penyuluhan dan memenuhi ketentuan yang disyaratkan sehingga pelaksanaan penyuluhan akan dapat berjalan lancar dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan karena masyarakat setempat lebih percaya kepada tenaga penyuluh yang berasal dari lingkungannya (lebih memahami sosial dan budaya mereka) daripada tenaga penyuluh dari luar (yang hanya datang sebulan atau dua bulan sekali ke desa mereka dengan tujuan utamanya adalah menandatangani SPPD).

D. Hambatan Pelaksanaan PMDH Saat ini

Berdasarkan hasil penilaian terhadap fisik, ekonomi dan sosial dari desa binaan yang disentuh oleh program PMDH menunjukan masih jauh dari yang diharapkan dalam pencapaiannya karena banyaknya hambatan di dalam pelaksanaan PMDH itu sendiri.

Hambatan yang muncul dari pelaksanaan PMDH dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

  1. Tidak diikut sertakannya masyarakat dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam PMDH.
  2. Adanya perbedaan persepsi tentang PMDH antar stakeholders
  3. Ketidak siapan Dephutbun dalam merancang program PMDH yang ditandai dengan keluarnya berbagai peraturan PMDH sebanyak 19 buah dalam kurun waktu 2 tahun
  4. Studi diagnostik yang menjadi acuan utama dalam pelaksanaan PMDH belum dilaksanakan secara tepat dan benar sesuai aspirasi masyarakat dan tuntutan profesionalisme
  5. Kekurang akuratan data sosial dan ekonomi yang digunakan dalam pembuatan studi diagnostik
  6. Kurangnya sosialisasi dan koordinasi kegiatan PMDH dengan pihak-pihak yang terkait dengan pembinaan dan pengembangan desa
  7. Perusahaan lebih menekankan kepada aspek administrasi pelaksanaan PMDH daripada hasil keluaran (outcome) program PMDHnya karena tolok ukur yang ditetapkan Dephutbun memang lebih berorientasi kepada segi adminstratif belaka.

Ketidak berhasilan pelaksanaan PMDH dan tidak tercapainya tujuan PMDH sebenarnya telah dirasakan dan disadari oleh Dephutbun yang diindikasikan dengan keluarnya kebijakan baru yaitu SK Menhutbun Nomor: 318/Kpts-II/1999 tentang peran serta masyarakat dalam pengusahaan hutan dan SK Nomor: 32/Kpts-II/1999 tentang tata cara pemberian HPH memalui permohonan untuk luas areal dibawah 50.000 ha yang akan dikelola oleh masyakarat atau melalui koperasi yang dibentuk oleh masyarakat sendiri.

Dalam Pedoman SSEKI (2000) disarankan juga agar partisipasi masyarakat perlu ditumbuh kembangkan dan dipacu pelaksanaannya sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan kehutanan dimana hal tersebut memerlukan penilaian dan kajian yang menyeluruh tentang aspek ekonomi, sosil-budaya, lingkungan dan kelembagaan sosial (formal dan informal) yang mempengaruhi suatu tatanan sistem nilai dan sistem kehidupan masyarakat dalam hubungannya dengan pelaku ekonomi (Perusahaan swasta, BUMN, BUMD, masyarakat dan koperasi) dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan secara lestari.

Dalam kenyataannya pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan sebagaimana tercantum dalam SK Nomor 318/1999 dan SK Nomor 32/1999 belum dapat berjalan sebagaimana mestinya karena berbagai kendala, diantaranya: (i) program tersebut terlalu “idealis” dan berbau “politis” karena desakan dan tuntutan reformasi; (ii) belum ada juklak dan juknis dari program tersebut; (iii) belum tuntasnya penyelesaian klaim-klaim masyarakat atas HPH; (iv) faktor ketidak pastian dalam masa transisi ini menyebabkan apatisme bagi perusahaan; (v) program ini bukan merupakan prioritas kegiatan bagi Dephutbun; dan (vi) keraguan bagi pemegang HPH/HPHTI apakah program ini merupakan pengganti atau supplemen terhadap program PMDH.

Oleh karena itu Dephutbun harus secepatnya mengadakan klarifikasi isu-isu yang muncul diatas sehingga program PMDH atau partispasi masyarakat dalam pengelolaan hutan dapat segera berjalan atau dilanjutkan karena peran dan fungsinya yang strategis dalam upaya menambah sumber-sumber pendapatan masyarakat yang hidup di dalam dam sekitar hutan. Apalagi dikaitkan dengan situasi krisis ekonomi dan tindakan anarkis di beberapa daerah seperti sekarang ini, taraf hidup mereka sudah hampir terpuruk   laksana hanya tangan-tangan mereka yang tampak bergelantungan menggapai tepi-tepi jurang kemiskinan.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Program PMDH sebagai upaya penyempurnaan program HPH Bina Desa masih belum berhasil dalam mencapai tujuannya yaitu membantu mewujudkan masyarakat desa hutan yang mandiri, sejahtera dan sadar lingkungan.

Ketidak berhasilan program PMDH karena program tersebut dirancang tanpa persiapan yang matang dan di dalam perencanaan, pengaturan, pelaksanaan dan pemantauannya tidak melibatkan stakeholders sehingga kegiatan pelaksanaan PMDH banyak mengalami hambatan di lapangan

Dephutbun telah menyadari tentang kegagalam program PMDH sehingga perlu menetapkan program partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan yang mana dalam pelaksanaannya masih sekedar slogan untuk memenuhi tuntutan reformasi, tetapi tidak dilanjuti sebagai suatu program penting yang harus diprioritaskan pelaksanaannya karena program tersebut merupakan tolok ukur keberhasilan sistem pengelolaan hutan yang lestari sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.

Kegiatan penyuluhan yang merupakan ujung tombak kegiatan pembangunan kehutanan di lapangan masih belum memadai hasilnya sehingga perlu peninjauan kembali dengan mengadakan reformasi di bidang kelembagaan, SDM penyuluh dan penetapan rencana dan program penyuluhan kehutanan agar kegiatan penyuluhan lebih sesuai dengan tantangan kehutanan abad 21 dan tuntutan aspirasi masyarakat setempat.

B. Saran

Deptanhut (Eks Dephutbun) harus segera mengadakan klarifikasi tentang kelanjutan program PMDH apakah masih tetap dilanjutkan atau dihentikan karena pelaksana kehutanan di tingkat bawah yang berada di daerah hanya dapat diam dan menunggu turunnya kebijakan dari atas sementara konflik sosial di bidang kehutanan telah merebak dihadapan mata dan kepala mereka sendiri dan mereka merasa dikucilkan karena tidak mampuan berbuat sesuatu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara masyarakat setempat dengan HPH.

DAFTAR PUSTAKA

Amblani, M., Sardjono, M.A., Effendi, R. 1996. Kajian HPH Bina Desa Di Kalimantan Timur.  Ekspose Hasil-Hasil dan Program Litbang Kehutanan Wilayah Kalimantan, Samarinda, 5 – 6 Maret 1996.

Manan, S. 1998. Hutan: Rimbawan dan Masyarakat. Halaman 209-240. Penerbit IPB Press, Bogor.

Manuntung. 1998. PMDH Di Kaltim belum mampu mensejahterakan masyarakat. Harian manuntung, 14 Mei 1998.

Nasendi, dkk. 1996. Evaluasi Applikasi Studi Diagnostik Sosial ekonomi Kehutanan. Puslitbang Hasil hutan dan Sosek Kehutanan. Badan Litbang Kehutanan, Bogor, Maret 1996.

Sardjono, M.A. 1996. Strategi dan Upaya Penyempurnaan Kegiatan Pembinaan Masyarakat di Lingkungan Pengusahaan Hutan Di Kalimantan Timur: Refleksi Implementasi dan Inisatif Ke Depan. Makalah dalam Seminar “Perubahan Dimensi Sosial dan Perkembangan Wood Based Industry” di PT. Sumalindo Lestari Jaya, Loa Janan, Samarinda.

P2SE. 2000. Pedoman Survey Sosial Ekonomi Kehutanan Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.